Disclaimer : All Characters belong to Masashi Kishimoto.
Perfect, Imperfect
.
Chapter 12
.
Marriage life.
.
.
Itachi duduk di ruang kerjanya. Kantornya tampak bersih dan steril. Segalanya tampak standar dan fungsional. Ia merasa tak perlu mendekorasi ruang kerjanya dengan mewah. Yang penting ia punya kursi yang nyaman karena ia menghabiskan lebih dari delapan jam sehari untuk duduk di depan komputer dan memeriksa dokumen.
Setelah lelah membaca dan mereview beberapa berkas yang menumpuk. Ia bersandar dengan lelah di kursi kulit yang menopang tubuhnya. Pikirannya langsung melayang pada Ino.
Ia sadar gadis malang itu sedang menderita, terjebak dalam pernikahan yang tak ia inginkan. Mengandung anak yang tak ia minta. Gadis itu harus menerima semua rencana hidupnya hangus begitu saja menjelma menjadi masa depan yang tak pernah diduga dan tak siap untuk dijalani.
Dia juga mengerti saat ini Ino masih belum bisa menerima kenyataan, tapi bagaimana dia sebagai suami bisa membantu bila Ino bersikap memusuhinya. Ia hanya bisa memaksa gadis itu menurut padanya karena Ino menolak semua pandangan dan Ide yang tak sesuai dengan cara berpikirnya.
Bila Itachi menuruti kata hatinya ia akan mencoba menenangkan Ino dengan sikap hangat dan meyakinkannya mereka akan baik-baik saja. Tetapi gadis itu tak bersikap manis, tidak pada dirinya. Pernikahan mereka menjadi sebuah power struggle. Di mana setiap saat Ino berusaha membantah dirinya tanpa berdasar cukup logika hanya untuk menunjukkan dirinya tak akan tunduk pada Itachi. Ini menjadi hal yang mengesalkan.
Barangkali di mata gadis itu ia telah menjelma menjadi seorang tiran yang ingin mengatur kehidupannya dan mengekangnya dengan status sebagai suami. Dia lelah gadis itu berpikir hanya tentang dirinya sendiri. Apa Ino tak paham menikah itu tak lagi soal aku atau kamu. Mereka berdua harus berpikir sebagai kami. Dua individu dengan sifat berbeda yang kini harus bersatu dalam entitas yang di sebut rumah tangga. Bersikap egois dengan mengabaikan pendapat dan pertimbangan pasangan hanya akan memperburuk suasana. Bila Ino tak bisa mencintainya paling tidak gadis itu harus mencoba bekerja sama dengannya.
Pria itu menarik nafas panjang dan melonggarkan dasinya. Mungkin ia juga salah, menghukum Ino dengan bersikap dingin dan menjauh malah membuat masalah semakin besar. Tapi apa yang mesti ia lakukan? Gadis itu menolaknya di setiap tikungan. Dia paham Ino terlalu muda, dan dialah yang harus berusaha sabar dan memberi gadis itu pengertian. Tapi ia kehabisan kesabaran karena Ino sepertinya tak mengakui keberadaannya sebagai suami.
Itachi membaca surat yang ia temukan tadi pagi di kotak surat. Ino telah mengikuti ujian masuk universitas tanpa memberitahu dirinya. Kini ia telah diterima di universitas, apa rencana gadis itu sebenarnya? Ia kembali menghela nafas dan sakit kepala membayangkan pertengkaran yang akan terjadi dengan istri kecilnya. Bila ia membahas soal pembangkangan ini.
Ternyata menikah dengan gadis yang begitu muda sangat sulit. Mereka berdua memiliki prioritas yang berbeda. Ino ingin menemukan jati dirinya dan menjalankan hidup sebagai orang dewasa yang bebas. Sementara dia sendiri sudah kenyang dengan semua itu. Ia menginginkan kehidupan yang stabil, kedatangan seorang anak mungkin tak akan banyak menggubah kehidupannya tapi anak akan mengubah hidup seorang wanita dengan drastis. Ia hanya bisa berharap Ino akan mengerti dia harus berkorban dan kehilangan satu fase dalam hidupnya untuk menjalani peran sebagai istri dan Ibu. Bisakah Ino berlapang dada?. Meski gadis itu tak pernah memintanya, Tapi semua telah terjadi. Mereka berdua hanya bisa melangkah ke depan. Meski akan berat dan penuh kekacauan.
.
Ino merasa tubuhnya seperti balon yang siap meledak kapan saja. Ia sedang duduk di restoran menanti seorang teman. Ino merasa amat sedih. Satu demi satu sahabat SMA-nya melangkah ke luar dan Dia mau tak mau merasa di tinggalkan. Tersingkir dalam suatu jalan yang berbeda dari teman-tamannya. Dia belum bicara lagi dengan Sakura meski dua bulan telah berlalu. Ia tak lagi menyalahkan gadis berambut merah jambu itu karena pada akhirnya ia paham ia telah salah tapi ia gengsi untuk meminta maaf.
Sabaku bersaudara muncul di pintu. Gaara dan Temari berjalan ke arah meja Ino.
"God, Ino lihatlah dirimu, you look amazing!" Komentar Temari yang baru ia lihat lagi setelah hari pernikahannya. Gadis Suna itu mau memeluk Ino tapi terhalangi perut besarnya.
Ino tertawa, "Amazingly Big?, Aku merasa perutku akan meledak kapan saja."
"Bagaimana kabarmu?" Suara Bariton Gaara menyapanya. Pemuda itu masih terlihat begitu tampan seperti biasa. Sedangkan Ino kini bagai gajah bengkak. Ia sering menangis melihat bentuk tubuhnya yang berubah banyak di cermin. Dia merasa kehilangan dirinya dan menjelma menjadi sesuatu yang lain.
"Buruk, Kalian tahu pernikahan tak seindah yang diceritakan."
"Apa yang terjadi Ino?"
"Itachi being an ass, Aku lelah berurusan dengannya tiap hari. Sikapnya begitu menjengkelkan. Padahal seingatku ia tak seperti itu saat kami bertemu."
"Tapi apakah kau juga telah bersikap baik padanya? Sepengetahuanku Ino kaulah yang bersikap penuh kebencian pada pria yang hanya mencoba bertindak benar dengan menggagalkan pernikahanmu dengan Sasuke dan aku yakin kau juga masih belum bicara pada Sakura."
"Bagaimana kau tahu Temari?"
"Aku sudah hafal sifatmu. Aku tahu betapa sulitnya dirimu untuk meminta maaf. Ino kau tak bisa menjadi anak kecil yang merajuk karena beberapa hal berjalan tak sesuai dengan keinginanmu."
"Lalu aku harus bagaimana?"
" Apa kau ingin pernikahanmu berhasil, atau tidak?" Pertanyaan Gaara membuat Ino tercengang karena ia tak pernah memikirkannya. Ia hanya berpikir begitu anak ini lahir hidupnya akan kembali seperti dulu seperti halnya tubuhnya.
"Aku tak pernah memikirkannya. Aku hanya ingin hidupku kembali seperti dulu tak memikirkan apa pun selain diriku sendiri."
"Maaf bila aku memberimu kabar buruk. That's immposible." Jelas Gaara.
"Bisa saja Ino, tapi dengan begitu kau akan menjadi wanita egois dan tak bertanggung jawab dengan mengabaikan kepentingan anak dan suamimu. Apa kau mau jadi seperti itu?"
"Tapi aku tak pernah menginginkan anak atau suami. Apa kalian mengerti?"
"Aku paham," Ucap Temari. "Tapi kenyataannya sekarang kau punya. Jadi rengkuhlah statusmu yang baru. Bukannya menolak mati-matian dan mencoba berpikir kau adalah dirimu yang dulu."
"Ino, Apakah kau sudah berusaha bicara dan mendengarkan suamimu? Apakah kau sudah berusaha untuk mengenal dan mengerti pria itu. Aku yakin Itachi tak punya maksud buruk padamu."
Ino kehabisan kata-kata untuk membela diri. Ia memang tak berusaha banyak untuk menjalani pernikahan mereka. Dari pada menjalin hubungan dia malah sibuk membuat jurang dan menabuh genderang perang pada suaminya. Apakah ia yang membuat Itachi menjadi dingin dan kasar dengan sikap semau gue nya?.
"Ino, Kakakku benar, Kau menikah dengan Itachi. Terpaksa atau tidak, dia adalah keluargamu sekarang. Bila kalian ingin hidup damai kau harus berusaha mendengarkannya. Apa lagi bila anak kalian lahir nanti. Berusahalah untuk berdiskusi layaknya dua orang dewasa menggunakan kepala dingin. Atau jangan-jangan kau berusaha bertingkah buruk agar dia kesal dan menceraikanmu?"
"Aku tak tahu Gaara, Awalnya aku menyukainya, Tapi ketika aku merasa dia menyabotase kehidupanku aku merasa sangat marah. Apa haknya untuk mengacaukan rencanaku?"
"Kau masih kesal soal pernikahan itu?, Itachi telah melakukan hal yang benar. Tidak terlambat untuk membangun hubungan yang baik dengannya. Itu bila kau mau."
Terbayang wajah lelah Itachi di benak Ino setiap kali mereka bertengkar. Ino juga sebenarnya capek tapi dia tak ingin terlihat kalah pada suaminya. Dia memang sengaja menguji kesabaran putra sulung keluarga Uchiha itu.
Seandainya bila memang Itachi bersikap dingin dan kasar padanya karena muak dengan sikap Ino. Apakah pria itu akan kembali menjadi sedikit lebih baik bila ia melunak? Mungkin kah ia harus mencoba strategi ini karena telah terbukti bertengkar dan melawan suaminya hanya menambah konflik pada pernikahan mereka yang dari awal sudah salah.
"Aku akan mencoba. Sebenarnya aku lelah mendebat Itachi terus menerus. Oke, Cukup membicarakan masalahku. Apa yang rencana kalian?"
"Aku akan meninggalkan kota Ini besok dan telah mengirim demo kami ke perusahaan rekaman. Aku pindah ke Kumogakure. Industri musik begitu pesat di sana dan aku juga mendapatkan undangan untuk jadi band pembuka konser rapper Killer B."
"Wow, Awal yang bagus Gaara. Aku harap kau akan sukses menjalani passion-mu."
"Terima kasih Ino, Aku datang untuk berpamitan padamu. Naruto dan Sasuke juga akan segera pergi. Sakura telah diterima di universitas kedokteran Suna. Dia pun akan meninggalkan Konoha."
"Aku sangat sedih pada akhirnya kita berpencar-pencar. Menjalani pilihan hidup masing-masing. Hanya tinggal aku dan Sai saja yang tetap di Konoha." Ino memasang wajah sendu. Waktu telah berlalu sekarang mereka mesti bersahabat dengan cara lain.
"Bukan berarti kita berhenti menjadi teman." Temari tersenyum. "Jangan Khawatir Ino, kau akan punya sesuatu yang baru untuk membuat dirimu tetap sibuk." Sambung gadis berkuncir empat itu.
"Kalau boleh aku memberimu saran. Sebaiknya kau memperbaiki hubunganmu dengan Sakura sebelum dia pergi. Kalian sudah bersahabat sejak kecil. Amat disayangkan bila kalian berpisah dalam kepahitan."
"Iya, Aku akan melakukannya Gaara. Aku senang kalian berdua meluangkan waktu untukku. Dua bulan ini terasa menyesakkan dan aku benar-benar merasa kesepian."
"Ino, Maafkan kami bila baru sempat mengunjungimu. Maklum kita semua terjebak dalam kesibukan masing-masing. Meskipun sekarang aku dan Gaara tinggal jauh kau tetap bisa menghubungi kami kapan saja."
"Benar Ino, Bila kau berniat untuk kabur dari suamimu. Pintu rumahku selalu terbuka untukmu."
Temari menyikut Gaara, "Apa kau sedang mencoba menaikkan level playboy-mu dengan menggoda istri orang?"
"Apa salahnya mencoba?"
"Baru tadi kau menyuruh Ino mencoba berbaikan dengan suaminya dan sekarang kau malah terdengar seperti mengharapkan pernikahan Ino bubar."
"Kau menganalisa terlalu dalam, Aku hanya menawarkan hospitality bagi temanku yang cantik ini."
"Beginilah lelaki Ino, Modus melulu. Syukur Shikamaru terlalu malas untuk menggoda wanita."
Ino terkekeh, "Terima kasih dukungannya teman-teman."
.
.
Ino menonton TV di ruang tamu sambil menunggu suaminya pulang. Itachi selalu pulang larut malam. Terkadang Ino tak tahu kapan suaminya datang karena ia telah terlelap dan ketika pagi tiba biasanya Itachi akan meninggalkan rumah dengan marah. Ino sadar ia bersikap menyebalkan tapi Itachi juga sama saja. Setelah berbicara dengan Gaara dan Temari Ino sadar sebaiknya ia memperlakukan Itachi sebagai sekutu bukan musuh.
Pintu depan terbuka, Itachi pulang ke rumah dengan tampang lelah dan kusut. Ia sengaja tinggal hingga larut malam di kantor untuk menghindari istrinya. Ia tak tahu bagaimana harus berhadapan dengan Ino. Ia tak suka membentak gadis itu. Ia juga tak suka melihatnya menangis tapi Ino selalu bisa membuatnya murka kehilangan semua kontrol emosi dan kesabaran yang telah ia latih bertahun-tahun.
Pria itu mendengar suara televisi menyala. Ia melintasi ruang tamu dan menemukan istrinya meringkuk di sofa. Ino sepertinya ketiduran. Itachi menatap wajah gadis yang ia nikahi dua bulan lalu. Dia begitu muda. Rasa bersalah menusuk ulu hatinya. Bila saja ia bisa memutar waktu ia tak akan membiarkan ini terjadi pada Ino. Kecerobohan mereka harus di bayar mahal. Terutama oleh gadis itu. Ia ingin mendukung Ino, membantunya menjalani kehidupan barunya tapi wanita itu begitu keras kepala menolaknya membuat dirinya merasa frustrasi, marah dan tak berguna.
Mata gadis itu mengerjap lalu membuka. Ia melihat suaminya sedang menatapnya. Bukan dengan pandangan keras dan dingin yang ia selalu berikan setelah hari pernikahan mereka. Bukan pandangan marah yang ia lontarkan dalam setiap perdebatan mereka. Ino teringat cara pria itu menatapnya saat Ino menghabiskan malam di pelukannya.
"Itachi...kau baru pulang?"
Pria itu mengangguk, "Mengapa kau tidur di sofa? Kau bisa masuk angin."
Ino mendengar nada khawatir dalam suara pria itu. Ternyata Itachi memedulikannya.
"Aku ketiduran saat aku menunggumu pulang."
"Kau menungguku untuk apa?"
"Kita perlu bicara."
"Bukankah kita berbicara setiap hari dan kau tahu semuanya berakhir menjadi perdebatan emosional. Aku terlalu lelah untuk ini. Aku hanya ingin tidur sekarang."
"Karena itu kita harus bicara. Kau dengarkan aku dulu. Kita tak bisa begini selamanya."
"Jadi apa maumu? Memintaku menceraikanmu? Tidak akan." Pria itu melangkah ke kamar tidur. Berharap menyudahi percakapan mereka.
Ino jadi marah. Itachi tak mendengarkannya sama sekali. Ia mengikuti pria itu. "Dasar Bodoh, Kapan kau akan mendengarkanku? Aku hanya ingin minta maaf."
Langkah Itachi berhenti seketika. Ia berbalik menghadap Ino yang tampak akan menangis. Selama ini Ino tak pernah minta maaf. Ia bertingkah seolah semua yang harus ia jalani adalah salah Itachi. Es di hatinya mencair, ia juga lelah berpura-pura acuh padahal ia mengkhawatirkan Ino.
"Untuk apa kau minta maaf?"
"Banyak hal, tapi aku lelah kita bertengkar terus-menerus. Aku pikir pada akhirnya kau akan menyerah dan menceraikanku. Tapi kau juga keras kepala."
"Aku tak ingin menceraikanmu."
"Aku sudah tahu itu. Aku ingin kita berbaikan dan memulai dari awal. Aku tak mengerti mengapa kita jadi begini." Wajah Ino tertunduk
Itachi duduk di pinggir tempat tidur. Ia menarik tangan Ino untuk duduk di sebelahnya
"Itu karena kita berdua sama-sama bersikukuh dan saling menyalahkan. Aku juga minta maaf bersikap dingin dan kasar padaku. Aku hanya frustrasi kau terus menerus menolakku. Aku tak pernah ingin kau membenciku."
"Bisakah kita memulai lagi?, Apa kau mengerti tak mudah bagiku untuk menjalani semua ini?. Aku baru lulus SMA dan sekarang aku diharapkan menjadi istri dan ibu. Menikahi pria yang tak sepenuhnya aku kenal. Ini membuat aku merasa tertekan belum lagi aku merasa kehilangan teman-teman dan hidupku."
"Aku mengerti ini sulit, karena itu Ino. Kau harus percaya padaku. Aku menikahimu karena aku ingin mendukung dan membantumu melewati ini. Membantumu merawat anak kita tapi kau malah bersikap seolah pernikahan kita adalah sebuah kutukan. Kau tak perlu belajar mencintaiku bila kau tak mau. Tapi aku mohon cobalah untuk bisa akur demi anak ini. Apa kau ingin ia tumbuh besar melihat orang tua yang cekcok setiap hari?"
Ino menolehkan wajahnya untuk menatap Itachi, entah kapan telapak tangan pria itu menggenggam tangannya. "Itu juga yang aku pikirkan. Meski aku tak menginginkan anak ini tapi aku tetap akan peduli. Aku tak ingin dia tumbuh dalam rumah tangga yang tak harmonis. Aku mungkin masih bersikap kekanak-kanakan dan mulai sekarang aku siap mendengarkanmu."
Itachi mengambil selembar kertas dari tasnya dan menyerahkannya pada Ino. Gadis itu menerimanya dan membaca surat kelulusan dari universitas yang ia pilih.
"Kau tidak marah?"
"Aku kesal kau tak memberitahuku, tapi aku tak ingin mendikte hidupmu. Kalau kau ingin kuliah silakan saja. Asal jangan mengabaikan prioritasmu Ino. Aku akan marah bila kau mengabaikan anak kita hanya untuk fokus pada ambisimu."
"Lalu bagaimana dengan dirimu? Apakah kau akan punya waktu untuk mengurus kami."
"Aku sudah menetapkan prioritas Ino. Keluargaku nomor satu baru perusahaan dan aku harap kau tahu prioritasmu."
"Aku hanya tak ingin ketinggalan dengan yang lain. Aku mengerti pasti sulit kuliah sambil punya bayi."
"Kau bisa menunda kuliahmu dan bila kau ingin bekerja kau bisa langsung masuk di perusahaan ayahmu dan suatu hari mengantikkannya menjadi CEO."
"Serius?"
"Beban pekerjaanku sudah banyak dan bila kau memang capable dan credibel mengapa tidak. Malam sudah larut sebaiknya kita tidur."
Ino menurut, Ia membaringkan dirinya di sisi kiri ranjang dan menarik selimut. Tak lama Itachi kembali dan bergabung dengannya.
"Apa kau pikir kita bisa mencoba untuk saling percaya?" Tanya Ino memunggungi pria itu.
"Apa pun bisa terjadi kalau kita mau. Aku rasa kita harus belajar berkomunikasi dengan lebih baik dan mulai berkompromi."
"Selamat tidur Itachi."
"Selamat tidur Ino."
Itachi mematikan lampu tidur yang terletak di atas meja nakas. Dia meletakkan kepalanya di bantal, merasa positif dan kembali di penuhi oleh harapan. Hanya dengan sebuah kata maaf semua rasa kesal dan kemarahannya menguap. Ia merasa lega sangat lega.
Sebuah dengkuran halus tertangkap oleh telinganya. Sepertinya Ino telah terlelap. Pria berambut raven itu beringsut mendekati tubuh Ino yang berbaring ke samping. Satu-satunya posisi tidur yang membuat dirinya nyaman dengan perut besarnya. Itachi melingkarkan sebelah tangannya di pinggang gadis itu dengan posesif. Menutup matanya dengan lelah kemudian jatuh tertidur. Malam itu dia tidur dengan nyenyak dengan Ino dalam pelukannya. Semoga saja dengan keterbukaan di antara mereka situasinya akan membaik.
.
.
Ino merasa jauh lebih bahagia hari ini. Untuk pertama kalinya mereka berdua terbangun dengan seulas senyum. Gadis itu sibuk, menuang telur dan tepung ke dalam mangkuk untuk membuat pancake. Ia berjinjit berusaha membuka rak dapur untuk mengambil gula. Tiba-tiba saja Itachi sudah berdiri di belakangnya mengambil stoples itu terlebih dahulu.
"Ino, Kau harus hati-hati." Pria itu menyerahkan stoples gula pada Ino.
"Hanya mengambil gula, kau terlalu khawatir." Ino melanjutkan membuat adonan dan mulai memanggang.
Itachi membuat secangkir kopi untuk dirinya dan menuangkan segelas susu untuk Ino, Ia menata pisau dan garpu di meja dan mengambil sirup maple. Setelah tak ada lagi yang bisa ia kerjakan Itachi duduk di meja makan mungil yang terletak tak jauh dari dapur dan menatap istrinya memasak. Ia mendesah lega. Sejauh ini belum ada pertengkaran, masih terlalu awal memang untuk mengatakan hari ini akan berjalan dengan damai tapi setidaknya setelah pembicaraan mereka semalam mereka bisa mencoba menjadi akur.
Ino datang membawa dua piring di kedua tangannya. Potongan pancake yang masih hangat terlihat lezat. Gadis itu meletakan piring di atas meja. "Ayo sarapan."
"Ino, Kapan lagi kau akan bertemu dokter kandungan?"
"Besok lusa, Mengapa bertanya?"
"Aku ingin menemanimu. Selama ini aku melewatkan kunjungan bulanan ke dokter."
"Kau tak melewatkan sesuatu yang penting Itachi, semua baik-baik saja."
"Tapi aku juga ingin tahu."
"Oke, Luangkan waktu lusa jam 9 pagi. Aku juga harus bertanya bayinya laki atau perempuan. Kita perlu memberinya nama."
"Ah, Kau benar. Tidak terpikir olehku."
Ino memainkan pancake di piring dengan sendoknya. Tiba-tiba saja nafsu makannya menghilang. "Apa yang harus kita lakukan Itachi?. Aku terlalu sibuk bertengkar denganmu dan mengurusi ujian masuk. Anak ini akan lahir dua bulan lagi dan kita belum mempersiapkan apa-apa. Aku bahkan tak tahu bagaimana cara merawat bayi."
"Kau benar, kita tak tahu cara menjadi orang tua. Tapi belum terlambat untuk mengikuti kelas pre-natal. Lusa kita harus mencari tahu."
"Anak ini belum lahir saja aku sudah merasa menjadi orang tua yang buruk."
"Jangan berkecil hati Ino, Kita bisa meminta bantuan ibumu dan Ibuku. Kita juga bisa mencari pengasuh. Ada hal lain yang juga tak kalah penting."
"Apa?"
"Aku hendak membeli rumah. Kita tak punya cukup ruang di apartemen ini. Apa kau mau melihat-lihat denganku besok?"
"Kau akan mempertimbangkan pendapatku?"
"Tentu saja bukankah itu yang kita bicarakan semalam? Lagi pula rumah ini bukan hanya rumah untukku tapi untuk kita. Jadi kau pun harus menyukainya."
"Baiklah."
"Aku berangkat ke kantor sekarang, kalau kau mau pergi jangan menyetir sendiri oke. Panggillah sopir." Pria itu menghabiskan kopinya lalu beranjak ke pintu.
Tumben Ino ikut mengantar pria itu. Biasanya ia bersikap masa bodoh. Ia bahkan tak pernah membuatkan Itachi sarapan. Ini hari pertama ia merasa mereka adalah pasangan. "Apa kau membenciku?" Gadis pirang itu bertanya sebelum Itachi melewati pintu.
"Aku tak akan pernah bisa membencimu Ino, Jangan lupa kau satu-satunya gadis yang membuatku seperti orang gila, muncul di klub tiap malam hanya untuk berharap bisa bertemu denganmu lagi."
Ino tersenyum, pria yang ia kenal telah kembali sepertinya. Ternyata hanya butuh satu kata maaf untuk memulai perjalanan yang lebih baik. "Aku begitu berkesan ya?"
"Tak hanya berkesan, kau juga pembuat masalah dan keras kepala." Itachi menatap Ino. Ketika gadis itu tak sedang marah-marah dan menancapkan racun dan cakarnya. Dia terlihat begitu cantik dan cemerlang. Itachi berbalik lagi untuk mendekati Istrinya. "Boleh aku memegang perutmu?"
"Tentu saja."
Untuk pertama kalinya Itachi meletakkan tangannya di perut Ino yang membesar. Entah mengapa Jantung Ino jadi berdebar-debar.
"Papa, Pergi dulu. Ya" Pria itu pamit pada sang jabang bayi. Tiba-tiba saja ia merasakan gerakan dari perut Ino dan ia terkejut. "Apa itu tadi?"
"Bayinya bergerak Itachi. Anak ini sangat aktif. Kau bisa melihatnya saat kita ke dokter kandungan nanti."
"Ok, aku tak sabar melihatnya. Aku berangkat ya."
"Hati-hati dan aku harap kau tak pulang terlalu malam. Aku bosan makan sendirian. Keluh Ino."
"Aku akan pulang sebelum jam tujuh." Pria itu pun melewati ambang pintu. Langkah kakinya terdengar menjauh.
Ino mengelus perutnya, "Hey baby, Apa aku senang papa dan mama mencoba untuk akur? Ini semua untuk dirimu loh."
Pertanyaan Ino balas oleh tendangan yang cukup keras. Membuat Ino terkejut dan terkekeh. "Sepertinya begitu."
.
.
To be continued.
