Disclaimer : All Characters belong to Masashi Kishimoto.

Warning : suicidal though.

Perfect, Imperfect

.

.

Chapter 13

.

Motherhood.

.

.

Sebuah rumah yang terbilang cukup besar berdiri megah di tengah-tengah taman yang tertata dengan rapi. Pepohonan mulai ditumbuhi tunas-tunas daun kehijauan tetapi nuansa musim dingin masih mendominasi meski kini telah memasuki awal bulan Maret.

Sudah tiga bulan Ino menikah dan pernikahan yang baru seumur jagung itu berlalu dengan penuh gejolak. Pertikaian, Kemarahan, Sesal, Keputusasaan, Kesedihan, segala emosi negatif yang ia rasakan menjadi pertanda betapa rapuhnya pernikahan mereka. Meski sekarang dia dan Itachi berusaha untuk menjalin kebersamaan. Berusaha untuk kompak dan menemukan tujuan bersama tetapi jurang itu masih ada meski kini telah dijembatani dengan penerimaan dan maaf. Jelas dimata Ino, Itachi memiliki perasaan untuknya. Dia bisa mengatakan suaminya mencoba membuat dirinya nyaman, tetapi dia sendiri tak tahu apa yang di rasakannya untuk Itachi selain ketertarikan fisik.

Ino menyesap teh dari cangkirnya. Ia tersenyum mengingat kecanggungan pria itu ketika menemaninya mengikuti kelas prenatal atau kegembiraan pria itu tatkala melihat anak mereka dari layar ultrasound. Mungkin Itachi tak mengharapkan kehadiran seorang anak dalam hidupnya tapi Ino bisa melihat cinta pria itu pada bayi yang bahkan belum lahir ke dunia. Hal itu membuat Ino sesak karena dia sendiri tak memiliki sentimen yang sama tentang bayi dalam perutnya. Salahkah dia bila dia merasa terbebani?. Tiba-tiba perutnya terasa sakit. Gadis berambut pirang itu meletakkan cangkir tehnya di meja menarik nafas panjang menanti rasa sakit yang tajam itu menghilang.

Rasa leganya tak bertahan lama karena sepuluh menit kemudian perutnya menjadi mulas. Ino memutuskan berjalan bolak-balik di ruang tamu rumah barunya. Dia kembali merasakan kontraksi, tapi memang hal itu selalu terjadi dalam satu bulan terakhir. Sekarang kandungannya memasuki bulan terakhir. Dokter mengatakan bayi kemungkinan akan lahir dua minggu lagi. Jadi Ino berpikir mungkin yang ia alami sekarang hanya kontraksi palsu.

Ibunya dan Mikoto menawarkan diri untuk menemaninya menjelang persalinan tapi Ino menolak. Ia tak ingin mereka tahu betapa canggung rumah tangganya. Dia dan Itachi masih sering berbeda pendapat yang ujung-ujungnya menjadi perdebatan. Bagusnya pertengkaran mereka kali ini bersifat konstruktif karena mereka tak ingin lagi dengan sengaja saling menyakiti dan menghukum satu sama lain. Meski tak bisa Ino ungkiri rasa kesal selalu ada tapi mereka berdua sekarang lebih mudah menerima dan memaafkan.

Ino masih tak bisa melepas sikap keras kepalanya, meski sekarang Itachi bersikap melunak dan belajar untuk mengerti cara berpikirnya. Dia senang Itachi belajar memaklumi kekurangannya. Bagaimanapun pria itu tak bisa menuntut Ino langsung menjadi dewasa. Apa yang ia tahu menjadi orang dewasa? Hingga sembilan bulan lalu ia hanya seorang remaja yang bahkan tak pernah punya pacar dan sekarang ia harus menerima kenyataan hidup bersama seorang pria yang bukan kerabatnya dan menanti kelahiran seorang putra.

Ino merasa aneh, Dari tadi sakit perutnya datang dan pergi. Wanita itu duduk di sofa memegangi perutnya kebingungan karena semakin lama kontraksinya lebih lama dan lebih sakit dari sebelum-sebelumnya. Apa bayinya akan lahir sekarang?, Apa yang harus ia lakukan? Ia bahkan tak mempersiapkan tas untuk dibawa ke rumah sakit.

Tiba-tiba saja, tanpa bisa dikontrol Ino merasa ada cairan mengalir membasahi celana dalamnya. Dengan tergopoh-gopoh ia berjalan ke kamar mandi untuk memeriksa apa itu darah atau bukan dan ternyata memang benar. Ia jadi ketakutan sesuatu tengah terjadi dengan bayinya.

Ia menelepon sang suami, dengan panik sambil meringis menahan sakitnya, Menyebalkan sekali di mana pria bodoh itu di saat-saat genting seperti ini. Ino kembali duduk di sofa mencoba menghubungi suaminya yang tak mengangkat panggilannya.

Itachi sedang melakukan presentasi dalam rapat dengan klien baru perusahaan. Mata awas Madara menatapnya dengan rasa tidak puas. 'Apa lagi yang salah kali ini' pikir sang pewaris cemas. Ia tak habis pikir mengapa sang Kakek tidak pensiun saja. Ayah dan dirinya lebih dari cukup untuk mengelola perusahaan. Itachi baru melihat ponselnya bergetar di atas meja.

"Maaf, Saya memotong presentasi ini sebentar." Ia meraih ponselnya keluar dari ruang rapat. Lima panggilan tak terjawab dari istrinya. Apa yang terjadi?. Cepat-cepat ia menelepon Ino kembali.

"Ada apa?"

Pertanyaan singkat Itachi dibalas oleh rintih kesakitan. Pria itu jadi pucat dan panik, "Ino jawab aku, apa kau mendengarku!" teriak pria itu tak sabar.

"Aduh.., Itachi sepertinya bayinya mau lahir."

Itachi menarik nafas panjang mencoba untuk tenang, "Kau di mana sekarang?"

"Aku di rumah."

"Aku akan menjemputmu sekarang, sepuluh menit lagi aku sampai. Telepon orang tuamu. Aku akan memberitahu Ibuku."

Itachi segera meninggalkan kantor, Ia melupakan bahwa dia sedang memimpin rapat. Pria itu berlari menuju tempat parkir diiringi pandangan heran karyawan yang berpapasan dengannya. Kepanikan melanda dirinya. Bukankah dokter bilang masih ada dua minggu lagi. Mengapa bayinya lahir sekarang?. Ia menginjak pedal gas dalam-dalam, meluncur dengan kecepatan tinggi ke rumahnya.

"Ino..Ino.." Ia berteriak memasuki rumah dan menemukan istrinya berjalan tertatih-tatih ke pintu sambil memegangi perutnya yang besar. Wajah wanita itu tampak kesakitan. Tanpa pikir panjang Itachi langsung menggendong istrinya ke mobil dan membawanya ke rumah sakit.

"Itachi, Aku tak membawa apa pun" Ucap gadis itu di sela-sela kontraksinya.

"Jangan dipikirkan aku akan mengurusnya nanti. Yang penting kita ke rumah sakit."

Itachi mengendong gadis itu ke ruang gawat darurat. Seorang petugas langsung menghampirinya. "Ada apa tuan?"

"Sepertinya istriku akan melahirkan" Ucap Itachi panik. Ia menurunkan Ino dan seorang perawat segera memapah gadis pirang itu dan membaringkannya di ranjang rumah sakit.

"Tuan, Biar kami urus semuanya. Anda bisa menyelesaikan administrasi di kantor depan." Dengan enggan Itachi meninggalkan tempat itu.

Ino dibawa dalam ruang perawatan, Mereka mengganti pakaiannya dengan pakaian rumah sakit. Setelah pemeriksaan singkat yang dia lalui, Dokter memberitahunya proses persalinan masih panjang karena ia masih dalam fase bukaan dua. Ino mencoba tiduran di ranjang tapi perutnya terus menerus merasa mulas. Ia mencoba berjalan-jalan di sekeliling ruang perawatan Vip itu.

Pintu ruangan terbuka, Itachi muncul di sana, dasi dan jasnya tersampir di lengan. Ia menyisir rambut hitamnya dengan jari dan melangkah mendekati sang istri. "Bagaimana keadaanmu Ino?"

"Mulas, Rasanya seperti orang diare. Urgh.."

"Kenapa kau tak tiduran saja?"

"Sakitnya jadi lebih terasa. Biar saja aku jalan modar-mandir. Aku ingin anak ini segera lahir agar sakitnya berakhir."

Itachi memilih duduk di kursi, ia menatap istrinya dengan diam. Alis Ino akan berkerut setiap kali ia merasakan sakit dan Itachi jadi merasa prihatin. Melahirkan anak sangat tidak mudah dan dia sebagai pria tak akan pernah mengerti perjuangan wanita.

"Mengapa kau masih di sini?, Kembalilah ke kantor. Aku akan baik-baik saja."

"Aku tak akan meninggalkan istriku sendirian. Pekerjaan di kantor bisa menunggu."

"Bukannya kau ada rapat penting."

"Tidak sepenting kelahiran putraku." Itachi berdiri mendekati Ino dan menangkup wajah gadis itu dengan kedua tangannya. "Maafkan aku telah membuatmu mengalami semua ini."

Ino meletakan telapak tangannya di atas tangan Itachi. Tangan pria itu besar dan hangat menyentuh pipinya. "Jangan khawatir, Berdoa saja agar semuanya berjalan lancar."

Mereka saling tatap, dengan tubuh begitu dekat. Itachi ingin memeluk Ino dan memberitahunya ia akan selalu mendukungnya dan menemaninya. Tetapi pria itu malah diam membisu tenggelam dalam mata aquamarine yang tak pernah menyembunyikan emosi sang pemiliknya. Itachi melihat kecemasan membayang di sana.

"Tentu Ino, Aku pasti berdoa untuk keselamatanmu dan anak kita." Momen singkat di mana mereka merasa saling terhubung sirna dengan cepat ketika suara ketukan di pintu memecah keheningan menyejukkan di antara mereka.

Itachi melepaskan tangannya dari sang istri dan membuka pintu. Inoichi dan Istrinya datang. Keduanya juga tampak cemas.

"Bagaimana Ino?" Fuyuki Yamanaka langsung menanyakan kabar putrinya.

"Ino baik-baik saja. Dokter bilang proses persalinannya masih lama." Jelas Itachi. "Bisakah kalian menjaga Ino? Aku perlu mengepak barang dari rumah."

"Tak masalah, Nak Itachi. Biar kami yang berjaga di sini." Jawab Inoichi.

"Terima kasih, Aku akan segera kembali." Pria itu pun pergi.

"Bagaimana perasaanmu, Nak?"

"Ibu, Aku takut tak bisa melewati semua ini. Apa rasanya akan sakit sekali? Baru bukaan dua saja sudah begini sakitnya." Ucap gadis itu meringis.

Ibunya mengelus rambut Ino, " Aku tak tahu sayang, Aku melahirkanmu dengan operasi cesar. Pinggulku terlalu sempit untuk melahirkan dengan normal jadi aku tak tahu sakitnya."

"Aku pilih di operasi saja kalau begitu." Keluh gadis itu.

"Ino, Kau tak boleh begitu. Ayolah nak, jangan ciut nyali. Sebagian besar wanita di dunia mengalami proses melahirkan."

"Entahlah bu, Aku selalu merasa tak siap."

"Ino, Apa Itachi memperlakukanmu dengan baik?" Tanya Ayahnya.

"Tentu saja ayah, Dia pria yang baik dan bertanggung jawab."

"Apa kau bahagia?"

Ino tersenyum tipis, "Aku tak tahu, tapi aku mencoba ayah."

Ino mengernyit tatkala perutnya mulas-mulas kembali.

Ketika Itachi kembali, air ketuban Ino sudah pecah. Ibunya juga sudah datang ke rumah sakit. Selama enam jam Ino kesakitan. Wanita itu menggeliat dan merintih kesakitan. Itachi merasa sangat bersalah.

Perawat mendorong Ino ke ruang bersalin. Salah seorang dari mereka bertanya apa Itachi akan menemani istrinya. Tanpa ragu pria itu ikut masuk ke sana.

Ino duduk di kursi bersalin. Keringat membanjiri dahinya. Tubuhnya terasa remuk dan tulang pinggulnya seolah lepas. Ia menggenggam tangan Itachi mengikuti aba-aba dokter untuk menarik nafas dan mendorong. Ia merasa ingin mati saja.

"Brengsek...aku membencimu Itachi." Teriak gadis itu di sela-sela rasa sakitnya.

Itachi meringis, memang dia pantas dihujat. Ino nyaris meremukkan tangannya. "Ayo Ino. Kau bisa. Sedikit lagi sayang." Pria itu berusaha menyemangati Ino.

"Ayo nyonya, Dorong lagi."

Ino kembali menarik nafas seperti yang telah diajarkan di kelas prenatal. Dia mendorong dan mendorong. Meneriaki dan memaki-maki suaminya yang merupakan penyebab utama mengapa ia harus mengalami hal ini.

Itachi menyeka keringat Ino. Wajahnya pucat melihat gadis itu berjuang melahirkan anak mereka. Andai saja Ia bisa membantu. Dia akan senang menanggung rasa sakit yang sekarang sedang Ino rasakan.

"Kepalanya sudah tampak, Dorong sekuat-kuatnya sekarang."

Ino menuruti sang dokter. Tenaganya telah habis. Ia sudah lelah tapi ia harus mengeluarkan anak ini dari rahimnya. "Itachi kalau kau berani membuatku hamil lagi aku akan membunuhmu. Kau dengar itu...Arrghh.."

Ino langsung merasa lega begitu sang bayi keluar dari tubuhnya. Rasa sakit yang ia derita lebih dari enam jam menghilang begitu saja. Suara tangis bayi memenuhi ruangan. Dokter memotong tali pusar dan menyerahkan bayi mungil itu pada Ino.

Gadis pirang itu menatap bayi mungil dalam pelukannya. Kulitnya merah dan keriput. Ia tampak begitu kecil, mata sang bayi masih belum terbuka. Tangannya mengepal. Rambut bayi itu berwarna hitam seperti ayahnya.

Dia bersyukur bayinya tampak sehat tetapi ia tak merasa bahagia. Ino ketakutan, Apa yang akan ia lakukan dengan anak ini?.

Itachi mencium kening Ino dengan rasa terima kasih. Ia melihat sendiri perjuangan wanita itu untuk melahirkan anaknya.

"Bukankah dia terlihat seperti dirimu?" Tanya Ino pada suaminya.

"Ya, Aku rasa dia mewarisi gen Uchiha." Nada bangga terdengar dalam suara Itachi.

Setelah kontak pertama itu, Perawat mengambil sang bayi dan membersihkannya. Ino di bawa kembali ke ruang perawatan. Ia merasa lelah. Ino hendak menutup matanya tapi perawat datang lagi dengan bayi yang sudah memakai popok dan pakaian. Perawat bertubuh gemuk itu menyerahkan sang bayi pada Ibunya untuk disusui.

Ino tak sadar akan asi yang mulai mengalir setelah putranya lahir. Dengan bantuan suster itu ia berhasil menemukan posisi yang nyaman untuk menyusui.

Gadis itu menatap sang bayi yang minum dengan rakus dari payudara ibunya dan Ino tak merasakan sedikit pun kehangatan. Apa yang salah dengan dirinya? Bukankah ini adalah momen indah seorang ibu? Dengan penuh cinta menyusui bayinya. Tapi mengapa ia malah merasa tak nyaman. Apa ada yang salah dengan dirinya? Mengapa ia tak merasakan hal-hal yang wanita lain alami. Ia merasa tak memiliki koneksi dengan sang bayi.

Setelah anaknya puas menyusu dan tertidur, Ino memanggil suaminya yang dari tadi duduk di kursi menemaninya sambil mengerjakan sesuatu di laptop.

"Itachi, Tolong panggilkan perawat. Mereka bisa membawa anak ini ke ruang bayi." Ia hanya ingin beristirahat sendirian. Ia merasa sangat lelah.

Itachi menuruti keinginan Ino. Bayi mungil itu pun. Di bawa pergi. Entah mengapa Ino langsung merasa lega. Ia menggulingkan badannya membelakangi sang suami yang masih berada di sana. Gadis berambut pirang itu menutup mata. Dia menangis tanpa suara dan sang suami tak menyadarinya.

.

.

.

Dua bulan sudah Ino kembali dari rumah sakit. Ia merasa hidupnya begitu berantakan. Meski seorang baby sitter datang untuk membantunya dari pagi hingga sore tetap saja Ino kelelahan dan kebingungan. Ibunya dan sang mertua selalu sempat mengunjunginya tapi Ino merasa kesepian. Ia merasa terkurung oleh keberadaan bayi yang diberi nama Arashi oleh ayahnya.

Dia bergadang tiap malam untuk menyusui bayi yang tak pernah berhenti lapar dan buang air. Hidup hanya berkisar pada meredakan tangis Arashi yang tidak ada hentinya. Ia membenci hidupnya dan ia membenci dirinya yang tak bisa menjadi ibu-ibu normal yang dengan senang hati berkorban demi buah hati mereka. Semua ini terasa begitu berat, Sangat berat.

Ino berjalan ke kamar tidurnya meninggalkan sang bayi yang telah terlelap di boks bayinya. Ia dan Itachi tidak tidur seranjang. Mereka sepakat untuk berusaha menjadi teman dan mencoba untuk saling memahami sebelum terjun lebih jauh. Ino tak ingin mengulang kesalahan yang sama dengan mengikuti nafsunya dan tercebur ke dalam sumur yang tak bisa ia daki kembali dan selamanya tenggelam.

Ia menatap bayangannya di cermin, Bayangannya seolah menampilkan gadis lain. Bukan dirinya. Rambut pirangnya yang indah kini kusam dan kusut, wajahnya kian pucat dan layu. Lingkaran hitam tampak permanen di matanya yang lelah. Perut rata dan mulusnya kini tinggal kenangan. Ia masih tampak seperti wanita hamil lima bulan. Tubuhnya penuh dengan sretch mark sementara payudaranya bengkak dan terus menerus meneteskan asi. Inikah dia sekarang? Ke mana perginya sang primadona Royal Konoha High School. Apakah dia masih gadis yang sama dengan gadis lincah, periang dan jadi panutan siswa lainnya?

Ino tak tahu siapa dirinya lagi. Ia menghempaskan dirinya ke kasur dan menangis sejadi-jadinya. Mengapa ia merasa tak bahagia. Bukankah setiap Ibu berbahagia dan mencintai anaknya. Mengapa ia tidak?. Dia memang tak seharusnya punya anak. Ino ingin bercerita tentang perasaannya, tentang kesedihannya atau bagaimana ia merasa seluruh kehidupannya tiba-tiba dirampas. Tapi ia tidak bisa karena mereka hanya akan memberitahu Ino betapa egois dan tidak bersyukurnya dia. Mereka tak akan memberikan simpatinya karena dimana-mana wanita sudah seharusnya bahagia mendapatkan berkah seorang anak. Lagi-lagi dia akan dihakimi atas perasaan yang tidak bisa ia kontrol. Siapa yang ingin merasakan hal seperti ini. Ia ingin berpikir positif tapi tidak sanggup.

.

Itachi menatap jam tangannya. Pukul delapan malam. Ia membereskan semua dokumennya dan berangkat pulang. Dia bahkan belum makan malam. Kian hari perusahaan Uchiha semakin besar begitu pula dengan pekerjaan dan tanggung jawabnya. Sebenarnya ia ingin pulang lebih cepat, apa daya semua dokumen ini tidak dapat di tunda. Seharian ia memikirkan Ino dan Arashi. Apa mereka baik-baik saja di rumah?

Begitu Ia sampai di rumah. Tak ada yang menyambutnya. Ia memasuki rumah yang tak terkunci, Begitu sunyi dan gelap. Mengapa Lampu ruang tamu tak menyala? Ia pun melangkah mencari sakelar. Ketika ruangan terang oleh cahaya ia menemukan Ino terlelap di sofa dan bayi Arashi tergolek di bassinet yang Ino letakkan di dekatnya tampak tertidur pulas. Ia menunduk untuk menyentuh wajah istrinya yang tampak begitu letih. Semenjak pulang dari rumah Sakit gadis itu belum pernah menginjakkan kaki di luar rumah dan Itachi menyadari Ino tak pernah tersenyum. Bahkan wajah lucu bayi mereka pun tak membuatnya tersenyum.

Sentuhan lembut di pipinya membuat Ino bergidik dan mengerjap. Mata lelahnya terbuka hanya untuk melihat Itachi berdiri di hadapannya.

"Maaf, Aku tak bermaksud membangunkanmu."

"Tak apa, Aku ketiduran. Kau baru pulang?" Ino tak tahu jam berapa ini. Tapi pengasuh Arashi sudah pulang dari tadi. Pastinya ini sudah larut.

"Iya, pekerjaanku kian hari kian bertambah, Andai saja Sasuke mau bekerja untuk perusahaan mungkin aku akan sedikit terbantu. Bagaimana harimu?" pria itu melepaskan dasi dan jasnya untuk duduk di sebelah Ino.

Ino mengucek matanya, "Dari sore tadi aku sibuk mengendong dan menenangkan anakmu yang tak henti-hentinya menangis. Akhirnya dia tidur dan aku ketiduran. Aku bersama Arashi seharian, tak mungkin aku pergi ke mana-mana."

"Apa kau masih berniat memberikannya asi eksklusif? Kau akan bebas ke mana-mana bila kau mengajarkan Arashi minum dari botol. Untuk apa kita membayar pengasuh kalau kau terjebak di rumah."

" Mei hanya akan bekerja sementara. Apa kau tahu aku berusaha menjadi ibu yang baik dan kau baru saja mengimplikasikan aku tak kompeten mengurus Arashi. Apa menurutmu dia akan lebih baik bila diurus pengasuh sepenuhnya?" Entah mengapa Ino jadi emosi, kemarahannya tak bisa dikontrol.

Itachi terkejut dengan reaksi Ino. Demi Tuhan ia tak punya keinginan untuk bertengkar dengan Ino, Ada apa dengan istrinya? Semenjak kelahiran anaknya Itachi sama sekali tak bisa menduga mood gadis itu dan semakin hari mood Ino semakin memburuk.

"Aku tak bermaksud seperti itu. Aku hanya ingin memberikan solusi. Kau tampak tak bahagia."

"Begitu, Aku tahu harusnya aku berbahagia. Aku menjadi istri seorang pria kaya dan berpengaruh serta memiliki bayi yang lucu. Bukankah kehidupanku terdengar begitu sempurna. Tapi aku lelah Itachi, Sangat lelah." Ino menunduk menatap tangan yang ia letakkan di pangkuan.

"Mengapa, Bukankah kita punya pengasuh dan pelayan yang membantumu?"

"Kau tentu tak mengerti Itachi. Siapa yang harus terbangun tiap malam untuk menyusui dan mengganti popok?, Siapa yang menenangkan Arashi dan mengendongnya berjam-jam agar dia diam. Aku melakukan semua yang aku bisa dan di mana dirimu?. Pernahkah kau membantuku mengganti popok anakmu sekali saja?. Tidak, Kau tertidur dengan pulas di kamarmu seolah tak mendengar tangisannya."

"Ino, Apa kau tak mengerti aku juga bekerja di kantor dari pagi hingga larut malam. Maaf bila kau merasa aku tak membantumu."

Ino terisak, tubuhnya terguncang-guncang karena menangis. Sepertinya perdebatan mereka membangunkan sang bayi yang kini ikut menangis dan menjerit. Ino bergerak cepat, mengendong Arashi dan menepuk-nepuk ringan pantat bayi itu sambil berkeliling. Dengan cemas gadis bermata aquamarine itu membisikan kata maaf pada sang bayi.

"Maafkan mama, Mama bodoh sudah membuatmu terbangun." Air mata masih menggenang di mata Ino. Setiap kali anaknya menangis ia jadi takut dan cemas. Ia merasa semakin tak berguna dan melakukan segalanya dengan salah karena sang bayi tak kunjung berhenti menangis.

Itachi tak tahu harus melakukan apa. Dia merasa pedih melihat kesedihan Ino. Ini semua salahnya. Dia akan memberitahu ayah dan kakeknya ia tak bisa mendedikasikan seluruh waktunya untuk perusahaan. Ino lebih membutuhkannya.

Itachi melangkah mendekati istrinya, "Biar aku saja yang mengendongnya. Kau duduk saja."

Ino menyerahkan sang bayi pada suaminya. Itachi meniru apa yang Ino lakukan dan dalam sekejap tangisan Arashi mereda. Gadis itu kembali duduk di sofa. Bahunya tersuruk dan menghela nafas panjang sebelum mulai berkata. "Aku tak akan pernah bisa menjadi Ibu yang baik bagi Arashi. Seharusnya aku tak pernah punya anak. Aku melakukan semuanya dengan salah."

"Ino jangan berpikir begitu, Mungkin kau hanya lelah. Bagaimana kalau sekarang kau tidur biar aku yang menjaganya."

"Kau memang tak mengerti Itachi, tak akan mengerti apa yang aku alami saat ini." Ino melangkah gontai menuju kamarnya. Ia menangis lagi. Gadis itu mencoba untuk tidur tapi pikiran-pikirannya membuatnya tetap membuka mata. Ia cemas bila Itachi menjatuhkan sang bayi. Ia cemas bagaimana bila bayinya berhenti bernafas saat dia tidur. Setelah beberapa waktu berguling-guling. Ino mendengar suara tangisan bayi. Ia cepat-cepat berlari menuju kamar bayi dengan panik. Ternyata Arashi masih tidur dengan nyenyak.

Suaminya muncul dengan sepiring sandwich. "Mengapa kau masih di sini. Bukankah aku menyuruhmu tidur."

"Aku tak bisa, aku merasa sangat cemas. Tadi aku merasa mendengar Arashi menangis."

"Ino kau harus mencoba tidur saat Arashi tidur. Ia akan baik-baik saja bersamaku. Apa kau sudah makan?"

Ino menggeleng lemah. Suaminya menyodorkan sandwich yang dia buat tapi Ino menolak. Gadis itu memutuskan kembali ke kamarnya. Itachi sedih melihat Ino seperti itu. Apa yang bisa ia perbuat untuk menolongnya. Ia memutuskan untuk tidur di ruang bayi. Karena kamarnya terletak di lantai dua ia tak pernah mendengar anaknya menangis. Setelah selesai makan dan berganti pakaian, Itachi merebahkan dirinya di kursi malas tempat Ino biasanya duduk untuk menyusui Arashi. Matanya berat dan rasa lelah melingkupinya pria itu pun tertidur meski dalam posisi kurang nyaman.

Itachi terlonjak, tangisan bayi membangunkannya. Ia bergegas mengecek popok anaknya tapi masih dalam keadaan kering. Ia mengendong dan menimang sang bayi tapi tangisnya menjadi semakin keras. 'Mungkin dia lapar' Pikir pria itu. Ia membawa anaknya menuju kamar Ino.

Gadis itu terbangun, dia bermimpi buruk. Tangisan Arashi yang menggema membuat mimpinya tadi tampak nyata.

"Itachi ada apa?"

"Mungkin anak ini lapar, Aku sudah berusaha menenangkannya tapi dia tetap menangis."

Ino memeluk sang bayi yang akhirnya diam begitu menemukan susunya.

"Ah, Dia memang lapar. Apa sering begitu? Terbangun setiap malam?"

"Iya, Arashi menyusu hampir tiap dua jam sekali dan tidur hanya sebentar-sebentar."

"Apa kau nyaman seperti itu?" Tanya Itachi yang kini duduk di ujung ranjang.

Ino menyusui bayinya sambil tiduran. Ia sebenarnya tak nyaman menyusui tapi bukankah semua wanita menginginkan menyusui bayinya eksklusif selama enam bulan. "Mau bagaimana lagi, Aku tak ingin menjadi Ibu yang buruk dengan memberikannya susu formula."

"Ya Tuhan Ino, Apa menjadi Ibu membuatmu begitu stres?, Sungguh jangan membebani dirimu dengan berusaha menjadi Ibu yang sempurna. Tak seorang pun mengharapkanmu menjadi seperti itu. Aku tak ingin kau tidak bahagia karena anak kita."

"Tolong jangan beritahu aku apa yang harus aku lakukan. Apa kau mau aku meninggalkan Arashi dan tak mau mengurusnya sama sekali?."

"Ino dengar, Aku tak suka melihatmu begini. Kau juga harus mengurus dirimu."

"Apa kau tahu Itachi aku merasa kesal padamu dan bayi ini. Kita punya anak dan lihatlah dirimu. Tak ada yang berubah. Kau tetap menjalani hidupmu seperti sedia kala bandingkan dengan aku, Yang harus merelakan kesempatan kuliah sia-sia. Tubuhku jadi gemuk begini, Aku tak punya teman lagi dan aku terikat pada tugasku mengurus bayi kita. Aku merasa tak berharga, Jelek dan Kesepian."

"Jangan berpikir buruk Ino. Tolong jangan. Aku selalu ingin membantumu tapi aku tak tahu harus bagaimana."

"Tinggalkan aku sendiri Itachi."

Pria itu menurut. Dia mencintai Ino dan pedih rasanya melihat gadis itu menderita karena pikiran-pikirannya sendiri. Ia pikir kesedihan dan kemarahan Ino hannyalah efek dari hormon yang tak seimbang setelah persalinan tapi sepertinya akar permasalahan lebih dalam dari itu.

.

.

Ino berusaha dengan keras untuk menemukan kebahagiaan dalam mengurus anak, tapi ia tak menemukannya. Rumah tangganya terasa akan hancur. Dia tak lagi peduli pada Itachi dan mengacuhkan pria itu. Kembali menganggap suaminya adalah penyebab dari penderitaannya. Mereka bahkan tak pernah lagi makan berdua. Ino mencurahkan seratus persen waktu dan perhatiannya hanya untuk sang bayi. Meski begitu keraguan dalam kepalanya tak berkurang. Dia masih merasa ia tak akan pernah bisa menjadi seorang Ibu yang sempurna putranya. Dia bahkan berpikir mungkin Arashi akan lebih bahagia bila diurus wanita lain yang lebih kompeten.

Rasa kesepian juga tak membantunya. Ino berusaha mengontak sahabat-sahabatnya tapi yang terjadi dia sekarang merasa tak tersambung dengan mereka. Sakura dan yang lainnya begitu antusias dengan kehidupan kuliah dan teman baru yang mereka miliki sedangkan dia sedang berjuang mengatasi rasa cemas dan ketakutan untuk membesarkan bayi. Ino merasa dia dan teman-teman SMA nya kini terpisah dalam dunia yang berbeda dan Ino berhenti mengontak mereka semua sebab berbicara dengan teman-temannya hanya mengingatkan Ino dengan apa yang telah ia lewatkan.

Siang itu Ino berduaan saja dengan putranya. Sang baby sitter permisi untuk istirahat. Bayi kecil itu sudah bisa tengkurap dan sudah mulai makan makanan padat. Arashi seratus persen terlihat seperti copy-an Itachi dan bayinya sangat rewel. Entah apa yang salah Bayi Arashi yang tadinya tenang di boks bayinya mulai menangis. Ino memberinya susu tapi sang bayi menolak, popoknya juga tidak kotor. Ino menimang-nimangnya hingga tangan dan lengannya pegal tapi tangisan Arashi tidak mereda. Ino mulai kehilangan kesabaran dan ketenangannya. Ia mulai berpikir bila Arashi lenyap hidupnya akan lebih mudah. Dia bisa membekap bayinya dengan bantal maka tangisannya akan berhenti dan dia bisa bebas. Ino sudah tak ingin lagi menjalani kehidupan yang menurutnya bagaikan neraka.

Kemudian gadis itu terenyak, ketakutan pada pikirannya sendiri. Dengan hati-hati ia meletakkan bayinya kembali di boks dan ia keluar dari ruang bayi dan menutup pintunya meski Arashi masih menangis. Ibu macam apa dirinya sampai hati memikirkan untuk menyingkirkan buah hatinya. Mungkin memang lebih baik anak itu tumbuh tanpa dirinya. Dia hanya akan menjadi ancaman bagi anaknya.

Mei, Sang baby sitter muncul di ruang tamu. Ia melihat nyonya-nya bersender dengan wajah pucat di pintu kamar bayi. Tangisan Arashi bahkan terdengar dari balik pintu.

"Anda tak apa-apa Nyonya?"

"Aku baik-baik saja. Tolong jaga Arashi. Aku pergi sebentar."

"Baik."

Ino langsung berlari ke kamarnya. Ia harus menjauh dari Arashi sebelum ia mencelakai bayi itu. Ya Tuhan dia memang sampah. Tak hanya gagal mencintai putranya dia juga ingin membunuhnya. Ibu macam apa dirinya. Ino merasa gagal dan hidupnya hannyalah sebuah kesalahan demi kesalahan. Ia gagal menjadi anak yang sempurna. Ia gagal menjadi istri yang baik dan kini meski ia telah berusaha Ia tak sanggup menjadi ibu bagi putranya.

Gadis itu hanya mengambil dompet dan jaketnya. Ia melangkah entah ke mana. Ino merasa hidupnya tak lagi penting apa lebih baik ia mati saja.

Mei kebingungan karena sudah jam lima tapi Nyonya belum pulang juga. Iya memutuskan untuk menelepon tuannya yang sedang bekerja.

Itachi yang baru menerima kabar berusaha menelepon Ino. Tapi panggilannya tak pernah terjawab. Ia menelepon mertuanya tapi mereka juga tak tahu di mana putrinya. Ia kemudian buru-buru pulang. Tapi Ino masih tak ada di rumah dan menemukan hand phone gadis itu tertinggal di kamarnya. Ia berusaha menelepon teman-teman Ino dan ternyata sudah lama Ino tak pernah menghubungi mereka.

Itachi menelepon Ibunya, Dia harus mencari Ino dan seseorang harus menjaga Arashi. Tak lama Mikoto datang, wanita itu menyadari kecemasan dan penyesalan di wajah putranya.

"Ada apa Itachi?"

"Ino menghilang, bu. Aku harus mencarinya. Jadi tolong jaga Arashi."

"Mengapa Ino pergi?"

"Aku tak tahu, tapi aku merasa Ino menderita depresi. Sejak kelahiran Arashi, Ino sering menangis dan murung. Dia juga kembali bersikap memusuhiku. Aku gagal menjadi suami. Aku tak berhasil mendukungnya melewati semua ini."

"Jangan menyalahkan diri Itachi, Aku rasa kau sudah melakukan hal yang terbaik. Aku tahu kau mencintainya."

"Andai saja aku lebih mawas, lebih sabar dan perhatian aku akan cepat menyadari Ino mengalami depresi. Aku malah tak melakukan apa pun saat ia menderita. Seharusnya aku tak perlu mendengar kata-katanya dan membawanya menemui psikiater."

"Sudahlah nak, Kau harus menemukan Ino."

"Tolong jaga Arashi sampai aku kembali." Pinta Itachi pada Ibunya.

"Tak masalah. Semoga kau cepat menemukan istrimu."

.

.

Ino berdiri di pinggir peron kereta api. Bila ia menjatuhkan dirinya dari sini maka semua kesedihan dan kecemasan ini akan berakhir. Dia akan terbebas dari penderitaan ini. Wajah mungil Arashi dan Itachi muncul di kepalanya. Mereka berdua akan lebih baik tanpa dirinya. Arashi akan bahagia diasuh oleh orang lain dan Itachi, Apa kepergian Ino akan menyakiti hatinya? Ino sadar pria itu mencintainya tapi selama ini dia tak pernah berusaha untuk benar-benar menjadi istrinya. Itachi layak mendapatkan wanita yang lebih baik. Yang bisa mengerti dan tak menyakitinya seperti yang sering ia lakukan. Suara kereta yang melintas semakin mendekat. Gadis itu menutup matanya.

.

Tbc.

.

.

A/N : Akhirnya saya bisa update juga. Semoga readers masih menyimak cerita ini. Sejujurnya sebagian dari cerita ini adalah pengalaman pribadi saya sendiri saat mengalami post partum depression. Menjadi seorang Ibu tak semudah yang saya bayangkan. Sebagian perempuan bisa menjalankannya dengan alami dan sebagian lagi benar-benar struggle untuk menerima peran baru mereka. Bagi Ino yang masih begitu muda dan labil, ia tentunya tak menjalani ini dengan mudah. Semoga kalian menikmati chapter ini. Selamat membaca.

See you!