Disclaimer : All Characters belong to Masashi Kishimoto.
Perfect, Imperfect.
.
Chapter 14
.
Friend
.
.
Ketika kereta sudah mulai mendekat Ino mendapati seseorang mencengkeram lengannya.
"Ino, Aku harap kau tak sedang berpikir untuk melakukan hal yang aku takutkan."
Suara bariton yang familier itu membuat Ino menoleh. Hampir enam bulan lebih mereka tak pernah berbicara. Ino tak pernah membalas pesan yang dia kirim dan Ino berpikir hubungan mereka sudah lenyap dimakan waktu dan perubahan. Tak seharusnya pemuda itu ada di sini. Mengapa dia selalu muncul di saat Ino berada di titik paling rendah dalam kehidupannya. Mengapa selalu pemuda ini yang muncul untuk menyelamatkan harinya.
"Gaara." Nama itu meluncur dari bibir Ino.
Pemuda itu tampak lebih dewasa dari yang Ino ingat sejak pertemuan terakhir mereka. Gaara mengubah gaya rambut merahnya yang jabrik menjadi lebih sleek dan berpakaian dengan rapi tetapi ia tetap tak menghapus eyeliner hitam yang kini tampak permanen menghiasi mata berwarna hijau pucatnya. Dia membawa sebuah koper, Apa yang pemuda itu lakukan di Konoha. Bukankah seharusnya ia berada di Suna.
"Apa yang terjadi padamu Ino?" Gaara khawatir melihat gadis itu. Matanya kosong, wajahnya pucat dan kelelahan tampak jelas dari bahasa tubuhnya. Gaara takut, ia melihat rasa putus asa dan sepertinya Ino telah menyerah untuk menghadapi masalah hidupnya.
Suara hangat penuh perhatian itu mengingatkan Ino pada saat-saat yang mereka habiskan berdua membolos di atap sekolah.
"Aku seorang monster, Gaara. Seorang manusia yang gagal menjalankan perannya."
"Aku tak setuju tidak ada orang yang gagal. Kau hanya sedang terpuruk dan membuat kesalahan tapi kau pasti bisa memperbaikinya. Jangan menyerah. Monster yang kau bicarakan tidak riil. Hanya ada di pikiranmu."
"Mengapa kau peduli padaku Gaara?"
"Apa kau lupa kita berteman?, Kami semua mengkhawatirkanmu dan kami bertanya-tanya mengapa kau tak pernah menghubungi kami. Bahkan tidak dengan Sakura dan Temari."
"Aku merasa ditinggalkan, Gaara. Sendirian menempuh jalan yang berbeda."
"Ino, Apa pun masalahmu saat ini. Kau bisa ceritakan padaku."
"Tapi kau tak akan mengerti masalahku."
"Mungkin aku tak mengerti. Tapi biarkan aku tahu situasimu. Apa kau lupa semua orang hidup dengan monster di kepalanya masing-masing dan aku tak asing dengan hal itu. Apa yang membuatmu ingin membuang hidupmu?"
"Aku tak tahu." Ino baru sadar tangan Gaara masih di lengannya. Sepertinya pemuda itu masih tampak khawatir Ino akan melompat ke rel kereta lagi.
"Bagaimana kalau kita bicara di tempat lain." Anjur pemuda berambut merah itu.
Ino mengangguk dan membiarkan Gaara menggandeng dan menuntunnya ke salah satu cafe yang berlokasi di stasiun.
Mereka berdua duduk dengan tenang dengan secangkir minuman hangat mengepul di meja mereka. Gaara memulai pertanyaannya dan berharap Ino bersikap terbuka dan jujur.
"Apa Itachi memperlakukanmu dengan baik?"
Ino mengangguk, "Dia sudah berusaha untuk suportif, Aku mengerti Itachi juga punya banyak beban di pundaknya. Hanya saja bagiku menjadi seorang Ibu sangat mengejutkan. Arashi baru berusia enam bulan dan aku sudah merasa mengorbankan diriku terlalu banyak untuknya. Aku tak bisa menumbuhkan rasa cinta untuk darah dagingku sendiri dan aku membenci bayi itu. Seolah dia adalah kutukan yang harus aku tanggung. Di sisi lain aku juga tak bisa mengabaikan anakku. Siapa lagi yang harus menjaga anak-anak selain orang tuanya."
" Sepertinya kau masih tak ikhlas menjalankan peran ini karena itu kau merasa terimpit."
Ino menghela nafas berat, "Kau tahu aku tak menginginkan hal ini. Aku punya ide lain tentang bagaimana menjalankan hidupku. Kenyataan dan keinginan yang bertentangan membuatku tertekan dan aku tak sanggup menjadi Ibu yang baik. Aku ini begitu jahat. Sesaat aku ingin melenyapkan anakku sendiri karena dia membuatku sangat kesal. Arashi tak berhenti menangis padahal aku sudah melakukan semua yang aku bisa."
"Ino, Jangan menyalahkan diri. Kau sedang stres. Apa kau sadar kau sedang mengalami depresi? Apa yang kau alami tidak normal. Kau butuh pertolongan Ino. Apa kau merasa aku menghakimimu sekarang, setelah aku mendengar ceritamu?" Pemuda itu menggenggam tangan Ino memberi dukungan.
"Gaara, Aku tak sanggup menjalani hidupku lagi." Ino menarik tangannya dari genggaman Gaara untuk menutupi wajahnya. Ia tak ingin terlihat menangis di cafe yang ramai ini. Telapak tangannya bergetar mencoba menahan isak tangisnya.
Gaara tak bisa berbuat banyak. Depresi merupakan penyakit yang sangat kompleks tak banyak yang bisa dilakukan untuk menghentikan pikiran-pikiran yang merongrong kewarasanmu, "Ino, Apa kau tak memikirkan ayah ibumu? Atau Itachi dan putramu. Mereka mencintaimu dan membutuhkanmu. Bagaimana dengan aku dan yang lain? Apa kau tak berpikir kami akan sedih bila kau bunuh diri. Apa kau tak memikirkan penderitaan macam apa yang akan kau tinggalkan bagi orang-orang yang mencintaimu?"
"Itachi dan Arashi pantas mendapatkan hal yang lebih baik. Aku hanya orang tak berguna. Gagal dalam segala hal." Ino tertunduk, Bagaimana ia bisa menguasai pikirannya lagi? Dia begitu kacau, yang mana fakta dan yang mana opini ia sudah bisa lagi membedakan. Logikanya menjadi tumpul dan emosinya tak terkontrol.
"Please fight it, kau tak bisa mempercayai monster dalam kepalamu yang membisikan semua hal yang menakutkan dan menjatuhkanmu."
"Aku hanya ingin merasa tenang, Gaara."
"Oke, Aku punya ide. Bagaimana kalau kau menjauh dari keluargamu untuk sementara dan menenangkan diri? Barangkali kau akan menyadari sesuatu."
"Ke mana aku bisa pergi?"
"Tinggal di rumahku sementara. Aku akan tinggal di sini sekitar seminggu lalu aku akan kembali ke Suna."
"Mengapa kau kembali ke Konoha?"
"Ayahku membutuhkanku."
Ino tak mengerti mengapa Gaara yang tak pernah menyukai ayahnya kembali untuk pria itu. "Bukannya kau membenci ayahmu?"
"Aku belajar untuk menerimanya, bagaimanapun ia satu-satunya orang tuaku dan dia membutuhkanku. Tentu lebih mudah untuk membencinya dari cara ia memperlakukanku, hanya saja setelah aku banyak berpikir ayahku punya bebannya sendiri."
"Kau memaafkannya?"
"Tentu saja aku tak punya alasan untuk menyimpan dendam. Ayah sangat mencintai ibuku yang meninggal saat melahirkanku. Rasa kehilangannya membuatnya membenciku karena tanpa sadar ia berpikir akulah penyebab kematian ibuku. Tetapi aku juga harus memikirkan fakta dia membesarkan kami bertiga seorang diri dan memutuskan untuk tidak menikah lagi. Dia juga selalu berusaha menjauhkan aku dari masalah."
"Bukankah dia ayah yang buruk?"
"Mungkin, tapi dia telah berusaha dengan caranya sendiri untuk membesarkanku. Apa kau berpikir orang tuamu adalah orang tua yang buruk karena mereka selalu menekanmu?"
Ino langsung menggeleng, "Mungkin mereka terlalu menuntut, mungkin juga mereka terlalu memaksa tapi tak berarti mereka buruk. Mereka hanya memikirkan kebaikanku."
"Lalu apa yang membuatmu berpikir kau adalah Ibu yang buruk? Tak ada metode baku bagaimana kau harus membesarkan seorang anak. Aku pikir selama kau memberikan usaha, kasih sayang dan perhatian maksimal artinya kau sudah melakukan pekerjaanmu sebagai orang tua yang baik."
"I am just worried too much. Bahkan Itachi memaksaku keluar rumah dan mencari hal lain untuk menghibur diri, tapi aku merasa bersalah meninggalkan Arashi."
"Tak perlu merasa bersalah. Kau tidak menelantarkan bayimu. Kau harus berpikir kebahagiaanmu juga penting. Bila Ibu merasa bahagia bayinya juga akan bahagia."
"Terima kasih, Gaara. Kau selalu membantuku. Aku rasa aku akan kabur ke tempatmu satu atau dua hari untuk berpikir."
"Sama-sama. Kebetulan aku selalu lewat saat kau tampak kesulitan."
.
.
Itachi mengendong putranya yang menangis. Ia belum menemukan Ino setelah mencarinya ke mana-mana dari tadi. Ia telah menghubungi polisi dan rumah sakit untuk melakukan pencarian.
Wajah bulat Arashi memerah, dia sudah menangis selama satu jam lebih. Bayi itu lapar tapi ia tak mau minum susu formula yang Itachi tawarkan. Ia hanya bisa bersabar mendengar jeritan putranya. Barangkali sebentar lagi Arashi menyerah dengan rasa laparnya dan mau minum susu.
Pria itu tak bisa membayangkan hidupnya tanpa Ino. Apa yang akan ia lakukan bila berdua saja dengan Arashi? Itachi berharap Ino akan kembali dan sekarang ia sedikit paham apa yang dialami istrinya. Tangis Arashi yang berkepanjangan membuatnya merasa terpuruk, seolah ia tak tahu cara membuat bayinya nyaman dan dia juga merasa marah. Dia baru saja mengurus Arashi selama beberapa jam dan dia sudah lelah fisik dan mental. Wajar bila istrinya stres. Ino mengurus putranya seharian ditambah kurang tidur dan kesepian. Hal itu cukup untuk membuat seseorang merasa begitu tertekan. Dia merasa kasihan. Hidup Ino menjadi berantakan begini karena kebodohannya. Ia hanya ingin melihat wanita itu tersenyum lagi. Itachi benar-benar mencintainya tapi ia ragu untuk menunjukkan perasaannya karena ia tahu Ino tak menginginkannya. Semoga Ino baik-baik saja.
Ponsel Itachi bergetar di kantong celana. Ia meletakan Arashi di boks bayinya meski sang bayi masih menjerit-jerit.
"Maafkan papa ya, Kau tinggal di sini dulu. Sebentar lagi papa kembali. Aku harap kau akan lebih tenang." Itachi keluar dari kamar itu dan menutup pintu. Arashi masih menjerit-jerit. Pria itu membuang nafas panjang dan meregangkan lengannya yang pegal karena menggendong sang bayi. Ia meraih ponselnya di kantong dan melihat panggilan dari Sasuke.
Ia menelepon balik adiknya. "Sasuke ada apa kau meneleponku tengah malam begini?"
"Aku mendapat kabar dari Gaara. Ino sedang bersamanya. Gaara bertemu Ino di stasiun dan istrimu berniat bunuh diri."
"Apa?" Itachi sangat terkejut. "Apa Ino sekarang baik-baik saja?"
"Ino tak apa-apa. Apa yang terjadi, kak? Mengapa Ino sampai ingin bunuh diri? Apa kau membuatnya tak bahagia?" Tuduh Sasuke.
Itachi memijat batang hidungnya. Tangisan protes Arashi masih terdengar dari balik pintu dan ia masih harus menyangkal tuduhan Sasuke, tapi tuduhan sang adik mungkin ada benarnya.
"Aku tak tahu. Semenjak Arashi lahir, Ino terlihat sedih. Awalnya aku berpikir normal dia mengalami baby blues. Tetapi ia semakin lama semakin tenggelam dan depresi. Aku bodoh tak menyadarinya. Di mana Ino sekarang? Aku akan menjemputnya."
"Kak, Sebaiknya kau membiarkan Ino tenang dulu. Bila ia ingin kembali dia akan menghubungimu."
"Oke, Aku akan menunggu. Terima kasih sudah memberitahuku."
"Aku harap kau akan baik-baik saja. Aku tahu kau mencintai Ino."
"Aku tak bisa membayangkan apa yang terjadi bila aku harus kehilangannya. Bersyukur temanmu menemukan Ino di saat yang tepat."
"Tolong Jaga Ino baik-baik. Aku mengalah hanya karena dia mengandung anakmu."
"Aku berusaha Sasuke, tapi aku tak tahu apa gadis itu berniat untuk bisa berbahagia denganku. Aku dan Ino sangat berbeda." Tangisan Arashi yang semakin menjadi membuat Itachi menengok ke arah pintu ruang bayi. "Maaf, Aku harus mengurusi Arashi. Aku akan meneleponmu lagi," sambung pria itu.
Itachi menutup teleponnya dan kembali menemui bayinya. Ia menghangatkan botol susu formula dan mengendong bayinya dengan satu tangan. Pria itu membawa Arashi duduk di kursi malas.
"Nak, Aku tahu kau lapar, tapi mamamu sedang tak ada. Cobalah tenang dan minum susu ini."
Mungkin karena lelah menangis terlalu lama sang bayi mulai diam dan minum dari botol susu yang ditawarkan ayahnya.
Itachi merasa lega dan dia berharap putranya akan tidur setelah kenyang. Ia juga merasa lelah dan ingin membaringkan tubuhnya meski sejenak. Ibunya kini sedang tidur di kamar Ino. Akhirnya sang ibu kini tahu rumah tangganya tak berjalan mulus. Dengan susah payah ia harus menjelaskan mengapa ia dan istrinya memilih tidur terpisah.
Selama ini tak ada yang tahu bagaimana sebenarnya hubungan Ino dan dirinya. Mereka berdua merahasiakannya dengan baik. Menurutnya sendiri, Dia dan Ino akrab, meski tidak mesra. Mereka menjalankan peran sebagai orang tua dengan efektif walau selalu ada berbedaan pendapat.
Itachi tak memungkiri ia masih tertarik pada gadis itu, Ia selalu ingin memeluknya dan mencoba bersikap mesra. Sayang sekali Ino tak pernah menggubrisnya. Gadis pirang itu bahkan tak menunjukkan sedikit ketertarikan padanya. Jadi, Itachi tak akan memaksa. Ia bisa menunggu Ino belajar mencintainya.
Itachi menyanyikan lagu pengantar tidur dengan nada sumbang. Menyanyi memang bukan bakatnya, tetapi suaranya cukup menenangkan bagi sang bayi yang sudah kenyang. Arashi mengulurkan tangan gemuknya untuk menyentuh hidung sang ayah. Bibir bayi itu melengkung seolah tersenyum memberikan rasa hangat di hati sang ayah.
Itachi menatap putranya yang memiliki warna mata seperti ibunya. "Apa kau sudah kenyang dan mengantuk? Kau tahu, Nak. Aku berharap bukan kita berdua yang menyebabkan Ibumu merana, tapi aku tetap merasa dia sedih karena kita. Jadi, sebaiknya kau dan aku harus mencoba bertingkah lebih baik lagi agar Ibumu senang dan tersenyum. Janji my boy, Jangan sering menangis, ya!"
Melihat putranya sudah tenang. Itachi kembali meletakkan sang bayi di boksnya dan Arashi sama sekali tidak protes. Bayi itu berkedip, lalu Itachi mengulurkan jarinya. Sang bayi memekik dan menggenggam jemari ayahnya. Itachi tersenyum sendiri melihat ekspresi lucu sang buah hati. Tanpa menunggu lama, ia melihat putranya mulai mengantuk. Pria berambut hitam itu berdiri di sisi bayinya hingga anak itu benar-benar terlelap. Ia berjalan dengan berjingkat-jingkat dan menutup pintu perlahan mencoba tak membuat suara yang mungkin bisa mengagetkan anaknya.
Itachi merebahkan diri di sofa. Dia mencoba untuk tidur sejenak, tetapi pikirannya dipenuhi oleh sosok istrinya. Ia merasa sangat takut karena hampir kehilangannya. Gadis itu pasti sangat menderita dan merana bila ia memilih untuk mengakhiri hidupnya dan Itachi tak bisa berhenti merasa bersalah.
Mungkin dia terlalu sibuk, mungkin dia kurang suportif. Itachi jatuh dalam pikiran negatif membayangkan apa yang terjadi murni kesalahannya dari awal. Apa yang bisa ia lakukan untuk membantunya? Dia ingin memperbaiki situasi ini. Pada akhirnya kantuk tak pernah datang padanya karena ia sibuk berpikir.
.
.
Ino kembali menempati kamar Temari. Lebih dari setahun yang lalu ia juga mengungsi ke rumah ini ketika ia bertengkar dengan orang tuanya. Sepanjang sore Gaara menemani dan mengawasinya, sepertinya pemuda itu masih khawatir ia akan bertindak bodoh lagi. Ino bergelung di ranjang berukuran besar itu. Kepalanya menindih bantal bulu yang terlalu empuk menurut standarnya. Ia telah mematikan lampu karena berniat untuk tidur tapi kantuk sepertinya tak akan datang sebab pikirannya begitu penuh dengan kecemasan. Sudah lebih dari delapan jam ia berpisah dengan putranya. Ia mengira dengan menjauhi Arashi dia akan lebih relaks tapi dia malah semakin stres.
Ino terus bertanya-tanya, Apa Itachi bisa mengurus Arashi? Apa dia mau minum susu memakai dot? Apa dia sudah makan kentang tumbuk yang Ino buat tadi pagi? Ino tak bisa berhenti memikirkan Arashi. Bayi itu membutuhkannya. Mengurus anak memang sangat melelahkan tapi saat Ino jauh dari putranya seperti ini kecemasannya semakin memuncak. Mungkin dia bukan ibu yang baik tapi dia peduli pada anaknya sampai-sampai ia lupa memperhatikan diri sendiri. Ia memutuskan untuk pulang besok. Barangkali keputusannya untuk mengakhiri hidupnya hanya akibat fluktuasi kimia yang tak terkontrol di dalam otaknya.
Pagi-pagi Gaara sudah mengantar Ino kembali ke rumahnya. Dia tahu Ino tidak tidur semalam. Gadis itu cukup banyak bercerita dan dia hanya mendengarkan seperti biasa. Dia tak bisa menawarkan solusi tapi hanya meminta Ino untuk mencoba melawan pikiran-pikiran negatifnya. Dia telah memberitahu teman-temannya apa yang terjadi pada Ino. Mereka semua terkejut, tetapi mereka mengerti Ino membutuhkan banyak dukungan.
Gaara menekan pedal gas mobilnya dan melaju di jalanan yang cukup lengang. Ia senang menemukan mobilnya masih utuh di garasi. Ia sempat berpikir sang ayah telah menjual atau bahkan menghancurkan mobil kesayangannya ketika ia memutuskan untuk melawan sang ayah dan keluar dari rumah tapi ternyata mobil sportnya di jaga dengan baik.
Suara dentuman bass lembut mengalun dari stereo mengiringi percakapan yang mengalir di antara mereka. Ino menyandarkan punggungnya di kursi. Menatap lurus jalanan yang dipenuhi kendaraan lainnya.
"Mengapa kau memutuskan untuk pulang?" Tanya Gaara pada sang penumpang.
"Aku tak bisa meredam rasa khawatirku meninggalkan Arashi begitu saja."
"Hmm...Aneh, Kau merasa menjadi orang tua yang buruk tapi kau juga tak mempercayai orang lain untuk mengurus bayimu. Bukankah itu sedikit kontradiktif?"
"Aku tahu, tapi suara-suara dalam kepalaku melawan logika dan menyeretku jatuh."
"Kau harus memeranginya, Ino. Sekali kau merasa ingin menyakiti putramu, tapi apa kau benar-benar melakukannya? Aku rasa tidak."
"Belum, tapi aku takut suatu hari apa yang aku bayangkan dalam kepalaku akan terjadi."
"Semua orang punya kontrol diri. Ketika kau merasa sudah kesal dan hampir meledak. Tinggalkan saja bayimu sejenak. Pindah ke ruangan lain untuk mengatur nafas. Barangkali kau bisa tenang lagi."
"Wow, Kau menasihatiku? Berapa kali kau terlibat perkelahian hanya karena mereka membuatmu kesal."
"Aku mencoba segala hal untuk tak cepat marah belakangan ini. Aku bahkan mengikuti sesi anger management. Aku sadar di saat aku marah dan kesal aku sering bersikap kasar dan hal seperti itu tak akan membuat karier musikku sukses dan aku rasa kau juga butuh terapi, Ino."
"Aku tidak gila atau punya masalah mental," cetus Ino pada sahabatnya.
Gaara mencebik. Awalnya ia juga seskeptis dengan kunjungannya ke psikiater beberapa bulan yang lalu, tetapi kunjungan rutin itu kini membuatnya jadi lebih baik. Dia bahkan berdamai dengan sang ayah. Siapa yang menduga sumber dari segala kemarahannya adalah merasa ditelantarkan oleh sang ayah. Sementara Ino, gadis itu punya permasalahannya sendiri yang harus dia temukan dan selesaikan.
"Apa kau mau mengelak kalau kau sedang mengalami depresi? Kapan terakhir kalinya kau bisa tidur dengan nyenyak dan menikmati hal kecil yang biasanya bisa membuatmu tersenyum?"
Ino menarik nafas panjang, enggan menatap pemuda berambut merah yang duduk di kursi kemudi. Gaara memang benar. Sebelum Arashi lahir ia menikmati mendekorasi rumah, sekedar merangkai bunga, berbelanja, bahkan makan malam berdua dengan Itachi membuatnya senang. Kini ia tak lagi merasakan hal yang sama. Apa pun yang ia kerjakan terasa membosankan. Bahkan merawat Arashi pun terasa sebagai hukuman baginya.
Melihat Ino hanya terdiam, Gaara kembali bicara, "It's ok to ask for a help. Terkadang tidak semua masalah bisa di atasi dengan mencoba berpikir positif apalagi ketika kau depresi. It's just hard to be positive."
"Aku tak ingin membawa Itachi dan Arashi jatuh bersamaku karena itu aku ingin mati," ungkap gadis itu.
"Kau amat salah. Ino, kau harus bangkit dari keterpurukan ini demi mereka. Aku yakin suamimu mencintaimu dan kematianmu hanya akan membuat mereka amat terpukul dan sebagai seorang piatu yang besar tanpa mengenal sosok ibu. Aku bisa bilang tumbuh tanpa cinta seorang ibu membuat hidupku terasa tak pernah lengkap."
"Aku merasa Itachi lebih baik mencari wanita lain untuk menggantikan aku untuk menjadi istrinya dan ibu Arashi."
"Hmm...Kau tak bisa membuat keputusan untuk suamimu. Lagi pula apa kau yakin wanita lain akan memedulikan anakmu seperti dirimu. Pada skenario terburuk mungkin saja Arashi ditelantarkan sang ibu tiri dan kau tak akan ada di sana untuk menjaganya."
"Kau benar, Anakku lahir dari rahimku. Aku berjuang dengan keras untuk melahirkannya. Meski aku merasa bayi itu menyebalkan aku tak bisa mengabaikannya."
"Seorang anak tak mengharapkan ibu yang sempurna. Ia hanya mengharapkan ibu yang mencintainya."
Kata-kata Gaara meresap ke dalam pikiran gadis itu dan ia mengingat saat dirinya masih menjadi seorang anak. Meski ayah dan ibunya jauh dari sempurna dan membesarkannya dengan penuh tekanan serta tuntutan, Ino tak pernah membenci mereka. Dia masih mencintai orang tuanya. Arashi juga akan sama saja. Mungkin saat ini ia tak merasakan cinta pada anak dan suaminya atau bahkan kehidupan yang ia jalani, tetapi suatu saat nanti barangkali ia bisa belajar menghargai apa yang dia miliki.
Ino mengetuk pintu rumah. Itachi membukakan pintu. Di lengannya satunya tampak Arashi bergelung hanya dengan mengenakan popok. Suaminya terlihat sangat berantakan dan putus asa. Pria itu langsung merengkuh dan memeluknya erat.
"Aku senang kau pulang," ucapnya lirih.
"Maafkan aku, telah membuatmu cemas." Ino menyadari pundaknya basah oleh sedikit tetesan air. Wajah Itachi tersuruk di bahunya. Suaminya menangis. Itachi yang selalu bisa mengontrol emosi dan ekspresinya menangis untuknya.
"Kumohon, Jangan lakukan ini lagi. Jangan mencoba bunuh diri. Pikirkan aku dan juga Arashi. Aku akan hancur tanpa dirimu, Ino." Pria itu mengetatkan pelukannya seolah tak akan membiarkan gadis itu lari lagi.
Ino melingkarkan tangannya di pinggang sang suami dan menyandarkan kepalanya di dada pria itu. Menghirup aroma detergen bercampur bedak bayi yang samar-samar tercium dari kaus usang yang dikenakannya. Tangan kecil Arashi berhasil menemukan rambut Ino dan menarik-narik surai pirangnya seolah minta perhatian. Itachi dengan berat hati melepaskan pelukannya pada Ino dan mundur selangkah.
"Hei, Nak...Mama pulang." Ino mencoba melepaskan genggaman tangan sang bayi di rambutnya.
"Ma...ma...mam..ma," gumam sang bayi sambil menarik-narik rambut panjang ibunya.
Mata Ino membulat besar, Seketika ia tersenyum lebar. Pertama kalinya ia merasa benar-benar senang setelah kelahiran anaknya. "Kau bicara, Sayang!" Ino memekik girang seakan dia melupakan rasa kesal dan tak sukanya pada sang anak.
Itachi pun tersenyum mendengar kata pertama meluncur dari mulut bayi berusia enam bulan. Ia membiarkan Ino mengambil bayi itu dari lengannya. Pria itu baru menyadari Ino tak sendirian. Seorang pemuda berambut merah berdiri di undakan mengamati mereka.
"Gaara, Kemari!" teriak Ino pada temannya.
Pemuda berambut merah itu melangkah menaiki tangga untuk bergabung dengan Ino. "Halo, Itachi," sapa pemuda itu dengan sopan.
"Terima kasih, Gaara. Andai saja kau tak ada di sana. Aku rasa Ino tak akan ada di sini bersamaku."
"Kebetulan saat itu aku baru tiba di stasiun dan melihat Ino." Pemuda itu menolehkan wajahnya pada Ino yang sedang mengendong Arashi. "Takdir masih belum mengizinkan kau pergi sepertinya," ucap Gaara pada si gadis pirang.
"Aku berjanji tak akan mengulanginya lagi. Aku akan mencari pertolongan."
"Bagus kalau begitu."
"Gaara, kenalkan putra kami, Arashi."
"Hai, cute little boy. Dia mirip itachi, ya?" komentar Gaara.
Ino mendengus, "Sifat menuntut dan menyebalkannya juga sama. Arashi, Ini sahabat mama. Sabaku Gaara. Cowok berandal paling beken se-Konoha."
"Apa aku masih terlihat seperti berandal?" tanya Gaara pada Ino.
"Tentu saja, Meski mukamu kaya preman, tetapi aku tahu kau baik hati dan setia kawan."
Pemuda itu tersenyum. "Tanggung jawabku sudah beres. Aku sudah mengantarkanmu pulang dengan selamat dan sekarang aku permisi dulu. Ino, Jangan bersedih dan menutup diri lagi. Sadarlah, Aku dan teman-teman yang lain masih bersamamu."
"Terima kasih, Gaara." Ino berjinjit untuk mengecup pipi pemuda berambut merah itu.
Gaara tersenyum singkat, "Fight your own monster!" ucapnya pada Ino. Lalu ia menjabat tangan suami Ino. "Sampai jumpa lagi Itachi."
"Terima kasih sudah mengurus istriku, Gaara, " ucap Itachi dengan memberi tekanan ekstra pada kata istri. Kecupan inocent yang Ino berikan pada pemuda itu membuat hatinya tak tenang. Yang Itachi tahu Gaara adalah teman Sasuke. Mungkin ia bisa bertanya pada adiknya seberapa akrab Ino dengan putra senator Sabaku itu.
Setelah Gaara pergi, Ino memfokuskan perhatiannya pada sang bayi. "Bisa kau jelaskan mengapa putraku kau biarkan telanjang begini?" Mata Ino menyipit curiga pada sang suami.
"Uh..oh...Aku sedang mencoba menyuapinya, tapi ia menolak untuk makan. Pakaiannya jadi kotor," jawab Itachi membela diri.
"Kita masuk, yuk! Aku akan menyuapimu lagi, Arashi."
Ino berjalan ke dapur diikuti oleh suaminya. Matanya terbelalak melihat kekacauan di hadapannya. Makanan bayi berserakan di lantai. Begitu pula dengan pecahan cangkir dan kopi hitam yang menetes dari atas meja konter. Botol susu kotor dan piring bertumpuk. Ya Tuhan, ia hanya meninggalkan rumah semalam.
"Apa-apaan ini, Itachi?" Suaminya adalah orang yang rapi dan teratur. Rumah berantakan seperti ini hampir tak pernah terjadi.
"Aku mencoba membuat sarapan sambil menjaga Arashi dan hampir mustahil melakukannya dalam keadaan mengantuk sambil mengendong bayi yang mengamuk."
"Apa sekarang kau mengerti kesulitanku?"
Itachi mengangguk. "Kemarin ibuku datang dan menginap tapi ia harus pulang pagi-pagi dan baby sitter memberitahuku ia baru bisa datang jam sebelas."
"Apa Ibumu tahu kita pisah ranjang?"
"Iya, Aku memberi alasan tidurmu terganggu karena aku hobi mendengkur."
"Aku harap mereka tak curiga kalau hubungan kita tidak seperti yang mereka harapkan."
"Mereka harus bersyukur, setidaknya kita masih bersama."
"Itachi, Kau bereskan dapur. Aku akan memandikan Arashi."
Itachi membereskan semuanya dan membuat sarapan untuk mereka berdua. Tak lama Ino kembali dengan putra mereka yang kini sudah berpakaian dengan bersih. Gadis pirang itu meletakan bayinya di lantai beralaskan karpet tebal dan lembut. Putranya berguling dan mengapai-gapai bola berwarna merah yang tergeletak di depannya.
Itachi menyodorkan secangkir kopi susu pada istrinya, "Ino, Aku tahu kau sedang kesulitan. Apa kau mau menemui dokter?"
Ino meneguk kopinya sambil memerhatikan sang bayi bermain. "Tentu saja, Aku harus mencari bantuan. Aku tak mau terus-menerus berhadapan dengan emosi dan pikiran negatif."
Itachi meraih tangan Ino dan mengecupnya. "Aku mencintaimu dan aku berada di sini untuk mendukungmu."
Ino tahu perasaan Itachi padanya, tetapi ia tak pernah menyangka pria itu akan menyuarakannya. "Aku selalu berpikir kau layak bersama gadis lain yang mencintaimu."
Pria itu menggeleng tak setuju dengan pendapat Ino. "Aku tak peduli kau membalas perasaanku atau tidak. Selama kau bersamaku dan Arashi aku cukup senang. Mungkin aku yang egois di sini. Akulah yang menghancurkan sayapmu dan membuatmu merana menjalani hidup yang tak pernah kau inginkan."
Perasaan pria itu begitu tulus. Itachi memberikan banyak hal padanya meski Ino tak memberikan suaminya apa-apa. Meskipun demikian, Itachi tak pernah berhenti memberi. Mendengar rasa sesal dalam intonasi pria itu. Ino meletakan cangkirnya di meja dan memeluk pria itu. Ia merasa bodoh telah mengabaikan suaminya dan selalu fokus pada penderitaannya sendiri. "Bukan salahmu, Ini sepenuhnya salahku. Aku mengerti bila aku terpuruk seperti ini, kau dan Arashi juga akan terkena imbasnya. Kalian akan ikut jatuh bersamaku."
Itachi mengelus rambut pirang istrinya. Betapa menenangkan merasakan tubuh gadis itu menempel ketat pada tubuhnya. Ia bisa mencium wangi lavender menguar dari tubuh Ino. Dia berpikir alangkah menyenangkannya bila mereka bisa seperti ini selamanya. "Bangkitlah untuk kami, perangi depresimu dan berjanjilah, jangan pernah berpikir untuk bunuh diri."
Ino menatap mata onyx suaminya. Dia bisa melihat rasa putus asa dan takut, tetapi ia juga melihat rasa cinta yang begitu besar hingga membuat Ino merasa hangat dan meleleh. Ino menempelkan kepalanya di dada pria itu, mendengar detak jantung dengan irama yang teratur. Dia merasa bersyukur Itachi begitu sabar menghadapi dirinya yang labil dan kekanak-kanakan. "Kau layak mendapatkan hal yang lebih baik."
"Tidak, Aku hanya membutuhkanmu." Pria itu bersikeras. "Aku tahu kau merasa berat mengurus Arashi dan aku tak menyalahkanmu untuk berpikir begitu karena itu memang kenyataan. Bersabarlah Ino, dia tak akan menjadi bayi selamanya. Suatu hari dia akan jadi dewasa dan tak membutuhkan kita."
"Barangkali Arashi bisa mencuri hatiku, sehingga aku tak lagi merasa terbebani."
Seolah mendengar kata Ino, sang bayi terlentang dan mengapai-gapai. " ..ma... ma..ma...mama" ucap bayi itu. Mata hijau kebiruannya bersinar ceria
Ino berjongkok dan meraih putranya. Arashi begitu lucu. Saat sang bayi memanggilnya mama ia merasa sangat bahagia. Ia mengendong sang bayi dan mengecup pipinya. "Mama sayang kamu."
Itachi merasa lega. Masih ada harapan untuk mereka berdua. Ia berharap masa-masa sulit ini akan berlalu dan Ino bisa segara bangkit. Ia bersyukur melihat Ino tersenyum sambil mengendong putranya. Sepertinya Arashi berhasil mencuri hati istrinya dan ia berharap suatu hari hati Ino akan menjadi miliknya juga.
