Disclaimer : All Characters belong to Masashi Kishimoto.

Perfect, Imperfect

.

Chapter 15

.

Restart

.

.

Ino merasa hidupnya lebih baik. Emosinya kembali stabil meski harus dibantu dengan obat-obatan. Anaknya yang kini berusia sebelas bulan sudah tidak lagi rewel. Arashi mulai belajar berdiri dan berjalan. Dia juga tidak mau digendong dan selalu berusaha melakukan sesuatu sendiri. Gadis pirang itu mengawasi sang bayi merangkak dan merayap, mencoba berdiri dengan meraih sisi meja. Ino tersenyum kecil saat Arashi mulai melangkah dan jatuh terduduk di atas bantalan karpet yang tebal dan empuk. Dia memastikan rumahnya tidak berbahaya bagi bayi yang mulai belajar menjelajah dan sangat ingin tahu.

Itachi bergabung dengan mereka di ruang tamu untuk menyapa istri dan putranya sebelum berangkat ke kantor pagi itu. Melihat sang ayah berdiri di tak jauh dari meja, Arashi berdiri dan mencoba berjalan mencarinya. Dengan langkahnya yang masih tak sempurna Ia berhasil meraih kaki sang ayah dan berteriak dengan gembira.

"Pa..pa.. Dong..dong," ucap bocah itu dengan tatapan memohon. Kedua tangannya terentang ke atas mengapai-gapai.

"Kau mau digendong, Baiklah." Ia mengangkat Arashi dan membiarkan putranya bermain-main dengan dasi yang ia kenakan. Bocah itu tertarik dengan warna-warna mencolok seperti halnya dasi biru yang ia kenakan.

Ino melangkah mendekati suaminya. "Apa kau akan makan malam di rumah?"

"Tidak, Aku harus menemui calon investor pukul enam nanti. Aku tidak tahu jam berapa akan pulang. Maafkan aku, selalu sibuk. Aku harap kau tak akan bosan dan kesepian"

"Kalau begitu aku dan Arashi akan menghabiskan waktu bersama Gaara."

"Baiklah, Aku harap kau dan Arashi bersenang-senang. Aku berangkat dulu." Ia menyerahkan putranya pada Ino dan Arashi langsung menangis. Ia tak mau papanya pergi.

"pa..pa..pa..!" Meski sudah dipeluk oleh Ino, Arashi masih mengapai-gapai ayahnya. Setiap pagi memang selalu seperti ini. Ino tahu sang bayi ingin menghabiskan waktu lebih banyak dengan ayahnya. Apa daya, pekerjaan di perusahaan Uchiha dan Yamanaka membuat Itachi harus bekerja lebih lama. Ino tak bisa protes dan menambah beban pikiran Itachi lagi. Tiap malam suaminya pulang dengan wajah lelah. Mereka tak banyak bertukar kata, apa lagi bertukar pikiran. Itachi menyimpan masalahnya sendiri dan begitu juga Ino. Meski mereka menikah dan punya anak bersama Ino merasa Itachi masih seperti pria asing yang ia jumpai di klub malam itu.

"Arashi, Papa mau kerja. Jangan menangis nanti juga pulang." Ino mencoba menenangkan anaknya.

Itachi mencium pipi Ino lalu mencium kening putranya, "Bye Arashi, Papa pasti pulang. Tunggu ya, anak baik." Ia mengelus-elus kepala sang bayi. Seolah mengerti dia mulai terdiam.

"Bye papa!" Teriak Ino sambil mengajari anaknya melambaikan tangan, mengantarkan kepergian Itachi.

Begitulah rutinitas mereka di pagi hari. Setelah membuat sarapan, makan dan mandi. Suaminya akan pergi ke kantor dan jika tidak sibuk ia akan pulang sebelum matahari terbenam, tetapi lebih sering Itachi pulang malam ketika Arashi sudah tertidur.

Pagi ini ia harus ke klinik. Sebulan sekali ia dijadwalkan untuk terapi dan konseling. Obat-obatan membantu menenangkan pikirannya meski terkadang ia masih gundah, sedih dan mengalami Insomnia. Hal baik yang terjadi adalah ia belajar mencintai Arashi. Ino tak ingin memendam rasa benci pada bayi tak berdosa. Ia tak bisa menyalahkan bayi itu atas semua yang menimpanya.

Ino telah belajar melepaskan semuanya. Stres yang dia alami berakar dari apa yang ia harapkan tak sejalan dengan kenyataan. Hal itu membuatnya kecewa dan sedih tapi ia belajar membuat penyesuaian. Tak adil bagi Arashi untuk tak memperoleh cinta dari Ibunya hanya karena dia adalah hasil dari kecelakaan dan Ino tak sampai hati untuk menghancurkan kebahagiaan anak tak berdosa dengan membuat anak itu merasa tak diinginkan. Memang ia dan Itachi tak pernah menginginkan Arashi dan kehidupan seperti ini, tetapi senyum dan tawa mengemaskan anak itu membuat hati Ino luluh dan mulai mencintai bayinya. Andai saja ia juga bisa mencintai suaminya segalanya akan jadi sempurna.

Entah apa yang salah, Itachi memperlakukannya dengan baik. Pria itu telah berusaha melakukan segalanya untuk Ino. Memberi dukungan moral dan sedikit waktu yang ia miliki di luar pekerjaan untuk keluarga kecilnya, tetapi hati Ino tidak tergerak. Bukannya dia tak peduli pada suaminya, tetapi Ino merasa tak bisa mencintai Itachi seperti Itachi mencintainya. Gadis itu merasa mereka berdua tak memiliki kesamaan. Perbedaan usia mereka yang terpaut jauh membuat mereka memiliki pandangan dan selera berbeda. Satu-satunya yang menyatukan mereka hanya Arashi. Jadi percakapannya dan Itachi hanya seputar anak mereka.

Sepulangnya Ino dari klinik. Ia mampir sebentar ke cafe tempat dulu ia sering nongkrong bersama teman-temannya. Ia duduk sendirian menyeruput ice cafe latte sambil mengenang masa-masa menyenangkan. Dulu ia mengira kehidupannya sebagai siswa SMA sudah berat. Sekarang ia baru menyadari betapa mudahnya menjalani hidup seorang remaja daripada menjadi dewasa. Dulu ia berpikir dia telah bersikap dewasa, tetapi bila dibandingkan dengan Itachi ia tetaplah seorang remaja berjiwa labil yang sedang mencari jati diri. Meski sekarang ia menerima fakta ia adalah seorang ibu dan telah menjalani perannya dengan cukup baik, tetapi ia tak pernah menjalankan perannya sebagai seorang istri bagi suaminya. Kontak fisik absen dari kehidupan rumah tangga mereka selain kecupan ringan di dahinya setiap pagi. Cukup aneh karena pada awalnya ia memilih Itachi karena ketertarikan fisik di antara mereka dan ketika api itu padam seperti sekarang yang tersisa hanya status. Dari awal pernikahan ini adalah kepalsuan. Sekedar penyatuan pria dan wanita demi memberikan seorang anak rumah yang lengkap dan nama keluarga. Ia menarik nafas panjang dan menghabiskan sisa kopinya. Mengapa ia masih merasa terperangkap. Ino yang sedang melamun tidak menyadari pemuda berambut hitam dan berkulit pucat berdiri di depannya memegang segelas kopi.

"Ino?"

"Sai, Lama sekali kita tak bertemu."

Pemuda itu menarik kursi dan duduk, ia memutuskan bercakap-cakap sebentar dengan Ino.

"Yah, Terakhir aku melihatmu saat hari pernikahanmu."

"Hampir dua tahun ya, Padahal kau satu-satunya di antara kita semua yang masih tinggal di kota ini tapi kita tak pernah berjumpa."

"Aku merasa ragu untuk menghubungimu Ino, Kita tak pernah dekat. Mungkin kita berenam selalu makan siang bersama, tapi kau dan aku tak begitu akrab. Lagi pula aku merasa enggan pada suamimu."

"Kau pikir suamiku akan cemburu bila aku menghabiskan waktu untuk bertemu dengan teman-temanku. Ayolah Sai, Itachi tidak seposesif itu. Malah aku selalu bertemu Gaara bila ia mampir ke Konoha."

"Kau masih akrab dengannya? Aku tak tahu Gaara sering datang ke kota ini."

"Yah, Dia mengunjungi ayahnya. Teman macam apa kau ini Sai. Apa kalian berempat tak saling kontak lagi?"

"Hanya Naruto yang sering menghubungiku. Kau tahu sendiri kami berempat berteman karena Naruto yang melekatkan kami. Saat kesibukan dan jalan hidup berganti perlahan hubungan itu merenggang. Dulu kita tiap hari berkumpul di kantin atau nongkrong di sini sepulang sekolah, tapi sekarang kita terpisah dan sibuk dengan urusan masing-masing. Aku kadang merasa kesepian."

"Aku juga merasakan hal yang sama. Keseruan masa SMA sekarang tinggal kenangan. Aku kemari hanya untuk bernostalgia."

"Bagaimana hidupmu Ino, Apa yang kau lakukan sekarang?" tanya pemuda berambut hitam itu.

"Aku tak bisa bilang aku benar-benar bahagia, but it's fine. Aku menyibukkan diri dengan mengurus anakku."

"Apa kau tak bahagia dengan Itachi Uchiha. Kami semua tahu dia mencintaimu."

"Kau benar, tapi aku tak membalas perasaannya. Hatiku tak tergerak, padahal ia berusaha dengan keras menjadi sosok suami dan ayah yang sempurna. Apa aku perempuan jahat Sai?"

"Aku tak tahu bagaimana hati dan cinta bekerja Ino. Waktu itu, kami percaya kau punya perasaan pada kakak Sasuke. Bila tidak, Kau tak akan tidur dengannya."

"Oh, Itu terjadi karena ketertarikan fisik. Semenjak aku jadi hamil dan sibuk mengurus bayi. Kami tak lagi merasakannya. Apa yang mengikat kami berdua hanya Arashi."

"Bukankah itu cukup untuk melanjutkan rumah tangga kalian?"

Ino menggeleng, "Tidak, Suatu hari Arashi akan tahu kalau Ayah dan Ibunya hanya berpura-pura harmonis dan bahagia. Sai, Aku dan Itachi terlalu berbeda. Bila ini terus berlanjut akan berakhir menjadi ketidakpuasaan."

"Kalau memang begitu bercerai saja, Kalian masih bisa menjadi orang tua tanpa harus bersama."

"Aku tak yakin Itachi mau dan aku juga bingung apa aku akan jadi lebih baik tanpa dirinya."

"Hidupmu, pilihanmu. Aku berharap kau benar-benar mendengarkan hatimu. Aku merasa khawatir kau sengaja menghalau Itachi hanya karena kau merasa dendam ia memaksakan semua ini padamu. Apa kau masih marah pada dirinya?"

"Barangkali, Aku tidak tahu."

Sai melihat jam tangannya. "Maaf, Aku harus kembali ke kantor. Lain kali kita bertemu, kalau suamimu mengizinkan."

"Tentu saja Ia akan setuju. Bulan depan Anakku berulang tahun. Yang lainnya akan datang. Aku harap kau juga bisa datang di pesta. Sekalian kita reuni."

"Tentu saja aku akan datang. Bye Ino."

Begitu Sai pergi, Ino juga meninggalkan cafe itu. Senang bertemu dengan temannya dan nanti sore ia dan Arashi akan bertemu dengan Gaara.

.

.

"Kau terbang Arashi, yiha!" Gaara mengangkat Arashi hingga sang bayi melayang di atas kepalanya. Sang bayi memekik gembira dan menarik-narik rambut merah pemuda itu.

Ino tertawa melihat rambut Gaara yang tadinya rapi sudah acak-acakan. "Sepertinya Arashi menyukaimu."

"Tentu saja, Bayi pun tak kebal dengan pesonaku. Mana suamimu? Sudah sore begini ia belum pulang juga."

"Biasalah, Dia sibuk di kantor."

"Aku merasa tak enak, datang kemari ketika ia tak ada. Aku tak mau menyebabkan rumor yang tidak-tidak."

"Ayolah Gaara, Itachi tahu kita berteman dan aku sudah memberitahunya kau akan datang. Aneh sekali, Sai juga berkata hal yang sama. Ia tak menghubungiku karena enggan dengan suamiku."

Gaara meletakkan Arashi di lantai dan bayi itu mulai merangkak dan memanjat dengan senang hati. Pemuda berambut merah itu duduk di lantai sambil mengawasi sang bocah. "Wajar, Kau wanita yang sudah menikah. Tentu ada batasnya bagaimana kita berteman. Tidak bisa lagi seperti dulu. Apa Sasuke pernah kemari?"

Ino menggeleng. Ia hampir tak pernah melihat adik iparnya itu. "Naruto dan Sasuke masih sibuk dengan kegiatan kampusnya. Bulan depan mereka libur panjang dan akan kembali. Kau harus datang agar kita bisa seru-seruan lagi."

Gaara melirik Arashi yang tampak tertarik pada kaus kakinya. Bocah itu terlentang dan mengangkat kakinya mencoba meraih kaus berpola polkadot biru itu. "Arashi benar-benar mirip Itachi."

"Yah, Hanya matanya seperti keluarga Yamanaka."

"Apa kau sudah menemui psikiater?"

"Yap, Aku merasa sedikit lebih baik, tetapi aku masih merasa terkekang."

"Bagaimana bisa Ino? Orang tuamu tak lagi menuntutmu ini itu dan suamimu sepertinya membebaskanmu melakukan apa saja."

"Entah mengapa aku merasa Itachi terlalu mendominasi. Selalu saja semua harus sesuai keinginan dan rencananya. Aku merasa tak didengarkan. Seolah aku hanya anak kecil yang tak mampu mengambil keputusan. Ia mengambil alih peran orang tuaku. Apa mungkin karena usia kami terpaut jauh?"

"Apa kau pernah menyuarakan pendapat dan pikiranmu padanya?"

"Buat apa? Paling dia berkata tidak atau malah menertawakanku."

"Mengapa aku merasa kau tak mempercayai suamimu, bahkan untuk mendengar pendapatmu sendiri. Kau tak bisa menyalahkan Itachi bila kau tak pernah mencoba bicara dengannya. Mengapa kau takut ia tak menghargai pemikiranmu?"

"Karena aku tak pernah melakukan apa pun untuk mendapatkan respeknya."

"Jadi lakukanlah sesuatu. Kau gadis yang cerdas Ino. Menurutmu mengapa Itachi jatuh cinta padamu. Pasti karena ia melihat sesuatu dalam dirimu. Seperti halnya diriku."

Ino menatap Gaara dengan bingung. "Kau jatuh cinta padaku?" Pengakuan pemuda itu memang tak terduga. Selama ini Gaara selalu menggodanya ia mengira itu hanya iseng belaka karena ia juga menggoda gadis-gadis lainnya.

Pemuda berambut merah itu hanya tersenyum tipis, "Kau pikir mengapa aku peduli padamu? Aku menyukaimu sejak kau menumpahkan ramen dikepalaku ketika aku mengejekmu sebagai cewek barbie tak berotak. Anyway, Aku tak berniat merusak rumah tanggamu dengan memberitahumu perasaanku. Aku sudah menerima kenyataan kita tak bisa jadi lebih dari seorang teman."

"Aku...Aku, Andai saja kita bisa memutar waktu."

"Well, Kau tak akan suka padaku. Kau mulai akrab ketika aku mau mendengar pengakuan tentang kehamilanmu di atap. Sebelumnya kau hanya menganggapku pemuda bajingan dan parasit."

"Ha..ha..ha. Itu karena kau memang play boy tengik. Di antara kalian berempat aku paling anti padamu, kau juga merayu Sakura dan juga semua makhluk yang memakai rok mini. Mana sudi Ratu Ino pacaran denganmu," ujar wanita pirang itu bercanda. Lelah berdiri Ino memutuskan duduk di sebelah pemuda itu sambil memangku Arashi. "Aku tak mencintai Itachi." Kalimat itu diucapkan dengan serius. Seolah Ino sedang meyakinkan dirinya sendiri ketimbang memberitahu temannya.

Gaara menatap Ino dengan pandangan menyipit. "Apa kau sudah berusaha membuka diri dan hatimu?"

"Meskipun Itachi sangat baik, Aku masih merasa dipaksa untuk menjalani ini. Hal itu membuatku tak bisa berpaling dari keburukannya."

"Aku rasa kau harus melepaskan egomu dan memandang Itachi dengan lebih objektif dengan begitu mungkin kau akan menyadari kalau kau ternyata tak bisa hidup tanpa dirinya. Coba kau pikirkan baik-baik. Bila memang benar kau tidak bahagia dengannya. Kau bisa lari ke pelukanku yang nyaman." Gaara menyeringai lebar sambil bercanda.

"Ha, Kau selalu saja bilang begitu. Bila Temari dengar dia pasti akan menonjokmu."

"Dong...dong..dong." Arashi berteriak meminta perhatian kedua orang dewasa itu.

"Oke, Om akan gendong kamu." Gaara mengangkat si bayi dari pangkuan Ino. Dengan cepat tangan Arashi memukul hidung Gaara. "Ouch, Sepertinya kau tak setuju kalau aku mencuri mamamu."

"Hey, Aku lapar. Apa kau mau pergi makan?"

"Hm.. Baiklah, tapi ke mana kita bisa makan dengan tenang dengan membawa bayi."

"Kau benar, Sejak Arashi lahir aku tak pernah makam malam di restoran. Terlalu merepotkan membawa bayi."

"Pesan Pizza saja. Kita bisa makan pizza sambil menonton film kartun. Kau setuju bos?" Gaara menanyakan si bayi.

"Ok, Oke.. Hawaiian Pizza?"

"No.. aku tak suka nanas. Meat lover ekstra keju."

"Oke..Oke.."

Mereka bertiga duduk di atas karpet ruang tamu. Membiarkan TV menyala dan menemani Arashi bermain sambil makan pizza. Ini jauh lebih menyenangkan ketimbang menunggu suaminya pulang hanya bersama anaknya. Andai saja ia bisa berkumpul bersama teman-temannya pasti akan menyenangkan sekali.

.

.

.

Itachi melonggarkan ikatan dasinya. Pertemuan dengan calon investornya baru saja berakhir. Ia melirik jam tangannya, sudah jam setengah delapan malam. Ia akan tiba di rumah ketika Arashi sudah tidur. Ia menyisir rambutnya dengan jari. Sampai kapan ia akan seperti ini. Setiap hari ia hanya punya waktu satu jam bersama putranya. Belum lagi dia sering keluar kota. Dia khawatir pada istrinya terutama. Itachi sudah berusaha semampunya tapi Ino tak kunjung mencintainya. Apa memang cinta itu tak bisa dipaksakan. Ino tidak memperlakukannya dengan dingin. Mereka begitu sipil dan bersikap bersahabat sebagai pasangan. Akan tetapi Itachi tak dapat menggoyahkan kecurigaan bahwa Ino meski bersikap hangat menjaga jarak darinya. Istrinya tak pernah mau bersikap terbuka dan sekarang ia kerap menghabiskan waktunya dengan Sabaku Gaara. Ia tak membenci pemuda itu, tapi salahkah dia merasa sedikit cemburu meski Ino bersikeras ia dan Gaara hanya berteman.

Barangkali ia salah menganggap Ino tertarik padanya dan berharap dia bisa menyalakan kembali keajaiban yang mereka rasakan saat pertama kali berjumpa. Nafsu dan keingintahuan ternyata tak bisa berubah menjadi cinta. Mungkin sudah saatnya ia menyerah untuk memenangkan hati gadis itu. Mereka berdua bisa bekerja sama menjadi orang tua yang baik bagi Arashi, tetapi hubungan mereka sebagai suami istri tidak berjalan dengan baik. Sekeras apa pun ia berusaha bila Ino tak berniat menyambut dan membalas usahanya hanya akan jadi sia-sia. Itachi merasa tidak puas. Dia tidak bahagia Ino tak membalas perasaannya dan ia tak bisa berbohong sekali-sekali ia merindukan sentuhan wanita dan istrinya tak pernah memberikannya. Tentu ia tak bisa memaksa, gadis itu tak pernah lagi menunjukkan ketertarikan padanya. Barangkali kehamilan, depresi dan mengurus Arashi menyita seluruh perhatian Ino. Ia bisa maklum tapi ia tak bisa memungkiri ia merasa ditelantarkan. Seolah ia bukan prioritas Ino. Hal ini membuatnya sedih.

Itachi berjalan keluar dari restoran dengan terburu-buru, tanpa sengaja ia menabrak seorang wanita.

"Maaf, Aku sedang terburu-buru."

"Itachi? Aku tak menyangka akan bertemu dengan dirimu lagi."

Pria itu membeku menatap wajah wanita yang sangat dia kenal. "Izumi, Kau kembali ke Konoha?"

Wanita itu tersenyum dengan sedih, "Aku kembali tiga bulan yang lalu."

"Apa kau dan suamimu tinggal di Konoha sekarang?"

"Tidak, Kami sudah berpisah. Aku baru sadar sungguh bodoh meninggalkanmu untuk dirinya. Aku sudah dengar tentang pernikahanmu. Selamat ya, Aku harap kau bahagia."

"Terima kasih. Aku pulang dulu Izumi."

"Aku harap kau sudah memaafkanku Itachi."

Pria itu tak membalas. Ia melangkahkan kakinya dengan cepat keluar restoran. Dia tak pernah menyangka akan bertemu kembali dengan Izumi setelah wanita itu memutuskan hubungan mereka dan menikah dengan seorang pengusaha dari Iwagakure. Izumi adalah wanita pertama yang ia cintai dan mematahkan hatinya. Tentu saja Ia sudah melupakan wanita itu.

Ketika ia tiba di rumah. Sabaku Gaara masih di sana. Duduk dengan santai bersama istrinya di sofa.

"Bukankah ini sudah terlalu malam untuk bertamu Gaara." Ini sudah jam sembilan. Itachi tak ingin terdengar cemburu atau curiga, tapi ia tak suka melihat istrinya begitu dekat dengan lelaki lain.

"Aku yang menyuruhnya tinggal sampai kau pulang. Aku bosan hanya sendirian bersama Arashi. Jarang-jarang Gaara mampir ke Konoha. Jadi kami mengobrol lama." Ino membela temannya.

Melihat wajah tidak senang Itachi. Gaara memutuskan untuk pergi, "Maaf, Aku akan pulang sekarang. Aku harap kau tidak marah Itachi, Aku merasa tidak sopan bila aku tak memberi salam padamu jadi aku menunggumu. Lagi pula besok aku sudah akan kembali ke suna."

" Maaf, Aku tak bermaksud menyinggungmu, Mungkin aku hanya sedikit lelah. Kau sahabat Ino. Rumah ini terbuka untukmu."

Ino mengantar Gaara ke luar. "Oke, Hati-hati di jalan. Pokoknya kau harus datang ke acara ulang tahun Arashi bulan depan. Apa kau tak kangen membully Naruto."

"Oke, Pasti akan menyenangkan bisa ngumpul-ngumpul lagi. Sampai jumpa Ino."

Itachi melihat wajah gadis itu berbinar ceria ketika bicara dengan Gaara. Hatinya terasa begitu sakit. Mungkin kah ada sesuatu di antara mereka dan dia adalah penghalang utama gadis itu untuk bahagia?

Melihat senyum Ino lenyap begitu menatap dirinya. Itachi jadi merasa semakin pilu. Mungkin ia harus melepaskan Ino. Usahanya untuk membuat Ino bahagia terbukti gagal. Dia membuat Ino kehilangan masa depannya. Dia membuat Ino depresi hingga nyaris bunuh diri dan keinginannya untuk membuat gadis itu mencintainya hanya membuat Ino tak bahagia. Meski ia banyak mengalah dan tidak menuntut sepertinya hal itu tak cukup bagi istrinya. Mungkin satu-satunya cara untuk melihat Ino bahagia hanya dengan membebaskannya. Arashi juga akan lebih baik bersama Ino. Pekerjaan dan kesibukannya membuat ia tak punya banyak waktu untuk membantu Ino mengurus anak mereka.

"Itachi, Kau terlihat letih. Apa yang terjadi?" Setelah percakapannya dengan Sai dan Gaara. Ino menyadari ia tak pernah memperhatikan suaminya. Ino merasa pria itu sanggup melakukan apa saja. Jadi ia beranggapan mubazir memperhatikan orang yang tak butuh diperhatikan, tapi sepertinya ia salah. Ia melewatkan wajah letih tidak bahagia suaminya. Sekali lagi rasa bersalah menerpanya. Dia sadar. Dialah penyebab pria itu tak bahagia. Setulus apa pun perasaan cinta seseorang bila tak terbalas tentunya akan terasa menyakitkan. Ino tak punya alasan membuat Itachi menderita. Hanya saja bagi Ino ia tak bisa dan tak ingin mencintai karena dia harus. Ia ingin punya pilihan dan Itachi menempatkan dirinya dalam sebuah komitmen yang Ino tidak inginkan dan dia merasa terpaksa dan terjebak meski ia telah memberitahu dirinya ini semua demi kebaikan Arashi. Ino masih belum benar-benar merelakan.

Itachi menaki tangga tanpa menatap istrinya lagi. "Hanya terlalu banyak bekerja. Aku mau mandi dan tidur. Selamat malam, Ino."

Gadis pirang itu menatap kepergian Itachi dengan heran. Itachi bersikap dingin ketika ia mencoba menunjukkan sedikit perhatian. Mungkin pria itu memang tak butuh perhatian darinya.

.

.

.

Keputusannya sudah final, Pria itu memanggil pengacara untuk mendiskusikan perceraiannya. Tak ada lagi yang bisa ia lakukan. Ia tak bisa memaksa Ino. Ini jalan terbaik. Berkas perceraian terongok di meja kerjanya. Ia masih bisa menjadi ayah Arashi meski ia dan Ino tak lagi menikah. Itachi telah menyerah. Ia sempat berpikir suatu hari Ino akan mengakui perasaannya. Suatu hari mereka akan bahagia dalam cinta, tetapi suatu hari itu tak akan pernah tiba. Mungkin ketertarikan Ino padanya hanya kepingan imajinasinya sendiri. Sebuah halusinasi yang ia paksakan sebab ia begitu mencintai Ino, tapi ia tak bisa membelenggu gadis itu selamanya dan bahkan lebih buruk dengan menjadikan Arashi sebagai borgol yang mengikat kebebasannya. She still so young and deserve to fly.

Ketika ia tiba di rumah, Ia menyodorkan berkas itu pada istrinya.

"Apa ini?" Ino menatap map di tangannya dengan bingung.

"Berkas perceraian. Tinggal kau tandatangani dan kau akan bebas dari komitmen ini," ujar pria bermata gelap itu dengan lesu. Bahunya merosot dan wajahnya lelah. Dia terlihat seperti serdadu yang kalah perang.

"Apa maksudmu? Kau mau menceraikanku, Mengapa?" Ino kebingungan. Ini sangat mendadak. Hubungan mereka memang tak manis tapi juga tidak buruk.

"Bukankah kau tak bahagia denganku. Kau bahkan tergantung dengan pil-pil itu untuk mengontrol kecemasan dan kesedihanmu. Barangkali terbebas dari komitmen yang aku paksakan akan membuatmu lebih baik."

Ino marah dan tak menyembunyikan emosinya. "Inilah hal yang aku benci darimu, Kau tak pernah bertanya apa keinginanku, apa yang aku pikirkan. Selalu saja berbuat sesukamu. Kau memaksaku untuk menikah tanpa punya pilihan lain dan sekarang kau memutuskan untuk bercerai."

"Apa kau lupa, Aku selalu meminta pendapatmu. Rumah ini dan segala isinya adalah pilihanmu, tapi begitu Arashi lahir kau mengabaikanku dan semua pertanyaan yang aku lontarkan. Membuatku harus mengambil keputusan sendiri."

"Kau tahu sendiri aku mengalami depresi bagaimana bisa aku berpikir dengan jernih jika semua isi kepala dan hatiku hanya kesedihan."

"Karena itu aku memutuskan kita lebih baik berpisah, Aku pun tak lagi bahagia. Tidakkah kau melihatnya. Aku memberikanmu segala hal yang aku mampu selama hampir dua tahun ini dan kau sama sekali tidak tergerak. Pernahkah kau memberikanku sebuah pelukan? Aku lelah terus berusaha tanpa melihat sedikit pun balasan darimu."

Kata-kata Itachi memberikan pukulan telak bagi Ino. Suaminya benar, Ia tak berusaha mencintainya. Sial ia bahkan menolak untuk mencintainya, tetapi mengapa permintaan Itachi untuk bercerai membuatnya merasa sakit. Seharusnya dia bahagia karena tidak lagi harus bersama orang yang dia benci.

"Maafkan aku." Ino menggenggam berkas itu dengan erat.

Itachi melangkah, berdiri di depan istrinya menangkup wajah Ino dengan kedua tangannya. Meski ekspresi wajah pria itu melembut, Ino melihat penderitaan di matanya. Ino sadar ia telah menghancurkan hati pria itu dengan sikapnya dan sekarang Itachi menyerah. "Dengar, Aku memutuskan untuk bercerai karena aku mencintaimu. Aku tak bisa melihatmu menderita di sisiku. Kau masih begitu muda, tak adil rasanya bila aku merantaimu hanya agar aku bisa memilikimu."

"Bagaimana dengan Arashi? Kita menikah untuk memberikannya keluarga."

"Apalah artinya keluarga bila kenyataannya kedua orang tuanya tidak bahagia. Kita masih tetap bisa menjadi orang tuanya meski tak lagi bersama."

Air mata menetes di pipi Ino tanpa ia bisa kontrol. Mengapa ia harus merasa sedih?

"Mengapa kau menangis?" tanya Itachi dengan suara lirih.

"Aku tak tahu, Rasanya menyakitkan."

"Awalnya aku pikir aku akan cukup bahagia bisa hidup bersamamu meski kau tak mencintaiku, tetapi aku salah. Aku menginginkanmu membalas perasaanku. Aku menginginkan hati, jiwa dan ragamu menjadi milikku, tetapi sepertinya aku tak akan mendapatkannya. Di atas segalanya aku hanya ingin melihatmu bahagia karena itu aku memutuskan melepaskanmu. Meski rasanya menyakitkan." Itachi melepaskan Ino. Menatapnya seolah ini terakhir kalinya ia akan melihat Ino. "Besok aku akan meninggalkan rumah ini." Pria itu pun pergi menaiki tangga menuju kamarnya.

Ino masih syok, Ia terperuk di sofa. Gadis itu menangis dalam diam, Memeluk dirinya. Dia tak mencintai suaminya tetapi perpisahan terasa menyakitkan. Pernikahan ini hancur karena dirinya. Yang dengan egois memanfaatkan cinta Itachi tanpa berusaha membalasnya sedikit pun. Ia telah memperlakukan suaminya dengan tidak adil. Sejak kapan ia berhenti memandang Itachi sebagai manusia yang juga membutuhkan cinta dan sekarang terlambat untuk memperbaikinya. Itachi sudah menyerah. Menyerah untuk bersamanya.

Itachi duduk di sisi ranjang dengan wajah tertunduk. Dia bukan pria yang menunjukkan emosi tapi sekarang ia menangis hanya karena seorang gadis berusia sembilan belas tahun. Istrinya, wanita yang ia cintai tapi tidak bisa ia bahagiakan. Perceraian ini adalah keputusan terbaik yang bisa dia ambil. Mungkin kebebasan akan membuat Ino melihat keadaan dengan perspektif baru. Itachi masih ingin berharap gadis itu akan kembali padanya suatu hari atas kemauannya sendiri.

.

.

Ino terbangun mendengar tangisan bayinya. Iya bergegas menghampiri Arashi. Ia mengendong anaknya sambil menyiapkan susu dan membuka tirai. Matahari baru saja terbit masih begitu pagi. Ino mendudukkan sang bayi di kursi dan ia pun menyeduh kopi. Ia bertanya-tanya apa suaminya tidur dengan tenang? Ino belum menandatangani berkas perceraiannya. Ia butuh waktu untuk mencerna semua ini. Ketika jam sudah menunjukkan pukul tujuh dan Itachi belum turun ke dapur seperti biasa. Ino memutuskan untuk mencari suaminya. Sambil mengendong Arashi ia mengetuk pintu kamar Itachi, tetapi tak ada jawaban. Ia membuka pintu yang ternyata tak di kunci. Ruangan itu kosong. Ino meletakan putranya di ranjang. Suaminya sudah pergi dan Ino merasa sangat kesepian.

"Hanya kita berdua sekarang." Bisik Ino pada putranya dengan sedih.

Itachi tiba di apartemen lamanya. Menyeret koper yang berisikan pakaian-pakaiannya. Ia pergi tanpa mengucapkan selamat tinggal karena ia sejatinya tak kuasa berpisah dengan Ino. Dia mampir melihat putranya yang masih tertidur pulas dan mengintip istrinya tertidur dari ambang pintu. Ino tak pernah tahu, hampir setiap malam Itachi berdiri di pintu kamar gadis itu berharap ia akan mengundangnya masuk tapi suara yang ia dengarkan hannyalah kesunyian. Istrinya tertidur dengan lelap tanpa menyadari dia menatap wanita itu dengan keinginan, hasrat dan rasa putus asa. Dia begitu menyedihkan dan sekarang Itachi sendirian lagi. Berusaha merangkai kembali kehidupannya.

.

.

Author Note : More hurts before hapiness... Ah...maaf pada para pembaca yang menunggu-nunggu lanjutan kisah ini. Saya masih berusaha menulis, meski sekarang mungkin hanya bisa update satu ff tiap minggunya. Terima kasih reviewnya. Mengingatkan saya kembali untuk tetap update cerita ini.

Happy Reading

AnnA.