Perfect, Imperfect
.
Chapter 16
.
Recovery.
"Apa yang pernah aku bilang soal menyakiti Ino?" Sasuke menatap kakaknya dengan pandangan tajam. Ia baru saja kembali ke Konoha dan dihadiahi berita buruk.
Itachi tertawa kering, "Apa kau buta, Lihat siapa yang tersakiti di sini? Aku telah berusaha tapi ia sama sekali tidak luluh. Apa hati Ino Yamanaka terbuat dari batu?"
"Aku sama sekali tak tahu apa yang terjadi pada kalian dan seingatku Ino adalah gadis yang lembut. Tak ada alasan dia mengabaikanmu bila kau tak bersikap layaknya bajingan."
"Dia bersikap sopan padaku, tapi bukan itu yang aku harapkan dari seorang istri. Dia tak mau mencintaiku dan menerimaku sebagai suaminya."
"Jadi kalian positif bercerai?" Sasuke mengempaskan dirinya di sofa kulit hitam yang mendominasi ruang tamu kediaman Uchiha.
"Belum, Ino tidak menandatangani berkasnya. Aku tak tahu mengapa ia menunda proses ini."
"Aku rasa ia masih ragu. Beri dia waktu untuk berpikir."
"Aku hanya akan diam dan menunggu. Bila ia memang punya perasaan untukku ia akan kembali padaku dengan kesadarannya sendiri."
"Kau masih mencintainya ya?"
"Sangat mencintainya. Ini kesempatan terakhir untuk Ino. Jika dia memang menganggapku tak berarti, Biarlah kami menjalani hidup masing-masing. Aku sudah cukup berusaha dan aku ingin melihat Ino berusaha."
Itachi merindukan Ino dan Arashi. Tapi ia menahan diri. Rumah tangga tak akan bertahan tanpa kerja sama dan sekarang ia memasrahkan keputusan pada Ino. Gadis itu menginginkan kendali. Itachi sudah menyerahkan keputusan final pada Ino. Dia sebenarnya gembira Ino belum menandatangani berkas itu. Artinya mereka masih punya harapan. Apa yang ia inginkan hanya Ino mencarinya dan mereka bisa memperbaiki semuanya.
.
.
Sakura menyuapi Arashi makanan. Ino kembali tinggal bersama orang tuanya. Tanpa Itachi rumah yang mereka tinggali terasa hampa. Sebulan sudah mereka berpisah dan Ino kian menyadari betapa besar sosok Itachi telah terpatri dalam kehidupannya.
Dia gadis yang bodoh. Sangat bodoh. Betapa jahat dan egoisnya Ino membuat suaminya merasa di telantarkan dan tidak dihargai. Ke mana empatinya selama ini. Tertelan oleh kemarahan yang salah. Dia telah memperlakukan suaminya dengan tidak benar dan tidak layak. Wajarlah Itachi kesal padanya.
"Aku dengar dari Sasuke, Izumi Uchiha sudah kembali."
"Siapa itu Izumi?" Ino tak kenal nama itu. Dia bahkan tak pernah mendengarnya.
"Mantan tunangan Itachi. Dia baru saja menjanda."
"Lalu apa hubungannya dengan suamiku?"
"Sasuke bilang mereka berkencan lagi. Sepertinya Itachi move on dengan cepat darimu. Apa kalian sudah benar-benar bercerai?"
"Tidak, Aku belum menandatangani surat cerainya. Dia juga tak memberi ultimatum untuk cepat-cepat menyelesaikannya."
"Mengapa, Bukannya kau ingin bebas?"
"Aku tak bisa membayangkan hidupku tanpa dirinya. Sebulan ini terasa bagaikan neraka."
Gadis berambut pink itu menarik nafas panjang. "Mengapa kau tak mengakui kalau kau mencintai Itachi."
"Aku dibutakan oleh amarahku dan kini semuanya terlambat"
Sakura menepuk bahu temannya, "Mengapa kau jadi lembek begitu. Tak pernah ada kata terlambat untuk minta maaf dan memperbaiki situasinya."
"Tapi...tapi aku sudah berbuat bodoh dan memperlakukan Itachi dengan buruk."
"Ino yang aku kenal pantang menyerah. Itachi telah berusaha untukmu dan sekarang tunjukan kau juga bisa berjuang untuknya. Kau begitu bodoh Ino."
"Aku tahu Sakura. Aku harap belum terlambat untuk menunjukkan perasaanku padanya."
"Oke cukup sudah curhat soal lelaki. Apa kau punya es krim? Kita bisa memanjakan diri dengan makan makanan manis sambil nonton drama."
Ino memutuskan untuk menemui Itachi dan berharap pria itu mau mendengarkan dan memaafkannya.
.
.
Itachi setuju untuk menemui Ino di kediaman Uchiha. Gadis pirang itu tampak tegang dan cemas. Itachi sendiri tetap bersikap kalem meski ia senang melihat Ino dan putranya kembali. Ino menitipkan Arashi pada Mikoto dan Sasuke. Mereka berdua bicara di taman yang menawarkan privasi.
"Mengapa kau ingin menemuiku."
'Karena aku merindukanmu' kalimat itu tak terucap dari mulutnya. "Aku ingin menyampaikan, Kau bisa menghabiskan waktu bersama Arashi di hari Sabtu dan minggu. Aku pikir kau merindukannya."
"Terima kasih mengizinkanku menjaganya. Aku merindukan Arashi."
"Kau ayahnya, Aku tak berniat untuk menghalangimu untuk bertemu Arashi kapan saja."
"Ino mengapa kau belum menandatangani berkasnya?"
Ino tak tahu harus berkata apa. Seharusnya ia harus bicara jujur bahwa ia tak ingin bercerai tetapi pandangan dingin Itachi membuat nyali gadis itu ciut. Bahkan aroma bunga dan kehangatan musim semi tak memberinya keberanian untuk bicara sambil menatap mata gelap yang menusuk itu. "Aku masih butuh waktu. Mengapa kau terburu-buru? Apa ini ada hubungannya dengan wanita bernama Izumi?"
"Sejak kapan kau peduli padaku dan kehidupanku Ino. Dua tahun kita menikah pernahkah kau bertanya apa yang aku lakukan seharian di luar rumah. Sekarang ketika kita berpisah tiba-tiba saja kau tertarik dengan kehidupan asmaraku."
Pernyataan Itachi begitu menohok. Sebab pria itu benar. Dia begitu buruk. Kebenarannya adalah Itachi memang tak layak bersama gadis bodoh dan tak tahu terima kasih seperti dirinya. "Aku hanya ingin tahu, Aku pergi sekarang. Kau bisa mengantar Arashi ke rumah orang tuaku nanti sore. Permisi."
Ino meninggalkan rumah orang tua Itachi dengan keadaan kacau. Rencananya bubar begitu bertatapan dengan mata gelap sedingin es. Dia lah yang menyebabkan Itachi seperti itu. Ino hanya bisa menyalahkan dirinya dan bersembunyi. Dia menangis sejadi-jadinya menyesali kebodohannya. Pria itu bahkan sekarang sudah bersama wanita lain. Bagaimana Ino bisa memenangkan hati Itachi sekali lagi setelah ia menghancurkannya dengan sikap apatis dan egois yang ia tunjukan selama ini.
.
.
Sepertinya semua telah berakhir, Ino tidak datang untuk memintanya kembali. Wanita itu sudah menandatangani berkas perceraian dan mengembalikan kertas-kertas itu padanya. Harapan terakhirnya pupus sudah. Dia tinggal menyerahkan surat ini ke pengadilan dan menunggu sidang perceraian berlangsung. Mereka berdua akan menjalani hidupnya masing-masing.
Dia menjemput Arashi setiap hari Sabtu dan minggu di rumah Yamanaka, Tapi Ino tak pernah ada. Sepertinya gadis itu sengaja menghindarinya. Dia juga bersyukur mereka tidak bertemu karena ia tak tahu apa yang akan ia lakukan bila mereka bertatap muka.
Dia dan Izumi menjadi cukup dekat. Rumah tangga yang gagal membuat mereka bisa akrab kembali. Malam ini ia habiskan duduk di bar bersama wanita berambut gelap itu dan Itachi sudah minum cukup banyak.
"Sulit dipercaya aku masih tersihir oleh bocah berusia sembilan belas tahun. Aku membiarkannya meluluhlantakkan kehidupanku."
"Ayolah Itachi, Ini bukan akhir dunia. Masih banyak gadis lain yang bisa kau cintai."
"tapi Izumi, Aku hanya mencintainya. Aku tahu gadis itu tak layak dicintai. She is a bitch, but still i love her."
"Aku datang kemari tidak untuk mendengarkan keluhanmu, Itachi."
Pria berambut hitam itu mengangkat alisnya, membuat ekspresi bingung. "Lalu apa yang kau inginkan dariku Izumi?"
Wanita itu menjentikkan jari telunjuknya dan mengusap pipi Itachi. "Bagaimana kalau aku membantumu melupakan gadis bodoh itu?"
"Kau pikir ini akan berhasil?"
"Kita bisa mencoba."
Izumi mencium Itachi dan pria itu membiarkannya. Sentuhan wanita itu berasa bagai hujan di padang pasir. Sejak ia tidur bersama Ino dua tahun yang lalu ia tak pernah menyentuh wanita lain, bahkan istrinya sendiri. Tubuhnya merindukan hubungan fisik. Meski ciuman Izumi melegakan, Itachi merasa ini tidak benar. Begitu lidah Izumi hendak merangsek masuk. Ia mendorong bahu wanita itu menjauh.
"Maaf, Aku rasa aku tak bisa." Itachi membenci dirinya karena tak kunjung bisa melepaskan dirinya dari bayangan Ino.
Izumi hanya tersenyum kecut. "Perasaanmu pada gadis itu lebih dalam dari yang aku duga."
"Aku tak yakin akan bisa melupakannya. Ia ibu dari anakku."
"Suatu hari mungkin saja, tapi sekarang kau akan menderita."
"Oh, Aku sudah menderita cukup lama. Aku pulang dulu, Izumi. Terima kasih sudah menemaniku."
Itachi bangkit dari duduknya dengan sedikit sempoyongan.
"Sebaiknya kau pulang naik taksi, Kau mabuk."
"Tidak, Aku baik-baik saja."
Itachi menyetir mobilnya dengan kencang. Pikirannya penuh dengan masalah, pekerjaan di kantor. Arashi dan yang paling menyita perhatiannya tentu saja si gadis berambut pirang. Apakah Ino sudah bahagia sekarang? Apakah gadis itu kembali tersenyum? Apa Ino menemukan penganti dirinya? Seorang yang lebih mengerti Ino daripada dirinya. Mengapa ia masih saja memikirkah Ino padahal gadis itu tak peduli padanya.
Itachi melaju dengan kencang tanpa menyadari dia menerobos lampu merah. Sebuah Truk melintas dari arah lainnya dan terlambat untuk menginjak rem. Bagian depan truk menghantam sisi samping mobil Itachi dan membuat mobil sedan hitam itu terguling. Itachi tak sadarkan diri.
.
.
Begitu mendengar Itachi kecelakaan Ino langsung pergi ke rumah sakit bersama ayah dan ibunya serta Arashi. Ino merasa panik, seolah dunianya akan berakhir dan melihat wajah muram Mikoto dan Fugaku membuat Ino merasa lebih buruk.
"Apa yang terjadi pada Itachi?"
"Mobilnya ditabrak truk, beberapa tulangnya patah dan kepalanya cedera. Mereka sedang mengoperasinya."
Mendengar itu kaki Ino langsung lemas. Ia jatuh terduduk di lantai lorong rumah sakit menutup wajahnya dengan kedua tangan dan menangis sesenggukan. Tak seorang pun paham mengapa Ino begitu terpukul. Inoichi mengangkat putrinya dan membawanya duduk di kursi terdekat. Mikoto duduk di sebelah Ino bertanya pada gadis itu dengan suara lembut.
"Mengapa kau tampak begitu sedih Ino? Bukankah hubunganmu dan Itachi begitu buruk hingga kalian harus bercerai."
"Aku mencintainya, tapi aku tak pernah memberitahunya atau berusaha menunjukkannya. Sepanjang pernikahan kami aku berlagak seolah-olah menjadi korban. Padahal aku tak lebih dari gadis manja egois tapi Itachi selalu sabar menghadapiku. Jika Itachi pergi sekarang aku akan menyesalinya seumur hidupku."
"Ino, Itachi akan baik-baik saja." Fugaku mencoba menyemangati menantunya.
Operasi berjalan selama beberapa jam. Kondisi pria itu stabil, tetapi ia masih tak sadarkan diri. Ino tak beranjak dari sisi suaminya. Sesekali ia menengok Arashi yang kini di jaga Mikoto dan Ibunya. Sudah tiga hari pria itu koma dan semakin hari Ino semakin cemas.
Gadis itu duduk di sisi ranjang. Menggenggam tangan Itachi yang masih tak sadar. Ia mencoba mengajak pria itu bicara.
"Itachi, Aku belum sempat minta maaf padamu atas segala kebodohanku. Aku ingin kau mendengar isi hatiku. Apakah kau akan memaafkan aku? Aku harap kau membuka matamu dan memberikan aku jawaban."
Pria itu tetap tak bergeming. Ino meneteskan air mata. "Andai saja aku berhenti menyalahkanmu kita berdua bisa berbahagia. Aku membohongi diriku sendiri, aku tak memedulikanmu dan bersikap sekeras batu hingga membuatmu menyerah. Aku membuat kita menderita. Begitu banyak kesalahanku padamu, tapi aku berharap punya kesempatan untuk memperbaikinya." Gadis itu kembali terisak. Dia baru menyadari betapa pentingnya Itachi bagi dirinya ketika pria itu pergi.
"Bangunlah Itachi, Kumohon. Aku ingin kau mendengar ini. Aku mencintaimu dan aku ingin bersamamu. Mungkin sudah terlambat bagiku atau hatimu juga sudah berubah, tapi aku tak peduli. Aku hanya ingin kau tahu perasaanku."
Seperti halnya sebuah keajaiban mata pria itu terbuka. Ia mengerjap dan mengerang. Perlahan matanya menyesuaikan diri dengan cahaya lampu yang menyilaukan. Ia terkesiap melihat Ino berdiri di sisinya. Mata sembab, pipinya basah. Dia tampak letih dan kuyu. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama Itachi melihat Ino tersenyum padanya. Senyum kelegaan dan kebahagiaan. Dia bingung apa yang terjadi.
"Ino, Apa yang terjadi?"
"Kau mengalami kecelakaan dan tak sadar beberapa hari. Aku akan memanggil dokter untuk memeriksamu."
Itachi meraih tangan Ino mencegahnya pergi. Ia berusaha berbicara meski tenggorokannya terasa begitu kering "Mengapa kau disini?"
"Aku mengkhawatirkanmu. Kau tak akan percaya betapa takutnya aku bila kau pergi."
"Sejak kapan kau peduli padaku?"
"Sejak aku mengerti apa arti dirimu dalam hidupku. Aku mencintaimu. Maafkan aku selama ini bersikap buruk. Aku tak peduli perasaanmu masih sama atau sudah berubah. Aku hanya ingin kau tahu."
Senyum terkembang di wajah Itachi. "Butuh satu perceraian dan aku nyaris mati untuk membuatmu mengakui perasaanmu. You really something else."
"Kau masih bisa bercanda di saat seperti ini." Ino menggelengkan kepalanya tak percaya.
"Aku senang, Aku menantimu untuk datang kepadaku sendiri. Aku tak mau lagi mendengar alasan kau terpaksa. Aku sudah melepaskanmu dan sekarang kau membuat pilihanmu sendiri."
" Aku tak mau kehilanganmu Itachi. It's hurt like hell. Jika sekarang aku harus berjuang untuk meraih kembali cinta dan perhatianmu. Aku akan melakukannya."
"You don't need to, Aku selamanya milikmu."
Untuk pertama kalinya setelah pernikahan mereka Ino mencium suaminya. Bibir mereka yang bersentuhan membawa kembali perasaan menyenangkan ketika mereka pertama kali bertemu. Perasaan dan keajaiban itu kembali bersamaan dengan senyum di wajah mereka. Tak ada lagi pengingkaran. Ino sejatinya selalu mencintai suaminya dan ia berjanji akan menjadi lebih baik untuk membahagiakan pria yang sudah melakukan segalanya untuk dirinya.
"Bisakah kita mengulanginya sekali lagi."
"Tentu saja, Kali ini kita akan melakukannya dengan benar."
Mereka berciuman lagi dan tidak menyadari pintu telah terbuka.
"Ehem, Sepertinya pasien sudah sadar." Dokter menyela mereka berdua.
.
.
.
Drop bass mengentak mengiringi tubuh yang meliuk-liuk di lantai dansa. Seorang wanita berambut pirang duduk di bar sendirian menyesap champagne-nya. Tubuhnya berbalut dress merah yang seksi mengikuti lekuk tubuhnya. Ia mengedarkan pandangan ke sekeliling tersenyum geli menyadari jumlah mata laki-laki yang menatapnya seolah dia adalah hewan buruan.
"Kau tampak cantik, bolehkah aku membelikanmu minuman?"
"Apa kau tidak lihat gelasku masih penuh, tuan"
"Ayolah, Satu gelas lagi tak akan menjadi masalah." Desak pria itu.
"Mengapa aku harus menurutimu?"
Pria yang kini duduk di sebelah Ino menyeringai. "Karena aku suamimu."
Ino cekikikan, "Sepertinya kemampuan flirting-mu dengan wanita begitu buruk. Aku tak terkesan."
"Maaf, Sudah lama tak menjadi pria single membuat kemampuanku karatan. Jadi Nona cantik, berkenan menemaniku malam ini."
"Tergantung, Apa kau bisa membuatku tergoda." Ino kembali cekikikan melihat ekspresi lawan bicaranya. Sudah lama ia tak merasa sesenang ini.
"Baiklah, Aku bertaruh malam ini aku akan membuatmu jatuh cinta. Aku punya banyak hal untuk ditawarkan." Pria berambut hitam itu bicara dengan penuh percaya diri sambil mengedipkan matanya.
"Seperti?" Ino menaikkan alisnya.
"Kecerdasan, wajah yang tampan, selera humor, Kekayaan dan status dan yang paling keren. Performa bagaikan dewa seks di ranjang," ucap pria itu tanpa malu-malu pada Ino.
"Aku tak tertarik." Ino mencoba terdengar sinis sambil menahan tawanya.
"Ayolah Nona, Beri aku kesempatan. Maukah kau menari denganku?" Itachi mengulurkan tangannya pada Ino.
"Baiklah, Aku akan terkesan bila pria tua sepertimu masih bisa lincah di lantai dansa."
Musik mengalun pelan dari ritme seksi reggeton yang menghentak menjadi lagu pop ballad yang sendu. Suara George Michael melantun merdu dari sistem audio. Para pengunjung merapatkan diri mereka pada tubuh pasangannya. Bergoyang perlahan mengikuti irama. Tak terkecuali Ino dan Itachi. Ino mengalungkan tangannya di leher Itachi dan pria itu menarik Ino merapat sampai tak ada jarak di antara mereka. Tangan pria itu memeluk pinggangnya. Tubuh mereka bergoyang dengan harmonis dari satu sisi ke sisi lain. Berputar dengan langkah-langkah kecil.
Gadis berambut pirang itu mendongak untuk menatap suaminya. "Berapa lama kita tak pernah punya waktu untuk berduaan saja."
"Terlalu lama, Sampai aku lupa ternyata kau gadis yang seksi dan menarik." Jawab suaminya bercanda.
"It feels like the old time. Aku jadi tertarik padamu lagi, tapi sekarang aku tahu di balik wajah tampan dan karismatikmu kau adalah seorang control freak."
"Hm... Melihatmu duduk di bar, mengingatkanku mengapa aku terpesona padamu waktu itu dan sekarang aku punya pengetahuan baru. Gadis dengan senyum menggoda itu bisa menjadi duri dalam daging dan memberikan banyak masalah."
"Jika saja kau tahu siapa aku. Akankah kau mendekatiku?"
"Tentu saja tidak Ino, Pria waras tak akan mendekati gadis di bawah umur yang jelas-jelas membawa masalah, tapi aku tak menyesalinya. Semua yang kita lalui membawa kita di sini."
"Mungkin bila aku tak keras kepala, jalan yang kita lalui akan sedikit lebih mulus." Ino mendesah.
"Aku senang semua ini berakhir manis."
"Omong-omong bagaimana dengan proses perceraian kita. Sudah tiga bulan aku mengembalikan berkas itu, tapi tak ada panggilan dari pengadilan."
"Itu karena aku tak pernah mengirimkannya. Aku membakar berkas sialan itu."
"Mengapa?"
"Simpel, Aku tak pernah ingin berpisah denganmu. Aku hanya mencari cara agar kau benar-benar melihatku."
"Jadi itu rencana busukmu untuk membuatku mengaku?"
"Bukan rencana, tapi improvisasi. Ada tahap ketika aku benar-benar putus asa menghadapimu. Apa kau marah?"
"Tidak Itachi, Jika kau tidak meninggalkanku aku tak akan pernah sadar betapa pentingnya kau dalam hidupku. Sorry i took you for granted."
"Never mind, My love. Kita tak bisa menghapus kesalahan tapi kita bisa memulai lagi lembaran baru yang lebih baik."
Tamat
Author's Note : Yay...Satu cerita tamat. Maaf bila ada yang kesal dengan Ino. Terkadang kita tidak bisa menghargai sesuatu hingga kita kehilangan. Kalau dalam kenyataan mungkin pria yang diperlakukan seperti Itachi tak akan kembali dan memaafkan Ino yang keras kepala, egois dan menyebalkan, tetapi ini fiksi yang memang dibuat melenceng dari realitas yang kejam sebagai hiburan semata. Cerita berakhir sampai disini karena saya sudah tak bisa mengembangkan plot yang masuk akal. Saya harap ending-nya memuaskan.
Terima kasih atas dukungan dan kritiknya selama ini. Sampai jumpa pada kisah lainnya.
AnnA.
