Perfect, Imperfect

.

Bonus Chapter

.

.

A/N : Ceritanya memang sudah tamat, tapi karena ada request saya buat chapter tambahan. Semoga bisa dinikmati.

Warning : Lemon.

Itachi memasuki pekarangan rumah. Tangannya menggenggam rangkaian bunga favorit Ino dan sebuah kotak yang dihias dengan pita berwarna ungu muda. Dia sengaja tidak memberitahu istrinya ia pulang ke Konoha lebih awal untuk memberikan kejutan. Seharusnya dia baru bisa pulang dari perjalanan bisnisnya tiga hari lagi, tapi karena Ino berulang tahun ia berusaha menyelesaikan semuanya dengan cepat. Ia sedikit merasa bersalah. Selama mereka menikah dia selalu melewatkan ulang tahun istrinya atau hari pernikahan mereka, entah karena dia lupa atau karena ia sibuk. Dia tak menganggap hal seperti itu penting dan Ino juga tidak pernah mengeluhkan sikapnya. Meskipun begitu kali ini ia benar-benar ingin membuat istrinya senang dengan memberikan hadiah istimewa.

Empat tahun sudah mereka menjalani pasang surutnya pernikahan. Banyaknya cobaan yang harus dilalui dan perbedaan yang harus dijembatani membuat Itachi sadar betapa kuat komitmen mereka untuk bisa tetap bertahan dalam pernikahan ini.

Mereka telah melalui jalan terjal untuk saling memaafkan dan mencoba mengerti. Terhanyut dalam pusaran amarah dan emosi yang pada akhirnya membuat mereka menyadari dan membuka ruang untuk cinta dan menjadi keluarga seutuhnya. Itachi tak lagi bisa membayangkan kehidupannya tanpa Ino dan Arashi. Istrinya telah belajar banyak dan mendewasakan diri dan dia sendiri belajar bersabar dan mengayomi. Istrinya wanita yang brilian dan pantang menyerah. Ia membesarkan Arashi sembari menyelesaikan kuliahnya di universitas dan Ino tak pernah mengeluh, tatkala rekan-rekan sebayanya sibuk bersenang-senang dan dia harus mengurus anak dan suami. Di teras ia melihat putranya Arashi tengah bermain dengan seorang pemuda berambut merah. Dahi Itachi langsung berkerut.

Dia terkadang masih suka sedikit cemburu melihat kedekatan Ino dengan sahabat-sahabatnya, terkadang juga ia suka berpikir bila ia tak menghamili Ino mungkin gadis itu akan menjadi kekasih Gaara, Sai atau bahkan adiknya sendiri dan membayangkan mungkin Ino akan lebih bahagia menjalani hidup selayaknya orang seusianya.

Arashi melihat dirinya datang dan langsung menghambur memeluk kakinya.

"Hore ayah pulang." Pekik bocah berambut hitam itu.

"Hai, Itachi." Gaara menyapa si empunya rumah.

"Hai, Gaara. Apa yang membawamu ke rumahku?" Tanya Itachi dengan sedikit rasa curiga. Ia tak suka ada laki-laki dekat dengan istrinya. Apalagi ketika ia sedang tidak ada.

"Sebenarnya..."

Penjelasan Gaara terpotong oleh suara benda di banting dengan keras.

"Kau bermain curang, Teme!" terdengar teriakan kesal seorang pria dari dalam rumahnya. Di susul suara cempreng seorang wanita.

"Kalian, daripada bermain game sebaiknya bantu kami di dapur. Jangan makan saja."

Kerutan di dahi Itachi semakin dalam. Ia menatap Gaara memastikan apa yang ia duga benar adanya.

Pemuda berambut merah itu menyelipkan kedua tangannya di saku celana dan menoleh pada pintu rumah yang terbuka. "Aku rasa kau tak akan menyukainya."

Itachi memasuki rumahnya sambil menggandeng anaknya diikuti Gaara.

"Apa-apaan ini? Kalian merusak konsol game yang baru saja aku beli?" keningnya langsung berkedut melihat controller game yang jauh-jauh hari ia beli secara pre-order retak. Tergeletak di lantai. Dia bahkan belum sempat mencobanya karena sibuk. Belum lagi tumpahan bir dan remah-remah keripik kentang mengotori karpet mahalnya.

"Oh, Hai Itachi. Ino bilang kau baru akan kembali minggu depan."

"Aku kembali segera untuk memberikan kejutan, tapi sepertinya aku tak dibutuhkan. Kalian kelihatannya asyik bersenang-senang."

Sasuke menatap kakaknya. "Kalau kau kesal karena game-mu rusak salahkan Naruto. Dia yang membantingnya."

"Diam kau Teme, Kalau kau tak bermain curang aku tak akan marah."

"Kau kalah terus karena kau bodoh tak bisa bermain dan kau kakak, Sampai kapan mau tak suka pada kehadiran kami? Kami cuma bertamu dan jangan lupa, kami sahabat baik istrimu dan aku adik kandungmu. Sudah sewajarnya kami diterima di rumah ini."

Sai yang duduk di sofa menatap Itachi dengan serius. "Kau masih cemburu dan berpikir salah satu dari kami akan mencuri istrimu?"

Itachi berdehem, mencoba membersihkan tenggorokannya dari tuduhan Sai. "Tentu tidak, Aku tak mungkin meragukan Ino dan berpikir macam-macam."

"Aku rasa bukan itu yang kau pikirkan saat melihatku di teras bersama Arashi tadi." Ucap Gaara menyudutkan Itachi.

"Maaf, Aku salah paham, Aku pikir kau sendirian. Jadi kalian datang untuk merayakan ulang tahun Ino?" Itachi mengalihkan pembicaraan.

"Tentu saja. Ino bilang dia kesepian karena kau pergi. Jadi kebetulan kami semua libur datang kemari sekalian reuni."

"Dimana istriku?" tanya Itachi pada para tamunya.

"Di dapur bersama Sakura menyiapkan makan siang."

"Arashi panggil mama ya?"

"Oke" Jawab bocah empat tahun itu berlari ke dapur berteriak memanggil Ino. "Mama...papa sudah pulang."

Ino dengan terburu-buru menyambut suaminya. "Kau pulang? Aku pikir minggu depan."

"Aku buru-buru menyelesaikan pekerjaanku agar kita bisa merayakan hari ulang tahunmu."

"Bukankah biasanya kau lupa?"

"Aku menyuruh sekretarisku untuk mengingatkanku dan aku punya hadiah untukmu. Aku harap kau menyukainya." Itachi menyodorkan bunga dan bungkusan yang ia bawa pada istrinya.

"Oh terima kasih, Aku senang sekali." Ino langsung mencium suaminya.

"Yuck.." Gumam Sasuke. "Aku tak mau melihatmu dan kakakku bermesraan Ino."

"Kalau begitu kalian bantu Sakura menyiapkan makan siang di dapur." Ino mengusir teman-temannya.

Mereka semua menyingkir dari ruang tamu dan membawa serta Arashi ke dapur membiarkan pasangan suami istri itu berduaan saja.

Itachi mengusap tepung yang mengotori pipi Ino dengan ibu jarinya. "Mereka bilang kau kesepian."

"Tentu saja, Kau pergi lama sekali, Aku merindukanmu."

Belum sempat Itachi menarik istrinya ke dalam pelukan. Empat orang pemuda di tambah Sakura muncul dari dapur.

"Ino, Mereka bilang tak mau makan masakan kita." Sakura melapor pada sahabatnya.

"Benda yang kalian siapkan dari tadi di dapur itu bukan makanan. Kami bisa mati kalau memakannya. Lebih baik kita pergi mencari makan siang." Komentar Naruto.

"Aku setuju. Aku tak akan memakan arang yang kau panggang dalam oven."

"Itu kue coklat." Desis Sakura

"Tak terlihat seperti itu. Kalian berdua mungkin gadis yang cerdas dan pintar, tapi jelas kalian tak punya bakat memasak." Tambah Sai.

"Ino, Aku rasa kami akan makan di Ichiraku. Apa kalian mau ikut?." tanya Gaara sambil mengendong bocah bermata aquamarine.

Ino menatap suaminya, meminta pendapat.

Putra sulung keluarga Uchiha itu langsung membuat keputusan untuk mereka. "Aku rasa aku dan Ino akan makan di rumah saja. Aku tak keberatan memakan masakan yang Ino buat."

Kelima orang itu langsung menyeringai mendengar keputusan Itachi. Mereka semua sadar Itachi senang kalau mereka pergi.

"Bagaimana kalau kami ajak Arashi juga?" tanya Sasuke.

"Boleh saja kalau Arashi mau. Sayang kau mau pergi jalan-jalan sama paman-pamanmu dan tante Sakura?"

Arashi langsung menatap Gaara. "Ke mana kita akan pergi?"

"Cari es krim mau?"

"Mau paman Gaara."

"Nah, Ayo kita tinggalkan pasutri ini. Agar mereka bisa makan siang berduaan dengan tenang." Sakura mengerling ke arah Ino dan memimpin yang lainnya keluar pintu.

Restoran ramen favorit Naruto tak jauh dari rumah Itachi jadi mereka memutuskan berjalan kaki.

"Mengapa papa dan mama tak ikut kita makan es krim?" tanya Arashi dengan lugu.

"Sebab papa dan mamamu berencana membuat adik bayi." Jawab Sai dengan wajah tak kalah lugu dari Arashi.

Kepalan tangan Sakura langsung mendarat di kepala pemuda berkulit pucat itu. "Apa-apaan sih, Sai. Beri anak-anak penjelasan yang baik dan benar. Jangan ngaco begitu."

"Ngaco? Kau pikir Itachi tertarik dengan prospek berduaan dengan istrinya hanya untuk makan masakan Ino yang mengerikan itu. Aku rasa ia punya ide lain."

"Tch, Aku tak ingin mendengarkan kalian mendiskusikan kegiatan ranjang kakakku. Aku jadi tak nafsu makan." Sasuke memotong perdebatan Sakura dan Sai.

"Paman Sasuke, benar papa dan mama mau bikinin Arashi adik? Arashi ingin punya adik bayi."

"Itu paman tidak tahu. Nanti kalau pulang kau tanya saja pada mereka." Jawab Sasuke singkat.

"Oke, Nanti aku tanya. Terus paman bagaimana caranya bikin adik bayi?"

Mereka semua saling pandang, bingung mencari jawaban yang tepat. Gaara mengacak-acak rambut bocah yang dia gendong. "Kami tidak tahu. Kau tanya papa ya. Papamu lebih tahu."

"Jahat kau Gaara." Ujar Naruto tertawa.

"Biar saja Itachi yang menjelaskan pada Arashi nanti. Dia harus berterima kasih kita mau jadi baby sitter."

"Aku rasa Ino sekarang sedang menikmati waktunya." Ucap Sakura sambil terkikik geli. Ia tahu kalau Ino dan Itachi sama-sama sibuk dan jarang punya waktu berduaan. Punya anak membuat waktu bermesraan dengan pasangan amat sangat berkurang.

.

.

"Serius kau membelikan ini untukku?" Ino berkacak pinggang menatap isi kotak yang dibawa Itachi. "Kau sebenarnya memilih kado untuk dirimu atau diriku?"

Satu alis Itachi terangkat. "Kau tak menyukainya. Padahal aku pesan jauh-jauh dari Paris."

"Cantik sih, tapi rasanya aneh saja." Ino mengeluarkan artikel garmen itu dari kotaknya. Perpaduan renda dan sutra berwarna ungu terasa lembut di tangannya.

"Tidak ada yang aneh sayang, Kau coba saja dulu." Itachi mencoba meyakinkan sang istri

"Hm.. Ya sudah. Aku coba." Ino pergi ke kamarnya meninggalkan sang suami duduk di sofa. Ia memutuskan untuk menyegarkan diri sebelum mencoba lingerie yang dibelikan suaminya. Ia mematut bayangannya di kaca dan memutuskan menyukainya. Renda-rendanya menempel sempurna di setiap lekuk tubuhnya. Ino pun mengambil high heels-nya dan memulas lipstick. Suaminya menginginkan pertunjukan. Sedikit fashion show tak akan menyakitkan.

Itachi duduk santai di sofa sambil memindahkan saluran televisi. Ia tak mendengar langkah kaki istrinya mendekat. "Mengapa Ino lama sekali. Hanya mencoba dua potong kain saja. Lama." Gumam pria itu pada dirinya sendiri.

"Maaf ya kalau aku lama." Ujarnya sewot.

Itachi menoleh dan ternganga melihat tampilan istrinya. Ino tak kalah dari model-model victoria secrets. Ia tak sadar remote yang ia pegang terjatuh karena sibuk menatap istrinya.

Ino melangkah pelan menuju arah suaminya. Lalu ia berputar di hadapan satu-satunya penonton. Memamerkan bagian belakang tubuhnya pada sang suami. Ia hanya mengenakan pakaian dalam dan high heel hitam sepuluh senti.

"Bagaimana menurutmu?"

Itachi menelan ludahnya. Terkadang ia lupa betapa seksi istrinya. Rutinitas kadang membuat mereka melupakan hal-hal yang menarik dan menggairahkan dalam rumah tangga.

Melihat suaminya tak berbicara Ino hanya tersenyum. "Speechless?" tanpa rasa malu Ino duduk di pangkuan suaminya dan mengalungkan tangannya di leher pria itu.

Wangi vanilla dan lavender membuat Itachi mabuk kepayang. Ia menyurukkan wajahnya di leher Ino untuk menikmati aroma wanita itu.

"Sekarang aku ingat mengapa malam itu aku langsung membawamu pulang tanpa pikir panjang."

"Karena kau horny?"

"Yep, kau membuatku tergila-gila. Meski kau masih bocah dan sekarang pun aku masih tergila-gila padamu Ino." Dia mencium kulit sensitif di belakang telinga Ino membuat bulu kuduk wanita pirang itu meremang. "Aku punya hadiah yang lain untukmu." Bisiknya dengan suara rendah.

"Sedang bermurah hati ya, sayang? Kalau begitu tunjukan padaku." Ino mendengkur dengan manja.

Dengan mudah Itachi mengendongnya ke kamar tidur dan membaringkan istrinya di ranjang. Ino berguling untuk berbaring dengan perutnya. Jari tangan suaminya meluncur menyusuri tulang belakang wanita pirang itu membuat Ino mendesah senang. Perlahan Itachi menjejakkan ciuman dari tengkuk hingga pinggul istrinya. Membuat Ino menggelinjang karena geli dan nikmat.

"Hm...Aku lupa kalau kau juga mahir dalam hal beginian."

"Sudah terlalu lama kita tak punya waktu berduaan dan kau masih memilih untuk pisah kamar." Ucap Itachi sembari berkutat dengan kancing kemejanya.

Masih setengah telanjang pria itu merebahkan dirinya di samping Ino dan memeluknya. Ino menatap suaminya dan menyisirkan jemari di antara helaian rambut gelap suaminya. "Kau tahu kan, Aku memilih pisah ranjang agar tidur kita tak terganggu. Aku tak mau membangunkanmu bila aku harus bergadang membuat tugas. Ini tak ada hubungannya dengan menolak keintiman. Aku mohon jangan salah sangka."

"Apa kau tahu, Aku ingin tidur sambil memelukmu tiap malam."

"Apa kau juga siap diganggu Arashi, dia suka terbangun tengah malam dan minta tidur bersamaku."

"Ranjangku cukup besar untuk kita bertiga."

"Ya sudah, Aku akan tidur di sini bila kau senang. Jadi apa yang akan kita lakukan sekarang?"

"Bercinta, Sayang." Itachi melumat bibir istrinya dengan sensual. Ia tidak terburu-buru. Dengan rileks ia mencicipi bibir penuh Ino kemudian memperdalam ciumannya. Ino merespons dengan membelai lidah yang mengintrusi rongga mulutnya. Ino merasa gairahnya mulai berkobar. Meski sudah empat tahun menikah tubuhnya masih bereaksi dengan cara yang sama seperti saat mereka pertama berjumpa.

Pria itu tak pernah ragu untuk menyentuh istrinya. Untuk sesaat Itachi menangkup dan meremas payudara Ino, membuat wanita itu mendesis dan menggigit bibir bawahnya tatkala Ibu jarinya menyentuh bagian yang sensitif. Puas dengan reaksi Ino, tangan ahli itu meluncur turun menyelinap di antara renda dan sutra ungu yang menutupi bokong Ino.

"O...Oh," desah Ino dengan erotis.

"Apa yang kau pikirkan Ino?" tanya Itachi pada sang Istri yang tampak memejamkan mata.

"Hanya dirimu, Aku tak bisa memikirkan hal lain saat kau menyentuhku di sana..Ah..." pekik Ino terkejut, Jari-jari pria itu telah berada dalam tubuhnya.

"Lihat dirimu sayang, begitu cantik dan menggairahkan tak sedikit pun aku menyesal membuat kesalahan karena itu membuatmu menikahiku."

"Please, Lakukan sesuatu." Ino merasa dua digit jari Itachi tidak cukup untuk membuatnya merasa terisi. Rasanya bagai tergelitik, tanpa sadar Ino membuka pahanya dengan lebar. Berharap suaminya menyentuh lebih dalam.

Itachi mengabaikan sinyal yang diberikan Ino. Dia malah memutuskan tambah menggoda istrinya dengan menciumi bagian dalam pahanya yang mulus. Ino hanya bisa merintih. Itachi yang memegang kendali.

"Apa kau ingin membuatku gila?" tanya wanita itu sambil menjambak rambut hitam yang kini berada di antara kedua kakinya. Ino belingsatan, perpaduan antara sapuan lidah yang basah dan isapan pelan di bagian intimnya membuat perutnya menegang dan jari kakinya melengkung. "Please, Itachi...Aku menginginkanmu sekarang!" Ino kembali memohon.

"Sabar Ino...Kita punya banyak waktu."

"Tidak, Arashi dan yang lainnya bisa datang segera."

"Oke, Bagaimana kau menginginkannya?" Itachi berdiri untuk menanggalkan potongan terakhir pakaian yang masih menempel di tubuhnya.

Bibir Ino melengkung ke atas menatap sosok suaminya yang tampak lebih dari siap memuaskan dahaga yang ia rasakan. "Quick and Hard. Buat aku meneriakkan namamu."

"Oh, I will." Itachi menyeringai dengan yakin.

Ino berbaring di ujung ranjang dan Itachi menarik lepas celana dalam yang dia hadiahkan. Dia senang melihat istrinya memakai pakaian dalam seksi, tapi ia lebih senang lagi melepaskan benda itu dari tubuh Ino. Wanita pirang itu menyandarkan kedua kakinya di bahu sang suami. Menanti dengan pasrah.

Dengan satu dorongan ia berhasil menyatukan tubuh mereka. Ino terasa begitu rapat dan hangat. Dia diam sesaat membiarkan Ino menarik nafas panjang sebelum menghunjamkan pinggulnya dengan keras seperti yang Ino minta.

Wanita pirang itu merintih dan meringis. Sekarang ia merasa utuh dan penuh. Itachi mengisinya begitu dalam. Hingga ia bisa merasakan pria itu di setiap sudutnya. Tiap gesekan memberikannya kenikmatan. Tiap sentuhan membuat percikan. Tubuhnya bak terbakar dan semua indranya semakin responsif. Itachi beraroma musk dan kayu manis. Feromon pria itu menyelubunginya. Begitu memabukkan. Dia pria pertama dan pria terakhir bagi Ino. Mereka bertengkar, mereka tertawa dan menangis bersama dan Ino mencintainya bahkan lebih dalam dari sebelumnya.

Perlahan kenikmatan berkumpul dan membuncah dalam perutnya. Sedikit lagi Ino merasa akan meledak. Di tengah-tengah sensasi yang luar biasa Ino memfokuskan diri pada wajah suaminya yang berpeluh dan terengah. Itachi juga tampak menikmati permainan mereka. Lalu ia merasakannya getar menggelitik yang menjalar ke seluruh tubuhnya. Seolah mampu membaca ekspresi minor istrinya. Itachi bergerak dengan cepat. Layaknya sebuah musik epik, Nada-nada kresendo dimainkan sebagai perlude menjelang klimaks. Ino melengkungkan punggungnya. Satu tusukan terakhir membuat bendungannya bocor, kenikmatan datang bagai air bah. Membuatnya memekikkan nama Itachi sembari merasakan terjangan badai orgasme dalam dirinya. Seluruh ototnya berkedut dengan spastik sebelum akhirnya kembali rileks dan membuatnya merasa damai.

Itachi masih belum berhenti, Ino bisa merasakan suaminya tengah berpacu menuju garis akhir. Otot dalam organ intimnya yang masih sensitif beraksi dengan mencengkeram lebih keras. Tak lama Ino merasakan suaminya bergetar memenuhi dirinya dengan cairan semen sebelum kolaps dan menjatuhkan dirinya di atas tubuh Ino.

"Hei, Apa kau baik-baik saja?" Tanya Itachi sambil menyingkirkan poni yang menempel di kening Ino. Lalu mendaratkan kecupan di dahinya.

"Aku tak apa-apa. That was a lot of load." Ino bisa merasakan cairan lengket itu mengalir ke luar membasahi pahanya.

Itachi hanya tertawa, "Harap maklum, Kapan terakhir kau memberiku jatah."

"Aku sampai lupa kapan." Jawab Ino tertawa.

Setelah tawa Ino reda, Itachi menatap istrinya dengan serius. "Ino apa kau bahagia menikah denganku?"

Ino menarik nafas panjang dan balas menatap sepasang mata berwarna gelap itu. "Apa aku terlihat seperti wanita yang sedih?"

Itachi menggeleng. "Kau terlihat senang."

"Jangan meragukan hubungan kita lagi. Sudah empat tahun berlalu dan kau tahu aku mencintaimu. Aku tak berniat mengubah apa pun. Kau dan Arashi adalah hidupku."

"Terima kasih, Ino."

"Akulah yang harus berterima kasih atas kesabaran dan dukunganmu selama ini." Ino menangkup wajah suaminya dan menciumnya.

Ketika Sakura dan yang lainnya kembali. Ino dan Itachi sudah duduk manis di meja makan seolah tak terjadi apa-apa. Itachi melahap tempura keasinan yang dibuat istrinya dengan senang hati.

"Kami pulang." Teriak Naruto membuka pintu. Kelima orang teman Ino langsung memenuhi ruangan. Arashi begitu turun dari gendongan Sasuke langsung duduk di pangkuan ayahnya.

"Bagaimana makan siangmu, kak" tanya Sasuke pada Itachi.

"Memuaskan." Ujarnya sambil menyeringai seperti kucing.

Tak perlu dijelaskan mereka semua paham makna lain jawaban Itachi.

Ino menyodorkan gelas pada suaminya, "Ini tehnya ayo diminum."

Itachi membawa gelas itu ke bibirnya dan menegak isinya saat Arashi mulai berbicara.

"Papa, Benar papa dan mama lagi bikin adik?"

Itachi langsung tersedak dan terbatuk-batuk. Ia langsung menatap kelima orang yang mungkin bertanggung jawab atas pertanyaan anaknya.

"Memang kamu ingin adik?"

Bocah itu mengaguk, "Aku mau adik laki-laki, biar bisa diajak main bola."

"Membuat adik itu tak mudah, Arashi."

"Memang bagaimana caranya?"

"Um...papa jelaskan nanti kalau sudah besar nanti."

"Arashi kan sudah besar, sudah bisa pipis di toilet sendiri."

Itachi memutar otak mencari jawaban sementara yang lainnya hanya terkikik melihat ekspresi polos bocah berusia empat tahun itu.

"Kalian senang ya melihat Itachi kesusahan" ucap Ino pada kawan-kawannya.

"Suamimu sekarang bagian dari geng kita. Meski dia terlalu uzur untuk bergabung dengan darah muda seperti kita."

"Aku belum setua itu." Balas Itachi dengan cepat.

.

Lima tahun kemudian.

Ino duduk di ruang kantornya, puas menyelesaikan semua pekerjaannya tepat waktu. Ia menatap foto yang ia letakkan di atas meja dan tersenyum. Siapa sangka ia bisa duduk di kursi direktur perusahaan Yamanaka seperti yang diniatkan ayahnya. Sembilan tahun yang lalu ia merasa menyia-nyiakan masa depannya karena hamil di luar nikah dan terpaksa harus memilih jalan lain, tapi sekarang ia senang. Tak hanya berhasil meraih tujuannya dia juga dikaruniai dengan kebahagiaan lainnya.

Dia membuat kesalahan dan dia sempat berkecil hati, tapi Ino bersyukur ia dikelilingi oleh orang-orang yang positif dan memiliki suami yang suportif seperti Itachi hingga ia bisa melalui semua ini. Tentu segalanya tidak sempurna. Ada kalanya ia merasa tidak selalu ada bagi anak-anaknya. Ada saatnya ketika ia merasa sedih melewatkan perkembangan mereka karena ia sibuk kuliah dan bekerja. Ia sadar tak bisa mendapatkan segalanya dan menjalankan perannya dengan sempurna , tapi Ino sangat bahagia putranya mengerti dan tidak merasa terabaikan oleh kesibukannya dan Itachi tak pernah mengeluh. Ino tak ambil pusing ketika orang-orang berkata ia terlalu ambisius dan mengabaikan keluarganya. Pada kenyataannya keluarganya merasa bahagia bila ia bahagia.

Pintu kantornya terbuka, Ino berdiri dan tersenyum lebar menyambut suaminya.

"Apa kau sudah selesai? Kami datang menjemputmu sekalian makan malam."

"Baiklah, Ayo kita berangkat sekarang. Arashi kau mau makan apa?" Ino bertanya pada putranya yang berambut gelap.

"Pizza."

"Dan kau Inojin?" Ia mengalihkan pandangannya pada bocah pirang berusia tiga tahun yang digendong Itachi.

"Pissa...pisaa."

"Baiklah, Kalau begitu kita semua makan pizza." Putus Itachi.

"Bagaimana kalau sekali-kali makan di rumah? Mama yang masak."

"Nope, Masakan mama tidak enak. Papa lebih pintar memasak. Ayo kita berangkat. Aku sudah lapar."

"Iya..iya.." Ino menggandeng putranya. Mereka berjalan bersama ke tempat parkir dan Ino merasa bahagia atas karunia ini.

Tiba di mobil tiba-tiba Itachi merangkul pinggang Ino, wanita itu menoleh dan sang suami menciumnya dengan singkat. "Meski kau jadi sedikit berisi dan bertambah tua aku masih mencintaimu."

Ino tersenyum, "Lihat siapa yang bicara, seharusnya kau yang khawatir. Ubanmu sudah mulai tumbuh dan keriputmu mulai tampak jelas, tapi tenang saja Itachi. Aku tak akan pergi."

"Di mana lagi kau bisa menemukan suami sepertiku." Ucapnya dengan pongah.

"Papa keyen." Inojin tiba-tiba berceloteh

Ino tertawa."Kau mencuci otak Inojin."

"Aku memang keren. Benar kan nak, Papa itu keren."

"Iya, Papa keyen" Bocah pirang itu mangut-mangut dan Arashi memutar bola matanya mendengar perdebatan konyol orang tuannya.

Siapa bilang menikah muda tidak bisa sukses, jalannya mungkin lebih terjal dan tentunya tak bisa dilalui seorang diri, tapi jika kita berusaha kita pasti bisa. Ia bersyukur sekali tidak tenggelam dalam penyesalan dan lebih bersyukur lagi dengan lingkungan yang mendukung. Dia sadar banyak gadis di luar sana yang lebih tidak beruntung yang tak hanya harus memerangi stigma, tapi juga berjuang sendirian. Dia hanya bisa berharap agar orang-orang lebih bersimpati daripada menghakimi.

We are perfect in our imperfection. Just do the best we can do.

.

.