Sungwoon sedang memasak ketika Seongwoo menginjakkan kakinya di dapur untuk mengambil minum. Perempuan 31 tahun itu terlonjak kaget ketika mendengar suara kulkas yang dibuka. Ia segera menoleh ke belakang dan terlihat Seongwoo sedang minum air dingin langsung dari botolnya.

"Ya Allah, ngagetin aja kamu." Sungwoon kembali melanjutkan pekerjaannya setelah memastikan keberadaan Seongwoo di sana.

"Lagi libur, Mbak?" tanya yang lebih muda. Laki-laki itu memanjangkan leher sedikit untuk menengok apa yang sedang dimasak oleh kakak tertuanya itu.

"Mama papanya sih enggak, anak-anak doang yang libur sekolah," jawab Sungwoon. "Kamu juga libur kan, Dek?" tanya Sungwoon melanjutkan.

Seongwoo mengangguk, "Mulai Senin libur. Kenapa?"

Sungwoon membuka lemari untuk mencari daun salam yang akan ditambahkan ke dalam tumisan bumbunya. "Gak papa sih, tanya aja."

Dengan cekatan, tangan Sungwoon menambahkan air ke dalam wajan. Membuat bau harum menyebar ke penjuru ruangan. Seongwoo yang masih berdiri di belakang Sungwoon meringis menahan air liurnya agar tidak tumpah. Perutnya keroncongan karena belum diisi dari siang tadi.

Sungwoon belajar memasak ketika ia menjadi pengantin baru enam tahun yang lalu. Seongwoo tidak menyangka kemampuan kakak perempuannya yang dulu tomboi ini meningkat drastis dalan urusan masak-memasak.

"Kayaknya enak tuh." Seongwoo berujar di samping Sungwoon, tepat di telinganya. Sungwoon terlonjak kaget untuk kedua kalinya. "Ya Allah kirain udah gak di sini." Ia mengelus dada.

Seongwoo terkekeh dan langsung berlari keluar dapur. Sambil menjauh ia berkata, "Makin tua, makin kagetan kamu, Mbak." Lalu tertawa keras.

.

.

"Jihoon mana, Woojin?"

Woojin menelan rotinya pelan-pelan. Ia menggigit rotinya lagi sebelum menjawab pertanyaan Seongwoo. "Sama Papa ke Alfamidi, beli es krim."

"Om Dongho mana?" Seongwoo mengigit roti di genggaman Woojin dan si empunya roti langsung meliriknya tajam. Seongwoo menyubit pipi Woojin yang menggembung karena kesal.

"Tidur di kamar," jawab bocah lima tahun itu dengan nada kesal.

"Tante Kenta?" Seongwoo bertanya lagi.

"Di kamar juga."

Guanlin yang baru saja keluar dari kamar mandi langsung mendekat ke arah Seongwoo dan duduk di pangkuannya. Ia meraih remote televisi di samping Woojin dan mengganti channelnya. Woojin mendelik dan merebut remote itu dari tangan mungil Guanlin. "Spongebob aja lucu!" ujar Woojin.

"Gak mau! Aku mau lihat Upin dan Ipin!" Guanlin mulai merengek.

Kalau urusan menonton televisi seperti ini, Seongwoo paham betul bahwasannya Woojin tidak pernah mau diganggu. Jadi, sebelum mereka berdua bertengkar dan pukul-pukulan, Seongwoo menggendong tubuh bongsor Guanlin untuk menjauh dari ruang televisi.

"Guanlin mau main bola gak sama Abang?" bujuk Seongwoo. Ia menepuk-nepuk bokong Guanlin berusaha menggoda agar Guanlin tidak merengek lagi.

"Iya mau! Ayo, Bang!"

Guanlin bergerak-gerak dalam gendongan Seongwoo, meminta dilepaskan. Seongwoo akhirnya menurunkan Guanlin dari gendongannya. Napasnya tersengal-sengal karena menggendong Guanlin bukan urusan yang mudah. Bocah empat tahun itu lari-larian di sepanjang jalan kampung karena senang diajak bermain bola oleh Seongwoo.

"Jangan lari-lari Guanlin! Di sini aja dulu!" Seongwoo berteriak memanggil Guanlin yang berlari semakin jauh. Ia terus memanggil Guanlin sampai bocah itu menurut dan kembali menghampiri Seongwoo di depan rumah.

Guanlin menarik ujung kemeja Seongwoo berulang kali dengan semangat. "Ayo Abang! Ayo!"

Seongwoo maklum karena Guanlin merupakan anak semata wayang kakaknya. Dongho sibuk bekerja dan Kenta baru pulang dari butiknya ketika Guanlin sedang tidur siang. Guanlin jarang bermain ketika di rumah. Ia hanya bermain ketika bersama teman-temannya di taman kanak-kanak sambil menunggu sopirnya datang menjemput.

"Guanlin udah mandi belum? Abang belum mandi nih, belum salat juga," kata Seongwoo. Guanlin menggelengkan kepala mendengar ucapan Seongwoo. "Guanlin belum salat juga, Bang! Tapi Guanlin sudah mandi dong!" Ia menjawab dengan semangat.

Seongwoo menuntun Guanlin untuk masuk lagi ke dalam rumah. Untungnya anak itu tidak merengek dan menuruti saja langkah Seongwoo yang membawanya kembali ke ruang keluarga.

"Kamu tunggu sini ya, Abang mau mandi dulu. Habis ini kita main bola, oke?"

"Oke!" Guanlin mengacungkan ibu jarinya ke depan muka Seongwoo. Woojin menolehkan kepala begitu Seongwoo menyebutkan kata 'bermain' dan 'bola'.

"Aku ikut juga!" Woojin menyambar cepat sebelum Seongwoo menaiki anak tangga.

"Iya iya, jangan berantem ya? Tunggu Abang dulu!"

Seongwoo berjalan menaiki beberapa anak tangga, kemudian membalikkan badannya, "Jangan cakar-cakaran!" Nasihat Seongwoo sebelum ia benar-benar meninggalkan dua bocah laki-laki beda usia itu di ruang keluarga.

.

.

Ketika Seongwoo sudah wangi sehabis mandi dan salat, ia segera turun untuk menepati janjinya mengajak dua keponakan laki-lakinya itu bermain bola. Ia melihat Jihoon yang duduk anteng menonton televisi sembari menjilat es krim stik rasa cokelatnya. Taehyun juga ada di sana, sedang melerai Woojin dan Guanlin yang berebut es krim cup rasa stroberi.

"Mas Taehyun!" panggil Seongwoo.

Taehyun yang sebelumnya memegang es krim cup stroberi akhirnya lengah dan berhasil direbut oleh Woojin. Guanlin hampir saja menangis, tapi berhasil dibujuk oleh Taehyun dengan memberikannya es krim cup rasa cokelat.

"Seongwoo, lagi libur?"

Seongwoo mengambil tempat di sisi Taehyun. Pemuda 20 tahun itu mengubak isi tas plastik Alfamidi di depannya dan meraih satu botol yoghurt plain dari sana. "Iya, Mas mulai Senin," jawab Seongwoo sambil membuka tutupnya dan meneguk yoghurtnya sedikit.

"Abang! Ayo katanya main bola." Guanlin berdiri masih dengan es krim cup ditangannya, diikuti Woojin yang lebih dulu menghabiskan es krimnya dan menyisakan cemong-cemong es krim di sekitar bibirnya.

"Cuci tangan dulu, habis itu main. Guanlin dihabisin dulu es krimnya." Setelah Taehyun berkata demikian Woojin langsung melesat ke kamar mandi untuk cuci tangan dan membersihkan sisa es krim di bibirnya. Guanlin kembali duduk manis dan menyendok es krimnya dengan cepat dan mengunyahnya agar lekas habis. Seongwoo meringis ngilu melihat Guanlin mengunyah es krimnya dengan cepat seperti itu.

Guanlin meletakkan bungkus es krimnya sembarangan, lantas bangkit untuk mengambil bola plastik di dalam keranjang. Ia langsung keluar rumah dengan bola sepak plastik di pelukannya. Seongwoo geleng-geleng kepala melihat kelakuan ajaib keponakannya itu.

Jihoon masih anteng menonton televisi tanpa menghiraukan huru-hara yang dibuat oleh saudara-saudaranya. Woojin juga berlari keluar rumah masih dengan kaki yang basah dan membuat lantai becek karena ulahnya. Seongwoo lagi-lagi dibuat takjub dengan anak-anak itu. Ia mengarahkan cup es krim milik Guanlin yang sisa banyak kepada Jihoon.

"Punya Guanlin masih banyak, habisin, Ji."

Meskipun perempuan, Jihoon termasuk yang nafsu makannya paling besar. Dibandingkan Woojin dan Guanlin, Jihoon punya tubuh lebih besar. Pipinya tembam dan Seongwoo tidak kuat untuk tidak menyubitnya.

Dengan senyum manis, Jihoon menerima uluran es krim dari Seongwoo. Ia kemudian melahap es krimnya sambil menonton Pororo.

.

.

Panci berisikan sayur lodeh yang mengepulkan uap ditaruh Seongwoo tepat di tengah meja makan. Setelah melaksanakan salat magrib berjamaah dengan Taehyun sebagai imamnya, keluarga besar itu berkumpul di meja makan untuk makan malam.

Ibu dan ayah Seongwoo duduk di meja makan setelah menyendok nasi. Dongho langsung mengambil dua potong ayam goreng dan menyendok banyak labu siam dari sayur lodeh. Ia kemudian duduk di depan televisi dan mulai makan dengan lahap.

Kenta berada di ruang tamu setelah mengambil sepiring nasi beserta sayur dan lauk untuk menyuapi Guanlin yang tidak pernah bisa diam. Bocah itu terus berlarian, membuat Kenta mengurut kening karena tingkah terlalu hiper anaknya.

Guanlin bermain dengan truknya yang tadi baru saja diberi tali oleh Seongwoo agar dia mudah menyeretnya ke mana-mana. Kenta semakin pusing karena setelah Guanlin duduk di sofa untuk makan satu suapan, dia berlari lagi memutari rumah sambil berteriak kegirangan.

Woojin dan Jihoon duduk di samping pamannya yang rela mengalah mengganti channel televisi ke acara kartun kesukaan Jihoon. Si kembar itu makan sendiri-sendiri setelah Sungwoon menyiapkan makanan untuk mereka. Jihoon tipe yang rapi. Makanannya tidak berceceran di mana-mana. Namun, Woojin kebalikannya. Bocah laki-laki itu terlalu cerewet hingga nasinya meloncat keluar dari mulutnya.

Seongwoo makan di samping Taehyun yang juga duduk di karpet ruang keluarga. Ia ikut memerhatikan aktivitas makan si bocah kembar beda sifat itu.

"Mas, balik kapan?"

Di tengah aktivitas makannya, Seongwoo bertanya kepada Taehyun di sampingnya. Sebelum menjawab, Taehyun menelan terlebih dahulu makanannya. "Besok pagi. Soalnya Sungwoon masih kerja, kalo Mas sendiri sih fleksibel," jawabnya.

Seongwoo mangut-mangut. "Mas Dongho balik juga?"

Dongho mengangguk sambil menyendokkan nasinya. "Iya, Mas masih masuk. Guanlin aja yang ditinggal di sini, soalnya minta liburan sama Mamah," jawab Dongho.

"Lho, gak nangis emang Guanlin ditinggal di sini? Mbak Kenta ikut di sini juga kan?" Seongwoo bertanya penasaran. Pasalnya bocah itu tidak pernah ditinggal sendirian tanpa orang tuanya.

"Kenta ikut pulang sama Mas. Guanlin sendiri yang minta. Mas jamin gak nangis dia."

"Jihoon sama Woojin juga di sini kok, jadi Guanlin ada temennya," sambung Taehyun.

"Lho jadi bocil-bocil ini liburan di sini gitu?" Seongwoo melotot kaget.

"Biarin aja kenapa sih, Dek. Mamah kan kangen sama anak kecil soalnya anak-anak Mamah udah pada gede semua." Mamah berjalan dari arah dapur setelah mengembalikan piring dan cuci tangan. Ayahnya di meja makan juga menimpali, "Kan ada Seongwoo juga di sini, ada yang jagain kan mereka? Kamu libur kan, Dek?"

Seongwoo menggaruk tengkuknya canggung. "Iya sih, tapi Seongwoo kan pengen maen. Masa disuruh jaga bocil-bocil itu?"

"Mereka kan jarang ke sini, Dek. Kalo gak liburan juga gak nginep di sini. Emangnya kamu gak kangen apa sama mereka? Lihat tuh, Guanlin seneng banget waktu kamu baru pulang kampus tadi."

Mendengar jawaban ibunya, membuat Seongwoo merengut. "Ya kangen sih, tapi... hm... yaudahlah," jawabnya pasrah. Dongho dan Taehyun serta Mamah dan Ayahnya tertawa hangat melihat wajah pasrah laki-laki 20 tahun itu.

Sepertinya, hidup Seongwoo seminggu ke depan lebih penuh warna.

.

.

.

[Masih lanjutannya yg prolog kemarin. Biar ga gantung, aku up sekarang aja. Oh ya, kayaknya update cerita ini bakal molor2 soalnya mikirin cerita sebelah juga.

PS. Nulis 'Seongwoo' dan 'Sungwoon' bikin aku bingung. Semoga kalian ga bingung bacanya ya.]