Seongwoo kalau sedang libur begini biasanya menghabiskan waktu dengan menonton film yang ia unduh dari internet, atau membaca banyak novel roman picisan yang ringan. Sejak pukul tujuh pagi sampai pukul sembilan, Seongwoo masih mendekam di kamar setelah menghabiskan sarapannya. Laki-laki itu duduk di karpet yang sengaja ia gelar di kamarnya sebagai tempat untuk menonton drama terbaru yang ia unduh tadi malam sebelum tidur.
Baru satu setengah episode terlewati dan tiba-tiba pintu kamarnya dibuka oleh seseorang. Nampak kepala Guanlin menyembul dari balik pintu.
"Kenapa, Lin?"
Guanlin mendekati Seongwoo yang kini tengkurap sambil menonton drama dari laptopnya. Bocah itu ikut menyamakan posisinya di samping Seongwoo. Ia menaruh buku tebal yang tadi dia bawa, ke depannya dan Seongwoo.
"Bang, ajarin baca. Ini bacanya gimana?"
Seongwoo mengalihkan perhatian dari laptopnya ke arah telunjuk Guanlin dan terkejut ketika mengetahui apa yang dibawa oleh bocah itu. "Heh? Kamu kok bisa nemu buku ini?"
Buku paket Seongwoo penuh dengan coretan pulpen berwarna merah yang seingatnya kemarin ia selipkan dalam buku tersebut. Seongwoo langsung merebut buku itu dari Guanlin dan mengecek satu persatu halamannya.
"Aduh buku Abang ini, Lin. Buat sekolah... kok dicoret-coret sih?" Seongwoo membolak-balik buku bersampul merah itu, mencari di mana lagi Guanlin menyoretkan tinta merahnya.
Guanlin meringis dan memainkan tutup pulpen merah milik Seongwoo. "Hehe, gak tau." Ia berujar dengan wajah tak bersalah.
"Untung aja masih keliatan tulisannya," dengus Seongwoo. Ia kemudian menaruh buku tersebut kembali ke rak bukunya. "Kamu tadi nemu di mana?"
Guanlin menaruh jarinya di dagu, tanda berpikir. "Di meja," jawabnya.
"Ada buku yang lain gak di sana?"
Guanlin angkat bahu, "Gak tau. Kayaknya gak ada."
Seongwoo langsung menjeda drama di laptopnya dan memberi perintah pada Guanlin untuk mengikutinya keluar kamar. Guanlin mengekori Seongwoo menuruni tangga. Bocah itu langsung berlari begitu kakinya menginjak anak tangga terakhir menuju Jihoon dan Woojin yang tengkurap di atas karpet, sedang menggambar di atas kertas.
Seongwoo menghampiri si kembar dan melototkan mata ketika tahu bahwa fotokopian tugasnya dicoret-coret oleh Jihoon dan Woojin. Ia langsung menyambar kertas yang dicoret-coret itu, membuat Jihoon dan Woojin tersentak kaget.
"Hueee... buku Abang..."
Jihoon dan Woojin saling bertatapan bingung.
.
.
"Ya udah, Dek, beliin buku gambar sama buku-buku belajar baca buat mereka biar buku kamu gak dicoret-coret lagi." Ibunya berujar di tengah-tengah kegiatan makan siang mereka.
"Haduh, Mah, buku paketku yang dicoret-coret kok jadi mereka yang dibeliin buku baru," protes Seongwoo.
Ayahnya yang saat ini sedang istirahat makan siang dari menjaga toko ikut menimpali, "Kamu mau beli buku lagi emangnya?"
Seongwoo menelan nasinya dengan susah payah, "Ya gak juga sih. Ya udah deh nanti aku beliin mereka buku buat coret-coret sekalian kanvas kalo mereka mau gambar-gambar."
Setelah menghabiskan makan siangnya, Seongwoo beranjak ke kamar mengambil jaket dan kunci sepeda motor. Ia turun lagi dan menemukan ibunya sedang menaruh piring di wastafel.
"Mah, minta uang dong, hehe." Seongwoo nyengir lebar sambil mengulurkan tangan ke depan ibunya. "Buat beliin bocil-bocil buku mewarnai."
"Minta Ayah sana," jawab sang ibu sambil mencuci tangan dengan sabun.
Seongwoo langsung melesat ke teras rumah, menemui ayahnya yang sedang duduk santai sambil minum teh. Ia duduk pada kursi kosong di samping ayahnya dan meringis sembari terus menatap ke ayahnya.
"Yah, minta uang dong. Buat beliin bocil-bocil buku mewarnai." Seongwoo tertawa kecil di akhir kalimatnya.
"Berapa?" tanya sang ayah.
"Terserah Ayah aja, aku terima."
"Ambil seratus ribu di dompet Ayah."
Seongwoo dengan semangat masuk lagi ke dalam rumah.
.
.
"Mau ke mana?"
Jihoon yang sejak tadi melihat Seongwoo turun dari kamarnya memakai jaket sampai ketika Seongwoo menenteng helm, langsung mendekatinya. Ia mendongak menatap Seongwoo yang lebih tinggi darinya.
"Jalan-jalan dong," ia menjawab dengan wajah meledek.
Jihoon menarik jaket Seongwoo ketika laki-laki itu akan keluar rumah. "Ikut!" ucap Jihoon.
"Aku juga ikut, Bang!"
"Aku juga!"
Woojin dan Guanlin tiba-tiba muncul dan berdiri di belakang Seongwoo dan Jihoon. Seongwoo menghela napas. "Sepedanya gak muat kalo bawa kalian semua."
"Ya udah jalan kaki aja," sambar Woojin cepat.
"Jauh haduh." Seongwoo menepuk jidatnya. "Udah kalian di sini aja, Abang yang beliin buku. Oke?"
"Ikut!" Jihoon kekeuh minta ikut. Ia mencengkeram erat ujung jaket denim Seongwoo.
"Bawa mobil Ayah aja sana." Ayahnya yang baru masuk rumah langsung menimpali. Kemudian berjalan meninggalkan Seongwoo dan trio itu di ruang tamu.
"Haduh, Ayah gak membantu," gumam Seongwoo kesal.
Tiga bocah itu bersorak kegirangan.
.
.
Seongwoo menggiring tiga bocah kelebihan energi tersebut untuk masuk ke toko buku besar di kota. Kaki kecil Woojin mengambil ancang-ancang untuk lari kegirang di dalam toko sebelum tangan besar Seongwoo menarik kerah bajunya. Ia memberi isyarat kepada tiga bocah itu untuk mengikuti langkahnya. "Kalo kalian ilang di sini, kalian gak bisa pulang lho ya. Ikutin Abang aja," perintahnya. Tiga bocah itu menunduk patuh dan mengekor Seongwoo seperti anak bebek yang mengikuti induknya.
Mereka masih di lantai pertama, tempat di mana alat tulis berada. Seongwoo mengambil tas belanja supaya memudahkan untuk membawa barang yang akan dibelinya. Ia menelusuri rak-rak berisikan peralatan menggambar seperti buku gambar, krayon, sampai cat dan kanvas. Ia meraih tiga buku gambar ukuran A4 dan memasukkannya ke dalam tas belanja. Tiga bocah kecil di belakangnya menatap takjub ke arah peralatan menggambar yang baru pertama kali mereka lihat.
"Bang Seongwoo! Beliin ini dong!"
Seongwoo mengalihkan perhatiannya dari tumpukan buku gambar ke Jihoon yang menunjuk cat akrilik wadah tube warna-warni. "Gak. Mahal. Lagian anak kecil mau ngapain pake cat akrilik?" Seongwoo menolak mentah-mentah.
"Eh, Guanlin jangan dibuka itu bungkusnya. Nanti disuruh beli." Tangan Seongwoo dengan cekatan menampik tangan kecil Guanlin yang akan membuka kemasan plastik cat air. Ia kemudian menarik Guanlin untuk mengikutinya karena bocah itu merengek meminta untuk membuka bungkus plastik cat air. "Abang beliin cat," rengeknya.
"Beli spidol aja, oke? Lebih keren!" Seongwoo mencoba membujuk Guanlin. Berhasil. Bocah empat tahun itu mengangguk semangat.
"Woojin, Jihoon ayo!"
Woojin dan Jihoon yang sedang berjongkok mengamati deretan cat yang disusun rapi langsung bangkit dan mengikuti ke mana kaki Seongwoo melangkah. Mereka berhenti di lorong alat tulis. Woojin mendekati pulpen warna-warni yang disusun rapi dan mengambilnya satu untuk dicoba. Ia membuka tutupnya dan mulai mencorat-coret kertas kosong yang memang ditempel di sana sebagai tempat mencoba pulpen yang dijual.
Ia terkekeh kecil mengamati hasil coretannya dengan pulpen warna hijau itu. Ia memanggil Jihoon yang memandang takjub deretan warna-warna cantik pulpen yang disusun rapi oleh penjaga toko. "Jihoon!" Panggil Woojin.
Jihoon langsung mendekat dan menatap Woojin dengan tatapan bertanya. Woojin menunjukkan kertas putih yang berisi coretan tangannya pada Jihoon. "Lihat! Warnanya ijo!" Ujarnya semangat.
"Aku juga mau!" Jihoon ikut memilih pulpen warna di depannya. "Yang pink aja lucu." Ia meraih pulpen warna pink dan membuka tutupnya. Dengan semangat ia mencoret-coret kertas yang tadi digunakan Woojin dengan gambar-gambar lucu khas anak taman kanak-kanak.
"Aku mau nyoba yang lain."
Woojin menaruh lagi pulpen warna hijau setelah menutupnya, ke tempat asalnya. Tangan kecilnya meraih pulpen warna biru dan mendorong tubuh Jihoon agar pindah dari hadapan kertas corat-coret. Ia menyobek kertas yang tadi sudah penuh dengan coretan Jihoon dan menggantinya dengan kertas kosong yang ada di baliknya.
Woojin menggambar awan dengan jumlah banyak menggunakan pulpen biru yang ia pegang. Dia tertawa sendiri melihat hasil gambarnya yang keren.
Jihoon tidak mau kalah, setelah mengembalikan yang warna pink pada tempatnya, ia mengambil lagi yang warna ungu. Ia menyobek kertas milik Woojin dan mulai membuat gambar bunga di atas kertas yang baru.
"Bagusan gambarku!" Ejek Woojin. Bocah laki-laki itu tertawa melihat gambar bunga Jihoon yang melenceng sana-sini.
"Bagusan gambarku lah!" Jihoon tidak mau kalah.
"Ya udah tanya Bang Seongwoo aja gambar siapa yang paling bagus!" usul Woojin. Jihoon menyanggupinya dengan berkata, "Ayo, siapa takut!"
Namun ketika mereka akan menemui Seongwoo yang tadi berdiri di depan rak spidol bersama Guanlin, sosok laki-laki itu sudah tidak ada di sana. Woojin dan Jihoon saling berpandangan. Tanpa diaba-aba, mereka berdua lantas meletakkan pulpen yang tadi masih mereka genggam kembali ke tempatnya, dan bergegas keluar dari lorong alat tulis.
Kepala Jihoon celingukan mencari keberadaan Seongwoo dan Guanlin di sana, tapi tidak menemukannya.
"Kita keliling aja, kamu ke kanan, aku ke kiri. Nanti kita ketemu di sini lagi," ucap Jihoon. Namun, Woojin menolaknya. "Gak. Nanti kita hilang."
"Kalo hilang, kata Mama kita ke pusat informasi aja," jelas Jihoon. Bocah perempuan itu jelas punya nyali lebih besar ketimbang saudara kembar laki-lakinya.
"Tapi di sini gak ada pusat informasinya, Jihoon," tegas Woojin.
"Ya udah kita cari bareng-bareng aja. Ayo!"
Jihoon menarik tangan Woojin dan membawa kembarannya itu mengelilingi lantai satu toko buku untuk mencari keberadaan manusia bernama Seongwoo dan adik sepupu mereka bernama Guanlin. Namun, setelah mengelilingi satu persatu tempat di lantai satu, dua bocah itu tak kunjung melihat batang hidung Seongwoo.
Jihoon menarik Woojin sampai di depan eskalator yang akan mengantarkan mereka ke lantai dua. "Apa Bang Seongwoo ada di atas ya?" gumam Jihoon.
"Ayo kita naik ke atas!" Jihoon menarik tangan Woojin lagi, tapi dengan cepat dicegah oleh si bocah laki-laki. "Jangan! Bahaya! Nanti kalo kejepit gimana?" ujar Woojin.
"Kata Mama kita gak boleh naik eskalator sendirian," lanjut bocah laki-laki itu. Jihoon terlihat menimang-nimang ucapan kembarannya tadi.
"Masa kita nunggu Bang Seongwoo turun sih?" Protes Jihoon. Woojin mengangguk, "Iya. Ma-"
"Permisi adek-adek, Kakak mau lewat."
Si kembar dengan kompak menolehkan kepala ke sumber suara dan menemukan perempuan cantik yang tengah berdiri di belakang mereka sembari tersenyum. Woojin menarik Jihoon untuk minggir dan memberi jalan kepada perempuan itu untuk lewat.
"Kalian mau naik ke atas juga?" tanya si perempuan. Jihoon mengangguk semangat, "Iya, Kak," jawabnya.
"Ayah ibunya di mana? Kok cuma berdua aja?"
"Di rumah, Kak," jawab Woojin.
"Lho, terus ke sini sama siapa?" Perempuan itu bertanya kaget. Melihat dua bocah kecil hanya berdua di toko buku sebesar ini, ia takut mereka diculik.
"Sama Abang," tutur Jihoon.
Si perempuan cantik itu menghela napas lega, kemudian mengangguk, "Abangnya ke mana?"
Woojin mengangkat bahunya, "Gak tau. Kita tadi ditinggalin, Kak."
"Kayaknya di atas, Kak, tapi kita gak bisa naiknya," sambung Jihoon.
"Oh ya udah sini Kakak bantuin naik eskalator." Perempuan itu mengulurkan tangan ke mereka berdua. Jihoon langsung menyambut uluran tangan perempuan cantik itu, sedangkan Woojin terlihat ragu-ragu.
"Gak apa-apa. Kata Papa kan kalo orang cantik itu gak jahat, Mama kan cantik jadi gak jahat," Jihoon berbisik di telinga Woojin. Si kembar laki-laki itu akhirnya menggandeng tangan kiri si perempuan cantik itu tanpa ragu.
"Hitungan ketiga, kita naik barengan ya."
Woojin dan Jihoon mengangguk kompak.
"Satu... dua... tiga..."
Mereka bertiga sudah naik di atas eskalator. Jihoon tertawa senang karena akhirnya bisa naik ke atas eskalator dan menemui Seongwoo yang ia yakini ada di atas sana.
"Nama kalian siapa?"
"Aku Jihoon, Kak." Jawab Jihoon lalu menunjuk Woojin, "Kembaranku namanya Woojin."
"Oh kembar ya. Lucu deh," perempuan itu tersenyum manis dengan mata yang melengkung indah. "Nama Kakak Minhyun." Ia berujar memperkenalkan diri.
Setelah sampai di atas, Woojin segera melepaskan gandengan tangannya dari Minhyun. Jihoon mengucapkan terima kasih, lalu beranjak pergi dari sana.
Minhyun tersenyum sebagai balasan dan mengamati kepergian dua bocah kembar itu yang celingak-celinguk mencari keberadaan seseorang.
.
.
Jihoon melihat Guanlin duduk pada lantai di lorong buku cerita anak-anak. Ia memanggil Woojin dan bersama-sama menemui Guanlin di sana.
Guanlin yang tadi melihat buku cerita bergambar, terlonjak kaget karena kemunculan dua makhluk kembar beda gender itu. Namun setelahnya, bocah berbadan bongsor itu kembali tenggelam dalam buku cerita bergambarnya meskipun tidak tahu kalimat apa yang tertulis di sana.
Woojin melihat Seongwoo tengah berdiri di depan rak berisi buku cerita anak-anak dan menarik Jihoon dari hadapan Guanlin yang sibuk membaca padahal tidak tahu tulisannya apa. Mereka menghampiri Seongwoo yang raut wajahnya terlihat bingung.
"Buku cerita apaan harganya lima puluh rib-"
"DOR!"
Seongwoo terlonjak kaget karena suara cempreng Jihoon dan Woojin. Ia segera berbalik dan menemukan dua bocah kembar itu tertawa terbahak-bahak karena berhasil membuatnya kaget.
"Heh bocah! Dicariin dari mana aja kalian?" omel Seongwoo.
"Lho Abang yang ninggalin kita di bawah tadi!" Jihoon protes tidak terima. Ia lalu menyikut tangan Woojin yang langsung mengangguk menyetujui ucapan kembarannya.
"Hah? Masa? Perasaan tadi kalian ikut naik eskalator sama Abang," Seongwoo menggaruk tengkuknya.
"Kita tadi gak bisa naik eskalatornya, tapi ditolongin sama Kakak cantik," ucap Jihoon. Ia tersenyum ketika mengingat wajah rupawan perempuan yang menolongnya dan Woojin tadi.
"Kakak siapa? Jangan-jangan penculik yang mau bawa kalian? Aduh! Kalian jangan jauh-jauh dari Abang ya? Nanti kalo diculik, Abang bisa dijadiin sayur lodeh sama Mama kalian," cerocos Seongwoo.
"Gak kok, Bang, kakaknya baik." Jihoon menyenggol Woojin lagi dan bocah laki-laki itu mengangguk. "Tadi siapa ya namanya, Ji?" Woojin terlihat berpikir.
"Gak tau lupa," jawab Jihoon.
"Bukan penculik kan?" tanya Seongwoo memastikan.
"Bukan, Abang!"
"Kalo penculik ya kita gak di sini sekarang!"
.
.
.
[udah ada minhyunnya tuhhh. seneng gaaa? ayo sini salim dulu sama aku /hehehe ga]
