Sedetik setelah pintu studio tertutup, suara nyaring Seongwoo adalah yang terdengar setelahnya di telinga tiga orang di dalam sana. Jaehwan hampir saja memutuskan senar gitarnya karena kaget dengan pekikan kakak tingkatnya itu.

"Kok gak ada yang ngasih tau kalo Jonghyun punya kembaran?!"

Daniel angkat bahu acuh dan lanjut mengetes bassnya. Jaehwan juga tidak peduli karena ia lebih dulu kesal dengan suara nyaring menyebalkan milik Seongwoo. Hanya Hyunbin yang akhirnya angkat suara untuk menjelaskan.

"Mas Jonghyun sering pasang dp bareng Mbak Minhyun padahal. Ya mungkin Mas Seongwoo aja yang gak notice," jelas Hyunbin.

"Ya mana aku tau, kirain saudara gitu."

Seongwoo mengambil stik drum dari rak penyimpanan, lalu berjalan gontai ke balik drum di sudut ruangan. "Lagian, mereka gak mirip sama sekali," lanjut Seongwoo.

"Woojin sama Jihoon juga ga mirip tuh," Daniel menimpali. Si badan bongsor itu masih mengutak-atik bass di pangkuannya.

Seongwoo memukul asal snare drumnya, "Ya... iya sih." Kemudian lanjut memukul simbal dengan kuat sampai suara nyaringnya membuat Jaehwan refleks menutup telinga, "Tapi tetep aja aku gak terima. Kembarannya kok cantik gitu?!"

Tepat saat itu Jonghyun membuka pintu studio dan melotot kaget karena teriakan Seongwoo. Daniel dan Hyunbin hanya bisa mendesah kesal.

"Apaan neh rame-rame?"

Jaehwan menunjuk Seongwoo dengan dagunya, "Noh! Yang masih gak percaya kalo Jonghyun punya kembaran. Mana cantik pula kembarannya."

"Kenapa emangnya kalo Minhyun cantik? Gak terima?" Ujar Jonghyun nyolot.

Seongwoo terkekeh canggung, "Terima kok terima. Asal dikenalin aja nanti."

Tiga orang selain Seongwoo dan Jonghyun kompak berteriak, "YEU MODUS!"

...

...

"Mic check one, two. One... two... a... a..."

Suara deheman Jaehwan terdengar di pengeras suara. Hyunbin dengan sigap menoleh ke arahnya ketika mendengar banyak suara aneh yang dikeluarkan Jaehwan dari sana. "Kenapa?" Ia bertanya.

Tiga pemuda lainnya ikut menoleh ke arah Jaehwan seperti yang dilakukan Hyunbin. Dahi mereka mengerut bingung saat Jaehwan hanya meringis sebagai balasannya.

"Gak papa sih, cuma suaraku habis. Butuh minum nih," jelas Jaehwan sembari mengelus lehernya. Kerongkongannya terasa kering setelah menyanyikan banyak lagu dengan nada yang tinggi. Ia menaik turunkan alisnya ke arah temannya satu persatu. Daniel dan Hyunbin buang muka karena tahu Jaehwan sedang memberi kode untuk diambilkan minum.

Jonghyun yang juga peka dengan kode yang diberikan Jaehwan lantas menyuruh Seongwoo untuk mengambil minum ke bawah.

"Lah kok aku?" Protes Seongwoo. "Kan yang butuh minum dia, kenapa aku yang turun?"

Jonghyun tersenyum miring, "Tadi katanya minta dikenalin ke Minhyun. Ya udah turun dulu sana ambilin minum, nanti aku kenalin."

Seongwoo ingin tersenyum ketika diiming-imingi oleh Jonghyun akses kenalan dengan Minhyun. Tapi ketika tahu bahwa ia harus turun ke bawah untuk mengambilkan Jaehwan minum, ia kesal lagi.

Seongwoo memutar akal, mencari cara terbaik agar ia diuntungkan dalam hal ini. Ia tersenyum misterius, membuat Jonghyun menatapnya aneh.

"Kurang menarik lah kalo kenalan doang. Tadi juga udah kenalan sama Minhyun." Seongwoo mencoba untuk jual mahal. "Bagi id Line, kita impas," tawarnya. "Gimana?"

Jonghyun mengesah panjang. Ia tahu membuat penawaran dengan calon psikolog berotak pedagang seperti Seongwoo bukanlah hal mudah. Mau berkelit seberapa lamapun, Seongwoo jelas pemenangnya. "Gampang. Urusan belakang itu," jawab Jonghyun akhirnya.

Seongwoo tersenyum penuh kemenangan. Ia mengepalkan tangan ke atas dan bergumam senang kemudian.

Daniel yang melihat kelakuan dua kakak tingkatnya itu hanya bisa geleng-geleng kepala. Ia meletakkan bass ke tempatnya dan mendudukkan dirinya ke atas karpet bulu untuk beristirahat dari melihat perdebatan tidak berguna tetua grupnya. "Yailah ngambil minum aja pake kesepakatan segala. Lama," ceplos Daniel.

Seongwoo mendelik. Ini bukan sekadar kesepakatan biasa. Ini menyangkut masa depan keluarga kecilnya nanti. "Ya udah sana ambil sendiri aja!" Seongwoo berujar nyolot.

"Males. Mager."

"Dasar beruang kutub!"

"Belalang kayu!"

...

...

"Lihat punyaku, Kak!"

Woojin berseru girang sambil mengangkat kertasnya ke hadapan Minhyun sampai si perempuan mengalihkan atensi kepadanya. "Oh iya punya Woojin bagus!" Minhyun menunjukkan dua jempolnya dan membuat Woojin tersenyum malu-malu. Minhyun sampai gemas, lalu mengusak rambut Woojin sayang.

"Punyaku juga bagus, Kak!"

Jihoon tidak mau kalah. Dengan susah payah ia bangkit dari posisi tengkurapnya dan berjalan mendekati Minhyun untuk menunjukkan hasil gambarnya. Minhyun juga memberikan dua jempol kepada Jihoon, "Jihoon keren!" Dan tersenyum sampai matanya membentuk lengkungan bulan sabit yang indah.

"Bagusan punyaku lah," sambar Guanlin tiba-tiba. Bocah laki-laki itu masih asyik mencoret-coret kertas dengan spidol warna merah. Ia mendongakkan kepala dan tersenyum bangga ke arah Minhyun dan Jihoon. "Punya Kakak kalah sama punyaku," ucapnya.

Jihoon yang mendengarnya menjadi kesal. Apa yang lebih keren dari coretan melingkar dengan spidol merah Guanlin ketimbang gambar pemandangannya? Jihoon tidak terima.

"Punyamu jelek. Kayak benang ruwet," ejek Jihoon.

"Kakak Jihoon aja yang gak tau. Ini jalurnya Hot Wheels!" Sanggah Guanlin. Yang lebih muda membuat makin banyak gambar yang kata Jihoon lebih mirip gulungan benang tidak beraturan. "Mana cukup mobilnya lewat di garis-garis kecil kayak gitu."

"Ini aku buat banyak, jadi cukup!"

"Udahlah, punyaku jauh lebih bagus dari kalian."

Dua makhluk yang tadi berdebat, dengan kompak menoleh ke arah Woojin yang tengkurap di samping Minhyun. Minhyun terkikik geli melihat raut masam Jihoon dan kerucutan bibir Guanlin.

"Curang!" Keduanya berteriak bebarengan. "Gak boleh dibantuin Kak Minhyun!" Lanjut Jihoon masih dengan berteriak.

Guanlin sudah tidak ambil pusing lagi dengan masalah itu, jadi dia kembali asyik dengan gambarnya dan menambah banyak garis-garis melingkar menggunakan spidol warna-warni. Jihoon beringsut ke dekat Woojin sambil membawa pensil warna serta kertasnya tadi. "Gambarin kayak punya Woojin juga dong, Kak!"

Minhyun menerima uluran pensil warna dari Jihoon dan mulai menggoreskan garis pada kertas kosong tersebut. Sebelum sebuah suara menginterupsi kegiatan Minhyun yang sedang menggoreskan pensil warna pada kertas Jihoon.

"Ehm, Minhyun."

Bocah perempuan itu mendengus kesal karena Minhyun tidak jadi menggambarkan Gudetama untuknya. Ia cemberut dan Woojin yang melihatnya hanya tertawa tanpa mengeluarkan suara.

Minhyun mendongakkan kepala, menatap ke sumber suara. "Iya?"

Seongwoo mendekat ke tempat di mana Minhyun sedang duduk bersama tiga keponakannya. "Itu, Jonghyun nyuruh aku ambil minum," ujarnya.

Minhyun tersenyum kecil, "Oh iya ambil aja di dapur."

"Aku gak enak kalo mau ambil sendiri. Bisa minta tolong temenin?" Seongwoo menggaruk tengkuk canggung.

Minhyun memberikan pensil warnanya kepada Jihoon dan si bocah perempuan itu masih menunjukkan raut kesalnya meskipun Minhyun tidak memperhatikannya. Ia akhirnya beranjak dari duduknya dan melenggang ke dapur diikuti Seongwoo.

"Eh, bentar deh. Tadi perasaan aku udah bikinin es teh, emang udah habis ya?" Minhyun berbalik badan dengan cepat, membuat Seongwoo yang berjalan terlalu dekat dengannya berjingkat kaget.

Seongwoo gugup, serius. Baru kali ini ia berdiri sedekat ini dengan perempuan selain ibu dan kakak perempuannya. Apalagi berdiri di depan bidadari cantik macam Minhyun. Groginya dikali dua. "E-eh, tapi di atas gak ada es teh," ujarnya kikuk.

"Masa?" Minhyun masih berdiri di sana, di hadapan Seongwoo tanpa merasakan gugup sama sekali. Seongwoo berinisiatif melangkah mundur sedikit sampai tidak lagi merasakan suhu panas yang menguar dari tubuh Minhyun. "Tadi Jonghyun yang bawa lho," lanjut Minhyun.

"Apa dia bawa ke depan ya?"

Minhyun berjalan melewati Seongwoo yang berdiri mematung di tempatnya. Woojin dan Jihoon yang melihat kelakuan anehnya tertawa keras sampai menyadarkan lamunannya. Setelah sadar, Seongwoo akhirnya mengikuti langkah Minhyun yang lebih dulu berjalan ke arah ruang tamu. Tidak lupa ia memberikan tatapan tajam kepada Woojin dan Jihoon yang tadi menertawakan tingkah bodohnya.

Seongwoo belum sampai ruang tamu, tapi Minhyun sudah kembali dengan membawa nampan berisikan wadah es teh besar dan beberapa gelas di atasnya. Dengan naluri lelaki yang ia punya, Seongwoo langsung mengambil alih nampan itu dari tangan Minhyun. Sambil menahan napas, hatinya jejeritan ketika tangannya tidak sengaja menyentuh permukaan kulit tangan Minhyun.

"Kamu bawa ke atas dulu, aku ambilin camilan buat yang lain," ujar Minhyun setelah mengalihkan nampan tadi kepada Seongwoo.

"Ya, aku tungguin di sini aja. Kita ke atas barengan," jawab Seongwoo. Ia berdiri di samping tangga, melirik Jihoon dan Woojin yang masih mengamati tingkahnya sejak tadi.

"Apa kalian liat-liat?"

Si kembar memberikan gestur menunjuk-nunjuk dan bibir yang menggumamkan kata 'cie' berulang kali tanpa suara. Seongwoo lagi-lagi mendelik menyuruh si kembar itu agar tidak berbuat macam-macam pada dirinya.

Jihoon dan Woojin kembali tertawa sambil memegangi perut mereka, lagi-lagi tanpa bersuara. Guanlin yang duduknya membelakangi Seongwoo dan berhadapan langsung dengan si kembar, menatap keheranan. Dan ketika dirinya tidak paham dengan hal lucu apa yang ditertawakan dua kakaknya, ia fokus lagi dengan gambarnya yang lain.

"Lho, kirain udah ke atas."

Minhyun datang sambil membawa tiga toples plastik yang ditumpuk ke atas dalam pelukannya. Ia menghampiri Seongwoo dan berjalan mengekor Seongwoo yang naik tangga lebih dulu. "Kan aku nungguin kamu," jawab Seongwoo pelan. Meski begitu, Minhyun tetap mendengarnya dan membalas ucapannya dengan seulas senyum yang tidak bisa dilihat oleh Seongwoo di depan sana.

...

...

Ketika pintu studio di buka, suara riuh yang sebelumnya terdengar mendadak senyap. Seongwoo masuk diikuti Minhyun di belakangnya. Jaehwan menyikut perut Jonghyun ketika matanya menangkap siluet perempuan langsing yang berjalan di belakang Seongwoo.

Setelah menaruh tiga toples berisikan camilan, Minhyun bisa mendengar bisikan pelan Seongwoo di telinganya yang mengucapkan terima kasih. Ia lalu tersenyum dan menjawab, "Iya sama-sama." Kemudian berbalik dan menutup pintu studio pelan-pelan.

Satu detik setelah pintu studio tertutup, suara teriakan melengking Jaehwan membuat Seongwoo memgangi dadanya karena kaget. Ia mendelik ke arah Jaehwan yang nampaknya masih heboh dengan kejadian yang baru saja terjadi di depan matanya.

"Wooooo! Petrus samyang, Bro!"

Keempat orang tadi segera duduk melingkar di sisi kosong Seongwoo. Daniel membuka toples berisi kacang telur dan mengambil satu tangkupan kacang di genggaman tangannya. Ia mulai memakan kacangnya satu persatu sambil menunggu Seongwoo buka suara.

Semuanya memberikan atensi sepenuhnya pada Seongwoo, menuntut penjelasan. Terutama Jonghyun yang menatapnya paling intens dari yang lain.

"Kenapa kalian? Kayak gak pernah liat orang ganteng aja." Seongwoo berujar santai. Ia mengambil beberapa butir kacang dari tangan Daniel dan melahapnya, membuat si empunya mendengus tidak terima.

"Banter banget gasnya, Mas. Baru isi bensin ya?" Canda Hyunbin.

Seongwoo tersenyum remeh, "Kalo gak digas, nanti ketikung orang."

Jonghyun langsung memukul kepala Seongwoo dari belakang. Tiga orang yang lain tertawa melihat raut kesakitan Seongwoo. "Modus mulu! Kalo suka itu kasih kepastian, jangan dimodusin aja."

"Baru kenal masa langsung di ajakin komitmen. Yang ada dia nanti ilfeel sama aku. Dikira aku orang gila gak punya kerjaan yang main ajak anak orang kawin."

Daniel mengangguk setuju, "Bener tuh, Mas. Dideketin aja dulu, nanti kalo dianya kasih respon positif barulah diajak komitmen. Lagian nih ya masih kuliah, belum punya penghasilan tetap masa berani-beraninya ngawinin anak orang. Kalo bapaknya tanya 'punya aset apa aja?' kita jawab, 'punya cinta' aku yakin gak bakal diterima."

"Hari gini makan cinta? Gak kenyang, Bro," tambah Jaehwan. Yang lainnya tertawa. "As expected dari si petualang cinta," lanjutnya sambil menepuk-nepuk punggung Daniel yang tersenyum bangga.

"Ya tapi ini perempuannya adekku sendiri, jadi jangan main-main," jelas Jonghyun. "Aku sih oke-oke aja kalo sama temenku, apalagi Seongwoo. Tapi, perasaan Minhyun jangan dibuat mainan. Dia adekku satu-satunya, aku gak bisa liat dia disakitin sama laki-laki gak tanggung jawab."

"Mas Seongwoo serius gak nih? Jangan-jangan karena mbak Minhyun cantik doang, terus seneng. Kalo gitu buat aku aja mbak Minhyunnya," ucap Hyunbin sambil mengunyah kacang.

"Jujur aja, visual comes first. Tapi yang bikin kita ngerasa nyaman sama seseorang kan bukan tampangnya, tapi hatinya. Aku seneng pas tau ternyata itu Minhyun yang bantuin ponakanku naik eskalator di toko buku soalnya aku lupa ninggalin mereka di lantai bawah. Aku tambah seneng pas tadi liat mereka bertiga keliatan nyaman banget main sama Minhyun."

Jonghyun diam-diam tersenyum kecil mendengarkan penuturan Seongwoo. Dia kenal Seongwoo tidak satu atau dua hari, tapi sejak awal masa ospek sampai semester lima ini. Meskipun tidak terhitung lama, tapi Jonghyun yakin dengan kemantapan hati mahasiswa Psikologi ini.

"Aku terharu, Mas. Asli."

Jaehwan mendapat satu toyoran di dahinya dari Hyunbin. Ia meringis kesakitan, kemudian balas memukul Hyunbin dan juga Daniel yang tertawa bodoh.

...

...

"Seongwoo? Mau pulang?"

Suara lembut dari wanita paruh baya yang Seongwoo dengar datang dari dapur, membuatnya menoleh. Ia tersenyum ramah ketika ibu Jonghyun mendekatinya yang baru saja turun dari tangga. "Iya, sudah mau magrib. Nanti anak-anak dicariin sama Mamah," jawabnya sembari tersenyum.

"Kata si Adek itu keponakan kamu ya? Ternyata kamu udah jadi om ya, Seongwoo?" Wanita itu menepuk ringan punggung Seongwoo, kemudian mengelusnya. "Udah siap jadi ayah kalo gini kan? Udah bisa ngurus keponakannya gitu, kayak ayah muda."

Seongwoo salah tingkah. "Kalo jadi ayah sih belum siap, belum punya penghasilan tetap. Nanti anak istrinya mau dikasih makan apa, Bun?"

Mereka berjalan beriringan sampai ke ruang tamu. Sambil tersenyum ibu Jonghyun menjawab, "Kalo ada niatan buat nikah, pasti ada aja rezekinya kok, Mas. Buat istri, buat anak juga."

"Iya, Bun. Tapi saya masih ingin kejar karir dulu. Saya juga yakin, perempuan sekarang pasti ingin berkarir dulu sebelum menikah karena banyak dari mereka yang tidak diizinkan suaminya kerja lagi. Saya hargai itu, Bun, karena sekolah itu gak mudah."

"Pasti banyak ibu-ibu yang minta ke Mamahnya buat jadiin Mas Seongwoo menantunya selesai kuliah nanti ya? Yang modelannya macem kamu gini susah lho dicarinya."

"Gak juga ah, Bun," Seongwoo tersipu malu. Ia kemudian berpamitan sebelum keluar rumah, "Seongwoo pulang dulu ya, Bun. Assalamualaikum."

Setelah mendapat jawaban salam dari ibunya Jonghyun dan Minhyun, Seongwoo segera memakai sepatunya dan beranjak keluar halaman. Di depan dia bisa melihat keponakannya sedang main kejar-kejaran bersama Minhyun.

Seongwoo menyunggingkan senyum, membayangkan betapa bahagianya punya keluarga kecil bahagia seperti kakak-kakaknya. Ia menggelengkan kepala pelan, menyadarkan diri dari pikiran aneh yang terlintas begitu saja di kepalanya ketika melihat tawa Minhyun yang begitu lepas kala bermain dengan keponakannya.

Ia menghampiri Guanlin dan berjongkok untuk menarik bocah itu dalam pelukannya. Guanlin bergerak meminta dilepaskan dan akhirnya Seongwoo mengalah untuk melepas Guanlin dari pelukannya.

"Panggil Mas Woojin sama Kak Jihoon, udah mau magrib, ayo pulang," bisik Seongwoo di telinga Guanlin.

Guanlin terhenyak, "Lho?! Gak mau pulang, Bang. Aku masih mau main sama Kakak Minhyun."

"Besok kan bisa main lagi. Nanti kamu dicariin Nenek," bujuk Seongwoo.

Guanlin cemberut, tapi dia tetap memberitahukan Woojin dan Jihoon bahwa mereka akan pulang. Si kembar langsung menghambur ke arahnya dan sama-sama merengek tidak mau pulang.

"Besok bisa main lagi kok." Minhyun menghampiri mereka bertiga dan mengelus surai gelap tiga bocah itu satu persatu.

Seongwoo berdiri, "Tuh, kata Kakak Minhyun besok bisa main lagi."

"Ya udah," jawab Jihoon pasrah. Ia akhirnya mencium tangan Minhyun untuk berpamitan diikuti dua bocah laki-laki di belakangnya.

Setelah membukakan pintu untuk tiga bocah itu, Seongwoo berbalik untuk menemui Minhyun yang masih berdiri di depan rumahnya.

"Minhyun, makasih ya udah jagain mereka. Maaf ngerepotin."

Minhyun mengangguk, "Gak repot kok. Aku malah seneng soalnya gak pernah punya adek."

"Mereka nurut kalo sama kamu. Beda lagi kalo sama aku, urakan. Makannya aku tadi takut kalo semisal mereka bikin rusuh di sini, eh ternyata enggak," ucap Seongwoo. Ia tersenyum sekali lagi, "Pokoknya terima kasih."

"Iya sama-sama," balas Minhyun disertai sebuah senyum tulus yang sukses membuat jantung Seongwoo berdegup dua kali lebih cepat.

...

...

"Jonghyun, aku tadi kelupaan."

Jonghyun diam sebentar, mengubah posisi sebelum menjawab pernyataan Seongwoo. "Apa? Ada yang ketinggalan?"

Seongwoo diseberang telepon mengangguk antusias, tapi Jonghyun jelas tidak melihatnya. "Iya ada," jawabnya dengan ceria.

"Apa?"

Dia bersiap turun dari kasur sebelum jawaban yang terlontar dari bibir Seongwoo selanjutnya membuatnya ingin mengumpat.

"Id line nya Minhyun belum."

.

.

.

.

padahal udah selesai sbmptn tapi masih belum ada mood untuk nulis lagi. aku pengen nulissss ayoo dong moodnya datanglah kepadaku huhu

maaf ya kalo ceritaku cringe abis huhu soalnya seongwoo cocok jadi kayak gitu wkwk