BAB I: Meet With My-Ex
Miya melirik kalender. Bibirnya tak berhenti tersenyum, mengingat dua minggu lagi adalah hari yang sangat ia tunggu. 14 Februari. Ya, Valentine, sekaligus perayaan tanggal jadiannya dengan Alu, sang kekasih.
Dia pun memikirkan sesuatu yang bagusnya ia beli untuk hari istimewa itu. Baju? Ah, Alu sudah punya banyak. Sepatu? Wah, Miya tak tahu ukuran yang pas. Kalung? Tidak lucu sama sekali. Alu tidak cocok memakai kalung. Aduh, saking bingungnya, tanpa sadar Miya sudah ketiduran di atas kasurnya sendiri.
Miya membuka matanya. Sudah jam 10 pagi. Pantas saja ia tidak mendapati Alu dimanapun. Pria itu telah berangkat pagi-pagi duluan. Miya segera beranjak dari kasur, menuju ke kamar mandi untuk bersiap-siap. Tapi, saat mengambil handuk dan pakaian, ia teringat sesuatu. Hadiah untuk Alu.
Miya bodoh, niatnya ingin berpikir tapi malah ketiduran semalam. Gerutunya dalam hati.
Tiba-tiba ia kembali teringat bahwa kemarin sore Alu berkata kalau jamnya mati.
"Ide bagus, Miya!" gumamnya.
Jalanan terlihat sedikit ramai saat ini. Maklum sih, sudah hampir masuk jam makan siang. Akhirnya Miya memutuskan untuk memasuki toko jam tangan yang terlihat agak mewah.
"Selamat siang, ada yang bisa saya bantu?"
Sebuah suara lembut menginterupsi saat Miya sedang melihat-lihat. Seorang gadis, dan dia sudah pasti pegawai toko ini. Miya melirik name tag gadis itu, tertulis nama Odette.
Nama yang bagus.
Miya melirik Odette yang masih setia memasang senyum manis di bibir tipisnya.
Anak ini cantik sekali. Batin Miya. Bibirnya berwarna pink dan lembab, matanya biru jernih, kulitnya pun putih bersih. Jangan lupakan rambut yang berwarna karamel dan disanggul dengan rapi, membuat penampilan Odette makin anggun dan manis. Benar-benar seorang putri! Miya menyadari bahwa ia tidak boleh terlalu lama melamun, sehingga buru-buru menjawab dengan agak gugup.
Tapi, kenapa wajah cantik itu terlihat familiar?
"Ah... aku mencari jam yang cocok untuk pria."
"Pasti untuk pacar anda, ya?" tebak Odette. Miya hanya mengangguk dengan wajah yang sedikit memerah. "Ikuti saya. Akan saya tunjukan rekomendasi jam yang cocok untuk pria."
"Baiklah."
Odette mengambil beberapa contoh jam tangan terbaik, lalu menunjukkannya pada Miya.
"Disini ada merk terbaik, keluaran terbaru Rolex. Bagaimana?" tawar Odette.
Jam itu berwarna perak, seperti jam-jam pada umumnya. Yang membedakan adalah, di balik jam terdapat ukiran huruf R, lambang dari perusahaan Rolex. Miya yakin jam ini cocok untuk Alu, bagus dan terkesan dewasa. Tapi yang menjadi masalah adalah...
"Aku suka jam ini, tapi... jamnya terlihat mahal. Sedangkan aku tidak membawa uang yang cukup banyak hari ini." Miya menggaruk tenguknya yang tidak gatal. Odette kembali tersenyum.
"Tak apa. Karna promo potongan harga kami masih berlaku, jam ini didiskon."
"Benarkah?"
"Ya. Khusus untuk anda..." tiba-tiba saja suara Odette terdengar mengecil. Ia tersenyum misterius, dan menatap Miya dengan tatapan yang sulit diartikan. Miya yang menyadari perubahan wajah Odette hanya meneguk ludahnya. Ada apa ini?
"B... Baiklah aku ambil itu."
"Oke! Segera saya siapkan pesanan anda." Senyuman itu dengan cepat berganti lagi, membuat Miya makin bingung saja. Tapi karna dia ingin cepat pulang, maka ia berusaha untuk tidak memikirkannya.
Miya berjalan pulang dengan menenteng sebuah tas yang berisi hadiah untuk Alucard. Hadiah itu telah ia bungkus dengan kertas kado berwarna biru.
Semoga Alu suka.
Entah sudah berapa kali Miya tersenyum hari ini. Dia terlalu bahagia dan ingin segera menyambut Alu di rumah. Tiba-tiba saja, langkahnya terhenti di depan sebuah kafe, tempat dia putus dengan mantan pacarnya. Dan, tempat dia mengungkapkan perasaannya pada Alu. Miya tersenyum miris mengingat kejadian itu.
Ah, sekarang kan aku sudah bersama Alu. Kenapa aku memikirkan dia lagi?
Miya memutuskan untuk memasuki kafe tersebut. Seorang pelayan perempuan berkulit eksotis dan berpayudara besar menghampirinya.
"Ada yang bisa saya bantu?" pelayan itu tersenyum sambil melihat notes miliknya.
"Apa ada meja yang kosong?" Miya melihat-lihat ke sekeliling kafe.
Gadis di depannya tiba-tiba membeku, lalu dia mengatakan sesuatu yang membuat darah di tubuhnya serasa disedot.
"Heh, aku tidak percaya akan bertemu denganmu lagi, jalang."
"Ka... Karina?"
"Ya, ini aku, jalang. Aku terkejut kau masih mengingatku setelah lama tidak bertemu."
Miya kehabisan kata-kata, dirinya serasa mati rasa. Dia sangat ingin keluar dari tempat itu sekarang juga, tapi kakinya tidak bisa digerakkan.
"Ingin lari lagi? Memang mau sampai kapan kau akan lari? Kapan kau sadar bahwa yang kau lakukan itu salah?! Pelacur sepertimu lebih baik mati saja!"
Miya tetap diam di tempat. Dia dapat merasakan beberapa pasang mata menatapnya dan berbisik-bisik, karena teriakan Karina tadi. Tanpa sadar, Miya sudah berada jauh dari kafe itu. Airmata membanjiri iris ungu kebiruannya. Nafasnya tidak beraturan, dadanya sesak mengingat masa lalu itu. Rasa penyesalan membuncah di dadanya, sekarang ia benar-benar tak tau harus bagaimana. Saat sedang sibuk menangis, seseorang menepuk pundak kanannya. Miya pun berbalik.
"Estes?"
"Hai Miya, lama tidak berjumpa."
"H.. hai...,"
"Apa kau baik-baik saja? Ah, tidak enak rasanya kalau ngobrol disini sambil berdiri. Cari kafe saja yuk?" Estes celingukan mencari kafe yang cocok. "Gimana kalo kafe itu?"
Miya melihat ke arah tempat yang ditunjuk Estes. Kafe tempat dia bertemu Karina tadi.
Tidak, tidak! Jelas tidak!
"Uhh... kurasa lebih baik cari tempat lain saja. Kafe itu terlihat ramai."
"Benar juga sih. Kalau gitu ayo kita ke tempat lain."
Pada akhirnya, mereka berdua berakhir di sebuah food court di pusat perbelanjaan. Mereka membicarakan tentang kenangan masa lalu, dan kehidupan mereka sekarang.
"Jadi kau bekerja sebagai apa?" Miya bertanya sambil memotong karaagenya.
"Aku sekarang menjadi ilmuwan di Jerman." Jawab Estes sambil tersenyum.
"Wah, keren. Jadi kau membuat alat-alat, benar begitu?"
Estes hanya tertawa renyah, lalu menggeleng. "Tidak... Bukan ilmuwan yang seperti itu. Pekerjaanku membuat obat, vaksin, dan hal lainnya yang berhubungan tentang kesehatan."
Miya hanya melongo. Jadi, Estes itu ilmuwan sekaligus dokter, dong?
Estes masih tersenyum, lalu kembali tertawa. "Wajahmu lucu sekali."
"Oh iya, kalau kau kerja jadi apa?" kali ini, giliran Estes bertanya.
"Aku... bekerja sebagai pembuat kue."
"Pembuat kue? Tunggu, apa itu namanya...?" Estes berpikir, lalu menepuk kedua tangannya. "Chef pastry!"
"Iya.. iya.. itu." Miya hanya iya-iya saja.
"Miya hebat sekali, bisa menjadi chef pastry. Aku jadi teringat masakan Miya dulu, enak-enak semua." Estes memuji.
Miya tertegun, sekejap kemudian wajahnya menjadi mendung.
"Miya kan dulu suka membuatkan aku lemon meringue pie. Itu enak sekali. Eh, tapi itu kan dulu? Sekarang kau sudah bahagia bersama Alu." Kata Estes, setengah menyindir.
"I..iya ya?" Miya terdiam sejenak, lalu kembali bertanya. "Estes bagaimana? Sudah dapat pacar belum?"
"Sudah kok. Namanya..."
"Aku pacarnya. Buat apa bertanya, jalang?"
Sebuah suara memotong ucapan Estes. Suara ini...
Estes dan Miya sama-sama terkejut. Miya mulai berkeringat dingin.
Oh Tuhan, bunuh aku sekarang.
.
.
.
A/N
Gak tau mau bilang apa. Semga kalian suka aja~
