Dia menggumamkan melodi indah. Seragam kerjanya yang berwarna putih itu berkibar pelan terkena angin. Tangan kanannya menenteng tas berwarna biru tua. Rambut karamel bersanggul itu masih terlihat rapi, padahal gadis itu sudah pulang kerja.

Tiba-tiba, ponsel gadis itu bergetar.

"Hm, apa yang idiot itu inginkan?" gumam gadis itu pelan. Dengan malas, dia menjawab panggilan itu.

"Kau butuh apa, Alu?" tanya gadis itu langsung. Orang diseberang telepon sana masih belum menjawab. Odette melanjutkan, "Hei, kau sehat?"

"Aku... Masih tidak bisa melupakannya."

"Ini sudah 9 tahun Alu. Kau harus bisa move on darinya!" jawab Odette kesal. "Lagipula, kau sudah punya kekasih baru, dasar idiot."

Yang diseberang sana tidak kunjung menjawab. Hanya suara nafas yang terdengar tidak beratur. Lama-kelamaan, isakan tangis terdengar. Walau pelan, Odette tahu ada yang tidak beres dengan pria itu.

"Jujur, kau pasti sedang tidak baik-baik saja," tebak gadis itu langsung.

"BAGAIMANA AKU BISA BAIK-BAIK SAJA JIKA TAHU BAHWA PENJAHAT SEBENARNYA BERKELIARAN DISEKITARKU?!"

"Bisakah kau tidak berteriak, tolol?! Telingaku sakit,"

"Maaf... apakah kau ada rencana baru? Sepertinya aku kehabisan akal."

Odette terdiam sejenak untuk berpikir. Mata indahnya seperti menerawang sesuatu. Terlintas di benaknya hari dimana saat dia meninggal.

Odette menarik napas, kemudian berkata, "Aku punya rencana bagus."


Oh Tuhan, bunuh aku sekarang.

"Jadi... Kalian pacaran?" tanya Miya seperti orang bodoh.

Karina hanya mendengus tidak suka. Sementara Estes, dia hanya tersenyum tidak enak.

"Kalau iya, memangnya kenapa? Apa ada urusannya denganmu?" jawab Karina ketus.

"Karina sudahlah, jangan terlalu kasar dengannya," ucap Estes menengahi.

Karina memutar bola matanya bosan. "Kau masih membela jalang ini walau kau tahu dia sudah membuat semua orang menderita?"

Estes buru-buru berdiri, lalu menyeret Karina untuk pergi dengannya.

"Maaf, ya, Miya. Aku ingin berbicara dengan Karina sebentar," ujar Estes sambil tersenyum.

"Oh, tentu! Silakan,"

Estes menarik Karina menjauh dari tempat Miya duduk, lalu dia berkata, "Jangan sekali-kali kau bicara tentang hal itu lagi."

Karina hanya mendengus, "Aku tidak sebodoh itu. Lagipula, rasa kesalku ke dia sudah tidak bisa ditahan lagi.

"Aku juga tahu kalau yang itu. Tapi, kita harus bersikap senormal mungkin didepan Miya sekarang," jawab Estes santai.

Aku juga sebenarnya kesal dengannya, pikir Estes.

"Kalau begitu, ayo kita kembali. Miya pasti sudah lama menunggu," ajak Estes.

Karina tidak bisa membantah lagi. Jadi dia hanya pasrah saat Estes menggandeng tangannya. Kalau saja ia tidak ditenangkan laki-laki berkepribadian tenang itu, mungkin saja Karina sudah mencakar wajah Miya habis-habisan tadi.


Miya masih duduk di tempatnya, memainkan ponsel. Dia berpikir, kenapa Estes sampai harus membawa Karina pergi? Apakah ada yang salah dengan ucapan Karina tadi?

Jangan-jangan...

Mereka menyembunyikan sesuatu?

Miya menggeleng cepat, berusaha mengusir pikiran itu jauh-jauh. Lagipula jika mereka memang menyembunyikan sesuatu, memangnya apa? Karina juga pasti sudah tahu penyebab kandasnya hubungannya dengan Estes. Jadi, Miya tidak perlu terlalu mencurigai mereka.

"Maaf, Miya, kau menunggu lama?"

Miya tersentak dari pikirannya. Dia menengadahkan kepala, dan melihat dua orang yang sempat pergi tadi, sekarang berdiri didepannya.

"Oh, tidak kok. Kau tak perlu seformal itu, Estes," jawab Miya sambil tersenyum canggung.

Miya dapat mendengar Karina menggumam, "Dasar pelacur murahan..."

Miya berpura-pura tidak mendengar hal itu. Panggilan itu terlalu menyakitkan.

"Miya, ini sudah hampir sore. Kau tidak berpikir untuk pulang?" tanya Estes.

"Oh, iya! Aku lupa jika harus pergi sekarang!" jawab Miya sok ceria.

Dia memang berencana pergi dari tempat itu secepatnya. Alasan lain karena Karina juga sudah memelototinya sejak tadi. Miya pun segera bangkit dari tempat duduknya. Dia tersenyum kearah Estes dan Karina sebelum pergi. Estes membalas senyuman itu, sementara Karina...

Dia menunjukkan jari tengahnya kearah Miya, sambil berkata jalang tanpa bersuara.

Dan dengan itu, Miya segera pergi tanpa mau melihat wajah Karina lagi.


Odette berjalan lesu. Dia baru saja keluar dari sebuah toko pernak-pernik. Walau sebenarnya dia tidak berencana pergi ke tempat itu sama sekali.

Itu karena permintaan konyol Alucard.

Jangan lupa belikan aku dream catcher warna merah

Mengingat hal itu saja, membuat emosi Odette naik. Dia ingin sekali meninju wajah tampan pria itu jika mereka bertemu nanti.

Tiba-tiba saja, Odette terjatuh. Sialnya, dia lupa menutup resleting tasnya. Jadilah semua isi tas itu keluar. Dia menatap perempuan dihadapannya.

Rambut silver itu...

Dress biru langit yang dikenakannya...

Itu kan...

"Maaf saya tidak senga−"

"Kau?"

"O... Odette? Maafkan aku, aku tidak melihatmu. Mari kubantu,"

"Oh, terimakasih."

Odette memungut barang-barangnya dibantu dengan Miya. Odette meminta Miya untuk memasukkan barang-barang itu ke tas.

"Maaf, aku jadi tidak enak denganmu..."

"Tidak apa-apa, sudahlah jangan dipikirkan." Perhatian Odette teralih pada tas yang dibawa Miya. "Bukankah itu jam yang kau beli tadi?"

Miya tersenyum lalu menjawab, "Iya, jam yang tadi kau pilihkan."

"Odette, kau baru pulang kerja?" tanya Miya.

Odette hanya mengangguk, mengiyakan. "Aku menunggu tunanganku menjemput."

"Oh begitu."

Hening menyelimuti mereka berdua. Iris hazel milik Odette menelisik Miya dalam diam. Setiap kali iris itu menangkap wajah kecil wanita itu, dress biru yang dikenakannya, rambut silvernya, mata ungu kebiruan itu, benar-benar membuat hati Odette menjerit ngilu.

Dia... Penyebab dari semua kecelakaan itu

"Um, aku mau berterimakasih untuk diskon yang kau berikan tadi," ucap Miya canggung.

Odette menatap Miya, bingung. Lalu, dia tersadar akan sesuatu dan menjawab, "Oh tentu saja! Itu kan promo menjelang Valentine."

"Tapi kau tahu, diskon itu tadi terlalu banyak."

"Kalau kau masih juga merasa keberatan, kembalikan saja jam tangannya," jawab Odette sambil tetap mempertahankan senyum manisnya.

Padahal hatinya sakit luar biasa.

Dapat dia tangkap raut tidak menyenangkan dari wajah Miya. Mungkin saja karena ucapan Odette barusan. Tapi, gadis berambut karamel itu tidak memiliki niat untuk minta maaf.

Tiba-tiba ponsel Odette berbunyi. Dia melihat nama Lancelot tertulis disana.

"Maaf Miya, tunanganku menelepon. Aku permisi sebentar," ujar Odette datar.

Miya yang menyadari perubahan suara itu segera menganggukkan kepala. "Aku juga akan segera pulang. Sampai jumpa, Odette."

"Iya, sampai jumpa."

Dan dengan itu, iris hazel Odette melihat punggung ramping Miya yang semakin lama menjauh, bersamaan dengan dia menjawab panggilan tunangannya.

Karina benar. Dia... Benar-benar seorang pelacur murahan.

.

.

.

A/N

Hai semua~~ kembali lagi di chap 3. Yap, saya dan temen saya ngerevisi+bikin chapter baru, biar cepet sekalian. Jujur, saya kesel sama diri saya sendiri, soalnya saya itu clumsy banget orangnya. Ga teliti gitu. Jadi kalo misalnya ada typo atau sesuatu yang salah, kadang ga sadar dan ketika udah terlanjur di post, langsung panik sendiri, cepet-cepet hapus, repost. Bener-bener ribet, i know. Maka dari itu, mulai sekarang saya berusaha buat hati-hati kalo mau nulis dan post :D

Anyway, terimakasih banyak buat kakak Dovveres yang udah meluangkan waktu buat baca dan review. Saya terharu /lap aer mata/

Semoga kalian suka chapter ini. Btw terimakasih sekali lagi buat Sahidna yang udah bantu mikir sebagian besar dari ide ini~~ luv luv.

Tau ga sih? Gue ngetik ini pas uprak pai dan gue lebih mentingin ni cerita daripada ngapalin buat uprak -_- ~~Sahidna

Ya. Seperti kata teman saya yang satunya lagi, uprak pikir nanti. Bagi saya juga uprak ga uprak cerita ini harus jalan! XD

See ya next chapter !