Warning!
Semi rate-m, dont like dont read
"Aku pulang..." Miya membuka pintu rumahnya. Sepi. Apakah lagi-lagi Alu belum pulang? Akhir-akhir ini dia memang sering pulang malam. Mungkin kerjaannya sangat banyak, sampai Alu harus sedikit melembur.
Miya meletakkan belanjaannya di atas meja, lalu merebahkan badannya di atas sofa. Dia lelah. Sangat lelah. Semua yang terjadi hari ini sungguh aneh.
Ia bertemu Karina. Yang lebih parah adalah ketika Karina memanggilnya dengan sebutan jalang atau pelacur. Panggilan itu benar-benar membuat hatinya sakit.
Maksudku, hei, siapa yang tidak marah ketika seseorang menyebutmu pelacur atau jalang hanya karena masalah kecil?! Miya sungguh kesal, tapi kekesalannya hanya ia simpan dalam hati. Ia tidak mau menambah beban pikiran dan menjadi stres.
Lalu, Estes. Tidak ada yang salah dari pria itu. Dia baik dan santai. Tetapi, kenapa nada bicaranya seperti menyindir ketika sedang berbicara di restoran?
Yang ketiga, Odette. Kenapa gadis cantik itu menatapnya dengan tatapan aneh, terlebih sikapnya. Dia bersikap seperti sudah mengenal Miya. Bahkan, Odette bisa berkata-kata tajam padanya sambil tersenyum manis.
Tunggu. Bukankah tadi Odette memanggilku 'Miya'? Kenapa dia tahu namaku? Apa dia mengenalku? Apa kami pernah bertemu sebelumnya?
Miya mengacak-acak rambutnya.
"Sudahlah!" Miya membenamkan wajahnya di bantal sofa.
Tiba-tiba, Miya memikirkan suatu ide yang-menurutnya-sangat bagus. Ia tersenyum, membayangkan hal yang akan terjadi.
Jalanan kota benar-benar sunyi dan sepi. Maklum, sudah pukul 8 malam. Jarang sekali ada orang berkeliaran, bahkan untuk sekedar cari angin atau jalan-jalan. Mereka pasti akan memilih untuk beristirahat di rumah. Memang, di kota ini, ketika matahari sudah tenggelam orang-orang akan langsung memasuki kediaman mereka masing-masing. Terkecuali para pekerja kantoran yang baru menyelesaikan pekerjaan mereka atau pelajar yang baru pulang dari bimbingan belajar.
Dan salah satu pekerja kantoran tersebut adalah Alu. Ya, terimakasih untuk bosnya yang 'sangat baik' karena memberinya pekerjaan tambahan dengan iming-iming bonus gaji. Dan dengan polos dan bodohnya, ia langsung menyetujui itu. Akibatnya, dia tidak bisa pulang karena sekarang sudah benar-benar larut.
Mana ada bus atau kendaraan yang lewat–di kota ini- jam segini?!
Terpaksa, Alu akan memanggil taksi online yang beroperasi 24 jam saja. Bertepatan saat ia mengambil handphone, masuklah panggilan dari Odette. Dahinya mengernyit.
"Halo. Ada apa, Odette?"
"Aku telah dapatkan barang yang kau mau."
Alu tersenyum puas. "Bagus."
"Oh, hanya itu? Setelah kau membuatku repot mencari benda yang kau mau, hanya kata 'bagus' yang keluar dari mulut kurang ajarmu itu?"
"Galak sekali kau. Baiklah baiklah, maafkan aku. Terima kasih, Odette sang Putri Angsa."
"Berhenti memanggilku dengan panggilan itu, atau kuhajar wajahmu sampai babak belur. Kau memang tidak pernah berubah, ya."
"Kau juga, Odette." Alu terkekeh. Dia memang sangat senang menggoda temannya yang satu ini.
"Kau membuat suasana hatiku memburuk. Sialan."
Telepon diputus secara sepihak oleh Odette. Alu hanya tertawa. Jarinya menggeser layar handphone, membuka aplikasi taksi online. Setelah menulis alamat penjemputan dan tujuan, ia menunggu aplikasinya mencarikan pengemudi.
"Malam ini benar-benar indah. Bukan, aku tidak mengatakan bahwa malam-malam sebelumnya tidak indah. Tetapi... lihatlah. Bintang-bintang bertaburan di langit, seperti meises yang menghiasi kue buatanku waktu itu. Dan bulannya... terlihat bulat sempurna. Berwarna silver? Abu-abu? Atau putih? Ah, apapun itu, bulannya kelihatan sangat cantik. Aku harap akan ada hal baik yang terjadi." Miya sibuk berbicara dengan dirinya sendiri sambil menatap langit.
Kalau ada orang yang melihatku, mungkin mereka akan berpikir aku gila
Ia mengusap surai peraknya yang tergerai. Matanya terus menatap langit, seolah tidak akan pernah bosan mengagumi keindahannya. Tangannya menggenggam secangkir coklat panas yang menemaninya di balkon. Miya sibuk bergumam-gumam sendiri, sehingga lupa apa tujuan awalnya menuju ke kamar tadi.
Pandangannya pun teralih ke bawah balkon. Sudah benar-benar sepi. Tidak ada orang yang lewat, sampai matanya tertuju ke satu orang yang baru saja menuruni taksi.
Alucard!
Seketika, dirinya teringat sesuatu.
"Astaga! Aku lupa kalau seharusnya aku ke sini untuk mencari itu!"
Dengan cepat, Miya berlari menuju lemari pakaiannya, meninggalkan balkon dan cangkirnya yang ia letakkan di lantai.
Alu melangkah masuk ke dalam rumah. Ia menaruh sepatunya di rak, lalu bergerak menuju ruang tamu.
Sepi sekali. Mana Miya? Biasanya gadis itu akan langsung menyambutku.
Pria bersurai pirang itupun menelusuri seisi lantai satu. Di dapur? Tidak ada. Di kamar tamu? Tidak ada. Kamar mandi? Kosong.
"Berarti dia di lantai dua." Gumam Alu. Kakinya menaiki tangga lantai dua, menuju kamar.
Klek.
"Dikunci?"
Klek. Klek. Klek.
"Miya! Buka pintunya! Aku tahu kau di dalam!"
Alu terus mengetuk pintu. Ia meremas rambutnya sedikit kesal, karena Miya tak kunjung membukanya.
"Hei..."
Belum sempat Alu melanjutkan kata-katanya, ia dikejutkan oleh pemandangan yang menyambutnya. Rasa kesalnya hilang seketika. Mulutnya tak mampu untuk berkata-kata, bahkan untuk berucap satu kata saja. Ia speechless, tak menyangka Miya akan melakukan hal ini.
Alu menatap dirinya di depan cermin. Rambutnya acak-acakan, wajah dan badannya berkeringat, ditambah bercak-bercak merah di sekitar leher dan dada. Ah, jangan lupakan bekas cakaran di punggung. Ia yakin, itu akan terasa sangat perih bila terkena air.
Dia masih terdiam, benar-benar tidak menyangka Miya dan dirinya akan melakukan itu semalam.
Pagi-pagi sekali, ia sudah menemukan Miya di sampingnya dalam keadaan tidak berpakaian, alias telanjang. Ia panik dan terkejut, sehingga tidak bisa mengingat apa yang telah mereka lakukan. Tetapi setelah melihat bercak merah di leher Miya, dirinya pun langsung mengetahui hal apa yang terjadi. Well, dia sudah dewasa dan cukup –sangat- mengerti tentang ini.
Cepat-cepat ditekannya tombol shower. Seketika, air hangat mengguyur rambut dan tubuhnya.
"Benar kan, perih..." Alu mendesis, lalu buru-buru menyelesaikan ritual mandinya karena tidak tahan dengan rasa perih di punggung.
Alu membuka pintu kamar mandi setelah mengaitkan handuk ke sekitar pinggangnya. Tangannya membuka lemari pakaian, mencari kemeja yang biasa ia gunakan untuk bekerja. Manik birunya melirik Miya yang masih tertidur dengan damai. Wajah gadis itu terlihat polos seperti bayi.
Sepertinya dia sangat kelelahan.
Diraihlah tas kerja yang berwarna hitam legam, lalu bersiap untuk pergi ke tempat pemberhentian bus.
Alu masih terdiam, tidak tahu harus berkata apa. Kakinya tidak mampu bergerak se inci pun. Bibirnya seolah terkunci rapat-rapat. Tetapi matanya terus menatap Miya yang masih berdiri di depannya.
"Alu?"
Ya, karena sekali lagi, dia tidak menyangka...
"Alu, jangan hanya diam di tempat saja."
Bahwa Miya akan menyambutnya dengan lingerie seksi bermodel gaun berwarna merah marun.
Bagian bawah lingerie dihias dengan sedikit renda hitam, sedangkan di bagian dada terdapat pita hitam kecil. Lingerie itu transparan, memamerkan lekuk tubuh Miya yang indah dan dadanya yang lumayan besar. Untunglah badannya bagus, jadi ia tidak terlihat aneh dalam balutan lingerie.
Penampilan Miya terlihat sangat-sangat berbeda malam ini. Rambutnya yang biasa ia kucir satu digerai sedikit berantakan. Bibirnya yang ranum dipoles tint berwarna kemerahan. Si gadis pemilik mata ungu kebiruan itu terlihat cantik dan menggoda. Sepertinya dengan penampilan Miya yang sekarang, dirinya mampu membuat para pria di luar sana mati kehabisan darah karena mimisan ataupun meneteskan air liur.
"Miya, kenapa kau...?"
"Jangan bertanya apapun. Aku hanya ingin kau melakukannya sekarang juga."
Bola mata Alu membulat, ketika Miya menatapnya dengan sorot mata tajam.
"Kemarilah. Lakukan apa yang kau mau." Tantangnya.
"..." Alu masih membungkam bibirnya, terlihat memikirkan sesuatu. Tiba-tiba saja tangannya menarik dasi yang ia kenakan dengan kasar, lalu berjalan mendekati sang gadis.
Alu merangkul pinggang ramping Miya, memeluknya dengan erat. Perlahan, dikecupnya pipi Miya, lalu turun menuju bibir. Awalnya ciuman itu terasa lembut, tetapi lama-kelamaan makin dalam dan menuntut.
"Jangan berhenti. Lanjutkan." Miya berbisik dengan seduktif sambil melingkarkan lengannya di leher Alu.
"Aku tak akan berhenti. Dan tak akan kubiarkan kau tidur malam ini,"
Pada akhirnya, Alu menggendong Miya menuju kasur ala bridal style. Malam itupun menjadi malam yang panas dan panjang.
Setidaknya itu bagi mereka berdua.
.
.
.
A/N
Loh apa ini apa ini siapa yang bikin. /tutup mata/
Hai semua, semoga chap ini gak mengecewakan yah "( apalagi buat semi rate-m nya. Karna saya ga jago bikin sesuatu yang... hot? Dan sekali lagi, ini ide dari teman saya yang paling sesat; Sahidna
Sedikit catatan, saya GAK NGE SHIP ATAUPUN BENCI Aluya. Saya hargain semua pairing, asalkan shippernya juga bisa ngehargain pairing lain. Saya juga GAK BENCI Miya. Bahkan saya termasuk user Miya loh, walopun kadang2 kesel juga sih ama doi, lolol.
By the way, terimakasih buat kakak-kakak yang udah meluangkan waktu buat baca+review tulisan saya yang masih berantakan ini. Udah ada yang baca walopun ga banyak aja seneng banget. Gimana kalo yang baca banyak , mungkin saya bakal nyembelih Minotaur (emang bisa?)
Another note buat para fans Miya, jangan demo saya ya. Ini cuman fanfic aja, murni imajinasi ._.
See ya next chap!
