SLIGHT SHOUNEN AI

DONT LIKE DONT READ


Pria itu terduduk lesu di atas kursi dengan laptopnya yang terbuka, tetapi dia tidak berniat untuk menyentuhnya sama sekali. Mata safirnya menerawang ke depan, terlihat kosong. Entah apa yang dipikirkannya.

Kopi panas yang terletak di atas meja pun juga tak kunjung disentuh, seolah tidak peduli jika kopi itu akan mendingin. Ia mengaktifkan handphone, hanya sekadar melihat wallpapernya saja. Bibirnya tersenyum tipis tatkala gambar wajah orang yang sangat ia cintai terpampang di layar handphone. Wajah manis itu seolah menjadi obat untuk menangkal semua derita yang telah ia alami.

"Hei, Alu." Ia terlonjak ketika merasakan sesuatu menyentuh pundaknya. Cepat-cepat disentuhnya tombol mati. Layar handphonenya kembali menggelap.

"Ah, Zilong." Alu membetulkan posisi duduk, lalu menatap mata Zilong yang bewarna kecoklatan, serasi dengan rambutnya.

"Sepertinya ada yang aneh darimu hari ini. Apa ada hal yang terjadi?" Zilong mengambil posisi duduk di sebelah Alu.

Belum sempat menjawab, tiba-tiba tangan Zilong menunjuk ke arah leher Alu.

"Tunggu, aku baru menyadari ada warna merah di lehermu. Bukankah itu kissmark? Jangan-jangan... Oh ya ampun!"

"Ini gigitan nyamuk." Buru-buru Alu memotong perkataan pria itu. Ia menutup lehernya dengan tangan.

"Bukan. Aku yakin itu kissmark. Jangan berbohong. Aku tidak sebodoh itu."

"Baiklah, baiklah. Aku mengaku. Aku melakukan itu dengan dia semalam." Alu menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Dia sudah ketahuan, tidak ada gunanya berbohong.

"Tuhkan! Kenapa kau membiarkan dirimu disentuh seperti itu?!" suara Zilong mulai meninggi.

"Aneh kalau aku tidak menyentuhnya. Kita kan pacaran."

"Memang kalau pacaran harus saling menyentuh, begitu?!"

"Ya aku kan tidak bilang seperti itu. Aku hanya bilang aneh saja, karena jaman sekarang orang pacaran itu kebanyakan sudah tidak suci."

"Terus kau mau ikut-ikutan orang seperti itu?"

"Zilong, dengarkan aku dulu. Dia bisa curiga kalau aku menolaknya semalam. Imageku bukanlah pria polos dan baik yang bisa menolak wanita seksi. Terlebih, aku dan dia kan pacaran." Alu menerangkan dengan sabar, walaupun dirinya sedikit frustasi juga.

"Oh, oke. Dia seksi, dan kau tergiur dengan badan murahannya, begitu? Aku curiga dia benar-benar seorang pelacur, sehingga bisa menggodamu yang mirip es ini." Zilong melirik Alu dengan sinis, lalu melanjutkan. "Lupakan kata-kataku tadi, aku lupa kalau kalian kan sepasang kekasih." Dengan sengaja, ia menekankan kata 'sepasang kekasih.'

"Ck. Lagipula kan tidak setiap hari."

"Ya, terserahmu saja."

Zilong memalingkan wajahnya, menatap ke arah lain.

Hening sejenak, tetapi tiba-tiba saja Alu berceletuk. "Hoo, jadi kau cemburu, begitu?"

"Hah? Buat apa aku cemburu?! Konyol sekali!" walaupun Zilong berkata begitu, wajahnya sudah semerah tomat dan membuat Alu hampir tertawa keras.

"Dasar tsundere. Aku tahu kalau kau cemburu. Akui saja." Alu menyeringai. Ia bangkit dari duduknya dan mendekati Zilong.

"Mau apa kau?" si pria bersurai coklat yang mulai merasa waspada mulai ambil langkah mundur. Ia mulai sedikit panik.

Sementara seringai masih terukir di wajah tampan Alu. "Ah, atau jangan-jangan kau ingin disentuh olehku juga? Boleh saja."

"Kau gila, ini di kantor."

"Ya, dan kau mencintai orang yang kau anggap gila ini." Selesai berkata begitu, ia langsung menggigit telinga Zilong pelan, membuat sang pria melenguh pelan.

"Hentikan. Nanti ada yang dengar!"

"Memang siapa yang mau dengar? Ini kan jam istirahat, orang-orang pasti keluar untuk makan siang. Dan lagi, kita sedang berada di ruang tertutup, kau ingat?"

Zilong mengerjapkan matanya. Wajahnya memucat. Ia baru sadar bahwa hanya ada mereka berdua di ruangan ini, dengan dirinya yang dihimpit di dinding oleh Alu.

Sial, aku tidak bisa lari.

"Kenapa diam saja? Apakah itu artinya kau mau? Oke, akan kulakukan sekarang juga!"

"Ap.. apa?! Jangan macam-macam! AAH!"

Teriakan itu seketika berubah menjadi erangan dan desahan dalam sekejap.


"Kau ini cerewet sekali, ya. Tapi giliran sudah kutusuk saja langsung diam. Jangan-jangan itu memang yang kau inginkan sejak tadi?"

Zilong menatap Alu yang sibuk memasang kancing baju. Sementara dirinya masih berbaring di atas sofa panjang, masih tidak bisa berdiri untuk sementara waktu karena sakit di bagian bokong. "Itu karena kau memaksaku."

"Tapi kau juga menikmatinya, kan. Desahanmu sangat keras sampai aku harus membungkam mulutmu dengan ciuman. Tadi pun kau memohon-mohon padaku untuk meminta lebih. Sungguh manis. Ahh, memikirkan wajahmu yang seperti tadi saja sudah membuatku tegang. Satu kali lagi, ya?"

Saat itu juga, bantal besar mendarat di wajah tampan Alu. Sang pelaku pelemparan yang wajahnya sudah merah padam berteriak kesal. "Bangsat. tutup mulutmu!"

"Ahahahaha, aku hanya bercanda, kok. Sehabis ini aku ada urusan lagi. Tapi kalau kau mau lagi, jangan nekat melakukannya sendiri, ya? Telpon aku saja. Dengan senang hati kulayani." Alu mengerlingkan sebelah matanya nakal, lalu dengan cepat berlari menuju ke luar agar dirinya terhindar dari lemparan bantal yang kedua kalinya.

"MATI SAJA KAU, IDIOT!"


Kakinya berjalan menelusuri lorong kantor yang tidak terlalu ramai. Tangannya menenteng sebuah tas berwarna putih polos. Semerbak wangi parfum menguar dari tubuhnya, membuat orang-orang menengok. Wajah cantik dan penampilannya yang bak putri angsa itu menarik perhatian banyak manusia di dalam kantor, hampir membuat kehebohan seolah-olah mereka baru saja melihat satu keajaiban dunia.

Ck. Mana dia? Ia mendecak kesal sambil memainkan handphone.

"Odette, kau datang juga." Seorang pria menghampiri si gadis cantik yang tengah bersandar di dinding.

Odette menengok. "Alu,"

"Maaf agak lama. Tadi aku ada sedikit urusan."

"Sudahlah. Aku bawa barang yang kau mau. Jadi, kita berangkat sekarang?"

Alu mengangguk. "Kita pakai mobilku."


Sunyi. Begitulah suasana yang menggambarkan keadaan di dalam mobil Alu. Baik ia maupun Odette hanya diam, tidak tahu harus berkata apa.

Bunyi nada dering ponsel milik Odette memecah keheningan. Ia menatap nama yang tertera di layar. Lancelot.

"Halo? Ada apa?"

"Odette? Kau dimana?"

"Aku sedang bersama Alu, kami ada urusan sebentar."

"Begitukah? Nanti kau ingin kujemput atau tidak?"

"Itu..." Odette melirik Alu yang fokus menyetir. "Sepertinya tidak usah."

"Baiklah. Hati-hati di jalan,"

"Ya."

Panggilan terputus.

"Dari siapa?" Alu bertanya tanpa mengalihkan pandangannya dari jalanan.

"Lancelot. Dia bertanya aku dimana."

"Oh."

Tiba-tiba saja mobil berhenti mendadak di depan toko bunga. Odette terkejut, ia hampir saja melempar telepon genggamnya ke belakang, untung saja masih 'hampir'. Sambil mengelus dadanya, dia bersiap untuk protes karena aksi Alu yang membahayakan.

Baru saja akan membuka mulut, Alu sudah berkata duluan, "Aku ingin membeli sebuket bunga."

Odette terbengong-bengong tetapi tetap mengikuti Alu yang masuk ke toko bunga tersebut. Fleuriste. Begitulah yang tertulis di papan toko.

Menarik. Batinnya sambil melihat sekeliling. Saat ia sedang asik melihat bermacam-macam bunga, matanya terpaku pada sebuket bunga orchid putih. Ia ingat, itu bunga yang sering diberikan sepupunya. Bunga yang melambangkan kesucian, kecantikan, dan kesempurnaan.


"Hei, kau terlalu sering memberiku bunga ini." Odette menggendong sebuket bunga orchid putih yang baru diberi sepupunya. "Aku jadi merasa tidak enak."

"Tidak apa-apa. Masih banyak, kok. Kau gak lupa nenek suka menanamnya di rumahku, kan?" ia menjawab sambil mencuci tangan.

"Bukan begitu... kenapa sih, kau sering memberi ini padaku?"

"Kau tanya kenapa? Tentu saja karena bunga itu sangat cocok untukmu dan setiap aku menatapnya, entah kenapa aku selalu teringat denganmu. Mungkin karena putihnya mirip dengan bulu angsa."

"Jadi kau bermaksud menyamakanku dengan hewan?" Odette cemberut.

"Tentu saja. Tapi hewan angsa, dan angsa itu cantik. Itu berarti kau juga cantik. Kau tidak tahu sih, ketika kau lahir, semua orang heboh karena katanya mereka baru saja melihat malaikat jatuh ke bumi."

"Darimana kau tahu?"

"Ibumu yang cerita. Terus, kau ingat ketika pertama kali kita pergi ke taman?"

"Iya, memang ada apa?"

"Saat kau bermain dengan angsa, aku seperti melihat seorang putri di kerajaan angsanya. Indah sekali. Eh, itu julukan bagus, kan? Odette, sang Putri Angsa!"

Wajah Odette memerah. "Apaan sih, kau berlebihan! Jangan panggil aku begitu." Ia memukul pelan sepupunya.

"Memang cocok kok, hahahaha. Jadi sekarang, kau ingin menaruh bunga itu dimana?"

"Eum... kurasa di kamarku, seperti biasa."

Ia tersenyum lebar, terlihat senang dengan jawaban Odette. "Bagus."


Odette mengusap wajahnya seperti orang frustasi, berharap otaknya mau melupakan kenangan itu. Ia membalikkan badan, berniat mencari Alu. Ternyata lelaki itu sudah menunggunya di depan mobil. Tangannya menenteng sebuket bunga mawar merah.

"Lama sekali sih." Gerutu Alu.

"Maaf. Tadi aku melihat-lihat dulu."

"Hm, ayo masuk ke mobil."

Entah kenapa, hari ini atmosfernya terasa sangat berbeda. Alu terlihat lesu, begitupun dirinya. Seolah nyawa mereka telah terbuang sebagian. Ekor mata Odette melirik Alu yang duduk di kursi pengemudi. Ekspresi yang datar. Walaupun ia selalu seperti itu, hari ini ada yang berbeda. Mungkin karena tempat yang akan mereka kunjungi saat ini. Sudah beberapa bulan ia dan Alu tidak ke sini karena jadwal yang padat.

Lalu kemarin Alu tiba-tiba saja menghubunginya, meminta untuk mengosongkan semua acara pada hari ini, dan Odette menyanggupinya. Hanya demi satu tempat.


Angin berembus seolah ingin menerbangkan pakaian yang dikenakan Alu dan Odette. Mereka berdua berjalan kepayahan mengikuti jalan setapak. Belum lagi, air hujan turun sedikit demi sedikit seperti orang yang sedang menangis, membasahi rambut dan badan dua orang itu. Tapi mereka pantang menyerah dan tetap berusaha berjalan menuju ke tempat tujuan.

Sebentar lagi hujan deras. Odette menutup sebelah matanya yang perih terkena air hujan. Tangan mungilnya menutupi kepala, ingin melindungi diri walaupun sebetulnya hal itu tidak berguna sama sekali. Sekujur tubuhnya tetap basah terkena air hujan.

Odette menatap punggung Alu. Pria di depannya sangat tegar. Ya, Alu bukan tipe orang yang akan menyerah untuk menggapai tujuannya.

Sejak dulu ia selalu seperti ini.

"Tahan, kita akan sampai."

Setelah Alu berkata begitu, mereka berhenti di depan pemakaman. Betul, inilah tujuan mereka.

"Sebelah mana makamnya?" Odette sibuk mencari.

"Sini."

Mereka berdiri di depan sebuah makam yang kurang terawat.

"Maaf, aku baru bisa mengunjungimu saat ini." Odette dapat mendengar suara Alu bergetar. Sepertinya ia akan menangis. Ralat, dia sudah menangis. "Sungguh, aku minta maaf. Aku menyesal kenapa aku tak bisa melindungimu sejak dulu. Ini semua salahku. Maafkan aku, maafkan aku." Alu terus menerus meminta maaf sambil berlutut di depan makam. Mawar di genggamannya ikut terjatuh.

Miris sekali. Odette merasa sangat sedih dan sakit hati. Melihat Alu terus menyalahkan dirinya, membuat hatinya sakit seperti diiris pisau. Yang bisa ia lakukan hanyalah menenangkan lelaki itu agar tidak terus bersedih dan kembali bangkit. Disentuhnya bahu Alu yang basah.

"Tenanglah, Alu. Ini bukan salahmu. Ini salahnya. Kau tidak boleh menyalahkan dirimu. Lagipula semua sudah terjadi. Memang menangis di depan makamnya bisa mengubah sesuatu? Apa itu akan membuatnya hidup kembali? Tidak, kan? Makanya, semangatlah. Jangan hanya terduduk di masa lalu. Bangkit dan berlarilah menuju masa yang akan datang. Mungkin apa yang terjadi di masa lalu memang menyedihkan. Tetapi bukan berarti kau tidak bisa memperbaiki masa depan." Napas Odette terengah-engah setelah berbicara panjang lebar. Ia merasa seperti baru saja memberi khotbah pada seorang anak yang kehilangan semangat untuk hidup dan akan bunuh diri.

Manik hazel Odette bertemu dengan manik safir Alu. Mereka berdua saling bertatapan selama beberapa detik, sampai akhirnya Alu mengusap matanya seperti anak kecil.

"Kau benar. Sekarang yang harus kulakukan adalah memperbaiki masa depan. Terima kasih."

"Tidak usah berterima kasih, memang itu yang seharusnya kau lakukan." Odette tersenyum dengan bibirnya yang mulai pucat karena kedinginan. "Sebelum kita kembali, aku akan pasang benda ini. Dream catcher yang kau minta. Atau kau yang ingin memasangnya?" ia mengoper dream catcher itu pada Alu.

Alu meneguk ludah, lalu memasangkannya tepat di atas makam, di dekat batu nisan. Ia juga meletakkan sebuket bunga mawar yang dibelinya. "Semoga kau tenang di sana."

"Mari kita pulang, hujannya makin deras." Ajak Odette.


Ting tong

"Iya, iya aku datang. Oh astaga, kenapa kalian basah kuyup begini?!" Lance terkejut lantaran ia disambut dengan pemandangan yang tidak mengenakkan. "Masuklah, kalian harus berganti baju! Kalau tidak nanti kalian sakit!"

"Tidak usah, aku akan langsung pergi saja." Alu menolak tawaran Lance walau badannya sudah menggigil.

"Aduh, tetap saja... kupinjamkan handuk dan pakaian, deh." Lance berlari ke dalam rumah, mengambil pakaian bersih dan handuk untuk Alu.

Odette tersenyum kecil. "Dia memang seperti itu. Selalu mengkhawatirkan orang lain." Bisiknya.

"Ini untukmu." Lance kembali membawakan barang yang ditawarkannya tadi.

"Cepat sekali ya. Terima kasih. Aku hargai pertolonganmu. Baiklah aku permisi." Alu menunduk lalu kembali ke dalam mobil.

"Iyaa sama-sama. Terima kasih juga sudah mengantar Odette!"

Alu hanya membalasnya dengan senyuman tipis kemudian bergumam. "Sekarang, ke mana tujuan kita selanjutnya?"


Miya sibuk mengelilingi seisi rumah, mencari-cari kertas kado berwarna merah untuk membungkus hadiahnya. Sebetulnya hadiah itu sudah dibungkus dengan kertas berwarna biru, tetapi ia berpikir mungkin lebih bagus jika memakai warna yang disukai Alu saja.

"Dimana, ya, aku letakkan kertas itu?"

Akhirnya setelah 10 menit mencari, kertas kado itu ia temukan di atas lemari bersama gunting dan selotip. Dengan lihai, tangannya menggunting, menempel, dan menghias hadiah sampai ia terlarut dalam pekerjaannya, tidak memedulikan keadaan sekitar.

Sepertinya ia lupa, bahwa kekasihnya belum pulang sampai saat ini.

.

.

.

A/N

Wow, chapter ini dibandingkan chapter yang lain sedikit lebih panjang ya?

Saya mau ngelurusin satu hal. Kalau kalian mikir fic ini bashing character, kalian salah. Soalnya, awalnya ini mau dibikin original story di wattpad. Tapi gakjadi karena males edit ini itu ama bikin nama karakter. Lagian alurnya lebih ribet, bahasanya juga berat. Bisa bikin ngantuk yang baca-_-. Jadi saya + Sahidna mutusin buat dibikin fanfic aja, deh. Dan sebelum di publish, kita juga revisi ini itu (kira-kira total 3 kali lebih revisi, lol)

Lalu kenapa kita milih MLBB? Ya karena kita suka. Visualnya juga pas sama yang ada di pikiran kita. Jadi tolong jangan salah paham dulu ya~~

LALU KENAWHY MIYA JADI PELAKORNYA? KAN BISA ALICE? KAN BISA YANG LAIN?

Kenapa, ya? /lirik sahidna/

Sebenernya gaada alesan khusus, soalnya siapa aja bisa jadi antagonis. Saya tau kok, Alice itu bangsat, tapi lagi ga kepikiran ama doi aja haha.

Lagipula kita berdua udah bikin ini jauh sebelum skin Aluya keluar.

And, one thing...

Di cerita aslinya Zilong itu cewek XD tapi karna kita suka yaoi, diubah aja deh~

Makasih sebesar-besarnya buat yang udah baca + review, maaf kalo cerita ini ngebosenin atau ada yang salah atau apa, maklum saya masih newbie :")

See ya next chapter!