MLBB belong to Moonton
Dont like dont read.
Miya berjalan di lorong tak berujung. Dia bingung sekaligus takut, karena lorong itu terlihat redup. Dia terus berjalan sampai melihat sebuah pintu kayu tua. Karena rasa penasaran mengalahkan rasa takutnya, Miya memutuskan untuk membukanya.
Tiba-tiba saja cahaya terang menghalau penglihatannya. Sangat terang sampai Miya menutup kedua matanya, berusaha menyesuaikan cahaya yang masuk.
Sebuah pemandangan indah menyapa.
Taman.
Miya melangkahkan kakinya dengan hati-hati, takut menginjak sesuatu dan tiba-tiba ia dimintai ganti rugi oleh penjaga taman. Tunggu, memangnya ada? Yah, Siapa tahu, kan.
Ini seperti taman di surga. Apakah aku benar-benar berada di surga sekarang? Batinnya kagum.
Langkah kaki Miya terhenti di dekat pohon, pinggir danau. Ia melihat tiga orang anak bermain dengan riang di sekitar danau tersebut. Satu laik-laki, dua perempuan. Yang laki-laki berambut pirang dan terlihat sangat tampan untuk anak seusianya. Yang perempuan, satunya bersurai dirty blonde dengan rambut sebahu, satunya nampak... blur. Miya yakin, ketiga sosok itu cukup familiar. Tetapi entah mengapa Miya tidak bisa mengingat apapun.
Suara manis salah satu dari anak itu menarik Miya kembali dari lamunannya. Ternyata itu suara si rambut sebahu.
"Hey Alu. Jangan egois! Ajak dia main juga!" sang dirty blonde meninju pelan bahu laki-laki yang dipanggil Alu.
Alu mencebikkan bibirnya. "Iya, Ruby."
Sementara anak yang nampak blur itu hanya diam, tidak berbicara sepatah katapun.
"Bangsat! Sialan! Apa yang menarik dari Ruby jalang itu, sih!? Aku bahkan jauh lebih cantik! Tapi kenapa Alu hanya memedulikan dia!?"
Ia mencakar dan memaki cermin di depannya dengan beringas. Belum puas, ia meninju si cermin tak bersalah hingga pecah berkeping-keping. Peluh mengalir dari dahinya, napasnya terengah-engah, darah mengucur dari kepalan tangannya. Tetapi ia tak peduli. Yang ia pedulikan hanyalah cara untuk menang dari 'sahabat'nya.
"Bagaimana... aku tidak boleh kalah dari gadis pendek itu..."
Tiba-tiba saja ia terlintas ide cemerlang di kepalanya.
Kenapa kau harus kalahkan dia, kalau kau bisa menyingkirkannya?
"Haha... apa itu? Malaikat atau iblis kah, yang barusan berbisik di telingaku?" ia tertawa sambil memegang dahi. "Tapi ide itu tidak buruk juga, jadi aku tidak peduli apapun itu."
Dia bangkit dan mulai memikirkan rencanya selanjutnya. Kilatan matanya yang ganas menunjukkan bahwa ia sangat serius menjalankan rencana itu.
Ia merapikan bukunya dan dengan terburu-buru mengambil dua tumpuk buku sejarah.
Aku harus cepat ke kelas Ruby. Dia segera berlari menuju kelas 2-1 dan mencari Ruby. Hatinya berdebar tatkala ia hampir saja bertabrakan dengan Alu.
"Maaf." Ucapnya agak malu-malu.
"Hm." Tanpa peduli, Alu pergi mendahuluinya tanpa permisi. Melihat sikap Alu yang seperti itu, ia mengepalkan tangannya dengan erat.
"Eh? Kau disini." Suara manis mengalihkan atensinya dari punggung Alu yang mulai menjauh. Ia menatap wajah cantik Ruby. Rambutnya yang diikat dua terlihat acak-acakan.
"Ruby.. rambutmu?"
"Ah, ini. Tadi pelajaran terakhirku olahraga maraton, dan aku belum sempat menyisir rambut. Ahaha..."
"Boleh... kusisir?" tawarnya.
Aku harus bersikap baik agar si bodoh ini percaya padaku.
Ruby menghentikan tawa, lalu menatap mata temannya sambil mengangkat ujung bibir secara perlahan. "Tentu!"
Ia memegang surai dirty blonde Ruby. Perlahan, disisirnya rambut itu dengan hati-hati agar tidak ada rambut yang tersangkut di sisir. Rambut Ruby halus dan wangi sebenarnya, tetapi sekarang terasa sedikit kasar. Mungkin efek setelah berolahraga. Ruby duduk di kursi dengan tenang, terlihat menikmati sentuhan di kepalanya.
"Jadi kau datang ke kelasku untuk apa? Ah, bukan berarti kau tak boleh ke sini, ya, aku hanya bertanya kok."
"Aku ingin bertanya, apakah kau ada waktu sepulang sekolahh nanti? Aku mau minta diajari tentang salah satu bab di pelajaran sejarah. Minggu depan kelasku ujian, sedangkan aku belum mengerti materinya."
"Begitukah? Hmm... mungkin bisa. Bagaimana kalau aku ke rumahmu saja?"
"Tidak perlu. Kita belajar di sekolah saja. Lagipula nanti malam aku harus pergi ke tempat lain..."
"Ohh baiklah. Nanti, ya!" Ruby tersenyum lebar, memamerkan deretan giginya yang rapi.
Mereka berdua duduk saling berhadapan dengan meja di antara mereka. Buku sejarah, kertas-kertas dan alat tulis berserakan di atasnya. Ruby sibuk membaca buku, sedangkan dia sibuk mengerjakan soal.
"Bagaimana? Sudah selesai?" Ruby melongok, melihat hasil pekerjaan temannya.
"Hng... kurang satu soal essay."
"Coba kulihat." Ruby mengambil kertas itu kemudian membacanya. "Beri contoh perjuangan dan pengorbanan di kehidupan nyata? Ini mudah. Kalau perjuangan ya misalnya ketika Alu berjuang untuk mendapatkanku."
"Hah?" rahangnya seketika mengeras mendengar ucapan Ruby.
"Ahahaha aku tidak serius kok! Cuma bercanda. Lagipula dia tak menyukaiku. Jangan ditulis betulan ya, aku hanya iseng saja bilang begitu."
"..." ia masih belum merespon.
Gadis bajingan ini berkata apa tadi? Apa dia tidak punya otak? Dilihat dari sikap saja sudah jelas, Alu menyukaimu, tolol! Dia benar-benar membuatku kesal...
"Kau kenapa? Apa bercandaku keterlaluan? Kau marah ya? Aduh, kalau benar begitu, aku minta maaf, aku tak bermaksud..." Ruby gelagapan dan merasa bersalah setelah melihat ekspresi temannya.
"Tidak, aku tidak marah. Aku hanya agak kaget saja. Tadi aku memikirkan sesuatu yang lain sih."
Ruby menghela napas lega. "Syukurlah... tolong jangan marah ya, sekali lagi aku minta maaf."
"Sudahlah, lanjutkan saja soal yang tadi."
"Baik... salah satu bentuk pengorbanan atau perjuangan di dunia nyata, contohnya..." Ruby menempelkan telunjuknya di dagu. "Ketika kau rela melakukan apapun demi orang lain, mungkin?"
"Lebih spesifik, dong. Kalau hanya ditulis begitu nanti kesannya seperti para cowok budak cinta di sinetron-sinetron." Ia menggerutu.
"Budak cinta? Ahahahaha kau bilang apa, sih. Oke, misalnya saja, kau sedang dalam bahaya, aku akan melakukan apapun untuk menyelamatkanmu. Sekalipun nyawaku harus terbuang."
"Begitu? Lalu... jika aku benar-benar butuh bantuan, maukah kau berjuang dan berkorban untukku?"
Mata besar Ruby mengerjap lucu. "Kau ini... tentu saja! Kita sahabat! Aku sayang padamu! Aku pasti akan melakukan apapun, demi kebahagiaan dan keselamatanmu!"
"Manis sekali... aku juga sayang padamu." Dia tersenyum tipis sambil memeluk Ruby.
Konyol. Kita lihat saja nanti.
Mereka berdua berjalan beriringan di lorong yang panjang. Jam sudah menunjukan pukul enam sore, tak heran suasananya gelap dan agak horor. Sekolahan ini besar, terlihat mewah, dan bersih. Memang, ini adalah sekolah favorit. Tetapi, baik itu sekolah favorit maupun sekolah biasa, pasti ada saja cerita atau mitos di dalamnya.
Contohnya seperti di sini, ada cerita yang mengatakan kalau masih berkeliaran di lorong saat pukul enam, malaikat pencabut nyawa akan datang dan mengambil nyawamu. Entah dari mana asal mula cerita itu, yang jelas tidak ada lagi yang berani berkeliaran saat pukul enam –kecuali orang yang tak tahu tentang itu, dan Ruby adalah salah satunya- di dalam sekolahan, apalagi dekat tangga atau kantin. Jika ada kerja kelompok, murid-murid akan lebih memilih bekerja di rumah teman atau kafe. Padahal, cerita itu pun masih belum dibuktikan kebenarannya.
Ia menghentikan kakinya di pinggir tangga. Matanya menatap punggung Ruby yang berjalan di depannya.
"Ruby... kau tahu mitos tentang malaikat pencabut nyawa di sekolah ini?"
"Apa?" Ruby yang akan menginjakkan kakinya pada anak tangga yang lebih rendah, menghentikan gerakannya dan menengok ke belakang.
"Katanya kalau kau berkeliaran di lorong saat pukul enam, malaikat pencabut nyawa akan datang dan membunuhmu."
"Aduh, jangan cerita yang seram-seram dong. Aku takut."
"... Tahukah kau, kalau malaikat pencabut nyawa itu bisa jadi ada di sekitar kita, siap mengambil nyawa kita kapanpun?" ia mendekat, menatap Ruby datar. Entah kenapa tatapan itu membuat Ruby takut. Ruby menggenggam tasnya erat sambil memundurkan badan.
"Ehh... sudahlah ayo pulang..." Selesai berkata begitu, Ruby merasakan badannya melayang di udara. Badannya terjatuh dan kepalanya terbentur cukup keras.
Badan mungil itu tergeletak tak berdaya di tengah tangga. Kaki kanannya tertekuk ke depan. Darah mengalir membasahi wajah dan seragam Ruby.
"Pingsan, ya." Dengan santai, ia berjalan ke arah Ruby yang setengah sekarat. Ia mengambil telepon genggam, lalu menekan nomor telepon Alu. "Halo?"
"Halo? Ada apa? Kalian sudah pulang belum?"
Ia menarik napas. "Tolong, Alu! Ada kejadian disini! Ruby... Ruby... ia terjatuh!"
"Terjatuh?! Bagaimana bisa?!"
"Dia.. terpeleset dan aku tak sempat menolongnya." Ia mulai terisak.
"Astaga... akan aku suruh Layla ke sana untuk menolong. Kebetulan Layla ada kegiatan dan akan pulang agak malam."
Deg!
"Layla... belum pulang?"
"Iya. Sudah ya, aku akan telepon Layla. Kau tolong jaga Ruby."
Panggilan terputus. Tangannya gemetaran, wajahnya berubah pucat ketika menyadari bahwa ia baru saja melakukan satu kesalahan.
Layla... disini? Apakah Layla melihat kejadian tadi? Apakah Layla sebetulnya mengikutiku dan Ruby? Apakah... tenang, tenang. Belum tentu Layla tahu.
Walaupun ia sudah panik dan gemetaran setengah mati, ia tetap berusaha bersikap tenang.
"Kak!"
"Layla?"
"Huft... begitu dengar kejadian dari Kak Alu, aku langsung berlari ke sini." Napas Layla terengah-engah.
"Kalau begitu tolong telepon ambulans, aku akan memanggil penjaga sekolah. Ia pasti belum pulang." Titahnya.
"Baik!"
Dia berjalan sambil menenteng sebuket bunga untuk Ruby. Ya, sudah tiga minggu semenjak kejadian itu, dan semua orang menganggap bahwa itu hanyalah kecelakaan semata. Tak ada pelaku, tak ada korban. Tetapi yang menjadi masalah adalah...
"Ruby, kau belum bangun."
Ia dapat mendengar suara Alu walaupun belum membuka pintu ruang rawat Ruby. Didorongnya pintu itu hingga terbuka lebar. Terpampanglah pemandangan Ruby yang masih tak sadarkan diri dan Alu yang duduk di samping kasur. Dapat dirasakannya aura kesedihan yang sangat mendalam dari diri Alu.
"Alu, sudahlah. Semua akan baik-baik saja." Ujarnya sambil duduk di sebelah Alu. Ia mengelus pundak si mata safir, tetapi Alu langsung menepis tangannya.
"Tolong jangan sentuh aku."
"Maaf."
"Ruby kumohon bangunlah..."
Kuharap kau mati saja.
"Ruby?"
Ia tersadar dari lamunannya, kemudian mengalihkan pandangan.
"Dimana aku?"
"Ruby kau sudah bangun!" Alu berseru penuh kebahagiaan.
"Kakiku sakit sekali... aduh!"
Bertepatan dengan itu, seorang dokter muda dan perawat masuk sambil membawa beberapa lembar kertas. "Sudah sadar? Baik, akan aku periksa dulu keadaanmu. Tuan, mohon permisi."
"Maaf." Alu bergeser, memberi jalan untuk sang dokter.
"Hm... kondisimu baik, mungkin ada beberapa ingatan yang hilang sedikit, namun itu bukan masalah besar. Satu lagi..."
"Tapi apa?" cecer Alu tak sabar.
"Aku tak tau apa harus mengatakannya sekarang..."
"Kumohon katakan saja!" Ruby dan Alu berseru bersamaan.
"Nona.. kuharap kau bisa bersabar dan mengambil sisi positifnya." Dokter mengambil napas panjang. "Kaki kananmu... lumpuh."
Setelah itu, tak ada lagi satupun dari mereka yang berbicara. Hanya suara isak tangis Ruby memenuhi ruangan tersebut. Dan itu berlangsung sekitar tiga puluh menit lebih.
Seminggu setelahnya, kehidupan tetap berjalan normal. Hanya saja, Ruby tetap di rumah sakit untuk pemulihan dan yang paling menyebalkan, Alu sering mengunjunginya. Bahkan hubungan mereka berdua semakin dekat layaknya sepasang kekasih.
Aku melakukan hal itu untuk menyingkirkan si pendek! Bukan untuk membuat hubungan mereka berdua tambah erat! Aku harus lakukan sesuatu...
Saat dia sedang berpikir serius, sebuah suara kencang menginterupsi. "Kawan-kawan, setelah istirahat nanti, guru mapel kita tidak datang. Maka dari itu kita mendapat tugas dan harus diselesaikan!"
Sebagian murid bersorak dan sebagian lagi menggerutu, terkecuali dia. Dia tak bersorak maupun mengeluh, melainkan tersenyum.
"Ruby."
Ruby terkejut mendapati kehadiran sahabatnya yang tiba-tiba. "Kenapa kau disini? Bukankah ini masih jam sekolah?"
"Ya, tapi waktu istirahat diperpanjang. Maka dari itu aku mengunjungimu."
"Ah, kau datang jauh-jauh dari sekolah demi aku? Aku terharu."
"Apapun untukmu." Ia tersenyum kecil. "Mau jalan-jalan di sekitar rumah sakit?"
Ruby mengangguk.
"Cuacanya bagus." Ia berkata sambil mendorong kursi roda.
"Iya. Aku harap hal baik akan terjadi. Seperti aku kembali ke sekolah."
"Aku juga berharap begitu." Dan sayangnya tak akan terwujud. Lanjutnya dalam hati.
"Omong-omong, kenapa arah kita makin menuju ke belakang gerbang rumah sakit? Di sana kan ada turunan tajam, kalau tidak hati-hati kita akan terpeleset."
"Aku hanya ingin lihat-lihat." Ia menolehkan kepala ke kanan kiri, mengecek apakah ada yang mengikuti mereka. "Apa disini tidak ada penjaga atau kamera pengawas?"
"Tidak ada. Mungkin karena jarang ada orang lewat sini."
"Oh begitu."
"Aku rindu sekolah. Aku rindu teman-teman, aku rindu kau, aku rindu Alu." Celetuk Ruby.
"Aku juga rindu padamu."
Ia berhenti di pinggir turunan tajam yang dimaksud Ruby. Dapat dilihatnya batu besar terletak tepat di ujung turunan."Kok berhenti?"
"Ruby." Ia menundukkan kepala. "Ingat tidak ingat, kau pernah berkata bahwa kau akan melakukan apapun demi kebahagiaanku."
"Aku lupa sih, tapi kalau kau bilang aku akan melakukan apapun, itu pasti! Kebahagiaan sahabatku nomor satu!" Ruby menjawab dengan semangat.
"Begitukah? Kalau begitu, aku ingin kau melakukan sesuatu agar aku bahagia." Ia berjalan ke samping Ruby.
"Apa itu?"
Ia menunduk dan berbisik tepat di telinga Ruby. Tangannya memegang kursi roda dengan erat. "Mati."
"Eh?"
Lalu didorongnya kursi roda itu sehingga meluncur bebas. Ia tersenyum seperti seorang psikopat sambil melambaikan tangan. "Selamat tinggal." Bisiknya.
Sebelum Ruby sampai di ujung turunan, ia dapat melihat wajah Ruby yang menghadap ke belakang. Wajah yang kelihatan terluka, kaget, dan takut. Reaksi yang wajar. Tapi ia yakin, bahwa Ruby sempat tersenyum sebelum akhirnya ia kembali menghadap depan dan bertabrakan dengan batu besar.
Gadis itu tersentak. Peluh bercucuran melalui dahinya. "Astaga, apa-apaan? Siapa dia? Berani sekali dia membunuh gadis malang itu." Ia mengusap wajah dengan tangan, kemudian mengambil air minum yang biasa diletakkan di samping kasur. Setelah meneguk air hingga tinggal setengah, gadis itu kembali tertidur dan masuk ke alam mimpi.
Selesai sudah.
Semua sudah selesai.
Tidak akan ada lagi pengganggu.
Kini ia dapat mencapai tujuannya.
Ia berlari dengan cepat menuju ke kamar mandi sekolah. Bel masuk pasti sudah berbunyi sedari tadi, tetapi murid-murid kelasnya masih ada yang berkeliaran di luar kelas. Pasti karena tidak ada guru yang mengawasi.
Dia berusaha mengatur napas, lalu menatap cermin. Penampilannya sangat acak-acakan. Rambutnya tidak teratur, wajahnya memerah dan dipenuhi peluh. Ia pun memutuskan untuk membenahi penampilan sebelum kembali ke kelas.
"Dari mana saja?" Alu bertanya ketika ia baru saja keluar dari kamar mandi.
"A... aku hanya keliling-keliling depan sekolah."
"Oh." seolah tak peduli, Alu kembali berjalan menuju kelas.
Melihat hal itu, ia menjadi geram. Apa-apaan, bertanya, sudah dijawab, respon seadanya. Tetapi setelahnya, kekesalan itu menghilang, tergantikan dengan rasa senang dan lega. Ia menyunggingkan senyum puas.
Setidaknya, serangga pengganggu sudah hilang~
.
.
.
A/N
Selesai ! Chapter yang dipenuhi dengan senyuman biar berkah :D. Dan jujur, lumayan susah dibikin sampe saya perlu meditasi berhari-hari. Saya juga minta maaf kalo chapter ini kurang bagus atau ada kesalahan, saya udah berusaha semaksimal mungkin, TT.
Anyway, mohon review dan saran kakak-kakak sekalian, karena itu sangat diperlukan ^-^
Terakhir, terimakasih buat yang udah mau baca sama review fanfic saya yang absurd ini. Saya bersyukur masih ada yang mau baca :")
See you next chapter.
