Mungkin ada beberapa dari kalian yang menganggapku bermulut tajam dan kasar. Tetapi, aku tidak akan begini jikalau si 'jalang' itu tidak datang ke kehidupanku dan mengacaukan semua hal.

Aku selalu bertanya-tanya kenapa aku harus bertemu dengan dia, gadis ular yang memberi penderitaan kepada semua orang di sekitarnya. Apakah memang itu hobinya? Menebar kebencian dan penderitaan?

Baiklah. Kali ini, akan kuceritakan masa laluku yang mungkin akan membuat pemikiran kalian tentangku berubah. Yah, semoga saja.


Miya. Aku sudah lumayan lama bersahabat dengannya. Aku pun sudah menganggapnya sebagai saudaraku sendiri. Dia periang dan murah senyum,membuatnya disukai banyak orang termasuk aku.

Belum lagi, dia sangat cantik. Rambutnya yang berwarna perak selalu dikucir satu, terkadang dikepang. Wajahnya mungil, matanya pun jernih dan besar. Bahkan aku selalu bisa melihat pantulan wajahku dengan jelas ketika menatap matanya (oke mungkin terdengar berlebihan. Aku tidak berusaha menyamakan mata Miya dengan cermin, btw). Bibirnya ranum, berwarna kemerahan, dan selalu dioles lipbalm. Jangan lupakan kulitnya yang halus nan bersih, membuatku penasaran, perawatan jenis apa yang ia lakukan.

Maaf jika deskripsiku barusan terdengar berlebihan. Tapi sungguh, bagiku dia adalah gadis tercantik.

Aku mengenal Miya ketika penerimaan peserta didik baru. Kenapa kami bisa langsung dekat? Simpel saja kok. Dia meminjam bolpoinku, lalu berkenalan. Aku sering mengobrol dengannya karena kita selalu duduk berdekatan.

"Bolpoinmu bagus sekali." Komentarnya. Jarinya memutar-mutar bolpoin bergambar kepingan salju milikku.

"Ya, itu memang bagus. Aku beli itu karena tampilannya menarik. Tapi sayangnya sering macet. Rugi, deh."

Miya tertawa kecil.

"Kita memang tidak bisa menilai sesuatu hanya dari luarnya saja, kan?"

Aku mengangguk sebagai tanda persetujuan.


Begitulah. Dia gadis yang menyenangkan dan aku sangat menyukainya. Kami sangat dekat, bahkan terlalu dekat. Sampai-sampai aku berpikir jika aku pria, aku akan menikahinya begitu kami lulus.

Aku benar-benar berharap semua kebahagiaan ini akan berlangsung selamanya. Sampai kami dewasa, menikah, memiliki anak, aku ingin kami tetap terhubung.

Sayangnya, keinginan konyolku tidak akan terwujud. Dan semua itu karena dia telah menghancurkan semuanya.

Dia, gadis yang sangat dekat denganku.

Dia, gadis yang sudah kuanggap saudara sedarah.

Dia, gadis yang akan selalu kulindungi, walaupun harus mengorbankan nyawaku.

Dia, gadis yang telah kupercaya dengan sepenuh hati.

Sekarang, dengan mudahnya dia menghancurkan hatiku dan mematahkan kepercayaan yang kuberikan.

Aku marah, sekaligus lega.

Marah, karena bisa-bisanya dia melakukan hal yang sangat-sangat jahat.

Lega, karena akhirnya, dia menunjukkan sifat aslinya.


Hari itu, aku sedang berkeliling sekolah, mencari gudang. Untuk apa? Tentu saja mencari pigura bekas tahun lalu. Sebetulnya sih, masing-masing mahasiswa harus membawa satu dari rumah. Cuman, aku terlalu malas buat membawa. Maka dari itu, pagi-pagi sekali, aku langsung pergi ke sekolah untuk meminjam (atau mungkin mencuri) salah satu pigura bekas senior tahun lalu. Ya, tahun lalu, murid senior juga mendapat tugas yang sama. Dan aku tahu persis, tiap lukisan akan ditaruh di gudang.

Langkah kakiku berhenti tepat di depan pintu gudang.

Dikunci tidak ya?

Baru saja tanganku akan menyentuh kenop, pintu sudah terbuka duluan. Menampilkan sosok pria berambut perak, mirip sambut Miya.

Tinggi sekali.

Pria itu menatapku dengan sorot matanya yang teduh.

"Maaf... ada apa?" tanyanya.

Ups! Aku buru-buru menjawab dengan sedikit gagap. "A... Aku ingin mencari pigura."

Pria itu tersenyum. "Oh, pasti untuk tugas. Silahkan ambil satu."

"Um... terima kasih." Aku masuk ke dalam gudang dan mengambil salah satu pigura yang menurutku masih cukup bagus. Saat aku menengok ke arah pintu gudang, pria itu sudah lenyap.

He, kemana dia?

Sejak itu, sosok sang pria bersurai perak tidak bisa hilang dari ingatanku. Entah kenapa, aku selalu mengingatnya. Dan setiap aku mengingatnya, pipiku rasanya memanas. Apakah aku suka dengannya? Apakah ini yang sering dikatakan orang sebagai suka pada pandangan pertama? Tidak mungkin! Mana ada hal sekonyol itu! Hal itu hanya akan terjadi di film roman picisan saja! Aneh sekali kalau sekali lihat langsung suka, kan?!

Lupakan dia, Karina! Aku mengacak rambut hitamku.

"Kau baik-baik saja, Karina?" tanpa kusadari, Miya sudah duduk di sampingku.

"Miya, dengar!"

Belum sempat kulanjutkan kalimatku, seorang pria tampan lewat di belakang Miya.

Laki-laki yang waktu itu di gudang! Aku menjerit dalam hati.

"Kenapa sih, Karina?"

"Miya, lihat senior itu!" aku mendorong-dorong bahunya.

"Yang mana?" dengan malas, ia membalikkan badan.

"Yang berambut perak sepertimu."

Miya terus memandangnya. Kemudian berkata. "Ah, itu kan Estes."

"Estes? Tunggu! Kenapa kau tidak memanggil dia dengan sebutan 'kakak'?!"

"Kakak?" dia mengernyitkan dahinya. "Buat apa? Dia dan kita kan seangkatan."

"Wuah, seangkatan?! Tidak kusangka! Badannya tinggi sekali!"

"Karina, kumohon jangan berteriak. Memalukan. Dan ya, dia memang tinggi. Dia kan, masuk ke dalam klub basket."

"Kau tau sampai sejauh itu? Hebat."

"Itu adalah hal umum di angkatan kita, kaunya saja yang ketinggalan berita. Jangan terlalu lama main di gua, makanya."

"Sialan kau, Miya."


"Berat sekali... kenapa guru-guru itu terus menyuruhku membawa kertas sebanyak ini? Apakah mereka ingin mengerjaiku? Bangsat."

Aku berjalan di lorong sekolah sambil membawa tumpukan kertas yang berat. Entah kertas apa itu. Aku tidak tahu dan tidak mau tahu.

"Yah, kau seperti tak tahu guru saja. Mereka kan memang suka mengerjai murid."

Sebuah suara membuatku hampir menjatuhkan kertas-kertas yang ada di tangan. Untung saja, masih 'hampir'. Kalau tidak, pasti membutuhkan waktu yang lama untuk memungutnya.

"Tolong jangan mengagetkanku seperti itu." Tukasku kesal sambil mencari sumber suara yang sudah membuatku jantungan.

"Ahaha, maaf, maaf. Sini kubantu." Suara itu mendekat.

"Estes?" dan lagi-lagi, dapat kurasakan pipiku memanas.

"Hai. Kau Karina, kan?" sapanya. Estes mengambil setengah dari tumpukan kertas yang kubawa.

"I... iya. Terimakasih atas bantuannya."

"Tak masalah. Maaf karena sudah mengagetkanmu ya."

"Tidak apa-apa. Setidaknya kertas ini tidak jatuh."

Estes tersenyum manis.

TUHAAAAN! Kenapa dia semakin dilihat semakin tampan saja?!

Ini pertama kali aku bersikap begini terhadap lawan jenis. Seumur hidup, tak pernah aku berdebar di depan seorang pria. Tapi, Estes berbeda. Bahkan saat pertama melihatnya, aku langsung suka. Apa aku sudah gila? Kali ini aku benar-benar serasa protagonis yang bermain di sinetron. Tetapi... itu tidak penting. Yang terpenting adalah... sepertinya aku memang serius menyukainya, bagaimana ini?

"Karina, akhir-akhir ini kau terlihat berbeda?"

Aku menengadahkan kepala, melihat Miya berdiri di depanku sambil membawa buku biologi. Ia menarik kursi, lalu duduk di hadapanku.

"Apanya yang beda?"

"Kau terlihat lebih... bahagia? Dan apa itu? Kau pakai lip tint? Yang benar saja! Kau kerasukan apa?!"

Buru-buru kututup mulutnya dengan buku tulis. "Jangan keras-keras."

"Oke maaf. Jadi apa yang mengubahmu?" tanyanya tak sabar.

"Sepertinya aku suka seseorang." Jawabku sambil meremas rok.

"Seseorang? Siapa?" Miya membelalakkan matanya.

Aku berpikir. Haruskah kuberi tahu Miya? Atau kurahasiakan saja? Kuputuskan untuk tidak memberi tahunya dulu saja.

"Err... mungkin belum saatnya aku memberi tahumu."

Miya menghela napas. "Kau selalu saja begini."

"Maaf..." sesalku.

"Tak apa. Aku mengerti. Terkadang ada beberapa hal yang kita tidak ingin orang lain tahu. Sekalipun itu sahabat kita." Ujarnya sambil menepuk kepalaku. Aku merasa nyaman. Miya memang paling mengerti orang lain.


Dan semenjak kejadian hampir menjatuhkan kertas itu, aku dan Estes bertambah dekat. Aku pun semakin menyukainya. Kurasa...ini saatnya untuk menyatakan perasaanku padanya. Sekalipun aku ditolak, dia harus tahu, aku suka padanya dan aku tidak main-main. Tapi, kurasa aku harus meminta saran pada Miya dulu.

"Hei."

Miya yang sedang duduk di ayunan menengok padaku. Ya, aku memanggilnya ke taman karena aku lebih nyaman berada di sini. Taman ini adalah tempat kami sering menghabiskan waktu berdua.

"Kenapa, Karina? Kau mau bilang apa?'

"Aku ingin menembak seseorang... menurutmu apa yang harus kulakukan sebelum itu?"

Bibirnya tertarik ke atas, tersenyum lebar. "Akhirnya Karinaku menjadi seorang gadis juga. Aku senang sekali. Baiklah, aku akan memberi beberapa tips..."

Miya mulai menjelaskan segala hal, sampai sangat detail. Sedangkan aku berusaha mendengar dengan seksama sambil mengangguk-anggukkan kepala.

"Jadi begitu. Semoga dia menerimamu, ya." Tangan kecilnya mencubit pipiku dan bibirnya tak berhenti menyunggingkan senyum. Senyum yang biasa ia lakukan.


Tapi, kenapa perasaanku tak enak?

Aku mematut diri di depan cermin kamar mandi sekolah, memastikan penampilanku tidak aneh. Tadi pagi Miya mendandaniku. Agar terlihat cantik, katanya. Memang apa hubungannya terlihat cantik dengan menembak seseorang, ya? Bukankah kalau terlihat apa adanya di depan orang yang kau suka itu lebih baik? Ah sudahlah.

Aku mendekap surat cinta di dadaku. Astaga... beginikah rasanya jatuh cinta? Leherku serasa tercekik karena aku gugup. Setelah menguatkan hati, aku berlari menuju kelas Estes dengan cepat.

Namun, kakiku segera berhenti setelah menyadari ada suasana ramai di depan kelasnya. Seperti suara orang bersorak-sorak. Aku melongok ke dalam, melihat apa yang terjadi. Di sana, Miya sedang memegang tangan Estes. Mereka berdua tersenyum lebar. Seketika, perasaanku tak enak. Aku melirik ke kanan, adik Alu, Layla ikut menyaksikan mereka berdua.

"Ada apa ini, Layla?"

Layla menatapku, lalu menjawab. "Ah, Kak Karina. Ini, tadi Kak Miya menembak Kak Estes. Lalu diterima."

Seketika duniaku hancur. Cinta pertamaku, hilang. Diambil oleh sahabatku. Berusaha berpura-pura senang, aku menghampiri Miya, memberinya selamat, lalu berlari menuju kamar mandi. Aku menangis sekeras mungkin. Kuremas surat cinta di tanganku.

Sakit.

Sakit.

"Aku bahkan tak tahu cara menyembuhkan rasa sakit ini..." dengan terisak, aku berbicara sambil menatap cermin. Wajahku sudah tak karuan. Rasanya aku sangat marah dengan Miya. Aku benci. Benci sekali.

Tidak. Tidak boleh. Aku mengusap wajahku, lalu berusaha berpikir positif. Aku yakin Miya tidak tahu siapa yang kusukai. Aku yakin Miya hanya melakukan apa yang ia yakini benar. Ini salahku karena tidak memberitahunya soal Estes dari awal. Ya, ini salahku. Setelah mencuci wajah, aku membuang suratku di tempat sampah lalu menghampiri Miya dengan wajah ceria.

Aku bersikap seolah tak ada apa-apa.

Pasti semua ini akan kembali seperti semula, pasti.

Dan kita akan terus bersahabat.

Begitu pikirku.

.

.

.

Karina – to be continue

A/N

Halooo saya bawa chapter baru tentang masa lalu Mbak Karina, semoga suka :")