KARINA - 2

MLBB BELONG TO MOONTON

HAPPY READING


Setelah Estes berpacaran dengan Miya, mereka makin dekat dan sering pulang bersama. Aku hanya bisa berpura-pura bahagia untuk mereka. Karena jika akumenunjukkan sikap sedih, aku pasti akan dibilang egois. Maka dari itu terus tertawa dan ceria adalah pilihan terbaik saat ini.

Namun, ada yang aneh belakangan ini. Miya yang biasanya terlihat segar dan berkharisma, menjadi selalu memasang wajah gusar dan terlihat kesal. Ia masih cantik, tetapi... aura di sekitarnya berubah. Gelap dan... jahat? Entah, mungkin hanya perasaanku. Aku, kan, bukan cenayang.

Tapi aku tidak bohong. Ia benar-benar aneh. Tiba-tiba pun sehari yang lalu ia berkata bahwa dirinya akan tinggal di sekolah untuk belajar bersama Ruby, anak kelas sebelah. Iya, Miya memang akrab dengan banyak orang. Tetapi, firasatku mengatakan ada yang tidak beres, dan itu terbukti karena aku mendengar berita Ruby dibawa ke rumah sakit akibat terjatuh dari tangga. Aku sempat berpikir bahwa Miya lah yang menyebabkan Ruby terjatuh. Tapi aku cepat-cepat menangkis pikiran tersebut karena aku tahu Miya adalah anak baik, dan ia juga yang membawa Ruby ke rumah sakit.

Akhirnya Miya kembali seperti semula, walaupun terkadang ia masih memasang wajah kesal sesekali.

Beberapa minggu setelahnya, Estes tiba-tiba mendekatiku dan mengajakku ke toko pernak-pernik untuk membeli hadiah. Untuk siapa lagi kalau bukan kekasihnya, Miya. Sebenarnya aku ingin sekali menolak permintaan Estes. Tapi aku sudah bertekad dalam hatiku, akan mendukung hubungan mereka.

"Estes ingin membeli apa, sih?"

Estes menggaruk pipi kanannya yang sedikit memerah. "Aku tak tahu hadiah apa yang akan kubeli untuk Miya, maka dari itu aku ingin meminta saranmu. Sesekali aku harus membuatnya bahagia."

Aku tersenyum terpaksa. "Begitu? Kurasa kalung cocok dipakai Miya."

"Kalung? Seleramu memang bagus! Kalau begitu ayo!"

Pria itu menarik tanganku dengan lembut. Sikapnya benar-benar membuatku sedikit terbawa suasana dan membayangkan bahwa ini adalah kencan. Setidaknya, hari ini aku juga ingin bahagia.

Keesokan hari di sekolah, ternyata jam istirahat diperpanjang karena guru yang mengajar tidak datang. Kami mendapat tugas, namun aku sama sekali tidak ada niatan untuk mengerjakan. Aku tidak melihat Miya dimanapun. Entah dimana gadis itu berada. Mungkin ia sedang ke kamar mandi. Ketika aku menatap luar jendela, kulihat seorang gadis berlari ke luar gerbang. Aku tidak tahu siapa dia, namun itu pasti bukan Miya. Tanpa sengaja, aku mendorong gelas kaca milikku yang tadi digunakan untuk praktik kesenian. Buru-buru aku membereskan pecahan kaca sambil menggerutu. Untung saja praktik sudah selesai tadi.


Seharusnya aku tahu, bahwa kaca yang pecah itu adalah pertanda buruk. Tetapi kemungkinan aku terlalu bodoh untuk menyadari hal tersebut. Tepat setelah hari kemarin, aku mendapat kabar bahwa Ruby telah tiada. Penyebabnya adalah kecelakaan. Yang kudengar, Ruby nekat pergi ke luar rumah sakit sendirian dan terjatuh menabrak batu besar di jalanan yang curam. Pertanyaannya, mengapa Ruby bisa sampai sana? Memangnya dia sepolos itu? Aku menggelengkan kepalaku, berusaha untuk tidak memikirkannya dan hanya berdoa semoga Ruby tenang di alam sana.

Aku menggeser pintu kelas dan menemukan Miya sedang menangis di atas meja. Aku menatapnya miris. Aku sempat tahu bahwa Ruby juga salah satu sahabat dekatnya, dan sudah pasti sangat menyakitkan jika kau mendengar kabar buruk soal sahabatmu.

"Miya." Aku mendekatinya.

Miya mengangkat kepalanya, menatapku. "Karina. Aku.. aku..."

"Sudahlah. Jangan terus bersedih. Aku yakin Ruby tidak suka melihatmu begini." Setelah berkata begitu, aku teringat sesuatu. "Estes sudah memberi hadiahnya padamu?"

"Sudah. Dan kalungnya sangat cantik. Estes berkata kau yang memilih. Terimakasih."

Aku tersenyum. "Aku senang kalau kau senang. Maka dari itu, berbahagialah."

Aku memeluk Miya dan mengusap punggungnya untuk menenangkan. Di dalam kelas yang sedikit gelap, hanya ada kita berdua, aku tak tahu ekspresi macam apa yang ia buat.


"Ahh capeknya!" aku meregangkan badan setelah selesai pelajaran olahraga. Sambil sedikit berlari, aku menyenandungkan lagu kesukaanku. Tanpa sengaja, seseorang menabrakku dengan keras. Dengan kesal aku menatap orang tersebut.

Seketika rasa kesalku menurun tatkala melihat Layla yang balas menatap dengan mata berkaca-kaca. Ia seperti habis menangis.

"Lay... la?"

Layla menggeleng lalu berlari melewatiku dengan cepat. Aku dapat mendengar sekilas ia berbisik, "Maafkan aku, Kak."

Aku hanya menggaruk kepalaku, bingung. Setelah Layla berlari, aku melihat Miya memasuki kelas sambil tersenyum tipis.


"Hei! Bagaimana kalau kita bermain truth or dare?!" Clint, teman sekelasku yang hiperaktif berteriak keras. "Ayolah, mumpung jam kosong ini!"

"Boleh juga, boleh juga."

"Ide bagus. Bagaimana kalau peraturannya, tidak boleh ada yang menolak truth maupun dare yang diberikan?" Miya bersedekap. Bibirnya menampilkan senyum manis.

"Siapa takut! Ayo mulai!" Clint tersenyum lebar, menantang.

Pensil mulai diputar oleh Clint dan entah itu kebetulan atau sudah terencana, kepala pensil berhenti di depan Miya.

"Wow! Keberuntungan! Baiklah, Miya, kau kutantang untuk mencium salah seorang lelaki di kelas ini! Siapapun!"

Miya menatap Clint tajam. "Aku akan lakukan, setelah pulang sekolah. Maka dari itu, teman-teman, silahkan berkumpul dahulu sebelum pulang."

"Baiklah! Asalkan kau tetap melaksanakannya. Sekarang ayo lanjutkan permainan!"

Aku hanya menatap mereka dengan datar. Sepanjang permainan, mulutku terus tertutup rapat.


"Teman-teman."

Miya berdiri di depan kelas dan Clint berdiri di sebelahnya. Aku tak tahu Miya akan mencium siapa, yang jelas sepertinya tak akan ada hal baik terjadi. Aku melirik pintu kelas yang terbuka. Mengapa pintunya dibuka lebar?

Miya melihat jam yang terlingkar di tangan putihnya. "Ia akan lewat sebentar lagi." Gumannya.

Ia? Ia siapa?

Satu menit setelahnya, aku dapat melihat rambut pirang berkibar di depan pintu kelasku.

"LAYLA!" Miya berteriak keras, lalu dengan spontan ia menarik kerah baju Clint dan mempertemukan bibir mereka.

Layla yang menatap pemandangan itu, ekspresinya tak bisa kudeskripsikan. Matanya melebar, air mata menggenang seolah siap untuk terjun bebas di pipinya. Buku-buku pelajaran di genggaman tangan Layla terjatuh. Tanpa memedulikan bukunya, Layla berlari dengan cepat menuju lorong sekolah. Aku membereskan buku-buku milik Layla, namun aku kehilangan jejaknya. Tak ada yang bisa kulakukan. Aku hanya menatap Miya dengan pandangan horor, kemudian bertanya dengan nada meninggi. "Miya, apa maksud semua ini?!" tanpa ragu, aku meloncat ke hadapan Miya dan menamparnya keras. Gadis itu tak bergerak, ia hanya memegang pipinya. Kilatan matanya menatapku tajam.

"Apa? Aku hanya melaksanakan tantangan dari Clint, tidak lebih. Memang itu masalah?" jawabnya dengan santai.

Aku merasa belum puas. Aku mengepalkan tanganku, siap melayangkan tinju pada wajah cantiknya. Tetapi aku menahan hasratku tatkala melihat rasa takut di raut wajah Miya. Aku mengeratkan genggaman, sampai tanganku terasa sakit.

Apa-apaan gadis ini? Apa dia sudah gila? Tidakkah dia sadar bahwa ia memiliki Estes?

"Ah." Clint memasang wajah terkejut. Buru-buru ia menubruk pundak Miya lalu berlari ke luar kelas.

Para murid juga terlihat speechless, tak tahu harus bereaksi seperti apa.

"Uhh.. teman-teman sebaiknya kita pulang." Kagura, si wakil kelas pun membuka suara. Ia membimbing teman-teman untuk pergi ke luar kelas. Pada akhirnya, tinggal aku berdua dengan Miya.

Aku mendekati Miya yang masih memasang raut ketakutan di wajahnya. "Pelacur... jangan pernah berhubungan denganku lagi! Dan jika kau memang tidak serius dengan Estes, jangan hancurkan hatinya seperti itu! Dasar gadis busuk..."

Puas dengan raut wajah Miya yang hampir menangis –sebetulnya, ia sudah menangis- , aku memutuskan untuk berhenti memojokkannya. Daripada aku semakin berhasrat untuk menghajarnya tanpa henti, aku memilih pulang.


Cahaya pagi yang menembus gorden membuat wajahku terasa hangat. Aku membuka selimut dengan malas, kemudian mengecek telepon genggam. Di sana tertera ada tiga panggilan tak terjawab dari Estes, dan lima pesan tak terbaca.

Karina

Ada apa kemarin?

Aku dengar Miya mencium Clint?

Kenapa itu?

Bisakah kau jelaskan?

Aku memutuskan untuk tidak membaca maupun membuka pesannya. Biarlah saja dia tak usah tahu, daripada ia bertambah sakit hati.


Jam pertama pelajaran sejarah yang membuatku menguap berkali-kali. Aku ingin pulang. Ah... tepat saat aku akan menjatuhkan kepalaku di atas meja, pintu kelas terbuka lebar. Satu kelas terkejut, bahkan sensei yang sedang menerangkan ikut menengok.

Alu berdiri di depan pintu kelas. Wajah tampannya memerah, ekspresinya terlihat jelas bahwa ia sangat marah. "CLINT! KE SINI KAU!"

Clint yang panik dan ketakutan tak tahu harus berbuat apa. Ia diam di tempat, sampai Alu menghampirinya. Dalam sekali tinju, Clint roboh. Ia terjatuh dari kursinya. Sensei langsung berlari dan menahan Alu yang akan melayangkan pukulan selanjutnya. Aku refleks berdiri karena terkejut.

"BAJINGAN KAU! KAU TELAH MEMBUAT ADIKKU MENANGIS! TAK AKAN KUBIARKAN KAU PULANG HIDUP-HIDUP HARI INI!" Alu menarik kerah baju Clint, membisikkan sesuatu. Setelah ia menghempas Clint dengan kasar, ia menepis tangan Sensei kemudian kembali keluar kelas.

Aku masih terdiam kaku. Kualihkan pandangan pada Miya. Gadis itu hanya diam.

Dia benar-benar gila?


"Clint." Kuputuskan, pada saat istirahat untuk menghampiri Clint. Biarlah aku ikut campur urusannya. Ini demi Alu dan Layla juga. "Apa yang Alu katakan padamu?"

Clint yang sedang mengompres pipinya menatapku sedih. "Ia mengajakku ke lapangan dekat sini sepulang sekolah."

"Biarkan aku ikut denganmu. Aku harus menjelaskan apa yang terjadi." Ujarku memaksa. Clint menggeleng. Ia berkata bahwa ia harus menyelesaikan masalah ini sendirian. Ia tak ingin melibatkanku.

Tetapi yang namanya keras kepala susah diubah. Aku akan tetap mengikutinya nanti. Aku juga menghubungi Layla, walaupun aku tahu ia tidak masuk hari ini. Setidaknya, aku ingin Layla tahu bahwa orang yang ia cinta sedang mengalami kesulitan.


Kakiku menginjak rumput dengan perlahan. Clint sedang berdiri di tengah lapangan. Aku hanya mengintip dari balik dinding, menunggu saat yang tepat untuk keluar. Hatiku berdegup tatkala orang yang ditunggu telah tiba. Alu.

Wajahnya terlihat marah, dan kelihatannya ia semakin kesal karena dipanggil oleh guru kedisiplinan tadi. Yah, itu salahnya juga, sih.

"Clint. Aku akan membunuhmu hari ini juga. Kau benar-benar bajingan. Menyesal aku memberimu izin untuk memiliki adikku."

Clint tersenyum tipis. "Kau akan menyesal membunuhku sebelum mendengarkan penjelasanku."

"Tak akan."

Aku menutup mataku. Karina, ayolah lerai mereka!

Dengan keberanian penuh, aku melompat ke arah mereka sembari berteriak.

"ALU/KAK ALU! Berhenti!"

Tersadar ada suara lain yang membarengi teriakanku, aku menghentikan langkah kaki. Layla? Tak kusangka dia sampai pergi ke sini, padahal aku hanya mengabarinya saja... tak bermaksud menyuruhnya.

"Layla! Mengapa kau datang?! Sudah kubilang kakak akan mengurus orang tak tahu diri ini!" Alu berjalan cepat mendekati adiknya. Clint hanya bisa membeku di tempat.

"Kak Karina memberi tahuku soal kalian. Dia juga menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Ia mengetahui nomorku karena bertanya pada teman-temanku, kalau Kak Alu ingin tahu. Dan kurasa aku beruntung, Kak Clint belum kehilangan nyawanya." Layla menghela napas. "Jadi kau tidak akan berakhir di balik jeruji besi."

"Karina?" Clint melirikku bingung.

"Aku tak keberatan di penjara jika itu untuk membalas dendammu!" Alu membalas sambil memegang kedua lengan Layla.

Layla menggeleng, "Apapun yang kau lakukan padanya, jika itu bukan hal bagus, aku tak akan suka."

"Kumohon, Alu. Dengarkan kami. Clint tidak salah." Aku memaksakan diriku untuk membuka suara. Alu menolehkan kepalanya menghadapku. Ia menunduk.

"Katakan... kejadian sebenarnya."


Angin berembus kencang menerpa seragam kami. Keheningan masih menyelimuti jalanan sekitar. Aku dan Clint berjalan pulang bersama setelah kejadian tadi.

"Begitulah ceritanya." Aku mengakhiri cerita dan menatap wajah Alu. Ia melotot, tak percaya dengan apa yang kukatakan.

"Mungkin kau tak percaya, tetapi memang begitulah kenyataannya." Lanjut Clint.

Alu menutup wajahnya, kemudian tertawa. "Ahaha... begitu ya. Pelacur itu... harusnya sejak awal aku sudah membunuhnya. Ia sudah menjadi racun bagi orang-orang sekitar."

"Clint. Maafkan aku. Aku... aku... tak tahu kalau begini jadinya. Maaf." Alu berlutut di depan Clint.

"Sudahlah. Yang jelas, kau sudah tau kenyataannya. Ayo kita pulang." Clint tersenyum hangat.

Dalam dadaku, rasa lega mengalir. Namun rasa itu kembali terhapus tatkala aku mengingat Miya. Ia... aku tak akan rela membiarkannya bahagia setelah apa yang dilakukannya.

"Ah, tapi rasanya aku tak rela." Alu mendesis. "Aku memiliki rencana balas dendam yang sangat sempurna. Mendekatlah, dengarkan aku."

Aku dan Layla hanya terdiam, Clint terlihat bimbang. "Alu, biarkan aku berpikir soal ini dulu."

Alu menyeringai. "Silahkan, kau tak akan menyesal untuk menyetujui ini. Percayalah. Kutunggu jawabanmu besok, oke?"

Kemudian, aku dan Clint berpisah dengan Alu dan Layla.


"Aku bersyukur semua sudah selesai." ucapku memecah keheningan.

"Iya." Clint menjawab singkat. Aku yakin, ia kelelahan setelah mengalami kejadian tak mengenakkan.

"Kita berpisah disini, ya, sampai besok." Aku menghentikan langkahku di sebuah gang. Clint mengangguk, lalu melambaikan tangannya.

Aku berjalan menuju rumahku sambil menatap langit, berharap semoga hari esok akan lebih baik.

Setidaknya begitulah harapanku.


Sekali lagi, aku harus menelan pil pahit karena harapanku segera pecah berkeping-keping lantaran seorang pria datang menghampiriku dengan wajah sendu sambil memegang sebuah benda. Benda itu... kalung? Tunggu, kalung milik Miya!

"Estes? Ada apa?"

"Ah, Miya tadi memutuskanku. Ia..."

Belum sempat Estes menyelesaikan kalimatnya, aku sudah menginterupsi. "Apa dia berkata sesuatu padamu?!"

"Ia... bilang kalau ia sebetulnya menyukai Alu dan hanya menjadikanku pelampiasan saja." Estes terkekeh pelan sambil memegang belakang kepalanya. Aku dapat merasakan kesedihan dalam omongannya.

Jalang itu... berani-beraninya dia... akan kubunuh...

"Estes... mengapa... kau harus mengalami ini... kau bahkan tak bersalah. Astaga..." tangisku pecah secara tiba-tiba. Aku membenamkan wajahku di dada Estes, tak peduli sudah membuat seragamya basah. Estes tak berkata apa-apa. Ia hanya menepuk kepalaku pelan, menenangkan.

Aku tak akan bimbang lagi. Aku akan melaksanakan rencana Alu. Jalang itu, tak akan kubiarkan dia bahagia. Akan kubuat dia merasakan pahitnya karma.


"Berangkat ke Jerman?" hari itu juga, aku dikejutkan oleh berita lain. Estes berkata ia akan pindah ke Jerman untuk melanjutkan pendidikannya, entah sampai kapan. Sebetulnya sampai kapan aku akan dikejutkan lagi, sih?

"Iya. Aku pergi bukan karena masalah itu, kok. Aku hanya ingin melanjutkan pendidikanku dan meraih cita-cita."

Mendadak, dadaku terasa sesak. "Apakah... Miya tahu soal ini?"

"Cepat atau lambat, aku yakin ia akan tahu."

"Begitu."

Hening sejenak.

"Karina. Aku ingin berbicara. Maafkan aku kalau ini agak mendadak, tapi... sejujurnya aku menyukaimu dari dulu. Aku hanya takut kalau kau tidak suka padaku, maka dari itu aku menerima pernyataan cinta Miya." Estes berbicara dengan wajah serius. Tak dapat kulihat kebohongan dari sorot matanya.

"Bodoh." Gumamku. "Kau payah, sudah kalah sebelum mencoba."

"Maaf... aku hanya takut."

"Yang takut bukan hanya dirimu, tahu! Aku ingin menyatakan perasaanku, walaupun aku tidak tahu apakah kau akan menerimanya atau tidak, tetapi sudah keduluan oleh pelacur itu!" aku membalas dengan keras.

"Karina? Maaf..."

"Jangan berkata maaf lagi. Setidaknya sekarang, aku sudah tahu. Perasaanku tidak bertepuk sebelah tangan." Aku menampilkan senyum bahagia.

"Kuharap kau tak keberatan menjalin hubungan jarak jauh denganku."

"Aku tak peduli dengan jarak, asal kita saling percaya."

Kupeluk Estes yang lebih tinggi dariku. Pria itu memegang pipiku, kemudian mendekatkan wajah kami, menyatukan bibirku dengan bibirnya secara perlahan.

Begini rupanya rasanya cinta. Manis sekali. Aku yakin Miya belum pernah merasakannnya. Ia hanya memainkan perasaan orang lain, lalu membuangnya ketika sudah bosan. Menyedihkan. Aku bersyukur bukan dia.


Aku menghubungi Alu, mengatakan bahwa aku setuju dengan rencananya. Pria itu terdengar bahagia saat aku berkata iya. Kelihatannya dia benar-benar benci dengan Miya. Ketika Alu tahu aku mengantar Estes pergi menuju bandara, pria itu menyusulku secepatnya. Ia berkata bahwa ia ingin menjelaskan rencananya pada Estes.

"Estes!" Alu memanggil dari kejauhan. Aku dan Estes mengajak Alu menuju kafe yang tidak terlalu ramai. Dan tanpa basa-basi, Alu menjelaskan segala hal yang sudah ia rencanakan.

"Begitukah? Aku... setuju. Tapi ini hanya agar Miya menyadari perbuatannya. Agar dia tahu, berapa banyak orang yang ia sakiti."

"Tenang saja, kau tinggal menunggu hasilnya." Alu menepuk pundak Estes. Aku masih mengunci mulut.

Aku bersyukur, ia membuka topeng yang menempel di wajahnya. Aku sudah benar-benar salah menilainya. Aih...

.

.

.

Karina - end

A/N

Haiiii chapter Karina udah end nih :') semoga kalian suka. Dan maafin penulisan saya yang bener-bener kayak cerita anak esde. Saya beneran minta maaf ini

Anyway, terimakasih buat yang sudah review. Karena review bikin saya lebih semangat lagi buat lanjutin ini. Maka dari itu, saya minta review kalian dan saran. Asalkan jangan ngegas yaa ^^

See ya next chap!