MLBB belong to Moonton

Dont like dont read


Alu melempar foto berbingkai kayu itu ke lantai, menyebabkan kaca yang melapisi foto menjadi pecah. Tetapi tak terlihat ada sama sekali rasa penyesalan di wajahnya. Ia malah terlihat sangat marah. Matanya menatap dengan penuh dendam ke arah foto di yang tergeletak di lantai. Foto dengan gambar empat orang anak yang sedang tersenyum lebar di taman. Tiga dengan surai blonde, dan satu silver.

Alu meremas rambut frustasi. Air mata membanjiri wajah tampannya yang juga memerah. Dialihkan pandangan pada kamar Layla, adik tersayang satu-satunya. Dia adalah salah satu orang berharga di hidup Alu, yang saat ini sedang mengurung diri di dalam kamar. Dan hal itu sudah berlangsung sekitar lima hari. Ia hanya keluar ketika akan sekolah. Kamar Layla memiliki kamar mandi di dalamnya –salah satu berita buruk untuk Alu, karena Layla akan semakin mengurung diri di kamar- , maka dari itu ia hanya keluar satu kali sehari. Hal tersebut tentu membuat Alu benar-benar pusing dan stres. Layla bahkan tidak berbicara lagi dengan Alu sejak hari pertama Layla mengurung diri. Bahkan Layla selalu pergi ke sekolah dengan tampang mirip mayat. Pucat, dengan bawah mata berwarna ungu. Penyebab? Siapa lagi kalau bukan 'teman' Alu, yang sudah merusak kebahagiaan banyak orang.

Karena sudah tidak tahan dengan keadaan itu, Alu berusaha melakukan segala cara. Memohon, menangis, tetapi sepertinya hati Layla benar-benar keras. Alu memaklumi adiknya trauma dengan kejadian tersebut. Namun, hati Alu tetap sakit membayangkan adik yang dulu sangat ceria dan manja menjadi seperti ini karena satu orang. Puncak masalahnya ada di saat Layla pulang sambil menangis keras, di pelukan kakaknya. Ketika itu, Alu sedang duduk di depan halaman, sedang memberi makan kucing peliharaan mereka berdua. Ia terkejut tatkala Layla langsung menubruk Alu sampai terjatuh. Alu baru saja ingin menampilkan ekspresi senang, namun dibatalkannya karena melihat air mata Layla yang mengalir deras. Alu bertanya ada masalah apa. Setelah Layla menjawab, Alu pun merasa bahwa dirinya harus memukul Clint besok.

Kenapa? Kenapa peristiwa itu terjadi? Semua itu berawal dari...


"Ruby..." aku membuka pintu kamar dan mendapati dua orang gadis sedang bercakap-cakap. Satunya sedang berbaring di atas kasur dengan kepala diperban, satunya duduk di samping kasur. Aku bergabung dengan mereka lalu mendudukan diri di sebelah kanan gadis yang sedang berbaring. Mataku mengarah pada gadis bersurai perak di seberangku.

Pasti anak ini ada hubungannya dengan kecelakaan Ruby...

"Alu, akhirnya kau datang. Kami sudah rindu padamu." Ucap Ruby ceria. Aku hanya tersenyum tipis sambil mengusap ujung kepalanya.

"Tentu saja."

"Aku akan belika minum untuk kita." Miya, yang bersurai perak kemudian berdiri dari tempat duduk.

Setelah memastikan Miya keluar dari pintu, aku menatap Ruby intens. "Ruby, apa benar semua itu hanya kecelakaan?"

Ruby mengerjap. "Tentu. Memang kenapa?"

"Kau yakin Miya tidak mendorongmu?"

Perlahan, senyum Ruby memudar. Ia menunduk, lalu menepis tanganku. Aku hanya bingung dengan sikapnya. Memang aku berkata hal yang salah, ya?

"Hah? Ada apa, Ruby?"

"Aku tak suka kau berburuk sangka pada sahabatku. Alu, tak mungkin Miya seperti itu. Jika aku mendengarmu berkata buruk soal Miya sekali lagi, aku tak akan pernah menganggapmu lebih berharga dari sampah." Mata Ruby yang menatapku tajam, membuatku meneguk ludah. Pertama kali aku melihat Ruby seperti ini.


Hari buruk bisa terjadi pada siapapun, termasuk diriku. Seperti hari ini. Bayangkan, jika kau mendengar kabar sahabatmu, orang tercintamu, tiba-tiba telah kembali kepada Tuhan. Bukankah itu membuatmu ingin segera menghampiri orang tersebut, memeluknya, memintanya untuk kembali walaupun itu tidak mungkin? Itulah yang kurasakan. Benar-benar, aku ingin menangis. Ah, tidak, aku sudah menangis. Aku mungkin pergi ke sekolah, tetapi pikiranku masih ada di rumah. Mataku bengkak karena terlalu banyak menangis, bahkan aku merasa kakiku gemetar karena melewatkan sarapan pagi. Aku tahu seharusnya aku tak boleh begini, tetapi tak bisa. Tiap aku melihat mejanya yang diberi bunga, aku selalu mengingatnya, dan itu membuat mataku panas. Layla juga khawatir dengan keadaanku. Entah itu hanya perasaanku atai bukan, tapi ia seperti ingin berkata sesuatu kepadaku.

"Kak..."

Aku menengok pada Layla yang sedang duduk sambil memeluk boneka kesayangannya. "Ada apa?"

"Uhm... apakah... dua hari lalu kelas Kak Miya ada jam pelajaran yang kosong?"

"Tidak tahu." Aku mengerutkan dahi. Tetapi sedetik kemudian, aku teringat bahwa aku melihat Miya berjalan ke luar kelas di jam setelah istirahat, saat aku ijin ke kamar mandi. Juga terdengar suara ramai dari dalam kelasnya, jadi aku berpikir tidak ada guru. "Mmhh... mungkin ada. Kenapa kau bertanya?"

"Uh... a... anu..." Layla mengeratkan pelukannya pada boneka. "Tidak jadi."

"Haah?"

Begitulah kira-kira. Hal tersebut terjadi pada malam hari, ketika kita sedang duduk di ruang tengah. Jelas saja aku memikirkan kata-katanya sampai sekarang. Aku ingin tahu apa yang membuatnya tidak nyaman untuk berbicara.


Di hari yang cerah ini, aku sedang berjalan sambil menenteng buku seni musik untuk kuberi pada Miss Fasya. Dia tidak kuat –mungkin malas- untuk berjalan kembali ke ruang guru, maka dari itu aku yang baik hati menawarkan diri untuk membantunya. Namun aku tak tahu apakah ini kebetulan atau tidak, ketika aku akan membuka pintu kelas, aku melihat adikku berlari kencang dengan berurai air mata. Aku ingin menyusulnya, tapi Miss Fasya sudah melihatku dan menyuruhku masuk. Aku mungkin akan menanyakan pada Layla nanti di rumah.

Ya, niatku begitu.

"Layla... buka pintunya kumohon... ada apa denganmu?"

"Sudahlah kak. Aku tak apa-apa. Sakit perut saja."

"Kau sakit? Mau kubuatkan teh?"

"Tidak usah! Pergilah!"

Aku tersentak, kemudian menghela napas. Pasti Layla butuh waktu... begitulah, aku berusaha tetap meyakinkan diri bahwa Layla baik-baik saja. Tetapi takdir berkata ingin aku mengetahui kebenarannya. Di suatu hari Minggu, aku sedang membawa tumpukan pakaian yang sudah disetrika. Aku melewati ruang tengah dan melihat telepon genggam milik Layla tergeletak di atas meja. Saat itu Layla sedang tak ada karena harus mengikuti kelas tambahan dari gurunya. Aku tersenyum kecil sambil mengambil telepon genggam itu. Aku terkejut karena ternyata Layla sama sekali tidak memberi password di layar depannya. Tidak tahu apa yang kupikirkan, aku berinisiatif mengecek grup kelas milik adikku di aplikasi Lite.

Betapa terkejutnya diriku. Grup kelas 1-1 sangat ramai, bukan membahas pelajaran, melainkan membahas... Layla?

Muak sekali aku bersama gadis busuk ini. Mengapa, sih, dia harus masuk kelas kita?

Hah, aku juga menyesal pernah kenal dengannya.

Aku baru tahu sekolah kita menjual prostitusi.

Ingin kubunuh saja. Andai aku bisa mengirimnya ke neraka.

Hahaha, kalian jahat. Bagaimana kalau dia baca?

Memang kenapa kalau dia baca? Dia seharusnya sadar kalau dia salah.

Benar, benar.

Bagaimana kalau besok kita lempari dia dengan buku saat pagi hari?

Hey, nanti dia mengadu pada Kak Clint.

Mana berani dia? Kalau dia mengadu, akan kusebarkan fotonya itu. Juga alamat dan nomor teleponnya.

Alamat jangan dong! Nanti Kak Alu ikut kena!

Apalah itu, kita harus buat dia jera.

Tenggorokanku serasa tercekat membaca percakapan kawan-kawannya. Mereka jelas-jelas membicarakan Layla! Secara terang-terangan! Apa-apaan ini?! Dengan gemetar, jempolku menekan album foto kelas bertuliskan 'PELACUR 1-1'

Sekali lagi, aku harus merasakan kekagetan dalam diriku ketika melihat foto di dalamnya. Layla, matanya terpejam dan ia tidak ada sehelai benang pun melapisi pakaiannya. Slide selanjutnya adalah kata-kata bertuliskan 'Layla menginginkan uang, maka dia menjual dirinya pada om-om. Tentu saja aku tak berkata begini tanpa bukti. Ada salah satu pelanggannya mengirimkan ini padaku.'

Kuremas telepon genggam Layla dengan erat. Aku benar-benar kesal. Dengan teman sekelasnya, dengan orang yang menyebarkan gosip itu. Saat ini, aku benar-benar merasa gagal sebagai kakak. Pokoknya, setelah Layla pulang aku akan menanyakan hal ini. Harus!

Or so i thought, sekali lagi, Layla langsung berlari ke kamar dan mengurung diri, bahkan tak memedulikan telepon genggamnya. Astaga! Aku sudah benar-benar mencapai batas! Aku menggedor-gedor pintu kamarnya sambil berteriak.

"Layla! Beritahu aku! Kau ditindas oleh teman sekelasmu kan!?"

Tak ada jawaban.

"Kumohon jujurlah padaku! Kau bisa menceritakan segalanya padaku!"

"Memang kau bisa apa?" Layla bersuara, tetapi bukan itu jawaban yang kuinginkan. "Aku yakin setelah aku bercerita, kau akan langsung menghajar orang yang terlibat tanpa ampun. Itu hanya akan memperparah keadaan, membuatku tambah dibenci. Lebih baik kau tidak usah tahu sekalian. Orang bodoh yang hanya mengandalkan fisik, aku benci!"

Ugh, ucapannya menusuk hatiku, walaupun aku tahu yang dia katakan tidak salah.

"A... aku..."

"Kak, yang kau perbuat hanya akan menyakiti hatiku. Aku tahu niatmu baik. Tapi tolong, kali ini..."

Aku terdiam.

"Biarkan aku."


Aku menyiram tanaman di halaman rumah sambil melamun, masih memikirkan kejadian semalam. Pasalnya, setelah kejadian itu aku sama sekali tidak bertemu Layla. Ia berangkat lebih pagi daripada diriku. Aku sangat takut ia marah. kurasa aku akan meminta maaf saat ia pulang nanti. Kutatap bunga-bunga yang bermekaran dengan cantik di depan mataku. Ini semua adalah bunga kesayangan Layla. Dulu ialah yang meminta untuk merawat tanaman ini. Tanaman berwarna putih, jangan tanya padaku apa namanya karena aku lupa. Layla berkata ia suka tanaman ini karena harumnya mengingatkannya pada ibu dulu. Apakah aku belum bercerita? Ayah dan ibu dulu sering bertengkar, sebelum akhirnya memutuskan untuk berpisah. Ayah selalu pulang malam, sedangkan ibu tak menyukainya. Walaupun mereka tak pernah menyakiti fisik kami, tetapi tetap saja mental kami terasa tersiksa. Di kala ibu memutuskan untuk pergi tanpa meninggalkan sepatah katapun membuatku ingin menangis. Ayah pun tak tahu harus berbuat apa, ia hanya diam saja. Menerima kenyataan yang ada memang sulit, tetapi mau bagaimana lagi. Saat ini, ayah bekerja jauh dari kami. Kebutuhan finansial memang mencukupi. Tapi, jika melihat Layla yang murung merindukan ayah... aku malah merasa hidup kami sangat kekurangan. Ya, kekurangan banyak hal. Keluarga, kasih sayang, kebahagiaan. Sungguh menyedihkan, bukan?

Suara langkah kaki keras memaksa otakku untuk mengalihkan perhatian. Sebuah tubrukan dari seseorang, membuat aku yang sedang berdiri sambil memegang alat penyiram tanaman terjatuh. Air berceceran di sekitar kami.

Menyadari bahwa orang yang menubrukku adalah Layla, aku tak dapat menyembunyikan senyumku. "Layla?"

"Kak..."

Aku menyadari ada yang salah disini. Senyumku menghilang.

"Ada masalah apa?"

"Clint..."

"Kalian bertengkar?" tanyaku, yang dijawab dengan gelengan kepala oleh Layla.

"Berciuman dengan Kak Miya."

Seketika, tanganku gatal ingin meninju seseorang saat itu juga.


Aku melangkah menuju lapangan dekat sekolahku dengan wajah babak belur. Aku yakin kalian mengetahui apa yang telah terjadi. Ya, tadi aku memukul Clint pada saat jam pelajaran. Tidak, kalian tidak salah baca, kok. Pada saat jam pelajaran. Memang apa yang membuatku berani melakukannya di jam tersebut? Sederhana saja, aku sedang mendengarkan guru di kelas dan tiba-tiba teringat Layla. Kemudian aku meminta ijin ke kamar mandi dan mendatangi kelas Clint tanpa peduli siapa yang sedang mengajar. Dia terlihat ketakutan, namun amarah telah menyelimutiku. Beruntung saat itu ada orang menghentikanku. Tapi aku tak rela jika melepasnya begitu saja, maka aku menyuruhnya menemuiku di lapangan dekat sekolah. Setelahnya? Tentu saja aku dipanggil guru dan diberi peringatan keras.

Seperti saat ini. Kami sedang berhadapan satu sama lain. Hanya berhadapan, belum saling melayangkan pukulan karena ia terus berbasa-basi. Sepertinya dia memang takut. Di saat aku bersiap memukul, dua suara menghentikanku. Suara Layla, dan seorang perempuan berambut hitam legam yang sepertinya aku kenal. Dia perempuan yang dekat dengan Miya. Awalnya aku kesal begitu mendengar bahwa perempuan berambut hitam tersebut yang mengirim pesan pada Layla. Namun begitu mendengar ia dan Layla memohon untuk menjelaskan hal sebenarnya, aku menurut untuk tetap diam dan mendengarkan. Jujur saja, aku tidak terlalu terkejut mendengar bahwa Miya-lah dalang dari semua ini. Dari awal aku memang sudah memiliki firasat jelek tentangnya. Tiba-tiba terbesit rencana yang agak jahat di pikiranku yang mungkin bisa menyadarkan gadis jalang itu. Dia sudah membuat adikku menderita, aku tak masalah jika masuk neraka demi membalaskan dendamnya. Kulihat tiga orang yang mendengarkanku terlihat keberatan, namun setelah kuyakinkan bahwa ini akan berhasil –semoga- mereka akhirnya setuju.


"Kak." Suara imut mengalihkan perhatianku dari tumpukan tugas di atas meja. Itu suara Layla.

"Ada apa?" tanyaku sambil melepas kacamata. Ya, aku memakai kacamata hanya ketika aku bermain laptop, mengerjakan tugas, ataupun membaca saja. Selain itu, aku tak mau bergantung dengan benda itu.

"Aku ingin berbicara sesuatu."

"Silahkan."

"Aku tahu penyebab Kak Ruby meninggal, sebenarnya."

Mendadak, badanku terasa menegang.

"Katakan."

"Aku… melihat Kak Miya keluar dari sekolah di saat kelasnya ada jam kosong. Lalu aku yang kebetulan lewat sehabis dari ruang ganti, melihatnya berjalan ke luar gerbang. Perasaanku mengatakan ia akan melakukan sesuatu yang kurang baik. Jadi, aku mengikutinya. Ah, kau boleh menghukumku setelah ini karena aku membolos pelajaran, toh, aku sudah dihukum oleh Miss Karrie. Kulihat dia menaiki taksi tapi aku tak tau dia mau kemana. Aku cepat-cepat mengambil sepeda dan memakai jaketku agar dia tidak mengetahui bahwa aku mengikutinya. Aku kaget ketika ia sampai ke rumah sakit tempat Kak Ruby dirawat. Kuintip mereka dari kaca yang ada di pintu, dan ketika kurasa mereka akan keluar, aku sudah berlari untuk sembunyi." Layla menunduk.

"Saat diluar, Kak Miya membawa Kak Ruby ke area yang sepi, dan itu membuatku makin curiga. Ternyata… Kak Miya mendorong Kak Ruby ke jalanan yang menurun, membuatnya menabrak batu besar. Maaf, aku… aku… tak bisa menolong Kak Ruby saat itu. Harusnya aku tolong saja dia. Lalu beberapa hari setelah kejadian, aku mengatakan bahwa aku melihat semua yang terjadi pada Kak Miya. Ia mengancam akan membuat penderitaan sepanjang hidupku jika aku mengatakannya padamu. Aku sangat takut, makanya aku ragu untuk bercerita. Apalagi ia sudah membuat diriku tertindas, bahkan sebelum aku berkata apa-apa. Uhh… ta-tapi aku sudah berani mengatakannya sekarang!"

Setelah Layla berhenti bercerita, aku spontan memeluknya erat. "Layla. Maafkan aku. Selama ini aku tak tahu jika dirimu menderita. Tak apa. Setidaknya aku sudah tahu segalanya sekarang. Aku juga tak akan ragu untuk melakukan rencana tersebut."

Dapat kurasakan bahu adikku satu-satunya bergetar. Ia menangis. Malam itu, aku dapat merasa ikatanku dan Layla semakin erat.


Bibirku mengulas senyum puas tatkala melihat pesan email yang telah kutulis. Isinya adalah tentang rencana, dan segala hal busuk yang telah dilakukan Miya. Aku akan mengirimkan email itu kepada semua orang yang terlibat, kecuali Miya tentunya. Karina, Clint, Estes… kalau kalian belum tahu, Estes adalah mantan pacar Miya yang hanya dijadikan pelampiasan olehnya karena Miya sebetulnya menyukaiku. Memang jahat sekali jalang satu itu. Orang tak bersalah ia libatkan. Aku meregangkan badan, kelelahan karena baru saja pulang menyusul Estes yang akan berangkat ke Jerman. Iris kebiruanku menatap buku catatan yang diberikan Miya dan Ruby dulu.

"Rencana satu, yang paling tak kusuka. Berpacaran dengan seorang pelacur." Gumamku sedikit kesal.

.

.

.

A/N

MAAF KALO ADA TYPO ATO SALAH, see ya next chapter! ;))))