MLBB Belong to Moonton
Don't Like Don't Read
Sebelum memulai cerita, saya harap agar kalian mau baca author note karena saya mau kasi tau beberapa hal. Sama kalau ada pertanyaan, tanya aja. Nanti bakal saya jawab di author note di tiap chapter. Selamat menikmati~~
Begitulah, pada akhirnya aku berpacaran dengan Miya. Aku berusaha mencari kontaknya setelah kami lulus dan memintanya menjadi pacarku di hari valentine. Jangan tanya mengapa aku menembaknya setelah kami lulus sekolah, dan sudah memasuki dunia perkuliahan. karena aku memang inginnya begitu. Beruntunglah, dia masih ada rasa padaku dan menerimaku. Walaupun aku tak memiliki rasa apapun padanya, kami resmi berpacaran. Ada, sih. Rasa benci. Tapi semua ini kulakukan demi pembalasan dendam. Agar gadis itu sadar, apa yang dilakukannya salah. Sangat salah. Berhari-hari aku harus terus berdekatan dengannya, sampai lulus, itu... membuatku jijik.
Kemungkinan pun rencana ini akan memakan waktu sangat lama, bisa dua tahun, tiga tahun, atau bahkan sepuluh tahun. Namun selama apapun waktu berjalan, kami, tak akan pernah lupa dengan apa yang telah terjadi. Terutama aku. Sampai matipun tak akan kulupakan. Karena semua ini demi... yang telah tersakiti.
Sampai suatu hari...
"Hey, Alucard!" seseorang memanggil namaku ketika aku sedang duduk di kafe sambil mengerjakan tugas. Ternyata itu adalah Clint.
"Clint. Ada apa?"
"Aku kebetulan bertemu denganmu saja disini. Ah iya, kenalkan, dia temanku, Zilong. Dia satu angkatan dengan kita, tetapi beda jurusan, makanya kau jarang melihatnya."
Aku melirik orang di sebelah Clint. Pria... atau wanita? Entahlah, wajahnya sangat androgini bagiku. Bisa jadi dia pria, bisa jadi wanita. Surainya coklat pendek serasi dengan warna matanya. Ia tersenyum lebar dan mengajakku bersalaman. Mendadak, wajahku memanas melihat senyumnya yang manis. Apa-apaan? Mengapa aku jadi malu sendiri? Memangnya aku gadis umur 15 tahun?!
"Aku Zilong."
Aku tersadar dari lamunan, dan dengan gemetar menyambut uluran tangan kanannya. "Panggil aku Alu."
Mereka berdua lalu duduk di depanku dan memulai percakapan. Diriku yang sedari tadi menatap Zilong, tidak fokus dengan apa yang dibicarakan oleh Clint. Aku pun merespon dengan sekenanya saja. Jujur, gerak-gerik Zilong menarik perhatianku. Ketimbang maskulin, ia malah terlihat sangat cantik dan manis di mataku. Bukan, bukan hanya aku. Aku bisa menyadari berpasang-pasang mata yang menatap Zilong. Mungkin mereka kira pria manis itu adalah perempuan. Aku tak bisa menyalahkan mereka, karena memang kenyataannya begitu. Namun memang dasarnya bodoh atau tidak peka, ia tetap mengobrol dengan Clint tanpa memedulikan predator-predator mesum (read : om-om) yang menatapnya lapar. Seakan sadar dengan ekspresi aneh yang kutampilkan, Clint menegurku.
"Ada apa, Alu? Sudah capek bikin tugas? Istirahat saja, ngobrol sama kita."
"I..iya. Baiklah."
"Omong-omong, apakah kau tahu bahwa Zilong ini ternyata lumayan populer di angkatan kita? Tak kusangka." Ujar Clint.
Aku menggeleng. "Benarkah?" Tidak heran, sih.
"Kau terlalu banyak mengurus tugas ini itu, wajar kalau tidak tahu. Dasar kutu buku cupu." Clint tertawa sambil mengejekku.
"Hei, enak saja!" balasku tersinggung. Kulirik Zilong dari sudut mataku. Ia tertawa lebar.
Hari itu kami habiskan dengan mengobrol, bercanda, dan saling mengenal satu sama lain. Untukku dan Zilong, ya. Clint tidak termasuk. Buat apa. Aku dan dia kan sudah saling kenal dari SMP.
Senin sepulang kuliah, aku cepat-cepat berlari menuju klinik Miss Alice. Kalau kalian bertanya-tanya siapa itu Miss Alice, dia adalah seorang dokter di klinik dekat rumahku. Aku tidak tahu apakah benar menyebutnya dokter, karena ketimbang mengobati pasien, ia lebih sering membuat percobaan obat-obat baru dan menjadikan pasien sebagai kelinci percobaannya. Dan aku adalah salah satu korbannya. Ia pernah memberikan suatu obat yang membuatku bertingkah seperti tokoh utama dalam komik shoujo. Bayangkan betapa memalukannya aku saat itu. Padahal saat itu aku sedang ingin berobat karena demam, malah berakhir menjadi Candy dari serial Candy Candy. Sembuh sih sembuh, tetapi rasa malunya tak akan pernah sembuh.
Namun sekarang, aku sedikit bersyukur dengan keberadaan dokter semacam dia. Karena Miss Alice benar-benar membantuku dalam menjalani rencana ini.
Kling!
"Miss Alice!" teriakku.
"Wah, wah. Langsung membuka pintu tanpa bilang permisi. Kau sudah benar-benar menganggap klinikku sebagai rumahmu, ya? Ada apa?" Miss Alice memutar kursinya menghadapku.
"Soal obat yang kupesan lima bulan lalu."
"Ooh. Obat itu. Sudah jadi kok. Sini." Aku mendekati Miss Alice dan duduk di sebelahnya. Wanita bersurai silver itu mengambil sebuah botol dari laci, lalu memberikannya kepadaku.
Ia melepas kacamatanya dan menatapku intens. "Akan kujelaskan mengenai obat ini. Obat ini akan menghapus memori masa lalu seseorang, yaitu mulai tahun ia mulai meminum obatnya sampai tujuh tahun lalu, seperti yang kau minta. Tujuh tahun lalu kalau dihitung dari sekarang... ketika kau masih kelas 2 SMP, bukan?"
Aku hanya mengangguk. "Lanjutkan."
"Ini obat larut dalam air. Jangan khawatir, tidak mengurangi fungsi kok. Aku sudah mencobanya pada seseorang."
"Siapa?" aku bergidik ngeri.
"Asistenku. Memang siapa lagi, eh?" ia memutar bola mata.
"O..oke.. terus?"
"Walaupun ingatannya terhapus, tidak menutup kemungkinan ia akan ingat sedikit-sedikit soal apa yang terjadi di masa lalu, ya. Atau bisa juga muncul di mimpinya. Lalu... ingatan tersebut bisa kembali jika kau berusaha membuat orang itu mengingat secara perlahan. Mirip orang amnesia, sih."
"Terlalu banyak kata 'ingat'." Keluhku.
"Memang mau pakai bahasa apa lagi? Yang penting kau paham saja." Miss Alice mengendikkan bahu. "Apa ada pertanyaan?"
"Ada. Apa ada efek samping?"
Miss Alice tersenyum. "Kau tahu, aku bukan Tuhan yang bisa membuat segalanya sempurna, Alu. Pastinya ada. Bisa saja... ia melupakan satu peristiwa penting selamanya. Walau sudah diingatkan, ia akan tetap lupa. Seolah peristiwa tersebut tidak pernah terjadi."
Mendadak, aku merasa badanku membeku.
"Satu pertanyaan lagi. Maksudmu ingat sedikit-sedikit itu misalnya seperti apa?"
"Masa yang seperti itu saja tidak mengerti, sih. Baik, kuberi contoh, ya. Misalnya aku ingat aku pernah makan bersamamu pada tahun lalu. Tapi, aku akan lupa aku makan dengan siapa." Jelasnya. Entah mengapa aku malah tambah tak paham.
"Apa? Bagaimana?"
Miss Alice berdecak kesal. "Kau ini rajin belajar tapi tak kusangka selemot ini. Jadi aku dan kau pernah makan bersama. Kemudian, aku minum obat itu dan hilang ingatan. Lalu sisa sisa ingatan soal makan bersama itu melekat di otakku, tapi aku lupa aku makan dengan siapa. Gitu. Paham?!"
"Aduh, iya paham. Jangan marah dong."
"Yang jelas, gunakan sesuai aturan. Semangat, ya." Miss Alice menepuk kepalaku.
Setelah berpamitan dan berterimakasih atas obatnya, aku keluar dari ruangan Miss Alice sambil menatap botol dalam genggamanku. Namun karena aku terlalu banyak berpikir, tanpa sengaja bahuku menabrak bahu seseorang. Botol obatku pun jatuh dan tergelinding.
"Maaf, maaf. Aku tak sengaja." Orang itu mengambil botol obatku, kemudian terdiam. "Penghilang ingatan? Alu?"
Mendengar namaku disebut, aku menatap wajah orang itu. "Zilong?"
Zilong menatapku khawatir. "Kau... ingatan siapa yang ingin kau hilangkan?"
"Ah." hanya suara bodoh itu saja yang bisa keluar dari mulutku.
Dan begitulah, kami berdua berakhir duduk di taman dekat klinik Miss Alice. Juga aku yang terpaksa menceritakan segalanya pada Zilong. Entah apa yang membuatku bercerita, padahal kami belum terlalu akrab. Mungkin karena dalam pikiranku, ia sudah terlanjur melihat obat itu, sekalian sajalah.
"Aku mengerti. Kau pasti sangat membenci gadis itu, kan?"
"Sangat. Aku benar-benar tak habis pikir rasa iri membuatnya melakukan hal yang sangat jahat."
"Kalau sudah suka pada seseorang, tidak peduli apapun asalkan orang yang ia suka jadi miliknya. Sepertinya gadis itu tipe yang sangat ambisius ya."
"Ya... mungkin begitu. Tapi... entah mengapa tiba-tiba aku berpikir, tidak apa-apa kan, jika aku melakukan hal ini untuk membuatnya sadar? Ugh, padahal beberapa saat yang lalu aku sangat bersemangat."
"Memaafkan orang memang wajib, Alu. Namun memberi pelajaran untuk orang yang sudah berbuat jahat itu juga harus. Apalagi ia sama sekali tidak menyesali perbuatannya, kan? Kau tidak melakukan hal yang salah, kok. Kalau aku jadi kau, kemungkinan aku juga akan membalas dendam." Zilong menatapku sambil tersenyum manis.
Seketika, wajahku kembali memanas. Senyum itu... senyum yang kulihat... mirip senyum yang biasa Ruby tampilkan. Aku hanya melebarkan mataku dalam beberapa detik tanpa membalas apapun. Kemudian, Zilong berdiri dan berkata, "Aku akan menghampiri tanteku di dalam klinik."
"Tantemu?"
"Iya. Miss Alice adalah tanteku."
"Ooh.. eh tunggu, tantemu?!"
Zilong hanya terkekeh geli. "Reaksimu berlebihan. Sudah, ya. Sampai bertemu besok."
Aku hanya mengangguk. Setelah Zilong masuk kembali ke dalam klinik, aku menutup wajahku yang memerah. "Detak jantungku serasa tidak normal..." gumamku lirih.
Kuambil sebutir obat dari botol dan menaruhnya di minuman coklat hangat milik Miya. Perlahan, obat itu hancur dan larut dalam cairan kecoklatan. Aku lega karena warna minuman tidak berubah sama sekali. Kutatap Miya yang sedang duduk di luar ruangan. Ia masih menunggu. Sepertinya ia tak melihatku. Baguslah.
Aku mendorong pintu kaca yang agak berat dan menghampiri Miya. Saat ini, kami tengah berada di minimarket yang menjual berbagai jajanan, makanan, minuman, bahkan di sini disediakan meja dan kursi layaknya kafe. Miya mendongakkan kepalanya, kemudian tersenyum. Aku balas senyum padanya dan menaruh coklat hangat tadi di depannya. Dapat kulihat pipinya bersemu merah. Lucu sekali. Namun itu jadi tidak lucu ketika aku mengingat hal yang telah dilakukannya.
"Terimakasih." Ucap Miya malu-malu sebelum akhirnya meneguk coklat hangat.
"Sama-sama." Balasku sambil mengulas senyum tipis. Kutatap tajam dirinya yang sedang menyibukkan diri dengan minumannya.
Telanlah semua hasil perbuatanmu di masa lalu.
.
.
.
A/N
Hai semuanya! Akhirnya ini fic dilanjutin juga astaga setelah lama mikir... dan big thanks buat yang udah baca plus review! Saya senang kalau ada yang review!
Ada beberapa hal yang mau saya jelasin :
1. Bagi yang gak suka sama jalan ceritanya atau apalah, jangan baca. Saya pun gak pernah maksa buat baca or suka sama fic ini, tapi dengarlah kata petuah para writter disini 'don't like don't read'. Kecuali kalau kalian mau kasih saran atau kritik dengan sopan, saya terima. Lagian saya udah kasih beberapa warning juga kok. Dan btw ini Cuma fic plisss ga nyata :')
2. Kalau kalian kurang ngerti sama penjelasannya Alice soal obat diatas, dibaca baik2 sekali lagi, ya. Sayapun sebenernya kalo ngejelasin2 gitu susah /nangis/
3. Yang kepo sama rencananya Alu, ditunggu, ya~~ saya ga ngejelasin rencananya dengan detail, tapi di part masa lalu Alu nanti juga keliatan rencananya kek gimana. Well, mungkin part masa lalu Alu bakal agak panjang juga.
4. Chapter ini berlatar di tahun kedua Alu kuliah, oke~
5. Miss Alice aku ambil referensi dari Tae Takemi yang di Persona 5 itu, dan Hange. Karena mereka suka bikin percobaan aneh-aneh XD. Tapi saya gaktau mereka pernah bikin obat penghilang ingatan apa gak :p
6. Enywey, kalo ada yang mikir 'obat penghilang ingatan beneran ada ga sih?' Saya gak tau deh, tapi mungkin kalo terapi cuci otak ada. Mungkin lho ya. Adapun saya gak mau pake cara itu. Terlalu susah -_-
Itu aja buat sekarang, see ya next chapter!
