Chapter 9

Jongin duduk dengan tenang di atas kursi kebesarannya. Posisinya membelakangi pintu masuk. Asap mengepul dari sela bibirnya. Sebatang rokok terselip di antara jemari besarnya. Senyumnya terlihat puas, puas karena telah menghancurkan restoran yang dikabarkan milik kakak Kim Sena. Meskipun ia tidak tahu bagaimana sosok Sena yang sesungguhnya, tapi ia terus menghitung dalam hati bahwa tidak lama pintunya akan terbuka.

"Satu.."

"Dua.."

"Tiga.."

"Em-" BRAK! Senyum Jongin semakin lebar. Menampakkan deretan giginya, dan mencetak lesung pipi cukup dalam

"Ini baru hitungan keempat, selamat datang Kim Sena" tepat sekali, prediksi Jongin tidak pernah meleset. Yang berdiri di belakangnya adalah Kim Sena, musuh besarnya yang sudah berani-berani mengacak-acak daftar clientnya. Yang sudah berani-berani membangkitkan monster dalam tubuh Jongin yang lama tidak pernah nampak.

"Berbaliklah dari posisimu itu tuan Kim Jongin" Jongin memutar kursinya, pelan. Membuat Sehun tersenyum miring membayangkan keterkejutan Jongin nanti.

"Sehun?" Jongin tidak bisa untuk tidak terkejut. Senyum liciknya musnah, Sehun yang menghilang selama tiga tahun itu telah kembali dalam keadaan yang berbeda. Berbalut pakaian mahal bermerek, serta tatanan diri yang lebih elegan daripada terakhir kali. Sehun yang berbeda karena auranya yang sangat gelap. Berbeda dengan aura malaikat yang biasa disaksikan Jongin. Dan perubahan besar Sehun adalah karenanya. Ia telah mematahkan sayap seorang malaikat dan menyeret masuk ke dalam kekejaman iblis, dan menjadi monster mengerikan.

"Kim Sena" koreksi Sehun dengan nada mengejek.

"J-jadi ?"

"Ya, jadi selama ini yang kau incar adalah aku. Anda tahu sedang berhadapan dengan siapa tuan Jongin ?" lagi, Sehun melempar senyum miring yang membuat Jongin bergidik.

"Aku bahkan repot-repot kemari karena anak buah bodohmu itu sudah berani merusak restoran milikku? Come on, Jongin.." Sehun berjalan mendekat dan berbisik lembut pada telinga Jongin.

"Musuhmu adalah aku, jadi mari saling berperang. Jika kau menyentuh orang-orang terdekatku. Maka aku yang akan membuat kakak gilamu itu sengsara!" Jongin berdiri dan mencengkram kedua pipi Sehun. Tapi Sehun bagai masokis yang hanya tertawa padahal Jongin yakin itu menyakitkan.

"Jangan pernah sebut kakak ku gila!"

"Apa yang salah ?! Dia memang gila"

"Sehun-" Jongin menggeram dan melepaskan cengkramannya dengan kasar. Matanya tidak mampu untuk bertukar pandang penuh kilat permusuhan dengan Sehun lebih lama lagi.

"Pergi dari sini sebelum kesabaranku habis Oh Sehun" Sehun tertawa, yang mana tawa itu membuat Jongin muak.

"Memang kau siapa huh ?! Kau yang menabuh genderang perang dengan merusak restoran ku ! Bukannya ini yang kau inginkan ?! Aku datang. Kim Sena datang dan anak buah yang kau sebar itu bisa kembali pulang karena kau telah mengetahui wajahku!" Jongin melirik Sehun, pandangannya tak terbaca. Kenapa Sehun berubah sangat banyak ? Sehun yang sekarang adalah si penentang dan keras kepala. Bukan Sehun yang akan tunduk dengan nya seperti tiga tahun lalu.

"Sebenarnya apa yang kau inginkan ?"

"Tidak banyak, hanya kau yang mati di tanganku" Sehun memainkan ujung kukunya dengan menyebalkan. Ia duduk berseberangan dengan Jongin. Kakinya diangkat ke atas meja dengan tidak sopannya, membuat wajah Jongin seolah diejek dengan kaki itu.

"Maka bunuh aku dan berhenti dari dunia mafia ini!" ucap Jongin mutlak. Sehun sedikit terkejut dan menatap kesungguhan dari mata Jongin.

"Bunuh aku dan berhenti dari dunia mafia ini! Ini bukan tempatmu Sehun. Banyak kekejaman yang belum kau ketahui."

"Kau kira ucapanmu itu akan membuatku luluh ?! kekejaman yang kau maksud adalah dirimu sendiri. Dan jika kau mati cepat, hidupku tidak seru. Aku butuh sedikit hiburan dengan menghancurkanmu pelan-pelan" Jongin membuka lacinya. Meletakkan amplop coklat hasil penyelidikan anak buahnya dua hari lalu.

"Kau tinggal sekitar 20 menit dari restoran yang dikelola Kim Seokjin. Itu rumah pemberian Seungri. Aku bahkan tahu plat nomor mobil mewah yang biasa digunakan Seokjin" Sehun masih menatap tajam amplop coklat itu tanpa berniat menyentuhnya.

"Aku tidak suka negosiasi, Sehun. Ku rasa hidup bersama selama 4 bulan membuatmu mengetahui watakku. Bahwa bermurah hati bukan tabiat ku" Sehun mengangkat alis, masih sama. Nada lembut Jongin tidak berubah, persis seperti 3 tahun lalu saat pria itu berbisik mesra setiap malamnya.

"Tapi kau terus saja berulah dan membuat aku hampir marah. Karena ini masih 'hampir' segeralah berpikir sebelum aku benar-benar marah. Karena kau tidak akan suka jika aku berbuat jahat kepada Seokjin dan anaknya." anak ? anak Seokjin ?

"Aku bukan orang bodoh, dunia seperti ini sudah ku geluti seumur hidupku Oh Sehun. Seokjin memiliki anak, dan jika kau tidak mundur, maka anak itu yang akan menanggung kelakuanmu" Sehun membuka amplop coklat yang diletakkan di atas meja Jongin dengan tergesa. Memastikan apa yang ada di dalamnya.

Ternyata foto bayi itu yang baru saja belajar berjalan dan nampak Seokjin menunggu kedatangannya. Kemudian di foto selanjutnya, Sehun bisa melihat Seokjin yang bersorak karena berhasil menangkap si bayi. Bagaimana kaki gembul Jimin menapak seperti robot. Takut terjatuh namun tetap teguh untuk menyusul Seokjin di seberang.

"Kim Jimin!" Jongin mendesis tanpa ditahan-tahan. Menyaksikan wajah murka Sehun menjadi hiburan tersendiri untuknya sekarang.

"Jangan sentuh dia!" Jongin tergelak dan menggema di seluruh penjuru ruang kerjanya.

"Jangan sentuh dia, Kim Jongin!" Sehun mengulang penuh penekanan.

"Tergantung, aku sudah berbaik hati dengan memberimu pilihan. Bunuh aku dan berhenti dari dunia mafia, tapi kau tolak"

"Jika kau menyentuhnya, kau akan menyesal, Jongin!"

"Kau bercanda atau apa ? aku tidak akan menyesali keputusanku. Karena aku adalah Kim Jongin."

"BRENGSEK!" satu pukulan keras dihadiahkan Sehun sebelum berlalu pergi meninggalkan gedung perusahaan milik Jongin.

-KH-

"Yak Kim Jimin, berhenti mengobrak-abrik lemari pakaianmu. Papa lelah" Seokjin sedikit merengek, membuat Jimin semakin semangat menggodanya. Bayi menggemaskan itu hanya ingin mencari kaos kaki kesayangannya yang diberikan oleh paman galaknya, Sehun. Ia ingin memakai untuk berjalan-jalan nanti sore. Namun Seokjin selalu saja menolak, alasannya karena hari ini Jimin memakai baju biru, kaos kakinya harus biru pula. Karena kaos kaki yang dibeli oleh Sehun berwarna hitam.

"Paaaa…" baiklah, Seokjin menyerah saat mendapat tatapan memohon dari bayinya. Ia angkat tangan jika Jimin sudah menampilkan mata berkaca-kaca dengan hidung memerah. Terlalu menggemaskan.

"Astaga berhenti membuat papa terkena serangan jantung. Kau tahu, Jimin yang seperti ini terlalu menggemaskan" Jimin terkikik ketika Seokjin menggelitik perut gendutnya. Sesekali mengecup kemudian menggelitik lagi.

Sebelum akhirnya tawa mereka terhenti karena wajah menyeramkan Sehun tampak menyembul dari balik pintu kamar milik Jimin. Bayi itu beringsut masuk ke dalam pelukan Seokjin karena takut dibentak lagi dengan lelaki yang diketahui sebagai pamannya itu.

"Jangan keluar rumah dulu" ucap Sehun dingin, melirik sebentar pada tingkah Jimin yang terus bersembunyi dalam pelukan sang papa. Hati Sehun sedikit sakit. Ia ingin juga memeluk Jimin namun egonya terlalu tinggi.

"Kenapa ? kau aneh!" Seokjin tidak peduli, kembali fokus kepada Jimin untuk membantu bayi itu memakai kaos kakinya.

"Ku bilang jangan keluar dulu untuk beberapa hari ke depan!" mutlak, dan Seokjin masih masa bodoh.

"Nah, Jimin sekarang kita pakai parfum dulu ya" Sehun tidak sabaran dengan sikap acuh Seokjin. Ia menarik paksa Jimin hingga menimbulkan tangis yang cukup keras. Bayi itu terus memanggil papa dan mengulurkan kedua tangannya pada Seokjin.

"Diam anak nakal!" Jimin menahan tangisnya ketika tatapan Sehun mulai melunak.

"Jongin sudah mengetahui keberadaan Jimin 'kan ?" Sehun bisa melirik sekilas tawa sinis Seokjin.

"Dan karena itu jangan keluar rumah sampai aku menyatakan suasana membaik. Ini demi kebaikanmu"

"Kebaikanku ? Kenapa kau tidak memikirkan kebaikan Jimin ? Aku bisa menjaga diriku sendiri." Jimin memberontak, meminta untuk diturunkan. Bayi itu terlihat tidak nyaman dalam gendongan Sehun. Rasanya sangat asing dan dingin, berbeda dengan timangan Seokjin yang cenderung hangat dan menenangkan.

"Kita akan pergi ke taman dan aku sudah berjanji pada Jimin" Seokjin mengambil alih Jimin.

"Aku ikut"

"Terserah"

Suasana sore di taman ini dipenuhi dengan teriakan anak-anak. Dan mereka yang berlarian kesana kemari. Sehun terlalu sibuk dengan dunianya sendiri hingga tidak menyadari bahwa pergi ke taman pada sore hari sudah masuk agenda rutin Seokjin dan Jimin.

"Hey boy, jangan berlarian dengan kakak-kakak itu. Kau akan jatuh karena berjalanmu belum lancar" Sehun menatap secara bergantian antara Seokjin dan Jimin. Bagaimana Jimin yang mengangguk dengan perintah Seokjin. Serta raut keibuan yang dikeluarkan sahabatnya itu.

"Duduklah Sehun, kakimu akan patah jika berdiri kaku disana" Sehun menghampiri Seokjin yang duduk sekitar beberapa meter dari tempat Jimin bermain.

"Dua hari lagi dia ulang tahun" Seokjin mengangguk "ya, 13 Oktober. 2 tahun lalu kau hampir mati karena melahirkannya" Seokjin menjawab dengan kekehan hampa.

"Kenapa aku tidak mati saja, hyung ? Aku merasa tidak berguna sekarang sebagai seorang ibu. Mungkin aku tidak pantas menjadi ibu" yang lebih tua melirik ke samping, dilihatnya Sehun tidak berkedip menyaksikan Jimin yang berlarian sesekali tertawa bersama teman sebayanya.

"Ini ada hubungan dengan Jongin ?" Sehun mengedikkan bahu, masih anti saat nama itu disebut walau untuk ke seribu kali.

"Sejak siang tadi wajah anak itu selalu saja mengisi otakku. Tiba-tiba aku merasa sakit hati saat dia menatapku dengan ketakutan. Apa aku mulai menyayanginya, hyung ?" Seokjin tertawa. Sehun-nya mulai luluh dengan anaknya sendiri.

"Kau memang menyayanginya, tapi mati-matian menyangkal. Cobalah, maka kau akan menemukan ribuan alasan untuk menyayangi Jimin. Itulah mengapa aku selalu kalah memprioritaskan diriku sendiri. Aku juga ingin mempunyai anak suatu hari nanti, tapi melihat kalian yang seperti ini aku harus menahan dulu. Dia kecil Sehun, dan sendirian" hati Sehun tersentak. Ya, Jimin selama ini sendirian. Ia tidak ada untuk Jimin, bahkan saat anak itu mulai bisa melangkah, mulai bisa berbicara. Ia tidak tahu makanan kesukaan Jimin, ia tidak tahu kebiasaan Jimin sebelum tidur, ia tidak tahu bahwa Jimin alergi dengan udara dingin. Semua yang didengar dari Seokjin membuat telinganya marah.

Sehun mengambil ponselnya yang bergetar dari saku jas miliknya. Itu Vernon. Pria blasteran itu mengabarkan jika anak buah Jongin yang menjadi otak perusakan restoran milik Seokjin sudah di sekap di markas mereka.

"Aku harus pergi hyung. Kalian harus segera pulang, supir kantorku sudah perjalanan kemari menyusul kalian. Aku akan selesaikan dengan cepat dan kita makan malam bersama" Seokjin mengangguk, kembali fokus pada Jimin setelah melambaikan tangan pada Sehun.

-KH-

Dan semua itu berlalu sangat cepat, ketika Sehun melangkah menuju mobilnya yang terparkir di sisi taman. Suara tembakan itu mengudara. Memekakkan telinga dan membuat suasana taman yang ceria itu menjadi mencekam.

"JIMIN!" Teriakan Seokjin membuat Sehun tersadar dari keterkejutannya. Ia berlari secepat yang ia bisa. Menginjak banyak mainan pasir, menyingkirkan beberapa orang yang bergerombol.

Itu Seokjin, menangis dengan tangan bersimbah darah. Dan yang lebih mengiris hatinya adalah Jimin berada dipelukan Seokjin. Jimin-nya terlelap. Jimin-nya terluka. Dan Jimin-nya- tertembak.

"Jimin.." air mata Sehun tidak perlu mengucapkan permisi, karena kini mereka telah terjatuh bagai hujan, membasahi pipi lembut si pemilik dan mengalir semakin deras. Pandangan Sehun menjadi buram. Untuk pertama kalinya ia menyebut nama anaknya atas kemauannya sendiri. Bukan sebutan 'anak itu' atau 'monster kecil', ia baru melihat bahwa senja yang membingkai langit menampilkan sosok asli Jimin. Ia bersinar bak malaikat. Ia tidak lagi memerlukan ribuan alasan untuk menyayangi Jimin. Karena hari ini ia mulai menyayangi anak itu dengan segenap hatinya.

"Jimin bangun, Ji-min" tangan Sehun bergetar, otaknya berusaha memberi sugesti bahwa ini hanya mimpi. Tapi tidak, itu bukan mimpi karena suara ambulan datang dengan beberapa perawat yang mengangkat tubuh putranya.

"Pergi kau brengsek!" Seokjin mendorong Sehun agar menjauh darinya karena berusaha memasuki ambulan untuk mendampingi Jimin. Dan Sehun tahu diri, ia cukup sadar karena ini semua akibat perbuatan buruknya dan menciptakan banyak bahaya untuk orang-orang sekitarnya. Termasuk Jimin.

"Aku akan selesaikan dengan cepat dan kita makan malam bersama"

"Aku akan selesaikan dengan cepat dan kita makan malam bersama"

"Aku akan selesaikan dengan cepat dan kita makan malam bersama"

Sejak siang tadi, ia bertekad ingin berubah perlahan. Menjadi sosok yang selama ini hilang bagi anaknya. Memulai dengan hal terkecil, misalnya memikirkan Jimin. Memikirkan tentang hari ulang tahunnya, memikirkan tentang wajahnya, dan memikirkan tentang tawanya. Sehun meremas dada kirinya yang sangat perih. Hari ini ia mulai jatuh cinta pada anaknya, cinta seorang ibu yang terlambat bagi putranya.

Harusnya ia mendengar peringatan Seokjin sejak jauh-jauh hari. Berhenti dan menerima. Berhenti dengan ambisi gilanya tentang menghancurkan Jongin. Dan menerima takdirnya yang tidak adil ini. Harusnya ia berdamai dengan sakitnya sejak dulu.

"Tuan, kita harus kemana ?"

"Ke kantor Jongin" Sehun menjawab lirih pertanyaan Vernon.

Ini hari sial macam apa ? senja itu mengejeknya dengan titik-titik hujan yang menyakiti perasaannya. Awan ikut menangis bahagia seolah menertawakan karena Sehun kalah.

"Vernon, tolong pastikan Jimin-ku mendapat perawatan terbaik" Vernon mengangguk, kemudian sibuk dengan ponsel yang sudah terhubung dengan earphone nya.

"Siapa yang melakukannya ?" seolah tahu maksud Sehun adalah insiden penembakan di taman tadi. Vernon berdehem sejenak "Saya belum bisa menyimpulkan, bisa saja Jongin atau mungkin orang lain"

"Siapa orang lain yang kau maksud ?"

"Saya belum bisa memastikan" Sehun mengepalkan tangannya dengan erat. Pandangannya tidak lepas dari jendela mobil yang mulai berembun karena hujan.

"Aku mulai menyayanginya, tapi-"

"Saya sudah tahu bahwa sebenarnya Jimin adalah anak anda"

"Apa aku ibu yang buruk ?"

Tidak perlu jawaban, lihat- seluruh dunia juga tahu tentang itu. Dan Sehun patah hati, hatinya sebagai seorang ibu benar-benar patah saat Jimin berbaring dengan dada berlubang dialiri darah segar. Bibirnya yang semerah chery menjadi pucat pasi. Pipi tembamnya yang selalu merona alami seketika menjadi dingin. Dan mata indah seperti milik Jongin itu tertutup, entah kapan akan terbuka.

-KH-

"Tuan Jongin sedang ada rapat penting di dalam" Minho membungkuk terlebih dahulu meskipun sempat kaget dengan siapa yang berdiri penuh amarah di hadapannya. Padahal Jongin sudah bercerita tadi tentang siapa Kim Sena, yang ternyata adalah Oh Sehun. Tapi melihat langsung seperti ini jauh lebih mengejutkan. Seseorang yang lembut dan penyabar seperti Sehun bisa berubah sangat banyak karena kesakitan bertubi-tubi yang dialami.

"Aku tidak peduli!"

"Tapi tuan Seh-" Minho menggigit bibir bawahnya saat Sehun memberi pandangan menusuk. Jelas itu tatapan yang tidak bisa dibantah. Sekalipun menolak, Sehun hanya akan berakhir mengobrak-abrik tempat ini.

Sehun membuka ruang rapat itu dengan tidak sabaran. Pistolnya terarah tepat ke ujung meja dimana Jongin duduk untuk memimpin rapat ini. Ia tidak peduli jika penjara menjadi tempat akhirnya. Yang ia ingin hanya Jongin yang mati. Jongin yang bersimbah darah sebagai pengganti darah Jimin tadi.

"Sehun-" Jongin bukan terkejut karena pistol itu terulur tepat untuknya. Tapi ia terkejut melihat mata bengkak Sehun yang seperti habis menangis. Mata indah itu menyala namun kesakitan dalam waktu bersamaan.

"Mohon maaf sebelumnya, rapat sore ini harus saya akhiri karena saya ada sedikit urusan. Minho akan menjadwalkan ulang untuk rapat susulan. Mohon maaf sekali lagi" Jongin mengabaikan keberadaan Sehun sejenak. Mempersilahkan koleganya yang mulai ketakutan untuk pergi sebelum menambah masalah baru.

"Turunkan pistol mu itu Sehun. Kau menakuti mereka" Jongin mengunci pintu ruangan, dan berjalan mendekati lelaki manis yang sekarang terlihat rapuh itu.

"Sudah ku katakan tadi siang. Aku tidak akan membiarkanmu menyakiti Jimin. Kau harus mati dan menebus semua, Kim Jongin!" Jongin mengangkat alisnya, benar-benar tidak paham dengan yang dibicarakan Sehun.

"Aku tidak mengerti"

"Jangan pura-pura bodoh !"

"Oke terserah, anggap aku memang bodoh. Tapi aku benar-benar tidak mengerti" Sehun menatap dalam ke mata milik Jongin, semakin menyesakkannya karena mata itu sangat mirip dengan milik Jimin yang sekarang mungkin masih terpejam. Tidak ada kebohongan dari iris kelam itu, membuat Sehun bertambah frustasi. Ia melempar pistolnya sembarangan hingga merusak kaca di ruangan kerja Jongin.

Jongin ikut hancur, ah dia baru sadar cintanya masih ada. Lelaki manis itu jatuh terduduk di lantai. Kemeja yang dikenakannya berantakan, tampilan Sehun sangat berantakan. Jongin seperti melihat ini 3 tahun lalu. Sehun yang hancur.

"Lupakan permusuhan kita sebentar, ceritakan apa yang terjadi" Jongin ikut duduk di lantai. Menyampirkan jas miliknya untuk Sehun, mengulang perbuatannya 3 tahun lalu.

"Peluk aku" Jongin kebingungan, siang tadi Sehun datang dengan pembawaan yang kuat tak terbantahkan. Dan sekarang datang lagi dengan kesedihan tak terkira.

"Tolong peluk aku sebentar-" tidak menunggu permintaan ketiga kalinya, Jongin sedikit bergeser ke depan. Direngkuhnya tubuh ramping Sehun dengan erat. Belaian ia berikan pada puncak kepala yang lebih muda. Dan saat itu Jongin merasakan isakan pelan dari Sehun.

"Aku gagal- aku-" Sehun tersedak isakannya sendiri, tidak kuasa menahan perihnya sekalipun pelukan dan jas Jongin begitu menghangatkan.

"Apa yang kau bicarakan?" tanya Jongin lembut. Tapi kelembutan itu justru menciptakan luka bagi yang lebih muda.

"Jimin-"

"Kenapa Jimin?"

"Jimin tertembak tadi di taman bermain. Aku gagal menjadi ibu" ibu ? apa yang dibicarakan Sehun ? Jongin tidak mengerti.

"Aku sungguh tidak melakukannya Sehun. Lagipula aku tidak akan tega melukai anak itu. Lalu siapa ibu yang kau maksud ?" Jongin baru menyadari kemudian melepas kasar pelukan mereka. Buraian air mata Sehun menjadi pemandangan yang menyakitinya.

"Katakan, apa kau yang mengandung Jimin ?! siapa ayahnya ?! jawab aku Oh Sehun!" Jongin berlari untuk mengambil amplop yang tadi siang ia tunjukkan pada Sehun. Meneliti sekali lagi, untuk mencari kemiripan yang ada pada Jimin dengan dirinya.

"APA JIMIN ANAKKU ?!" Sehun menggeleng, ia bangkit hendak berlalu pergi. Benar, tidak ada untungnya memberitahu Jongin jika Jimin adalah anak mereka.

"Kau belum menjawab sialan! Astaga Sehun kenapa kau baru memberitahuku sekarang huh ?!"

"Dia… Anak kita- anak yang aku telantarkan karena aku membencimu. Aku mengandungnya dengan terpaksa, dan melahirkannya dengan enggan. Tapi hari ini aku ingin memulainya, mulai mencintainya" Jongin memegang pangkal hidungnya, seolah menahan sakit. Merasakan perih yang tadi sempat dipertanyakannya

"Kenapa kau menyembunyikan ini?"

"Karena aku membencimu! Aku ingin lepas darimu tapi benihmu itu tumbuh dengan sehat, Jongin. Saat aku ingin pergi, Jimin datang untuk mengikat kita kembali"

"Kita ini orang tua macam apa ? Kita gagal Sehun, bukan hanya kau. Aku juga gagal!"

Dua orang di dalam ruangan megah serba abu itu sama- sama menunduk. Tidak pernah berhenti menyalahkan diri mereka sendiri atas hal buruk yang menimpa si kecil. Inikah akhir semuanya ? Atau ini justru awal dari segala karma mereka ? Jika iya, maka mereka akan semakin terluka. Hukum alam memang selalu adil, apa yang engkau tanam itu juga yang engkau petik. Tapi Jimin, ia tidak berhak mempertanggung jawabkan perbuatan orang tuanya. Ia bisa menjadi akhir dari kehancuran mereka, juga bisa menjadi awal pemersatu mereka.

Semua orang beranggapan jika berkata lebih mudah daripada berbuat. Kedua orang itu mematahkan anggapan kebanyakan orang. Karena nyatanya mereka kesulitan untuk sekedar berkata tentang kejujuran. Lebih memilih berbuat gegabah yang menghasilkan penyesalan. Ya, semoga takdir membalaskan dendamnya dengan baik. Tentang luka yang terbalas dengan kesembuhan. Tentang sedih yang terbalas dengan kebahagiaan. Dan tentang benci yang terbalas oleh setitik cinta kecil yang mulai datang kembali.

.

.

Seandainya bisa, Jimin kecil selalu ingin mengetahui siapa ibu serta ayah kandungnya. Selama ini jawaban papa Seokjin-nya selalu tidak pernah memuaskan pertanyaannya tentang sorot mata kebencian yang diberikan Sehun. Atau kekurangan yang ia rasakan. Jimin, tidak pernah benar-benar sempurna seperti Taehyung teman mainnya yang memiliki dua orang tua. Sejak membuka mata hingga menutup mata kembali saat malam hari, hanya papa Seokjin yang selalu berada disekitarannya. Di ruang operasi yang menyeramkan ini ia hanya sendiri. Seperti biasa, jemari mungilnya ingin merasakan gandengan tangan ibu atau ayahnya. Saat ia terjatuh karena terburu-buru berlari, ada yang meniupi luka pada lututnya. Atau saat nanti Tuhan memberinya waktu untuk kembali. Jimin ingin belajar mengucapkan kata 'mama' di antara lidah kecilnya yang belum mampu menyebut banyak kosa kata.


Tbc


A/N : hhhhh tarik nafas, hembuskan :) gimana part ini ? masih adakah yang mau mengapresiasi ?