Chapter 10
Otak kecilnya masih bekerja, rasanya sakit di sekujur tubuh. Dan suara tembakan masih terus terngiang hingga membuat gendang telinganya ingin pecah. Suara berisik yang entah berasal dari mana, atau suara orang berbicara entah tentang apa. Ia bisa mendengar itu. Tapi tidak bisa bergerak dan membuka mata.
Dadanya sakit, sesakit saat mendengarkan bentakan atau saat mendapat tatapan tajam dari paman Sehun. Tapi ini sakit yang berbeda. Badan kecilnya tidak berdaya, rasa perih seperti tertusuk jarum jahit milik papa Seokjin. Terasa nyata menusuk-nusuk setiap inci kulit nya.
Udara dingin menyapu permukaan wajahnya, tapi lagi-lagi ia tidak bisa membuka mata meskipun sudah berusaha keras. "Papa Jin.. Jiminie sakit"
Jimin adalah anak lelaki yang kuat seperti Larry si kepiting gagah di sinema kartun Spongebob. Dan kata papa Seokjin, Larry tidak pernah menangis meskipun terjatuh berkali-kali. Tapi itu tadi apa ? Jimin biasa bermain tembak-tembakan ketika dimandikan papa Seokjin. Tapi tembaknya akan mengeluarkan peluru air. Kenapa tadi keluar peluru tajam dan keras hingga melukai dadanya ? Rasanya sangat panas sekali. Dan Jimin menyesal telah mengidolakan Larry, karena menjadi kuat itu tidak enak.
.
.
"Dokter, anak ini menangis" dokter Song melirik kedua mata Jimin yang berair. Sebulir air mata saja dan membuat hatinya ingin berteriak karena kasihan. Bagaimana anak berusia 2 tahun sudah menjadi incaran penjahat ?
"Usap air matanya dan mari kita fokus suster" suara dokter Song bergetar. Matanya mulai buram dan buru-buru ia keringkan. Jika orang tuanya tidak bisa menjaga dengan baik, ia rela mengadopsi anak ini.
Wajahnya yang lucu dan membawa keteduhan, membuat rindunya kepada seorang anak setelah 9 tahun pernikahan semakin menjadi.
"Kita harus melakukan yang terbaik, anak ini harus selamat" suster itu menatap bergantian antara dokter Song dan pasien operasinya.
Tidak pernah ia melihat dokter Song se-emosional ini saat menangani pasien. Suster itu akhirnya mengangguk.
Peluru entah jenis apa telah bersarang cukup dalam pada dada sebelah kiri Jimin. Dokter Song berjanji jika operasi berjalan lancar nanti ia harus mengetahui secara lengkap jenis pelurunya kepada pihak kepolisian.
Meleset sedikit saja, mungkin peluru itu mengenai tepat di jantung. Setidaknya masih ada harapan untuk operasi ini.
"Dok, detak jantungnya tidak stabil"
"Terus kontrol sus, sedikit lagi lukanya tertutup" dokter Song benar-benar ingin menjerit saat ini juga. Dadanya terasa sesak saat jantung Jimin semakin lemah. Ia tidak pernah melakukan operasi dramatis seperti ini. Perasaannya terbawa dan ikut masuk ke dalam sakit yang sama, sama seperti yang Jimin rasakan.
"Jimin, dengarkan aku. Ku mohon bertahanlah, nak. Aku tahu kau sangat kuat"
"Dokter semakin lemah" dokter Song semakin panik. Peluru sudah diambil, dan luka sudah berhasil ditutup. Ia tidak bisa menggunakan alat bantu pemacu detak jantung karena luka jahitan di dada Jimin masih basah.
"Dokter…" dokter Song membelalakkan matanya ketika elektrokardiogram di layar menampilkan garis lurus. Diikuti tetesan air mata milik Jimin pada masing-masing sudut matanya.
"Tidak, tidak, tidak Jimin kumohon bangun! Buddy, kau bisa mendengarkan aku?" dokter wanita itu melepas masker serta penutup kepalanya. Tidak menahan lagi untuk menangisi Jimin yang entah sudah menjadi mayat atau masih ada pengharapan untuk hidupnya.
-KH-
Perjalanan menuju rumah sakit dilalui dalam hening. Mereka lelah bertengkar, lelah melawan takdir yang tidak pernah berhenti bermain dengan kehidupan mereka, dan mereka lelah memikirkan Jimin.
Sehun tidak memberontak saat Jongin mengajaknya pergi bersama melihat keadaan bocah dua tahun itu. Ia cukup letih menangisi kebodohannya. Ia hanya ingin segera sampai kemudian memeluk anaknya. Menebus dua tahunnya yang sia-sia.
"Kita makan" perintah Jongin yang hanya ditanggapi gelengan oleh Sehun.
"Kau akan sakit"
"Aku tidak akan mati"
"Sehun berhenti keras kepala, kita sudah sepakat" kesepakatan yang dipaksakan. Sehun tidak memiliki pilihan lain. Pikirannya akan pecah belah jika harus mencari otak penembakan Jimin. Sedangkan kini, ia hanya ingin fokus pada anaknya. Menjadi ibu yang sesungguhnya. Dan Jongin menawarkan diri untuk mencari si otak penembakan. Mereka sepakat untuk berdamai sementara sampai Jimin bisa melewati masa kritisnya.
"Aku takut" Jongin melirik Sehun yang duduk dengan gelisah disampingnya. Memeluk erat jas miliknya, sama persis seperti 3 tahun lalu.
"Dia akan baik-baik saja, ia lahir dari seorang ibu tangguh"
Nafsu makannya benar-benar menguap. Sehun melewatkan makannya meskipun Jongin memaksa. Bahkan mengancam yang tidak tidak.
"Hampir mengenai jantung" Sehun meringis kemudian air matanya kembali berjatuhan.
"Bagaimana anak berusia dua tahun sudah menjadi incaran orang jahat? Masa kritisnya belum berlalu, tapi tim dokter sedang mengupayakan yang terbaik di dalam ruang operasi sekarang" tanpa sadar Sehun meremas lengan kemeja Jongin yang digulung sampai ke siku. Penjelasan dokter kembali membuatnya ketakutan. Takut jika anaknya tidak bisa bertahan.
"Tolong lakukan perawatan terbaik untuk anak-ku" anakku ? Hati Sehun sedikit menghangat. Mendengar Jongin menyebut Jimin sebagai anaknya.
"Baik tuan Kim, kami pasti melakukan yang terbaik" dokter muda yang tampan itu membungkuk kemudian berlalu pergi.
Sehun bisa melihat siluet Seokjin yang tidak berhenti mondar-mandir di depan ruang operasi mengabaikan baju serta tangan merahnya karena bekas darah yang sudah mengering.
"Hyung" Seokjin menoleh mendengar suara selembut kapas itu.
"Kenapa kalian di sini ?! Ingin memberi bahaya macam apa lagi ?!"
"Hyung…" Seokjin berjalan mendekati Jongin, menampar keras-keras hingga membuat pipi lelaki Kim itu memerah. Kemudian ia beralih pada Sehun, melakukan hal yang sama seperti pada Jongin tadi.
"Kalian-" Seokjin menunjuk muka Jongin dan Sehun bergantian. Wajahnya terlihat lelah, sedih yang bisa dilihat jelas dari mata sayunya. Tapi ia masih berusaha keras untuk tegar menghadapi dua manusia berkepala batu ini.
"Apa kalian puas? Siapa yang menang diantara kalian? Kuucapkan selamat" ucap Seokjin lirih dan bergetar. Terlihat berusaha keras membendung kesedihannya.
"Maafkan aku, hyung" Seokjin menutup matanya erat. Tangannya terkepal kuat saat Sehun berlutut memeluk kakinya.
"Aku ingin makan malam dengan kalian untuk pertama kalinya. Aku mulai mencintai Jimin, hyung. Aku ingin berubah"
Jongin melihat penyesalan yang sama dengan dirinya saat melihat Sehun. Berlutut dibawah kaki Seokjin dengan tangis seorang ibu yang takut kehilangan anaknya.
"Maafkan aku juga" semua orang terkejut melihat tuan besar yang terkenal kejam seperti Jongin membanting lututnya dihadapan Seokjin. Posisinya tepat di sebelah Sehun.
"Aku adalah manusia paling hina di dunia, tolong beri kami kesempatan untuk menjadi orangtua yang baik. Demi Jimin" Seokjin bersumpah ia melihat air mata di antara mata Jongin. Ia tahu tentang reputasi lelaki itu, yang tegas dan tidak bisa dibantah. Menjadi lemah dan menyerah karena Jimin, anaknya.
"Kalian menyesal ?" lirih Seokjin. Ia melepas tangan Sehun dan mengulurkan tangannya untuk kedua anak adam yang saling membenci itu.
"Bangunlah" Sehun dan Jongin mendongak. Menyambut masing-masing tangan Seokjin yang terulur dan menabrakkan badan mereka ke arah lelaki itu. Seokjin tersenyum tipis kala badannya terhimpit oleh Sehun dan Jongin. Samar-samar ia mendengar isakan Sehun yang mati-matian ditahan karena mungkin anak itu takut dirinya akan kembali murka.
"Tidak ada yang sempurna di dunia ini kalian tahu ?" Seokjin menjeda ucapannya sejenak. "Kesakitan kalian bagai rantai yang tak terputus jika masing-masing dari kalian berdua tidak mengalah. Kau Jongin, sakit karena perbuatan tuan Yifan. Ingin membalaskan dendam hingga menyebabkan luka baru untuk Sehun. Dan kau Sehun, kau terluka kan karena perbuatan Jongin ?" diam, mereka berdua terdiam.
"Jika kalian tidak bisa bersatu kembali, berpura-puralah berdamai demi anak kalian. Dia sendirian, rapuh, dan tidak pernah sempurna"
-KH-
Lampu ruang operasi sudah menyala, menandakan operasi telah selesai dan membuat ketiga orang dewasa itu berkerubung di depan pintu.
Cemas yang terasa mencekik membuat Sehun tidak melepaskan pegangannya pada lengan Seokjin. Ia terlihat pucat dan berantakan. Begitu pula dengan Jongin. Hanya bedanya Jongin masih mampu tegar berdiri dengan kakinya sendiri.
Ia sungguh ingin melihat anaknya, memeluk sepuasnya seperti impian sederhananya selama ini. Menjadi seorang ayah.
"Jongin ?" semua menoleh di tengah kegiatan menunggu pintu ruang operasi terbuka.
Baekhyun berdiri dengan gemetar setelah mendengar semua dari Minho. Yifan juga berada di sana, semuanya terdiam.
Inilah penggerak rantai derita yang dimaksud Seokjin. Mereka berempat berkumpul dengan perasaan yang sama hancurnya. Membawa penyesalan yang sama besarnya.
"M-maaf" Yifan menjadi orang pertama yang memecah sunyi itu. Lega melihat putranya yang kuat itu masih baik-baik saja, sekaligus merasa bersalah dengan hari-hari berat yang telah dilalui Sehun beberapa tahun belakangan karena ulahnya.
"Ayah" Sehun berlari memeluk ayahnya. Ia ingin melupakan semua, yang dibutuhkan saat ini hanya pundak kokoh seseorang untuk menumpahkan kekalutannya.
"Maafkan ayah"
"A-yah, aku.. Aku.. Aku takut" Yifan menghela air mata Sehun yang membasahi wajah manisnya. Anaknya sudah dewasa. Cita-cita menjadi insinyur hanya tinggal kenangan karena ulahnya. Dan ditambah kepahitan lagi karena di dalam sana cucunya sedang bertaruh nyawa.
"Ayah tahu, tapi ini harus kau lalui"
"Tapi Jimin masih terlalu kecil untuk menanggung dosaku. Dia… Dia… Pasti kedinginan di dalam sana"
"Dia pasti baik-baik saja karena kau ibunya"
Jongin memandangi itu dengan datar. Emosinya diolah dengan acak, tapi ia tahu. Diantara semua emosi yang dimiliki sekarang, dirinya lebih dominan merasakan lelah. Menjadi jahat dan kuat tidak menjamin Jongin akan selamat dari rasa itu. Ia lelah dan ingin menyerah melihat tangis Sehun.
Ia juga takut, kehilangan anaknya yang bahkan belum sempat ia genggam. Apakah Jimin itu anak yang baik ? Apa yang selama ini Jimin lakukan ketika bisa berjalan untuk pertama kali ? Apa ia terjatuh saat itu ? Kata apa yang bisa ia ucapkan ketika Jimin mulai bisa berbicara ? Semua pertanyaan itu semakin menghantam nurani Jongin.
Tanpa sadar ia limbung ke belakang dan mencari pegangan dari dinding rumah sakit. Sosok mengerikan dalam diri Jongin benar-benar menghilang saat ini.
Tidak ada penggambaran yang tepat selain ia adalah ayah yang gagal. Inikah rasanya menjadi ayah ? Dan inikah yang Yifan rasakan saat Jongin membawa Sehun pergi waktu itu ? Hatinya hancur tapi ia tidak bisa berbuat apapun. Tuhan, Jongin meminta di tengah jiwa kotornya yang penuh dosa. Jika bisa, biarkan anaknya selamat. Atau jika perlu negosiasi Jongin rela nyawanya diberikan sebagai pengganti. Biasanya ia tidak suka negosiasi, tapi kali ini Jongin ingin melakukan itu. Menukar jiwanya untuk anaknya, agar dirinya sebagai ayah yang gagal bisa menjadi berguna.
"Tidak mungkin dokter?!" Jongin mendengarkannya. Seorang dokter wanita dengan derai air mata keluar ruangan operasi bersama susternya. Jantung Jimin semakin lemah dan kemungkinan tidak ada harapan hidup baginya. Bisakah Jongin meminta keajaiban saat ini ?
Sehina itukah ia menjadi manusia, hingga doanya yang baru saja ia ucap dalam diam sudah ditolak mentah-mentah oleh sang pencipta.
Dia Kim Jongin, karena dirinya, ia tidak pernah mengenal kata menyesal. Dia Kim Jongin, selalu menjalani hidupnya penuh arogansi yang tidak boleh ditolak. Ia tidak menyukai penawaran, dan sabar bukanlah perangainya.
Dia Kim Jongin, hari ini baru mengetahui fakta bahwa ia memiliki anak lelaki lucu yang 2 hari lagi genap berusia 2 tahun. Dan jika Jimin selamat ia berjanji akan berubah. Ia akan mengorbankan apapun untuk Jimin. Mengesampingkan sifat egoisnya dan menjadi sosok yang lebih baik. Tuhan, dengar kan kesungguhan lelaki ini. Tidak cukupkah rasa menyesal seperti itu ?
"Dia kritis, jantungnya sempat berhenti kemudian berdetak kembali dengan tempo yang lebih lemah. Siapa orang tuanya ?" dokter Song sudah menghabiskan air matanya di dalam ruang operasi. Ia merasa lebih baik saat keadaan pasiennya mulai menunjukkan tanda kehidupan kembali
Semua orang menoleh pada Jongin dan Sehun secara bergantian. Masih canggung untuk disebut sebagai orang tua setelah kegilaan yang mereka berikan pada Jimin.
"S-aya ayahnya" "Saya ibunya" dokter Song tersenyum miring. Bagai dendam yang sudah dipendam sejak operasi dramatis tadi, yang siap ia ledakkan sekarang juga.
"Dia masih 2 tahun, apa yang anda berdua lakukan hingga membahayakannya seperti ini ?" lagi, pertanyaan seperti itu membuat keduanya semakin merasa bersalah.
"Izinkan saya melihat keadaannya" Sehun setengah memohon.
"Jika kalian tidak bisa merawatnya, jangan memberikan bahaya. Maaf saya lancang dan melewati batas sebagai seorang dokter. Tapi saya hanya seorang wanita yang menginginkan seorang anak setelah sembilan tahun pernikahan"
"Jimin, saat ini hanya bertahan atas bantuan alat-alat penunjang kehidupan. Berdoalah sepenuh hati, memohon ampunlah dengan segala keyakinan yang anda berdua miliki" dokter Song membungkuk kemudian berlalu pergi meninggalkan Sehun serta Jongin yang tertegun.
Apakah jika semua alat itu dilepas anaknya tidak akan selamat ?
-KH-
"Dia sangat lucu" Baekhyun mengelus pundak Sehun dengan lembut. Seokjin sedang perjalanan pulang untuk berganti baju setelah menengahi mereka berempat. Meminta untuk melupakan sementara masa lalu sebagai usaha keras memperbaiki keadaan. Mungkin saja keadaan yang dingin dan tenang bisa membantu memperbaiki masa kritis Jimin.
"Ya, matanya mirip Jongin" Sehun tidak melepaskan pandangan pada wajah Jimin yang masih pucat. Pipi tembamnya terhimpit oleh tali selang. Mungkin jika Jimin sehat itu tampak menggemaskan.
"Dia pasti sembuh, Sehun" Sehun mengangguk yakin. Air mata bodohnya tidak bisa diajak bekerja sama dan terus mengalir deras. Tidak ada yang lebih baik daripada menangis saat ini. Tidak ada Kim Sena yang kuat. Tidak ada Kim Sena yang cerdik dengan segala taktik iblis saat bertransaksi barang haram dalam jumlah besar.
Ini hanya Oh Sehun yang merindukan putra kecilnya. Yang menginginkan anaknya membuka mata kemudian menceritakan betapa indah dunia yang terlewat karena selama ini ia terlalu sibuk memikirkan cara membalas dendam.
"Ya, dia pasti bangun hyung. Dia pasti bangun dan kita akan merayakan ulang tahunnya yang kedua" kecupan bertubi-tubi diberikan Sehun untuk tangan mungil anaknya.
Baekhyun pamit undur diri dan berjanji akan datang esok hari. Sedangkan Yifan ikut pulang bersama Seokjin. Selama di Korea Yifan menyewa sebuah flat sederhana, dan tadi Seokjin menawarkan agar Yifan tinggal saja bersama di rumah pemberian Seungri.
"Kau harus makan" Jongin membuka kotak makan yang tadi ia beli di restoran cepat saji. Ini sudah pukul 3 dini hari dan Sehun belum memakan apapun. Lelahnya seolah lenyap dan hanya ingin mendampingi Jimin.
"Buka mulutmu" Sehun memandang datar sendok yang diberikan Jongin.
"Berhenti menangis dan buka mulutmu Sehun" Sehun akhirnya membuka mulut dan menerima suapan Jongin. Pelan ia mengunyah, ditambah rasa asin dari air matanya sendiri.
"Ini 12 oktober" setelah menelan susah payah, akhirnya Sehun berani berbicara.
"Ya, sekarang sudah masuk tanggal 12 oktober"
"Aku kenyang, Jongin" Sehun menyingkirkan dengan sopan sendok berisi suapan berikutnya.
"Kau hanya makan satu sendok" Jongin terkejut ketika tangannya digenggam dan Sehun memutar sendok yang sekarang berada tepat di depan mulutnya.
"Kau juga belum makan. Sekarang buka mulutmu, Jongin" memandangi lama mata Sehun, membuat Jongin mengangguk patuh dan mulai membuka mulutnya.
"Tolong temukan otak penembakannya sebelum tengah malam tanggal 13"
"Akan ku usahakan, ingin kau apakan dia ?" Sehun menggeleng "Aku hanya ingin bertanya apa tujuannya. Aku ingin berhenti menyakiti siapapun, Jongin"
"Apa doaku akan di dengar ?" Jongin tertawa kecut. Memijat kaki anaknya yang masih setia terlelap.
"Entahlah, Jongin?"
"Hm ?"
"Mari berteman demi anak kita" desau angin dini hari membawa hembusan luka untuk Jongin sendiri. Teman ? Baiklah, setidaknya itu satu langkah lebih baik daripada Sehun menganggapnya musuh seperti hari-hari kemarin.
"Ya, berteman"
"Aku akan meminta Seokjin hyung membuat kue ulang tahun terbaik untuk Jimin. Kita rayakan bersama ya?" perih sekali melihat Sehun berkata penuh antusias dan tawa riang namun matanya mengeluarkan liquid bening. Seolah Sehun ingin membesarkan hati atas keadaan Jimin yang memburuk.
"Jangan seperti ini, kau melukai perasaanku sebagai teman Sehun"
"Aku tidak memiliki cara untuk tetap baik-baik saja. Aku tertawa tapi mataku tidak bisa bohong. Aku harus bagaimana ?"
Sehun juga tidak senyaman itu mengikrarkan diri sebagai teman Jongin. Tapi ini adalah pilihan terbaik dan area paling aman. Perasaannya tidak akan terluka lagi karena Jongin tidak mungkin menyakiti perasaannya. Ia sendiri tidak tahu apakah Jongin mencintainya ? Seperti perasaannya yang diam-diam masih ada.
Jongin pun hanya menghargai keputusan Sehun. Mungkin memang selamanya Sehun tidak pernah memiliki cinta yang sama.
Sekali lagi, dua manusia itu masih kesulitan untuk terbuka. Hubungan tidak akan terjadi tanpa adanya kejujuran satu sama lain. Mereka perlu ruang untuk saling membagi. Cinta membutuhkan keputusan untuk dibawa kemana suatu hari nanti. Karena ikatan tidak dapat disatukan tanpa adanya kesepakatan.
-KH-
Jongin berlari dari ruang kerjanya setelah mendapat kabar dari Seokjin bahwa Jimin kembali kritis. Semalaman ia dan Sehun sama-sama terjaga untuk memastikan tidak ada yang salah dengan anaknya.
Baru saja ia duduk di kursi kerja selama tiga jam, dan Seokjin menghubunginya dengan terbata karena panik.
"Lakukan dengan cepat brengsek!" Jongin memaki Minho yang sedang konsentrasi menyetir memasuki pekarangan rumah sakit.
Jongin melompat tergesa-gesa dan melepas serampangan jas kerjanya yang terasa sesak. Pintu ruang rawat VIP tempat Jimin berada didorong dengan kasar. Nafasnya seolah berhenti ketika alat-alat penunjang kehidupan Jimin satu per satu dilucuti.
Ia melirik ke seluruh penjuru kamar. Sehun tampak sangat hancur dengan mengguncang tubuh lemas Jimin.
"Ada apa ini ? Kenapa alat-alatnya dilepas ?" Jongin menampakkan wajah suram saat tak ada seorangpun yang menjawab pertanyaannya.
"Tidak ada yang mau menjawabku?!"
"Minggir!" Jongin mendorong perawat lelaki yang hendak melepas alat penghubung detak jantung. Memastikan keadaan anaknya dan melirik takut-takut pada Sehun yang memeluk tubuh Jimin.
Dingin, dan pucat. Apa anaknya sudah menjadi mayat ? Tangan besarnya bergetar membelai pipi Jimin untuk pertama kali. Air matanya menetes dalam diam.
"Kim Jimin…" tangannya merambat ke kening Jimin dan menyibak poni anak itu yang berjatuhan.
"Baby boy daddy-" Jongin meremas tangan Jimin yang bebas dari selang infus. Menyatukan dengan dadanya yang bergemuruh karena rasa rindu seorang ayah pada anaknya.
"Bangun nak, ini daddy. Ini…. Daddy" Jongin menempelkan telinganya pada dada Jimin. Ia berharap ada detakan kecil disana. Berharap dengan sangat.
"Tuhan, dimana kau sekarang huh! Tunjukkan keberadaanmu, tunjukkan jika kau adalah maha pemurah! Tunjukkan ku mohon tunjukkan itu padaku!" terdengar putus asa tapi ada nada berharap. Terdengar menyerah, tapi ada usaha keras di dalamnya.
"Jimin dengarkan daddy, kau harus bangun dan kita bermain bola sampai kau lelah. Apa dia suka bola hyung ?!" Jongin seperti orang gila yang mengamuk. Ia mengguncang tubuh Seokjin agar menjawab pertanyaannya. Ia sama sekali tidak tahu kesukaan Jimin. Tapi ia perlu menjanjikan sesuatu untuk memotivasi anaknya. Anaknya harus bangun.
"Dia sudah meninggal Jongin, sadarlah" Seokjin sama hancurnya karena selama ini ia yang menghabiskan 24 jam dengan Jimin. Tapi ia masih memiliki kewarasan untuk menerima takdir. Ia masih kuat memberitahu Jongin bahwa Jimin benar-benar kehilangan kesempatan hidupnya.
"Kau bercanda ? Dia masih hidup. Dia akan berulang tahun besok. Kau harus membuat kue terbaik hyung!"
"Jongin!" Sehun menampar pipi Jongin untuk menyadarkan lelaki itu.
"Sadarlah, anak kita sudah lelah berjuang"
"Aku bahkan belum pernah melihat ia membuka mata ?! Aku sadar, dan masih berharap akan ada keajaiban di detik terakhir Sehun! Kau bisa berbicara seperti itu karena kau pernah menghabiskan waktu dengannya, sedangkan aku ?!"
"Kita sama-sama terluka tapi ku mohon waraslah!" Sehun menarik Jongin ke dalam pelukannya. Menangis bersama, dan ia membenarkan ucapan Jongin. Berharap pada keajaiban di detik terakhir.
"Aku ayahnya kan ? Aku ayah Jimin" Jongin meronta dalam pelukan Sehun. "Iya kau ayah Jimin"
"Jimin, Jimin harus bangun Sehun. Aku ingin menjadi ayah yang sempurna. Aku akan menyempurnakannya sebagai seorang anak"
.
.
.
.
.
.
Ini tidak sakit, rasanya lebih ringan dan Jimin tidak menyesal telah berhenti mengidolakan Larry. Ia lega setelah menangis tadi. Tapi Jimin takut sendirian. Ia ingin pulang dan memeluk papa Seokjin.
Tapi lebih dari itu, ia rindu paman Sehun. Entah mengapa, padahal selama ini ia sama sekali tidak dekat dengan Sehun.
Jimin tersesat di belantara gelap seorang diri. Ia terlalu jauh berjalan.
Jimin ingin kembali pulang, dan diberi kesempatan memperbaiki keadaannya. Mengisi kesepiannya. Serta menyempurnakan kekurangannya.
Ia ingin pulang, untuk menjadi utuh dan berbahagia. Atau paling tidak diberikan kesempatan untuk mengucap terima kasih karena telah dilahirkan di antara orang-orang yang menyayanginya.
A/N : Udah ya, mereka udah di tengahin papa Jin. kalo bertengkar lagi, tinggal kita sentil aja lambungnya. Wkwk. Jimin kuuuuuuuu :( kira2 kalian nebaknya siapa yang nembak jimin ? oh ya, ada yang buatin FFMV nya dari reader yang ngga mau disebutkan seperti biasa. Terima kasih ya :) aku ngga bisa upload FFMV nya, mungkin nnti bakal di up sama bubblyohh, tagih aja dia. Haha. selamat malam minggu :)
