Chapter 11
"Serena Lee ?"
Minho dan Vernon mengangguk. "Ini gila!" lelaki tegap dengan segala ketegasannya itu tengah menimbang-nimbang hasil penyelidikan Vernon dan Minho
"Saya juga tidak percaya, wanita sebaik nona Serena berubah menjadi gila karena perasaannya yang terabaikan" Jongin mengurut dagunya berusaha tetap berpikir jernih.
"Nona Serena sudah tahu mengenai hubungan masa lalu anda dengan tuan Kim Sena sejak awal. Nona Serena dan tuan Seungri jauh berbeda. Saya hanya menghimbau pada anda-"
"Aku tahu Minho, aku tidak segila itu untuk melibatkan orang sebaik Seungri"
Pelaku penembakan Jimin sudah diketahui. Dan otak dari semua hal gila ini adalah Serena Lee, atau adik kandung Lee Seungri.
Wanita yang dikenal Jongin melalui makan malam itu selalu tersenyum riang dan ramah. Ia masih tidak percaya bahwa Serena yang berada di balik ini semua.
Permainan Serena begitu rapi hingga seorang yang cerdik seperti Jongin baru bisa mengendus setelah satu tahun.
"Daddy ?" kaki kecilnya dibawa berlari menyusuri ruang kerja ayahnya. Hari ini ia baru saja pulang setelah mengantarkan kakek dan calon neneknya berbelanja kebutuhan mereka menjelang pernikahan.
"Hai boy" Jongin menyambut dengan kedua tangan yang direntangkan. Tersenyum lebar karena melihat rambut putranya yang beterbangan seiring dengan gerakannya berlari.
"Jiminie lelah, tadi Jiminie membantu kakek membawa banyak sekali barang" Jimin mengadu dengan bibir yang dimajukan, menggemaskan.
"Jiminie sudah makan ?" bocah berusia 3 tahun itu menggeleng "Ingin makan dengan daddy"
"Tentu saja"
Sehun menyaksikan itu dengan gelengan heran. Jika sudah berkumpul, Jongin dan Jimin selalu lupa dunia. Mengabaikannya yang sudah lama berdiri disana.
"Jimin" ketika mendengar namanya dipanggil, Jimin baru menyadari ada ibunya yang tengah menenteng tas berisi berbagai makanan untuk makan siang mereka.
"Mama… Maaf" cengiran anaknya membuat Sehun batal marah.
"Persiapannya sudah sampai mana ?" Sehun sibuk menata makanan diatas meja kerja Jongin dan mendudukkan Jimin di sampingnya.
"Tinggal mereka yang perlu mempersiapkan hati" ia menjawab tanpa menghentikan kegiatannya menuang nasi ke piring si kecil
"Mama, jika papa Seokjin dan kakek menikah. Apa mereka akan tinggal terpisah ?" Sehun mulai menyuapi Jimin setelah selesai mengisi piring milik Jongin. "Iya, papa Jin harus ikut kakek ke China. Dan Jiminie akan tinggal dengan mama saja" Jimin mengunyah dengan tenang, membuat pipinya mengembung lucu.
"Kenapa kita tidak tinggal dengan daddy juga ?" Sehun tersedak makanan yang baru saja masuk ke mulutnya, Jimin dengan polos menyodorkan segelas air agar ibunya berhenti terbatuk-batuk.
Jongin memandangi Sehun dengan sorot geli, ia ingin tertawa melihat Sehun yang salah tingkah karena pertanyaan sederhana anaknya.
"Tidak bisa"
"Bagaimana agar kita bisa tinggal satu rumah ma ?"
"Menikah, daddy dan mama harus menikah seperti kakek dan papa Seokjin" Jongin menyambar pertanyaan yang diajukan anaknya dengan jawaban meyakinkan.
"Kalau begitu mama dan daddy menikah saja."
"Uhuk.. Uhuk.. Uhuk" Sehun tidak hanya menghabiskan segelas air, tapi beberapa gelas berikutnya.
"Mama flu ?" Jongin sudah tidak tahan memendam tawanya terlalu lama. Tatapan tajam dari Sehun tidak mempengaruhi dirinya sama sekali.
"Jongin diam!"
"Tidak mau" terpingkal-pingkal dengan memegangi perutnya yang mulai kaku karena tertawa.
"Mama minum obat milik Jiminie saja" Jimin merogoh tas kecilnya yang berbentuk kepala jamur. Kebetulan Seokjin memasukkan obat batuk anak ke dalam tasnya karena tiga hari lalu Jimin terserang batuk.
"Itu untuk anak-anak sayang"
"Berarti mama dan daddy akan menikah?" Sehun meniup poninya dengan gemas menanggapi tuntutan si kecil.
"Sayang ku, Jiminie anak mama. Dengar, menikah itu tidak mudah. 2 orang harus saling mencintai sebagai syaratnya."
"Apa mama tidak cinta daddy ? Jiminie cinta daddy" Sehun membersihkan ujung bibir Jimin yang terkena saus tomat menggunakan tissue. "Cinta antara anak dan ayah itu berbeda dengan cinta daddy dan mama. Intinya mama tidak bisa menikah dengan dad-"
"Bisa Jimin, daddy akan segera menikahi mama dan kita bisa tinggal bersama" Sehun mendelik, kontras dengan mata Jimin yang berbinar-binar.
"Jongin?" yang lebih tua memberi isyarat agar Sehun diam dan tidak mengeluarkan protes. Rasanya Sehun sudah kenyang dengan makan siang ini. Sungguh, Jongin itu menyebalkan.
"Sayang, suapi aku juga" Jongin mengangkat-angkat kedua alisnya untuk menggoda Sehun.
"Kim Jongin sinting!"
Jimin tidak memperdulikan kedua orang tuanya yang entah mendebatkan apa. Ia hanya fokus pada piringnya yang berisi buah potong. Ia memakan dengan tenang untuk hidangan pencuci mulut itu, kakinya bergoyang-goyang dan sedikit bersenandung di atas kursi tinggi yang didudukinya.
-KH-
Gangnam Hospital 12 oct (1 year ago)
Satu tahun berlalu dengan cepat, dan Jongin bersyukur. Ia berhasil melewati masa krisisnya, saat ia berada dititik paling rendah dalam kehidupan. Jongin bisa melewati itu semua, karena Jimin, anaknya.
Tuhan memang ada, saat itu Tuhan menunjukkan kebesarannya di depan Jongin. Dosa dirinya yang tak terkira masih mampu membuat sang pencipta mendengar permintaannya.
Keajaiban luar biasa datang dari sosok putus asa yang terus menangisi jasad anaknya. Tapi Jongin terus berusaha keras dan mempercayai akan adanya keajaiban di detik terakhir. Bahwa tidak ada kata gagal saat kau bersungguh-sungguh berharap dan berusaha.
"Jimin, Jimin harus bangun Sehun. Aku ingin menjadi ayah yang sempurna. Aku akan menyempurnakannya sebagai seorang anak"
Tubuh kecil Jimin tersentak hebat dalam pelukan Jongin. Beruntung alat deteksi jantung masih menempel di dadanya. Jimin seolah terlempar karena pantulan peer di ranjangnya. Jongin melihat itu tanpa mampu berkata apapun.
Itu sangat nyata karena ia yang merasakan guncangan hebat pada tubuh anaknya. Setelah perubahan drastis itu, semua organ vital dalam tubuh Jimin mulai bekerja, tapi masih sangat lemah.
Dokter Song dan timnya hampir tidak mempercayai fenomena seperti itu. Bahkan di sekolah kedokteran mereka tidak ada teori semacam ini. Ya, memang tidak semua hal masuk ke nalar atau ada di dalam pelajaran pendidikan.
Karena jika Tuhan mau, Tuhan bisa melakukan apapun termasuk menghidupkan kembali yang sudah mati.
"J-jimin?" Jongin dan Sehun masih tertegun.
"Pasang semua alatnya kembali" dokter Song sedikit menyingkirkan Jongin dan Sehun. Mulai menempelkan stetoskop pada telinga sedangkan timnya yang lain dengan sigap memasang semua alat yang semula membantu Jimin untuk tetap bertahan.
"Bagaimana ?" tanya Seokjin pada sang dokter yang terlihat terharu dengan usaha keras pasien kecilnya ini.
"Dia sudah berusaha keras, ikatan seorang anak dengan orang tuanya adalah keajaiban terbaik di dunia ini" dokter Song melirik Jimin yang masih tertidur dengan nafas yang kembali teratur.
"Saya akan melakukan observasi dengan seluruh organ vital Jimin. Jika semuanya normal, kita hanya perlu menunggu ia siuman"
"Lakukan yang terbaik untuk anakku dokter" dokter Song menghampiri Jongin yang terlihat lebih tenang mendengar penjelasannya.
"Pasti, anda juga sudah melakukan yang terbaik. Terimakasih karena telah memohon dengan segenap hati. Tolong setelah ini jaga dia dengan sebaik-baiknya tuan" Jongin dan Sehun tersenyum ikut membungkuk setelah dokter Song pamit untuk melakukan observasi lanjutan.
Saat itu Sehun dan Jongin tidak henti-hentinya mengucap syukur. Beban di hati mereka seolah terangkat dan dada mereka terasa ringan oleh buncahan bahagia. Terasa seperti Jimin yang dilahirkan kembali ke dunia. Terasa seperti mereka menjadi orang tua baru yang menyambut kelahiran anaknya.
"Terimakasih karena telah bertahan, lekas membuka mata" Jongin mengecupi seluruh wajah pucat anaknya. Terus bersyukur tanpa henti.
"Ini menakjubkan" Seokjin memeluk Sehun dengan senyum dan tangis bahagia.
"Iya, hyung"
"Jimin bagai awalan untuk kehancuran kalian, tapi dia juga bagai akhiran yang mempersatukan kalian"
"Dia tidak pernah menjadi awal ataupun akhir, hyung. Jimin akan selalu berada di tengah-tengah kami" Seokjin mengangguk. Kemudian ikut mendekati ranjang. Tugasnya selesai. Ia harus segera pensiun menjadi ayah pengganti untuk Jimin, dan mengejar hidupnya sendiri.
Seokjin kembali teringat bagaimana ia berjuang agar Jimin tetap dipertahankan, meskipun Sehun enggan. Ia juga teringat tentang kesulitan membesarkan bayi tanpa pengalaman mumpuni. Ia hanya belajar secara otodidak dan nalurinya yang menyayangi Jimin bagai buku panduan terbaik.
Jimin sekarang sempurna, walau ia masih rapuh. Tapi Jimin sekarang tidak sendirian. Ia sudah memiliki kedua orang tua kandungnya. Dan Seokjin lega.
-KH-
"Jimin ayo mandi!" Sehun kehilangan kesabaran sore ini melihat anaknya sibuk berlarian dan bermain bersama ayahnya.
"Nanti ma" setahun ini ia belajar menjadi seorang penyabar dan kembali pada sifatnya terdahulu. Sehun benar-benar ingin mengikuti jejak Jongin untuk berubah menjadi lebih baik, demi Jimin.
Tapi sabarnya sore ini diuji, "JIMIN!" anak itu beringsut ke belakang badan Jongin. Matanya berkaca-kaca ketika ibunya mulai mengeluarkan nada tegas.
"Jangan pernah menawar kewajibanmu" dan akhirnya ia menyesal karena Jimin menangis dengan keras setelahnya.
"Sehun, kau kasar"
"Aku hanya menyuruhnya mandi, berhenti memanjakan dia Jongin!"
"Oh tentu saja, jika kau lupa kita menangisinya karena hampir kehilangan"
"Memanjakan ada porsi tersendiri, dia tidak akan menjadi anak tangguh jika selalu kau cukupi dan selalu kau maklumi saat dia lupa dengan kewajibannya!" Sehun melebur emosinya dan lebih memilih memasuki kamar. Ia takut akan kembali meledak dan menimbulkan pertikaian dengan Jongin.
"Mama.." Sehun yang duduk di tepi ranjang dan sibuk dengan pemikirannya sendiri dibuat menoleh ke arah pintu. Disana Jimin berada dalam gendongan ayahnya.
"Maafkan Jiminie" Sehun menggeleng, melambaikan tangannya untuk mengundang masuk mereka berdua.
"Maafkan mama juga, tapi jika ini terulang mama akan lebih marah" Jimin mengangguk, masih segar diingatannya ketika Sehun masih berstatus sebagai paman. Ia selalu mendapat tatapan benci, dan Jimin tidak mau itu terulang kembali.
"Jiminie ingin mandi dengan mama dan daddy" Sehun mendongak meminta persetujuan Jongin.
"Ayo lepas baju mu boy"
"papa Jin kemana ?" sementara bajunya dilepas satu per satu. Jimin sibuk memainkan kancing kemeja sang ayah.
"Papa Jin akan sibuk sekali menjelang pernikahan, jadi jangan diganggu dulu ya. Hap!" Anak itu tertawa ketika dengan spontan Jongin mengangkat tubuhnya menuju kamar mandi yang berada di dalam kamar Sehun.
Jongin hanya berdiri dan bersedekap dada melihat Sehun yang hati-hati menggosok punggung Jimin dengan sabun bayi.
Ia ikut meringis melihat bekas operasi di dada anaknya. Membuat ingatannya kembali terbang pada kejadian satu tahun lalu.
"Sakit ?" Sehun membelai bekas luka itu. "Tidak, Jiminie sudah sembuh ma" respon Jimin yang ringan sembari bermain busa membuat dua orang dewasa itu semakin merasa bersalah.
Cup "Sudah mama cium supaya lukanya menghilang" Jongin melihat itu semua. Interaksi yang menghangatkan hatinya. Seandainya ia bisa melihat pemandangan seperti ini setiap hari. Seandainya Sehun bisa menangkap maksudnya tadi siang dengan baik. Seandainya Sehun tahu bahwa cintanya masih sama, dan Seandainya Sehun tidak menganggapnya hanya teman dan ayah Jimin.
-KH-
"Dan Si Ducky mengalah, mempersilahkan adik-adiknya makan terlebih dahulu~" Jimin mendongak penuh tanya. Bahkan ia tidak pernah bosan sekalipun ibunya menceritakan tentang 'Ducky bersaudara' selama ratusan kali.
"Berarti saat Jiminie punya adik nanti, Jiminie harus mengalah ?" komunikasi yang baik dibangun oleh Seokjin dalam membesarkan Jimin. Jadi seperti inilah, Jimin tumbuh menjadi anak yang kritis dan tidak pernah malas bertanya jika penasaran pada suatu hal.
Ada satu pertanyaan yang membuat Sehun juga Jongin terkejut. Jimin pernah bertanya bagaimana dirinya bisa berada di dalam perut Sehun dulu ?
"Pada siapapun yang lebih muda, jika itu demi kebaikan. Jiminie harus mengalah"
"Kapan Jiminie bisa punya adik seperti Ducky ? Agar kita bisa membuat buku yang berjudul 'Jiminie bersaudara'" Sehun mengusap-usap punggung anaknya agar segera tertidur. Tidak bisa menjawab pertanyaan itu. Bagaimana Jimin bisa mempunyai adik jika suami saja Sehun tak punya.
"Ayo tidur, atau mama akan adukan pada daddy?"
"Good night mama, cium aku untuk mimpi yang indah" Jimin tertawa namun matanya terlihat lelah siap untuk terpejam. Ketika gelitikan ibunya sudah tidak bisa dirasakan karena kalah oleh kantuknya.
"Jimin sudah tidur ? Aku akan pulang. Kata Seokjin dia akan pulang malam karena urusannya belum selesai. Apa kau baik-baik saja sendirian di rumah ?" Sehun bangkit setelah memastikan anaknya tidur dengan nyenyak. Menyusul Jongin dan berjalan beriringan keluar kamar.
"Kau tidak ingin mandi dulu sebelum pulang ?" Jongin menggeleng, kemudian tersenyum jahil "Mandikan aku"
"Jangan gila!" yang lebih muda menatap tajam dengan bibir mengerucut, Jongin mengerang gemas benar-benar ingin mencubitnya sekarang.
"Serena Lee adalah otak penembakan Jimin. Vernon dan Minho sudah mendapatkan hasil penyelidikan ini dan aku menunggu persetujuanmu untuk mendatanginya" Sehun hanya mengenakan kaos tipis dan celana pendek sekarang, ia kedinginan. Mereka berdua berdiri di depan teras untuk mengantar kepergian Jongin. Namun urung, karena ada beberapa hal yang perlu dibicarakan.
"Maksud mu adik Seungri ?" yang lebih tua mengangguk mantap.
"Ya, adik mantan tunangan Kim Sena" Sehun melirik tajam Jongin yang kini tengah tersenyum lebar. Entah kenapa akhir-akhir ini Jongin suka sekali menggodanya. Sangat bukan Kim Jongin sekali, tapi diam-diam Sehun bersyukur bahwa Jongin yang kaku tidak lagi ada. Hanya tersisa Jongin yang hangat dan menyenangkan. Jimin benar-benar mengubah keseluruhan sifat Jongin.
"Aku tidak yakin dia melakukan ini karena aku mempermainkan kakaknya ?"
"Memang bukan, dia melakukan ini karena patah hati telah ku tolak. Dan ditambah dia mengetahui masa lalu kita"
"Sakit hati memang membuat orang jadi gila"
"Kita pun sama, kita pernah berada diposisi Serena" Jongin memajukan badannya dan berdiri di depan Sehun. Sangat dekat, membuat Sehun tidak nyaman. Tapi gerakan mundurnya tertahan lengan besar Jongin.
"Kau cantik" Sehun membuang muka. Mengalihkan pandangan kemanapun asal tidak bertemu dengan mata Jongin.
"J-jongin bisa kau menjauh ?" Jongin menggeleng, matanya sayu dan Sehun bersumpah ia ingin berteriak karena lelaki itu terlihat sangat seksi sekarang.
"Ayo tinggal bersama" lelaki Kim itu berbisik pelan di telinga Sehun. Kemudian menyandarkan kepalanya di pundak yang lebih muda. Sehun memejamkan mata merasakan hembusan nafas Jongin yang panas di antara kulitnya yang dingin karena udara malam.
"T-tidak bisa"
"Setahun ini aku berusaha meyakinkan diri, dan ya Sehun. Aku masih merasakan hal yang sama, aku jatuh cinta. Tidakkah kau juga ?" Sehun menggigit bibirnya, merasakan gejolak yang dahsyat didalam tubuh. Entah rasa macam apa ini. Jantungnya ingin melompat ketika Jongin terus menggodanya dengan berbicara tepat ditelinga.
"Cepat pulang, ini sudah malam sebelum kau habis dihajar Seokjin" Sehun mendorong pelan pundak Jongin, tapi gagal. Lelaki itu justru semakin mengeratkan pelukannya. Semakin menekan kepalanya di perempatan leher jenjang Sehun.
"Sehun, tatap aku" dagu Sehun diangkat untuk mempertemukan mata mereka. Yang lebih muda kehabisan kata-kata. Seolah seluruh makiannya terserap oleh mata elang milik Jongin.
"Bolehkah ?" bibirnya dibelai lembut menggunakan ibu jari Jongin yang besar. Sial, Sehun hampir gila. Kenapa Jongin tiba-tiba begini ?
Hati dan tubuhnya menjawab perlakuan Jongin dengan berbeda. Hatinya menolak, namun tubuhnya menerima. Ia memejamkan mata sebagai respon penerimaan atas perlakuan Jongin. Lembut, dan Sehun merindukan itu. Saat kulitnya bertemu kulit Jongin. Saat mereka berbagi udara dalam jarak yang sangat dekat. Sehun ingin lebih, tapi ia masih takut. Semua itu membingungkan.
-KH-
"Aku takut" Sehun sudah membuka matanya. Mereka saling berpandangan, semacam merekam wajah masing-masing untuk bekal tidur nanti.
"Kenapa ?"
"Entahlah aku hanya takut, setelah hal panjang yang kita lalui. Aku nyaman dengan kita yang sekarang" Jongin tersenyum. Senyum yang hangat. Jemarinya digunakan untuk menyampirkan helaian rambut Sehun yang menutupi kening.
"Aku tahu, trauma yang ku beri sangat fatal. Maafkan aku" Sehun menggeleng "Kita sudah sepakat kan untuk memulai semua. Tapi untuk bersama, aku butuh waktu yang panjang Jongin"
"Bolehkah aku menciummu ?" Sehun menegang di tempat. Tidak bisa menjawab pertanyaan sederhana yang diajukan Jongin. Ia sekarang sadar sifat Jimin yang seperti itu menurun dari siapa.
"Diam, aku anggap setuju" kecupan ringan dan memabukkan di daratkan Jongin pada pipi tembam Sehun. Halus dan harum nya masih sama seperti empat tahun lalu.
"Aku merindukanmu, merindukan empat tahun lalu. Aku akan memulainya dengan lembut" Sehun hanya diam, terbuai dengan semua ucapan lembut Jongin.
Lelaki itu memang memperlakukannya sangat lembut. Tidak seperti empat tahun lalu. Sehun juga merindukan ini, seluruh sentuhan Jongin. Tidak ada yang boleh menyentuh tubuhnya. Dan hanya Jongin yang bisa mendapatkan itu dengan mudah. Bahkan Seungri yang telah memberikan segala hal, tidak seberuntung itu.
"Boleh aku mampir kesini ?" Sehun mengangguk malu-malu ketika telunjuk Jongin memberi gerakan memutar di atas bibir kemerahan miliknya.
Sesuai yang selama ini dibayangkan Jongin. Lembut, panas dan kenyal. Empat tahun ini ia merindukan bibir Sehun. Membayangkan saja gairahnya terasa terbakar. Bahkan di antara ratusan wanita beliannya. Tidak satupun dari mereka yang tersentuh karena tidak ada yang berhasil menggoda hasratnya.
Tapi jika Sehun, hanya melihat bibir itu mengerucut sebal saja Jongin rasanya ingin langsung memakan.
Mulanya hanya kecupan kecupan ringan. Manis. Kemudian Jongin membuka bibirnya untuk merasakan bibir bawah Sehun. Melumat dengan intensitas yang biasa. Ia menahan mati-matian agar tidak memberikan trauma lagi pada Sehun. Karena sejujurnya Jongin ingin segera melakukan yang lebih. Merobek seluruh pakaian Sehun, dan meniduri disini, sekarang juga. Tapi ia membuang pikiran gilanya, ia sudah berjanji untuk memulai semua dengan lembut.
"Balas aku jika kau menikmatinya" bibir bawah Sehun terlihat basah. Pipinya merona cantik di tengah temaram malam. Ah, rasanya Jongin harus banyak-banyak menahan diri.
"Lakukan Jongin" Jongin tersenyum kemudian kembali mempertemukan bibir mereka berdua.
Sunyi malam di depan teras terasa romantis hari ini. Entah mereka yang terlalu rindu, atau suasana yang mendukung. Ciuman panjang tanpa putus, membuat langit bertanya. Tidakkah mereka membutuhkan udara ?
Jongin sudah menyusupkan tangannya dibalik kaos Sehun. Membelai punggung ramping yang halus. Ini ibu dari anaknya, orang yang berhasil memporak-porandakan hati Jongin dengan segala keistimewaannya. Jongin yang arogan, pernah rela mati asal itu di tangan Sehun.
Sehun meremas pundak Jongin kuat-kuat saat tubuhnya dibawa berjalan memasuki rumah. Ini terlalu liar, dan Sehun hampir pingsan. Jongin terlalu berlebihan memberikan kenikmatan. Dadanya meletup-letup oleh rasa senang. Tapi ini sudah melewati batas. Bukankah tadi Jongin hanya meminta ciuman ? Ini terlampau basah untuk disebut sebagai ciuman.
"Ayo menikah Sehun, besok" Sehun memukul lengan kekar Jongin. Kemudian melanjutkan kegiatan mereka yang baru disadari jika saat ini mereka sudah saling bertindihan di atas karpet ruang tamu.
"Apa yang kalian lakukan ?! Yak! Kim Jongin!" oh tidak, si cerewet sudah pulang. Dan habislah Jongin setelah ini.
"Seokjin hyung!" Sehun menendang Jongin agar menjauh dari atas tubuhnya.
Sementara Jongin hanya berdiri santai, merapikan kancing kemejanya yang lepas.
"Astaga" Seokjin memijat pelipisnya. Sementara Yifan hanya memandang wajar. Toh dia pernah melihat ini beberapa tahun lalu, tentu saja dengan perasaan berbeda. Yifan sekarang yakin jika Jongin sudah jatuh sangat dalam dengan pesona anaknya.
"Aku tidak akan bisa tenang meninggalkan kalian berdua jika seperti ini"
"Hyung jangan berlebihan"
"Berlebihan kau bilang ? Jaga dirimu dari si brengsek ini Sehun" Jongin sudah siap mendebat Seokjin namun dihalangi oleh Sehun.
"Aku bukan si brengsek. Ingat umurku lebih tua darimu walaupun kau akan menikahi kakek dari anakku, Jin" lihat, Jongin yang arogan kembali dalam porsi sedikit berbeda.
"Oh, ingatkan aku tentang segala kekacauan yang kau buat ? Aku ikut terseret jika kau lupa"
"Ya, ya, ya. Aku sudah meminta Sehun untuk menikah dengan ku besok. Dia saja yang menolak. Apa aku masih terlihat brengsek ?" Seokjin membuka lebar mulutnya. Menahan umpatan yang sudah dirancang, tapi Jongin menggagalkan dengan pengakuan mengejutkan itu.
"Sehun akan menjadi anakku, jadi kau harus meminta restu ku" Jongin tertawa. Kemudian mengangguk. Tahu jika Jongin tidak pernah main-main, Sehun menyeretnya keluar agar segera pulang.
"Hei, aku ingin meminta restu pada calon mertua"
"Tidak sekarang Jongin. Sekarang cepat pulang!" Sehun membuka pintu mobil Jongin dan mendorongnya masuk.
"Sesi yang tadi belum selesai" yang lebih tua membuka kaca mobil, kembali menggoda Sehun.
"Ck, anggap saja tadi aku mabuk!" uh, menggemaskan ketika Sehun menghentak-hentakkan kakinya memasuki rumah. Mirip seperti Jimin ketika marah. Jongin jatuh cinta lagi, di usianya yang ke 34 tahun. Karena Sehun, ia merasa selalu muda.
-Tbc-
A/N : yah, FFMV sudah rilis itu brrti beberapa chap lagi kita bakalan pisah. Dan doakan saja supaya segera dikasih waktu dan ide lain. Ada yg marah2 karna ngira Jimin meninggal. Buat yg tau karakter nulisku. Setiap chapnya pasti aku kasih kode buat nyambung ke chap lain. Dan yep, pelaku penembakannya itu Serena, aku juga udah ngode di awal part yg Serena dtg ke hotel Jongin. Itu dia udah tau masa lalu Jongin sama Sena a.k.a Sehun. Makanya dia nekan kata office boy. Yahh, bocor dah. Wkwkw. Pdhal itu ada di next chap ntar :) gimana yg sebel sama aku ? masih sebel juga kah ? haha. Trs gimana mlm minggunya kmren, indah kan ?
Terus terus, keberatan ngga buat reader setia ku share kesan kalian sama ff ini ? tulis di review ya. Ntar aku bls di chap selanjutnya. SARANGHAE *peluk satu satu*
