Chapter 12
Serena tersenyum memandangi pantulan dirinya di cermin. Cantik seperti biasa. Ia masih tidak mengerti mengapa Jongin secara terang-terangan menolaknya dan lebih memilih mempertahankan lelaki sok polos seperti Kim Sena.
"Kim Sena, lahir dengan nama Oh Sehun. Dia adalah kemungkinan terbesar yang membuat Kim Jongin betah menyendiri. Rumah dan restoran yang diberikan kakakmu memudahkan aku untuk mengetahui semua."
"Brengsek!" Serena berteriak histeris. Mendapati fakta jika perbuatannya sudah diketahui Jongin dan dia tidak memiliki bala bantuan apapun kecuali Park Chanyeol. Jika ia memberitahu Seungri, tentu saja dia sendiri yang akan dihukum oleh kakaknya.
"Kau sudah tahu akibatnya berurusan dengan Jongin ?" Serena menatap enggan ke arah lelaki bersuara husky itu. Ya, Chanyeol adalah sepupunya yang juga seorang pengacara. Peringatan yang diberikan sejak awal tidak diindahkan. Bahwa berurusan dengan Kim Jongin adalah kesalahan besar.
"Aku harus bagaimana ? bagaimana jika Seungri tahu ?" Chanyeol mengedikkan bahu.
"Aku hanya memberimu informasi dulu, bukan berarti kau bisa bertindak gegabah" Chanyeol menyesap winenya kemudian mengernyit. Menikmati sensasi basah yang nikmat pada tenggorokannya.
"Harusnya Seokjin yang tertembak" Chanyeol tertawa. Ia masih ingat, waktu itu dirinya duduk di dalam mobil. Dia akui, Sena memang sangat menarik. Tinggi semampai, dengan rambut lembut dan kulit seputih susu. Cantik untuk ukuran lelaki. Sena berada di tepi taman hendak memasuki mobil. Serena yang sangat amatiran memegang senjata, sebenarnya hanya ingin bermain-main dengan Seokjin. Karena ia tahu, bahwa Seokjin termasuk orang paling penting untuk Sena. Dan bodohnya saat itu, peluru malah mengenai dada anak kecil yang berdiri tak jauh dari tempat Seokjin duduk.
"Chanyeol, bantu aku" nada putus asa dari sepupunya membuat lelaki berusia 29 tahun itu meredakan tawanya. Iba juga, bagaimanapun ia tumbuh dan besar bersama Serena. Seperti anak kembar yang kemanapun bersama jika Seungri sedang sibuk dengan pekerjaannya sendiri.
"Huft! Dari kecil aku selalu membereskan semua kekacauan yang kau buat. Ini yang membuat Seungri selalu berpikir berkali-kali ketika akan menikah. Karena adiknya yang ceroboh tidak pernah bisa mandiri." Chanyeol meletakkan gelasnya di atas meja, dan bangkit hendak berlalu pergi.
"Chanyeol.." yang dipanggil hanya menoleh "Jika nanti kau menemukan cintamu, apa kau akan meninggalkan aku sendiri seperti Seungri saat bersama Sena ?" Chanyeol mendekati sepupunya kemudian menepuk sekali puncak kepala perempuan itu. "Aku sudah berjanji pada paman dan bibi untuk menemanimu sampai kau tidak membutuhkan aku lagi."
"Bahkan saat ada seseorang yang lebih penting nanti ?"
"Aku akan memintanya mengerti tentang itu, jika dia mencintaiku harusnya dia juga menerima mu sebagai adikku kan ?" Serena memeluk erat tubuh tinggi kakak sepupunya. Seandainya Seungri selalu ada seperti Chanyeol, maka ia tidak akan merasa kesepian seperti ini. Ditolak oleh Jongin membuat hatinya semakin terasa terluka. Hingga berpikir jernih bukan lagi tujuannya, Serena terlalu sering mendapat apapun keinginannya termasuk mendapatkan Jongin. Dan sekarang ia menyesal, ia harusnya bersyukur masih ada yang menyayanginya seperti Chanyeol.
-KH-
Sehun menghela nafas berkali-kali ketika putranya bersikeras menolak memakai tuxedo yang sama seperti miliknya dan Jongin.
"Jimin, ayo. Acaranya akan dimulai dan kau hanya memakai kaos dalam serta celana dalam saja ?" Jimin menggeleng. Pipinya menggembung, dengan bibir maju beberapa senti.
"Tidak mau ma, itu panas"
"Jimin jangan membuat mama marah. Karena itu tidak akan baik"
Akhirnya anak itu mendekati ibunya. Pasrah saat Sehun dengan terampil merapikan dirinya agar terlihat pantas di hari besar kakek dan papa Seokjin-nya.
"Kapan mama dan daddy menikah ?" Jimin memainkan kancing kemeja milik ibunya. Sementara Sehun masih saja fokus.
"Ma…" rengek anak itu ketika pertanyaannya tidak mendapat jawaban. "Tidak bisa Jimin, mama dan daddy tidak bisa menikah."
"Jimin tidak akan nakal jika mama dan daddy menikah" Sehun tersenyum kemudian membelai pipi Jimin. "Jika ada seseorang yang mengambil paksa mainanmu. Apa yang akan Jimin lakukan ?" mata anak itu membulat. Pikirannya masih mencerna baik-baik pertanyaan sang ibu. "Tentu saja marah"
"Marah? Mungkin itu yang membuat mama dan daddy tidak bisa menikah"
"Apa daddy merebut mainan mama ?" Jimin hanya anak lelaki berusia 4 tahun. Ia tidak bisa menangkap perumpamaan seperti yang Sehun ucapkan. Ia hanya menanggapi berdasarkan pemikiran sederhananya seperti anak pada umumnya. Dan tentu saja Sehun tahu. "Tidak, daddy tidak merebut mainan mama."
"Tapi, Jimin akan memaafkan jika teman Jimin melakukan itu." Sehun menuangkan parfum khusus anak-anak, kemudian menepuk-nepuk permukaan tuxedo anaknya "Itu yang sedang mama lakukan. Memaafkan-" lelaki manis itu segera tersenyum melihat anaknya nampak sangat lucu berbalut tuxedo hitam di antara badan gendutnya. "Sudah selesai-" riang Sehun "Ayo kita segera turun karena daddy sudah menunggu dibawah"
"Mama, dasi kupu-kupunya mencekik. Ugh" Jimin menggerak-gerakkan dasi kupu-kupu berwarna senada dengan tuxedonya karena terlalu rapat menghimpit leher.
Jongin yang melihat keluhan Jimin ikut tertawa gemas. Tidak sabar menunggu anaknya menuruni tangga, ia dengan sigap menghampiri kemudian menggendong. "Tidak usah pakai dasi saja ya ?" Jimin memohon, terlihat Sehun yang tengah menimbang-nimbang. Tapi sungguh Jimin memang menggemaskan dengan dasi itu.
"Tidak perlu dilepas" Jongin menggunakan satu tangannya untuk melonggarkan dasi itu. Sedangkan satu tangannya digunakan untuk menumpu badan Jimin dalam gendongannya.
"Maaf lama menunggu, Jimin tadi rewel dan tidak mau memakai tuxedonya. Katanya panas." Jongin mencuri kecupan pada pipi halus Sehun. Membuat yang lebih muda membulatkan mata, kemudian melayangkan pukulan keras pada lengan yang lebih tua.
"Jangan macam-macam Jongin!" ancamnya. Jongin itu bebal, ancaman macam itu tidak akan berdampak apapun untuknya.
"Dia rewel seperti mamanya. Aku tahu" Sehun bersumpah kedipan sebelah mata Jongin itu terlalu menggoda. Hingga membuatnya malu sendiri. "Ayo berangkat! Kita sudah terlambat"
"Jongin ?"
"Hm ?" Sehun menggigit bibirnya ketika merasa ragu dengan pertanyaan yang ingin ia ucapkan.
"Baekhyun hyung ?" Jongin berhenti, kemudian memandang Sehun dalam. "Ia baik Sehun, lagipula Baekhyun hyung sendiri yang mengakhiri ini. Ia berkata jika hubungannya dengan Yifan sudah selesai sejak sepuluh tahun lalu. Tidak ada kesempatan untuk kembali mencintai. Dan tidak ada alasan untuk saling kembali." Sehun mengangguk, melanjutkan langkahnya menuju mobil milik Jongin.
"Apa kita akan berakhir seperti Baekhyun dan Yifan ?"
"Aku tidak pernah menutup kesempatan. Tapi aku belum menemukan alasan untuk kita kembali, Jongin."
Jongin memberikan Jimin pada Sehun dan membuka pintu mobil. Mempersilahkan dua kesayangannya untuk masuk. "Aku akan berusaha agar kau menemukan alasan yang tepat untuk menikah denganku" Sehun terkejut, merangkul Jimin lebih erat dan memejamkan mata untuk menghalangi Jongin yang menunduk. Jarak mereka sangat dekat sekarang. Klik "Aku hanya memakaikan sabuk. Buka matamu" Sehun terlihat jengkel, ketika Jongin berjalan memutari depan mobil untuk masuk ke kursi kemudi dengan senyum jahilnya.
-KH-
"Aku merindukanmu, tapi tidak dengan cinta kita. Itu sudah berakhir. Saat aku sadar bahwa kita hanya akan menyakiti banyak orang. Jika kita bersama, sama seperti kita berdiri diatas punggung mereka. Kita mengenakan sepatu duri yang hanya terus melukai. Kau tahu Yifan, Jongin sudah terlalu banyak berkorban untukku. Dan Sehun juga sudah terlalu banyak tersakiti karenamu. Mereka kehilangan kebahagiaan karena rantai derita yang kita buat. Seokjin benar, rantai itu tidak akan pernah terputus jika kita sebagai penggerak, enggan untuk berhenti. Aku tidak memiliki alasan yang baik untuk kembali bersamamu."
Baekhyun tersenyum mengingat ucapannya sendiri satu tahun lalu. Ia kini berdiri di deretan paling depan dekat altar. Pendeta sudah berdiri di sana, menunggu kedua mempelai. Ia lega, rindu dengan Yifan bukan berarti ia masih mencintai. Ia bersyukur karena perasaannya saat ini membantunya memperbaiki keadaan.
Semua orang telah berubah, menjadi lebih baik. Sehun yang mulai mencintai Jimin, dan berniat berhenti dari dunia hitamnya. Jongin yang mulai belajar perlahan untuk menjadi seorang penyayang. Dan Yifan yang mulai kembali pada pribadi awalnya, seperti sepuluh tahun lalu, berkat Seokjin. Yifan jatuh ke tangan yang tepat. Baekhyun rasa, Seokjin adalah malaikat yang dikirim Tuhan ke tengah-tengah mereka. Bagaimana uluran tangannya menyambut Sehun, mengentaskan Sehun dari ribuan luka karena adiknya. Ketulusannya merawat Jimin, dan kebesaran hatinya merengkuh mereka semua untuk kembali menuju pintu bahagia.
"Hyung" Baekhyun tersadar dari lamunannya. Melihat Jongin, Sehun, serta Jimin dalam gendongan Sehun baru saja memasuki gereja. Pakaian mereka bertiga terlihat serasi. Hitam, ditengah tema altar yang serba putih.
"Uncle!" Jimin mengulurkan tangannya dan meminta gendong pada Baekhyun. "Halo my pearl." Baekhyun mengambil alih Jimin. Menciumi perut gembul keponakannya hingga menciptakan gelak tawa untuk si kecil.
"Uncle kenapa melamun ?"
"Karena uncle bahagia sekali hari ini. Jimin juga kan ?" Jimin mengangguk "Tentu saja, karena papa dan kakek akan menikah"
"Aku titip Jimin ya hyung ? aku harus menjemput ayah dan mendampingi sampai ke altar." Baekhyun mengangguk, kembali duduk bersisian dengan adiknya. Sedangkan keponakannya duduk di atas pangkuan.
Yifan menaiki altar dalam gandengan Sehun. Melewati karpet merah yang sudah digelar di tengah gereja. Karpet itu seolah membelah dua kubu tamu undangan. Wajahnya terlihat gugup, meskipun remasan pada telapak tangan yang diberikan Sehun sebagai suntikan kekuatan, tidak cukup membantu. Ini seperti pertama kali, ia jatuh cinta. Meskipun sebelumnya hatinya pernah dihuni oleh mantan istri, dan Baekhyun. Tapi ini berbeda, Seokjin mencintainya secara perlahan dan tenang. Tidak ada perasaan menggebu-gebu seperti rasa cinta yang pernah ia ketahui. Ini terkesan seperti cinta yang anggun namun dalam. Seperti rasa cinta yang klasik namun membuai.
"Kali ini ayah harus benar-benar bahagia. Aku baik-baik saja sekarang. Tolong jaga Seokjin-ku, seperti ayah menjagaku" setitik air mata Sehun terjatuh karena ikut larut dalam suasana haru ini. Entah siapapun itu yang dipilih ayahnya, Sehun hanya berharap untuk selanjutnya tidak lagi ada pilu yang menyapa. Sudah cukup selama sepuluh tahun ini rasa pilu itu menampar mereka semua.
"Ayah berjanji" Sehun menunggu Seokjin yang masih berjalan di tengah karpet merah, dan didampingi oleh ayahnya.
"Selamat papa, kau sekarang adalah papa ku. Berbahagialah Seokjin hyung. Bahagiakan dirimu setelah beberapa tahun ini kau menekannya demi menjagaku juga Jimin. Aku tidak bisa membalas apapun selain menjamin kebahagiaanmu." Seokjin tidak mampu membalas dengan ucapan. Ia memeluk erat tubuh Sehun, dan menangis bersama. Inikah takdir Tuhan ? sangat indah.
"Kebahagiaanku adalah kalian."
"Terimakasih hyung, terimakasih banyak karena kau mau hidup dengan seseorang yang brengsek seperti ku. Terimakasih telah membuka mataku bahwa menerima takdir itu satu-satunya jalan terbaik untuk menjadi bahagia."
Tidak ada yang tidak menangis, kecuali satu orang yang duduk di deretan paling belakang. Seseorang yang tampan dengan tuxedo abunya. Rambut yang disisir ke atas, menampilkan kening menawannya. Raut wajahnya tak terbaca. Tapi sesungguhnya ia mencoba mencerna tentang sesuatu. Sesuatu yang disebut sebagai 'Akhir Bahagia'.
-KH-
Jongin dan Sehun meninggalkan acara terlebih dahulu karena Jimin yang mulai tidak nyaman. Anak itu terus protes dan meminta berjalan-jalan karena bosan harus melayani semua tamu yang merasa gemas dengannya. Ia juga mengadu, pipinya terasa bengkak karena cubitan yang diberikan oleh orang-orang itu.
"Kita pulang saja ya ?"
"Tidak mau, Jimin ingin jalan-jalan"
Sehun melempar jasnya ke jog belakang. Mulai melepas seluruh pakaian Jimin dan mengganti dengan pakaian yang lebih nyaman. Ia mempersiapkan baju ganti dan diletakkan di dalam mobil Jongin.
"Kau membawa tas sebesar itu ?"
"Lain kali belajar merawat anakmu. Ini semua berisi perlengkapan Jimin." Jongin mengangguk-anggukkan kepalanya, ikut membuka jasnya dan melempar ke jog belakang.
"Jadi kita harus kemana ?"
"Jimin ingin makan ayam goreng" Sehun yang merasa gemas memeluk anaknya erat. Ia tahu anaknya itu sudah mengantuk. Kebiasaannya jika mulai mengantuk adalah, rewel dan meminta hal-hal aneh.
Mobil mulai berjalan perlahan, hanya terdengar suara radio dengan volume terkecil. Sehun bersenandung lirih, tangannya menepuk-nepuk pantat anaknya. Pendingin udara diatur paling rendah agar Jimin nyaman. Benar dugaan Sehun, Jimin memang mengantuk. Buktinya anak itu sudah tertidur bahkan ketika mobil belum mencapai jarak sepuluh meter.
"Dia ini kesal seharian ini menjadi patung di tengah mempelai" Sehun menyibak poni Jimin dan memainkan bibir anaknya yang sedikit terbuka.
"Semua orang meminta foto dengannya. Ia terlihat seperti boneka teddy bear yang dipakaikan tuxedo." Sehun setuju, ia tertawa pelan dan membuat gerakan hati-hati agar anaknya tidak terganggu di atas pangkuan.
"Sebenarnya Jimin meminta susu, tapi aku lupa tidak membawa dotnya. Mungkin itu yang membuatnya semakin frustasi."
"Kapan Yifan dan Seokjin berangkat ke China ?"
"Mungkin minggu depan, restorannya di China masih belum selesai. Kenapa kita berhenti ? tidak pulang saja ?" Jongin menggeleng. Berhenti di tepi jalan dan menikmati semilir angin sore.
Jongin membuka pintu mobilnya kemudian duduk menghadap jalanan. Tanpa berniat beranjak dari dalam mobil, ia hanya memutar tubuh saja.
Jongin merogoh saku celana nya, menyalakan pemantik untuk sebatang rokok yang sudah terselip di antara bibir.
Sehun sibuk merapikan jog belakang dengan satu tangannya karena tangannya yang lain digunakan untuk memegangi Jimin. Ia menata bantal yang memang sengaja disiapkan Jongin untuk anaknya yang sewaktu-waktu selalu tertidur selama perjalanan. Membaringkan tubuh Jimin dengan susah payah. Karena Sehun takut badan anaknya sakit setelah bangun nanti.
Setelah selesai dengan urusannya, Sehun melirik asap yang mengepul, dan itu ternyata berasal dari Jongin. Dengan gerakan pelan ia membuka pintu mobil. Memutari mobil, kemudian berjongkok di depan Jongin yang sibuk menghisap rokoknya.
"Sehun ?" Jongin terkejut mendapati Sehun sudah berjongkok di atas tanah, sedangkan dirinya masih duduk di jog mobil.
"Berhenti merokok" Sehun menarik pelan batang rokoknya, kemudian menginjak ringan.
"Kau sudah 35 tahun, usia sepertimu ini harus gencar menjaga kesehatan. Jimin masih kecil" Jongin tersenyum, mengusak rambut lembut Sehun penuh sayang.
"Menikahlah dengan ku agar ada yang mengingatkan jika aku lalai" Sehun berdiri, bersandar pada badan mobil.
"Beri aku alasan paling kuat untuk menerimamu ?" itu seperti menggoda Jongin, dan lelaki itu tidak bisa tinggal diam. Ia ikut berdiri, bedanya ia berdiri untuk memenjarakan tubuh Sehun.
"Selain mencintaimu, apa ada alasan lain agar kau percaya ?" meskipun nyatanya saat ini mereka berhenti di tepi jalan, Jongin tidak peduli. Ia hanya ingin tahu dan memastikan seperti apa perasaan Sehun terhadapnya. Lepas mereka adalah orang tua dari Jimin.
"Kau orang pertama yang membuat aku merasakan berbagai perasaan sekaligus. Aku belum berpengalaman saat itu, bahkan sekarang pun. Kau merusakku di kesan pertama yang seharusnya indah. Kata orang, yang pertama itu tidak bisa dilupakan Jongin. Harusnya saat itu kau memberiku yang indah-indah. Seberapa besar aku berusaha untuk melupakan, nyatanya tidak bisa. Melihatmu, seperti membuka semuanya. Jika kau ingin tahu, aku mencintaimu. Aku masih mencintaimu bahkan setelah semua yang kau beri. Sakit ini, kecewa ini, marah ini. Tapi aku takut, itu semua seperti otomatis. Kau mengerti ?" Jongin mengangguk. Menenggelamkan wajah Sehun ke dalam pelukannya. Ia tahu, kerusakan fatal yang telah dibuat tidak dapat disembuhkan sekalipun dalam kurun waktu lima tahun ini. Tindakan gegabahnya telah merusak perasaan seseorang yang dicintai. Ia menyesal, sekalipun kematian datang sebagai hukuman, Sehun tidak pernah sembuh. Tapi sekaligus, ia merasa lega. Paling tidak ia tidak memiliki cinta sendiri, Sehun menyambut cintanya. Ia hanya perlu bersabar. Sabar menunggu dan membantu Sehun melupakan luka yang telah ia ciptakan.
-KH-
"Mau kemana kau, hm?" lelaki mungil itu sudah berdiri di depan kamar mandi gedung tempat resepsi Yifan digelar. Dari siang, bahkan sejak di gereja ia terus mematai gerak gerik lelaki mencurigakan ini.
"Singkirkan kaki pendekmu itu" Baekhyun berkacak pinggang dan menendang tulang kering yang lebih tinggi.
"Beraninya kau bocah!" lelaki itu menjerit dengan suara husky nya yang terdengar menyeramkan. Tapi Baekhyun melihatnya justru seperti orang bodoh.
"Apa mau mu hah ?!"
"Kau orang mencurigakan sejak di gereja tadi. Sebenarnya kau ini siapa ?! aku bisa saja mengerahkan anak buah adikku untuk mencincang mu disini!" oh astaga, lelaki tinggi itu tidak tahu jika yang berdiri di depannya ini kecil tapi sangat liar, jangan lupakan cerewetnya.
"Aku tamu, dan aku diundang. Sekarang lepaskan tangan mu!" lelaki itu menyingkirkan tangan Baekhyun kemudian merapikan kemejanya seolah Baekhyun adalah kuman mematikan.
"Dan aku bukan bocah! Dasar pendek! Aku sudah 29 tahun" Baekhyun tersenyum remeh "Dan aku hampir 40 tahun. Itu artinya kau bocah!" Baekhyun menendang pangkal paha lelaki itu dengan keras. Apa yang dikatakan barusan ? hampir 40 tahun ? kenapa ia sangat kecil dan- lucu ? demi Tuhan, kejantanannya terasa seperti patah.
-Tbc-
A/N: Hai ? ada yg rindu aku ? RL bener2 ngga bisa di nego ya. Kerjaan di kntor, tugas kuliah, dan urusan rumah tangga bikin wktu abis smpe ga smpet nulis. Hehe. bagaimana chapter ini ? stay healthy buat kalian, tetap bahagia ya. Krna bahagia itu mahal. Gampang kok buat bahagia, klo kata Seokjin cukup kita menerima takdir kita aja :) LOVE YA
