Chapter 14

"Hyung ?" Sehun membuka pintu rumahnya ketika suara mesin mobil memecah hening pekarangan. Dan itu adalah Baekhyun yang sedang sibuk menurunkan semua belanjaan. Sehun celingukan mencari keberadaan anaknya yang ternyata sudah terlelap di kursi belakang.

"Sehun, gendong Jimin. Aku akan memasukkan semua belanjaan ke dalam" Sehun hanya mengangguk, menjalankan perintah calon kakak iparnya.

"Chanyeol ?" Sehun hanya beberapa kali bertemu dengan Chanyeol, itupun hanya beberapa menit karena kebetulan Chanyeol berkunjung ke kantor Seungri. Dia sepupu Seungri yang sangat dekat dengan Serena. Yang membuatnya semakin bingung. Bagaimana bisa Chanyeol mengantar Jimin dan Baekhyun ?

"Kalian-"

"Ceritanya panjang. Baekhyun akan menceritakan padamu nanti" sela Chanyeol yang menyadari kebingungan Sehun.

"Apapun itu terima kasih karena sudah mengantar anakku dan Baekhyun hyung"

"Aku harus pamit Sehun. Sepertinya-"

"Huh ?"

"Aku akan sering main kesini. Jimin sangat menggemaskan" baiklah, Sehun akui anaknya memang menggemaskan. Tapi jika itu dijadikan sebagai alasan kunjungan Chanyeol. Mustahil, Sehun tahu jika seorang pengacara tidak se-pengangguran itu untuk sering-sering bermain dengan anak kecil yang baru ditemui sekali.

"Semoga ini hanya perasaanku saja jika kau menaruh perhatian pada Baekhyun." lantas lelaki tinggi itu hanya menyeringai, kemudian melambaikan tangan sebelum menenggelamkan diri ke dalam mobilnya.

Sehun memasuki rumah untuk membaringkan Jimin di dalam kamarnya. Anak itu tampak begitu kelelahan. Ia merasa sedikit bersalah meninggalkan Jimin karena restaurant mereka mendapat sedikit masalah. Bahan baku datang terlambat, ketika pesanan membludak. Tentulah kepanikan mereka sampai ke China dan Seokjin segera meminta Sehun untuk mengatasi itu semua.

"Hyung, terima kasih sudah menjaga Jimin. Apa dia menyusahkan ?" Baekhyun mengangguk, tapi tangannya sibuk menyiapkan makan malam untuk mereka berempat.

"Tidak, dia hanya hilang tadi ?"

"APA ?!" Sehun tersedak air putih dingin yang baru saja diambilnya. Ia ingin memastikan telinganya tidak salah dengan. Jimin hanya hilang ? hanya ?

"Dia hanya hilang Sehun" Baekhyun mengulangi ucapannya dengan sangat ringan.

"Hyung-" Sehun ingin memberondong dengan banyak 'mengapa'. Seperti, mengapa tidak mengabarinya atau Jongin. Mengapa, mengapa Baekhyun menceritakan hilangnya Jimin seolah ia tengah menceritakan bahwa dirinya baru saja pipis dan lupa menyiram.

"Aku tahu, aku pikir aku teledor. Jadi tanpa aku menceritakan dengan menggebu-gebu, aku memang salah. Dan untungnya setelah 3 jam dia datang dan tersenyum lebar dengan mulut penuh noda es krim bersama Chanyeol"

Sehun akhirnya menangkap, mengapa Chanyeol bisa sampai kemari dan mengantar mereka berdua. Yasudah, masalah selesai. Sehun hanya tidak ingin memperpanjang dan menyelesaikan makan malam mereka dengan damai.

"Hyung, sepertinya setelah ini Jimin akan sering kedatangan tamu. Apa kalian sudah bertukar nomor ?" Baekhyun mendesah, biarkan saja Chanyeol sering-sering kemari. Toh, dia tidak tinggal di rumah Sehun. Atau mungkin juga Baekhyun akan sering berkunjung dan menjadikan Jimin alasan untuk ketidak sengajaan pertemuan mereka. Lantas apa bedanya dia dengan Chanyeol ?

-KH-

Jongin itu seperti malam terbaik dengan gelap pekat yang sempurna. Dan Sehun, bagai bias cahaya yang tidak menyinari banyak tempat. Tapi mampu membelah suramnya kehidupan Jongin.

Kisah cinta yang wajar, akan mempertemukan dua anak manusia dengan rasa malu-malu. Tersipu dan saling melempar senyum kemudian menjabat tangan. Memperkenalkan dunia masing-masing sebelum sepakat untuk saling mengetuk pintu hati.

Sehun dan Jongin tidak mengalami itu semua. Tidak ada hal wajar di pertemuan mengerikan siang itu.

Jongin tidak mempersilahkan Sehun mengenali dirinya dengan baik. Alih-alih merobek semua pakaian pemuda itu dan menyiksanya.

Rasa benci dan muak membuat Sehun merasa hina. Ia dirusak, dalam kesan pertama yang seharusnya indah, karena apapun itu. Yang pertama merupakan ingatan yang sulit dilupakan.

Penyatuan paksa itu, awalnya hanya karena rasa benci. Benci terlalu berkuasa hingga satu sama lain tidak sadar jika cinta juga turut andil di dalamnya.

Pelukan yang hangat hingga saling memberi kenyamanan. Mereka, larut dalam rasa tak kasat mata yang menyiksa. Tidak ada yang berani memulai untuk jujur karena takut akan penolakan. Jongin membutuhkan Sehun seperti bumi yang membutuhkan matahari. Dan Sehun menginginkan Jongin seperti kupu-kupu menginginkan angin agar menjaganya tetap seimbang untuk terbang.
Sayap si kupu terluka ketika angin membawanya melambung terlalu tinggi, dan Sehun memilih berjalan tertatih kemudian pergi. Padahal, lukanya hanya akan mengering dengan bantuan tiupan angin juga. Begitulah hubungan mereka. Mereka saling melukai, tapi kembali baik saat mereka kembali untuk saling mengasihi.

Selama ini Sehun tidak pernah bahagia dengan perpisahan mereka, Jongin pun sama. Ia tersiksa karena sepi, rasa bersalah, dan berbagai rasa yang menyiksa. Dendam itu tumbuh bukan karena perlakuan buruk Jongin, bukan. Itu hanya pengalihan bahwa Sehun sedang merindukan lelaki itu, dan tidak memiliki cara untuk menuntaskan rindunya.

Kisah cinta mereka, menggambarkan kebodohan manusia yang melalaikan kejujuran. Jujur saja, meskipun sakit, tapi melegakan. Tapi jika kau terus berlari dan memungkiri, sama saja menyiksa dirimu sendiri.

"Sedang apa ?" Jongin pulang lebih awal karena janjinya menemani Jimin mandi sore, akhirnya ditepati.

"Aku hanya memikirkan. Aku rasa prinsip hidup seseorang yang utama adalah jujur"

"Lalu ?"

"Lalu aku menyesal. Harusnya aku jujur sejak awal jika aku sudah memaafkanmu dan aku mencintaimu. Mungkin tidak akan serumit ini. Kita tidak menyakiti banyak hati. Dan merepotkan banyak orang, terutama menyakiti Jimin-" cerita Sehun sendu.

"Ssshhh… Tuhan hanya ingin sedikit bermain dengan kita. Menguji seberapa besar kita mampu bertahan" Jongin menuntun kekasihnya untuk masuk ke dalam pelukan. Kadang-kadang Sehun masih sering menyalahkan dirinya terutama jika mengingat kejadian saat Jimin hampir meninggal.

"Tolong ingatkan jika aku masih egois, Jongin"

"Tidak Sehun, kau tidak egois sama sekali. Bagaimana jika kita saling mengingatkan saat ada salah satu yang lupa dengan tujuan awal ?" tawar Jongin sabar. Sementara yang lebih muda hanya mengangguk.

-KH-

"Bocah sialan!" Seokjin melempar Jongin dengan tas ketika ia baru saja menginjakkan kaki untuk memasuki rumah setelah perjalanan panjang dari China. Lelaki yang kini berstatus sebagai orang tua tiri Sehun itu terus merutuki Jongin karena memberi kabar sangat mendadak tentang pernikahan mereka.

"Kita sudah dewasa lagipula aku punya uang untuk mengurusi pernikahan ini sendiri"

"Tapi kau harus memiliki adab. Bukan berarti uang bisa membeli restu ku ya, bastard!" Seokjin menyilangkan kakinya dan duduk dengan nyaman di atas sofa. Ia datang sendiri karena Yifan tidak dalam keadaan baik. Kakek kandung Jimin itu sering sakit akhir-akhir ini karena kelelahan mengelola usaha kuliner serta minimarket yang kini sudah menjelma menjadi supermarket.

"Jadi aku harus bagaimana ?" Seokjin mendecih remeh.

"Ijin pada Yifan. Bagaimanapun Sehun itu anaknya. Kau jangan seperti pencuri yang sembarangan mengambil. Setidaknya kau harus meminta restunya. Dia akan menjadi mertuamu, dan itu adalah fakta yang tidak bisa kau tolak" Jongin berpikir sejenak. Entah, selama ini ia tidak pernah mau tahu lagi tentang Yifan. Sedangkan dengan kurang ajarnya ia akan menikahi sang anak. Jongin pikir Seokjin ada benarnya. Ia mau dengan Sehun, seharusnya ia juga mau menerima Yifan.

"Aku tahu kalian sudah saling memaafkan. Juga kalian sudah saling melupakan. Tugasmu sekarang hanya mencairkan kebekuan itu. Dan menghancurkan suasana kaku yang membuatku sangat muak" Seokjin dengan segala sarkasmenya, sama seperti peta petunjuk. Yang akan menuntun ke arah yang benar dan tidak pernah menyesatkan.

"Yah! Aku belum selesai" Seokjin berteriak ketika Jongin pergi begitu saja tanpa menjawab sepatah kata pun.

"Papa ?" atensinya teralih kepada Jimin.

Betapa rindunya dia dengan anak itu. Jimin semakin terlihat tampan dan menggemaskan. Sepertinya baru selesai mandi karena terlihat segar dengan bedak tebal. Sehun memang tidak pernah beraturan jika memberikan bedak bayi pada Jimin. Alasannya karena ingin selalu melihat Jimin segar dan harum.

"Hyung ?" Seokjin mengangguk sebagai jawaban atas sapaan Sehun.

"Maaf"

"Sudahlah, aku sudah terbiasa dengan kalian yang seperti ini. Sudah berapa jauh persiapannya ?"

Sehun tidak bisa menjawab karena dia sendiri tidak tahu sampai mana persiapan pernikahannya. Jongin terlalu antusias hingga mengurus semuanya sendiri. Dan Sehun ibarat ratu yang terima beres.

"Auh, bedebah itu memang"

"Hyung, berhenti mengumpatinya. Dia calon menantu mu"

Seokjin memang selalu menggerutu dan mengeluh tentang semua sifat Jongin yang tidak sampai ke nalarnya. Tapi di satu sisi lain, ia menyukai bagaimana Jongin memperlakukan Sehun dengan layak, sebagai mana mestinya.

-KH-

"Ada yang bisa say- Jongin ?" lelaki tinggi berumur hampir setengah abad itu terkejut kala menyaksikan seseorang yang tidak asing berdiri di depan meja kasir. Kebetulan hari ini dia sedang kesepian karena Seokjin tengah menghadiri pernikahan putranya di Korea. Jadi Yifan pikir, tidak ada salahnya ia datang berkunjung ke Supermarket yang sudah beberapa tahun berdiri ini.

"Ku dengar kau sakit, kenapa malah disini ?"

"Kapan kau datang ? d-dan ada perlu apa ?" Jongin mendengus kala pertanyaannya dibalas oleh pertanyaan juga. Tapi akhirnya ia memilih mengalah.

"Mengunjungi calon mertuaku- ayah" sela nya lirih ketika mengucapkan kata 'ayah'.

Hati Yifan menghangat. Untuk pertama kalinya setelah kejadian panjang itu, Jongin tersenyum padanya. Tersenyum yang benar-benar tulus dan bukan senyum mengejek atau senyum penuh sarkas.

Yifan menggiring Jongin dan makan dibagian foodcourt di dalam supermarket. Seperti biasa Jongin hanya memesan kopi favoritnya sedangkan Yifan teh hangat dan beberapa kudapan ringan.

Setelah mendengar ocehan Seokjin tadi, Jongin memang langsung pergi seolah tidak peduli. Tapi ia terus berpikir bahwa semua ucapan Seokjin tidak ada yang salah. Dan saat itu juga dia mengambil penerbangan ke China tanpa basa-basi.

"Bocah itu pasti memaksamu" Yifan terkekeh membayangkan Seokjin yang mengomeli Jongin tanpa rasa takut.

"Tidak, Seokjin tidak memaksaku. Aku pikir ada benarnya juga semua perkataan dia meskipun harus disampaikan dengan bahasa yang kasar" Jongin menyesap sedikit kopinya.

"Maaf aku tidak bisa datang, kesehatanku benar-benar memburuk akhir-akhir ini."

"Apa Sehun tahu ?" Yifan menggeleng "Tidak, jangan beritahu dia. Aku tidak akan sanggup melihat wajah khawatirnya"

"Dasar bodoh. Jika seperti ini sama saja kau membuatnya khawatir." Yifan hanya tertawa, Jongin masih sama tidak berubah. Tapi itu justru membuat suasana yang semula dingin menjadi mencair.

"Maaf"

"Eh ?" Yifan yang tidak paham dengan ucapan tiba-tiba Jongin hanya mampu menampilkan wajah kebingungan.

"Maaf karena meminta anakmu dengan tidak sopan. Sekarang aku kemari untuk memintanya baik-baik, ayah" kali ini Jongin tidak lagi mengucapkan dengan lirih. Tapi lantang penuh keyakinan.

"Awalnya aku berpikir takdir macam apa ini ? Tuhan memang sengaja bermain dengan kita dengan menciptakan roda mematikan yang jika terlambat kita sadari, semua dari kita mungkin saja akan saling membunuh." Jongin diam menyimak semua yang akan diucapkan Yifan.

"Aku marah tentu saja ketika di depan wajahku sendiri, kau menghancurkan anakku. Aku yang berbuat dosa, harusnya aku saja yang menanggungnya. Tapi akhir-akhir ini aku tahu, jika saat itu, menghancurkan Sehun hanya alasanmu, karena alasan yang sesungguhnya dan berusaha kau pungkiri adalah kau memang mencintainya. Dalam tatapan pertama."

Jongin tidak menyangkal. Memang iya, dirinya jatuh cinta dalam tatapan pertama di siang yang malang itu. Ia jatuh sangat dalam dan lupa kembali pada kenyataan ketika dirinya membiarkan iris indah Sehun menembus hati kejamnya.

"Aku berbicara padamu saat ini bukan sebagai Yifan. Aku berbicara saat ini sebagai seorang ayah yang akan merelakan anaknya dimiliki orang lain. Menikahlah, Jongin. Bangun rumah kalian yang sempat hancur karena keegoisan kita. Tapi tolong jaga dia sebagaimana kau berpikir untuk menghancurkannya."

"Maksudnya ?"

"Kau pernah berpikir untuk menghancurkannya kan ? berpikirlah seperti itu agar membuatmu semakin hati-hati dalam menjaganya"

Tanpa diminta, Jongin akan selalu seperti itu. Menjaga Sehun juga Jimin sekuat yang ia bisa.

"Tentu, terima kasih"

-KH-

Jimin berkedip-kedip ketika menyaksikan uncle dan uncle tinggi yang membelikannya es krim tempo hari kini tengah berdiri berdampingan di depan pintu rumahnya. Sejak kapan uncle kesayangannya menjadi sedekat itu dengan orang asing ?

Padahal unclenya sendiri yang setiap hari berorasi jika dia tidak boleh terlalu dekat dengan orang asing. Atau jika perlu Jimin harus berteriak jika orang asing tersebut mulai meresahkan.

"Uncle tidak berteriak?"

"Huh ?" Baekhyun yang kebingungan segera mencomot anak gemuk itu untuk digendong.

"Iya berteriak"

"Kenapa harus ?"

"Karena ada orang asing di dekat uncle"

Chanyeol yang merasa menjadi orang asing disini hanya bisa membulatkan mata dan menampilkan wajah bodohnya.

"Haruskah ?"

"Mh-hm" Jimin mengangguk semangat.

"Nanti mama akan keluar dan menolong uncle"

Dan sekarang Baekhyun menyesal pernah mengajarkan itu pada Jimin. Karena ia tidak mau dianggap sebagai contoh buruk dan pada akhirnya Baekhyun berteriak. Mengundang Sehun untuk keluar dengan tongkat golfnya siap memukul Chanyeol.

"Astaga, hyung"

"Kan, mama pasti keluar dan menolong uncle"


Tbc


No edit. Hehehe. Mau cpt cpt tamatin ini biar bisa rilis ff on going baru. Tapi apalah daya mood gue yg cem roller coaster. Hehehe. Happy reading, love :)