chapter 2

pretend

Naruto by Masashi Khisimoto

pairing : SasuSaku

.

.

Sasuke sudah membulatkan tekadnya sejak bangun tidur tadi, bahwa hari ini ia akan mengakhiri hubungan konyolnya dengan Sakura. Namun, meski niat itu meletup-letup tak tertahankan di saraf otaknya, yang terjadi malah seperti ini.

"Sudahlah... biarkan nenekmu tenang di sana." Ucapnya setengah kesal dan setengah prihatin. Sementara gadis di sampingnya itu masih belum berhenti menangis sejak tadi.

"Aku... aku belum sempat menjenguknya."

Bagi Sasuke, mengumpulkan kesabaran itu sulit. Tapi entah bagaimana dalam rasa kesal yang seolah menyumpal pernafasannya, ia masih bisa bersabar untuk gadis ini. "Kau tahu... mmm... Tuhan itu selalu punya rencana yang baik. Pasti ada alasannya kenapa nenekmu harus meninggal hari ini." Dari motivasi-motivasi yang pernah ia baca, setidaknya ia pernah menjumpai kalimat seperti itu.

Sakura hanya diam, menangis pelan dengan air mata yang tak berhenti mengalir. "Tapi tetap saja aku tak bisa berhenti bertanya-tanya, kenapa Tuhan merencanakan ini."

Diam-diam Sasuke memutar bola matanya kesal. Mana dia tahu apa yang direncanakan Tuhan, aneh sekali sih Sakura ini. Dan ia tak berniat menanggapi. Sibuk dengan pikirannya sendiri, kenapa ya wanita itu suka sekali menangis. Padahal jika dilogika kematian itu adalah sebuah kewajaran. Ia masih ingat ketika kakek dan neneknya satu-persatu meninggalkannya, bukannya tidak merasa sedih sama sekali, setidaknya ia tidak menangis cuma... sedikit menyesal karena tak bisa menemani keduanya di detik-detik terakhir.

"Kau mau ikut denganku?" Sasuke bertanya, berharap dengan rencananya ini Sakura bisa berhenti menangis.

"Kemana?" Wajah gadis itu masih sembab, jejak air mata tersisa menyakitkan di sana.

"Sudahlah... mari ikut denganku." Ia tak benar-benar yakin akan mengajak si Haruno itu kemana, tapi detik berikutnya tangannya sudah menggenggam erat tangan mungil Sakura. Menuntunnya untuk meninggalkan taman sekolah.

.

.

Sasuke menghela nafas panjang, duduk di bangku kafe paling ujung dengan Sakura yang mulai bisa tersenyum sembari menyendok es krim strawberrynya. Ia tidak mengerti kenapa rasanya lega sekali telah bisa mengembalikan tawa si gadis, padahal seharusnya ia tak memiliki kewajiban apapun atas hal itu.

"Terima kasih ya." Gadis itu berucap pelan.

Sasuke hanya mengalihkan pandangan padanya, tersenyum setengah malas. Tangannya yang sejak tadi memegang gagang sendok tetap ia biarkan seperti itu, tanpa sedikitpun ingin menikmati rasa cokelat yang meleleh menggiurkan.

"Kau tahu Sasu, aku tidak pernah berpikir saat-saat seperti ini akan terulang lagi." Iris hijau menawan si gadis menatapnya lekat.

Oh ya Tuhan, please... jangan mulai mendramatisir keadaan. Dan ia hanya diam, menantikan kalimat selanjutnya dari si lawan bicara.

"Ku pikir, setelah kau mengatakan ingin putus dari ku setahun yang lalu, itu artinya tidak ada lagi saling sapa atau saling senyum. Tapi..." helaan nafasnya terdengar lega bercampur kebingungan. "Kali ini lebih dari itu, kau kembali." Ia mengakhiri kalimatnya dengan senyum yang sulit diartikan.

Sejenak Sasuke mencoba mencerna semua kalimat itu. Seolah Sakura berusaha bilang bahwa dulu seharusnya mereka tak berpisah, dan... apa iya gadis itu tak bisa melupakannya selama setahun belakangan?

"Oh ya, ada satu hal yang ingin ku tanyakan." Ragu-ragu Sakura melirik sekilas pada si pemuda Uchiha, lalu kembali menatap lelehan es krimnya yang tak lagi membuatnya berminat. "Kenapa kau meninggalkanku waktu itu?"

Apa? Demi Tuhan, apa yang ditanyakannya itu? Kejadian putus mereka kan sudah lama sekali berlalu, apa masih pantas dibicarakan? Lagi pula mengungkit-ungkit masa lalu kan tidak baik.

"Ada yang bilang, kau memutuskanku karena Karin. Benar ya?"

Oh... benar itu, tapi ada alasan lain, dan ia terlalu malu untuk mengakuinya. Lagipula waktu itu ia cuma bocah 16 tahun yang masih terlalu labil dan tak paham apa itu cinta, tapi... sampai sekarang pun ia masih tak mengerti cinta itu rasanya bagaimana. Konyol ya? Ya... hidupnya memang seaneh itu. "Menurutmu?" Ia malas membahas ini, dan mengatakan yang sebenarnya terdengar terlalu menyakitkan. "Aku sendiri bahkan lupa." Itu cuma alasan untuk menghentikan pertanyaan sakura yang membuatnya tak nyaman.

Tak ada lagi yang diajukan Sakura sebagai pertanyaan. Sepertinya paham jika lawan bicaranya merasa jengah. Ya sudahlah... itu kan masa lalu, tidak perlu dibahas.

Mereka menyudahi acara yang disebut Sakura sebagai kencan itu ketika jam tangan Sasuke menunjuk pukul 5 sore. Pemuda Uchiha itu tak benar-benar menyebutnya kencan, atau... apalah, yang dia ingat cuma membantu si Haruno keluar dari masalahnya.

.

.

Matahari sudah nyaris berada di kaki langit sebelah barat. Dan Sasuke masih sibuk mengejar bola yang tengah digiring Kiba ke arah ringnya. Sai di belakangnya sibuk dengan perkiraan dari arah mana sang lawan akan menyerang. Tepat di saat-saat genting seperti itu, Gaara yang kebetulan hanya duduk di seberang lapangan berteriak lantang.

"Hei... Sasuke, ponselmu berbunyi tuh."

"Biarkan saja." Tanggung jika harus berhenti hanya untuk mengangkat panggilan, maka dia tetap menyibukkan diri dengan permainan basketnya.

"Panggilan itu tidak berhenti dari tadi. Barangkali orang tuamu yang menelfon, siapa tahu itu penting." Gaara pastinya tahu jika Uchiha bungsu itu begitu menggemari basket, jadi seharusnya ia berpura-pura saja tak mendengar panggilan ponsel yang tidak berhenti menjerit mengesalkan tersebut, karena kadang-kadang mengganggu Sasuke di acara semacam itu hanya akan membuat si pemuda merasa geram.

Pemuda dengan surai hitam sempurna itu berhenti sejenak, menatap ke arah Gaara dengan lototan kekesalan yang memacar dari iris menawannya. "Biarkan saja kenapa sih? Lagi pula itu ponselku, yang terlibat urusan juga aku. Kenapa kau yang heboh."

Tuh kan. Gaara diam, mendengus kesal. Padahal niatnya baik kok. Tapi malah dianggap salah, ya sudah.

Lemparan yang dilakukan Kiba ke arah ringnya benar-benar tak meleset. Naruto yang merupakan bagian dari tim Kiba berteriak bangga. Sementara itu Sai mendecak, nyaris tak terima.

Sasuke mendengus, mengalihkan pandangan ke arah Gaara dengan tatapan menyalahkan.

"Apa? Kenapa kau menatapku begitu?" Pemuda Sabaku No itu tak bisa terima disalahkan.

"Pikir saja sendiri." Sasuke buru-buru meninggalkan lapangan basket setelah mengambil tas dan ponselnya. Padahal tinggal 2 point lagi ia dan Sai bisa mengalahkan Kiba dan Naruto, tapi ternyata keberutungan tak berpihak pada mereka.

"Hei Sasu... kau tidak pulang bersamaku ya?" Naruto berteriak lantang, namun percuma saja, yang dipanggil sudah menghilang setelah pintu gedung olah raga kembali ditutup.

"Makanya jangan ganggu anak itu jika tengah serius dengan permainan basket, begini kan jadinya." Sai menepi, mendekati Gaara dan duduk di sebelahnya.

"Akhir-akhir ini dia memang sensitif." Naruto mengambil botol air mineralnya, meneguknya hingga tersisa setengah.

"Ku pikir itu karenamu." Ganti Kiba yang menimpali.

"Apa?"

"Gara-gara kau yang pakai acara menyuruh Sasuke nembak mantan pacarnya. Asal kau tahu, itu pasti memalukan sekali." Seolah pemuda Inuzuka itu tahu bagaimana rasanya.

"Hahaha... itu lucu. Dan aku sudah menduga jika Sakura masih memiliki perasaan pada Sasuke, makanya aku menyuruh anak itu nembak Sakura lagi. Masa iya sih yang perempuan yang harus mengungkapkan duluan." Kalimat itu terlontar dengan cengiran lebar khas Naruto.

Yang lain menatapnya tak paham.

"Oh ya Naruto, beberapa hari terakhir sebelum kau menyuruh Sasuke nembak Sakura, kau kan sempat dekat dengan gadis itu." Sai kembali ingat kejadian seminggu yang lalu, di mana ia sering menemukan Naruto selalu pergi ke perpustakaan hanya untuk menemui Sakura.

"Ah... itu." Senyumnya terhenti, dan kali ini keningnya berkerut, tanda keseriusan yang bercampur dengan keraguan. "Dia kan jago biologi, dan... aku hanya minta Sakura mengajariku, itu saja."

Ketiga temannya manggut-manggut, meski... alasan Naruto agak tak masuk akal, aneh kan? Mengingat pemuda Uzumaki itu bahkan nyaris selalu tidur di kelas jika bu guru Kurenai melancarkan aksinya dalam menjejali otak mereka dengan berbagai hal mengenai anatomi tubuh, organ pencernaan dan hal-hal lain yang berbau makhluk hidup.

.

.

Sasuke baru sampai gerbang ketika mengecek ponselnya, dan benar saja, puluhan panggilan dari ayah maupun ibunya tampak jelas di layar depan. Ia jadi merasa bersalah pada Gaara. Hampir saja ia menelfon balik dan menanyakan apa yang terjadi, karena tidak biasanya orang tuanya seperti itu. Namun ia mengurungkan niat tersebut ketika melihat ada banyak pesan juga yang dikirim untuknya. Maka tanpa menunggu nanti, ia membuka pesan yang dikirim sang ibu.

Semua pesan itu berbunyi.

'Cepat datang ke rumah sakit, kakakmu baru saja mengalami kecelakaan.'

"Ya Tuhan." Pemuda itu nyaris memekik. Berlari menyusuri tepian jalan tanpa peduli pada rasa lelah yang menggantung di persendian kakinya, atau bahkan peluhnya yang ia biarkan menetes tanpa mau berhenti sejenak dan mengelapnya. Apakah ia akan terlambat untuk sampai di sana? Semoga saja tidak terjadi hal yang fatal pada kakak satu-satunya yang ia miliki itu. Semoga...

.

.

Sudah cukup bagus ketika dokter yang menangani Itachi, sang kakak, mengatakan bahwa tidak ada luka yang lebih serius, hanya patah tulang yang terjadi pada sikunya.

Mungkin itu agak mengerikan dan mengharuskan Itachi beristirahat lebih lama di rumah, rehat sejenak dari runtinitas kampusnya. Tapi masih lebih baik dibandingkan dengan patah leher atau gegar otak kan?

"Sudah baikan ya?" Sasuke yang pertama kali masuk ke kamar rawat Itachi, setelah dokter memberikan izin.

Pemuda yang lebih tua itu hanya tersenyum, tampak sedikit pucat.

"Sudah ku bilang dari awal, mengambil jurusan farmasi itu berat. Kau harus melakukan prakteklah, membuat laporan lah, belum lagi tugas yang lain." Mulai deh ceramahnya. "Dan pasti kau berkendara dalam keadaan mengantuk kan?"

"Seolah kau tahu saja." Itachi masih terlalu lemas, dan tubuhnya benar-benar nyeri di sana-sini. Namun, mendengar adiknya yang biasanya cuek itu mulai berkomat-kamit sok tahu, ia jadi ingin tertawa.

"Tapi setidaknya... kau akan berada di rumah lebih lama." Kali ini Sasuke memelankan suaranya, menatap prihatin pada balutan perban yang melilit tangan kanan sang kakak, dia pasti tidak bisa menulis untuk sementara waktu.

"Kau suka ya aku berada di rumah?"

"Bukan begitu. Aku kan hanya kasihan mendengar curhatanmu tentang tugas-tugas kuliahmu yang nyaris seperti ujian hidup itu."

"Curhatan?" Si sulung mengernyitkan kening.

"Tidak perlu merasa aneh begitu. Kau selalu membuat status di setiap akun yang kau miliki bahwa tugas banyaklah, lelahlah... atau apalah. Ya Tuhan... aku bahkan tak habis pikir jika memiliki kakak yang terlalu berlebihan sepertimu." Ia mengakhiri kalimat panjang lebarnya dengan helaan napas, dan menjatuhkan dirinya pada sebuah sofa yang terletak di dekat jendela.

"Kenapa kau jadi banyak omong begini? Aku jadi ragu... jika kau ini pria idaman di sekolahmu. Atau jangan-jangan teman-temanmu itu membual ya?"

Sasuke benar-benar berhenti bicara, ya ampun... ia kan hanya berani jadi secerewet ini jika di depan Itachi. Dan lagi pula suasana hati yang buruk ditambah dengan kekhawatiran yang memuncak membuat otaknya memproses lebih banyak kata, barangkali.

Mereka saling diam ketika orang tua mereka benar-benar memasuki ruangan. Malu jika harus berdebat di depan ayah dan ibu, lagi pula orang tua mereka terlanjur mengecap keduanya sebagai pendiam. Dan bukankah lelaki pendiam itu lebih keren?

.

.

"Ambilkan snack itu." Tangan lelah Itachi menunjuk sebungkus snack di meja dekat Sasuke.

Anak itu tak protes, dia menurut saja, meski rasanya agak kesal disuruh ini itu. "Setelah ini sudah ya, jangan minta ambilkan apapun." Usai memberikan snack itu pada sang kakak, ia kembali membaringkan diri di sofa panjang dekat jendela. "Aku lelah."

Itachi menahan tawanya, kapan lagi bisa mengerjai anak itu. Intensitas pertemuan di hari-hari normal tidak begitu banyak. Ia hanya bisa pulang sebulan sekali, itu jika tugasnya tidak menumpuk seperti gunung. Dan seringnya, sehari menghabiskan waktu di rumah hanya bisa melihat Sasuke selama beberapa jam saja karena... bocah itu kan juga harus sekolah.

Ponselnya berbunyi, ada pesan masuk. Dengan cepat ia membukanya. Dan ternyata itu Sakura yang minta dijemput di perpustakaan kota. Ya ampun... ogah sekali, ketika ia mengerling jam tangannya ia mendapati pukul 8 malam. Memang belum cukup malam, tapi aktivitas di sekolah nya membuatnya lelah dan ingin cepat tidur. "Menyebalkan." Buru-buru ia mengetikkan balasan.

'Maaf aku tidak bisa menjemputmu kakakku baru saja mengalami kecelakaan, kau bisa pulang sendiri kan?'

Send

Sasuke membaca beberapa kali pesannya dan mendapati kalimat singkat itu terlampaui tak peduli dengan keadaan Sakura.

'Orang tuaku pulang sebentar, mereka akan kembali pukul 10 nanti, jadi aku harus menjaga kakakku.'

Send

Setidaknya penjelasannya tidak mengada-ada, meski sebagiannya ia hanya cukup malas untuk menuju ke perpustakaan kota yang jaraknya sekitar 3 kilo dari rumah sakit.

'Ya Tuhan... benarkah? Aku akan ke rumah sakit sekarang.'

'Oh... tidak perlu, cepat pulang saja, ini sudah malam.'

'Aku sungguh-sungguh, cepat pulang saja, aku khawatir terjadi sesuatu yang tak diinginkan.'

Ia menambahkan, lagi pula jika Itachi sampai melihat Sakura disini itu pasti memalukan sekali. Dan... mau diletakkan di mana wajahnya ini?

'Baiklah... semoga kak Itachi cepat sembuh.'

'Ya, akan ku sampaikan padanya nanti.'

Dan setelah itu acara berkirim pesan singkat benar-benar selesai. Sasuke lega sekali, karena detik ini juga ia hanya ingin tidur dengan nyenyak.

"Siapa?" Uchiha sulung yang sejak tadi memperhatikan raut sebal sang adik tak tahan untuk tetap diam saja.

"Temanku." Ia tidak akan sebodoh itu mengatakan jika Sakura lah yang baru saja mengiriminya pesan, Itachi juga tahu jika hubungannya dan Sakura sudah berakhir sejak lama, akan memalukan jika tiba-tiba ia kepergok balikan dengan Sakura, apalagi hanya karena alasan sepele semacam taruhan.

Dan itu membuat Itachi benar-benar bungkam, tak lagi bertanya, hanya mengunyah snacknya selama sisa waktu yang ada.

"Oh ya, kalau butuh sesuatu tunggu sampai ayah dan ibu datang saja. Tubuhku benar-benar tidak bisa diajak kompromi lagi." Belum sempat kalimat itu berakhir, si pemilik suara sudah memejamkan matanya.

Itachi tak menyahut, lagi pula ia memang tak sedang membutuhkan apapun. Membiarkan lawan bicaranya terlelap dengan dengkuran lembut yang begitu pelan. Sudah lama sekali ia tak melihat Sasuke ketika sedang tidur.

.

.

Sasuke menyesap jus melonnya, membiarkan cairan itu membasahi tenggorokannya yang kering. Di depannya, ada Naruto yang sejak tadi mengunyah keripik kentang dengan cara yang kelewat menjijikan. Oh ayolah... Sai saja beberapa kali tersedak kuah ramennya hanya karena melihat cara makan si bocah Uzumaki.

"Pelan-pelan dong makannya! Kau jadi lebih mirip Chouji jika seperti itu." Tak tahan juga, akhirnya Sai menggumamkan keluhannya.

"Atau lebih buruk dari Chouji, itu mengerikan, bodoh." Sasuke mendengus, tapi memang benar, cara makan Naruto seperti bocah kelaparan yang tidak diberi makan selama sebulan.

Kiba hanya tertawa, mengalihkan perhatiannya pada Gaara yang sejak tadi hanya diam. "Hei... Gaara, semalam kau dari mana?"

Yang ditanya agaknya shock dengan pertanyaan yang mendadak itu. "Aku?"

"Ya kau, kulihat kau pulang bersama Sakura. Kalian dari mana?" Inuzuka muda menampilkan raut seriusnya, sementara yang lain sibuk menyimak.

Memang ada yang salah ya jika ia pulang bersama Sakura, ia pikir itu hal yang wajar, lalu kenapa tatapan teman-temannya seperti itu. Apalagi tatapan Sasuke, oh tidak... pemuda Uchiha itu bahkan seolah tak sudi mengalihkan pandangan padanya. "Oh itu, aku dari minimarket. Dan... kebetulan bertemu Sakura di jalan, dia dari perpustakaan. Jadi... daripada kami pulang sendiri-sendiri maka kami memutuskan pulang bersama. Aku mengantarnya ke halte bus."

Kiba manggut-manggut. "Oh begitu."

"Bagaimana kau tahu? Kau tidak sedang... mengutitku kan?" Tatapan aneh Gaara pada Kiba membuat meja yang mereka tempati riuh oleh suara tawa, Sasuke bahkan tampak menahan tawanya.

"Mana mungkin begitu, gila apa ya." Inuzuka nyaris menjitak kepala si Sabaku No, menghilangkan pikiran tak wajarnya. "Aku dari rumah Naruto, mengambil bukuku yang terbawa olehnya."

"Oh..." ganti Gaara yang mengangguk.

Sasuke merasa kikuk sendiri. Tiap kali membicarakan si Haruno Sakura ia seolah merasa nyaris terbawa, bukan tanpa sebab juga sih siapapun tahu jika ia adalah pacar dari gadis itu, Meski hanya mereka berlima saja yang tahu kebenarannya, tapi tetap saja kan.

"Kau tidak marah kan Sasuke?" Naruto melagukan pertanyaannya, bermaksud menggoda dengan seringaian menyebalkan yang tampak penuh di bibirnya.

"Kenapa aku harus marah?" Dia berusaha santai saja dengan hal itu. Dan ketika semua tatapan jahil teman-temannya mulai mengarah padanya, ia merasa jengah, mungkin mereka mengira dirinya cemburu. Ia nyaris tertawa, mana mungkin ia cemburu, hubungannya dengan Sakura tidak lebih dari sandiwara.

.

.

Sore itu, untuk pertama kalinya Sakura duduk di bangku penonton untuk melihat Sasuke berlatih basket. Padahal jika disuruh memilih, Sasuke akan dengan senang hati menyuruh gadis itu pulang duluan, kan dengan begitu ia tidak harus repot-repot mengantarnya pulang usai latihan, huh... yang benar saja, persendian kakinya selalu nyaris putus tiap kali permainan basket selesai. Tapi... ia tidak bisa menyudahi kegemaran itu, seolah ia telah terobsesi parah dengan olah raga yang satu itu.

Beberapa anak perempuan meneriakkan nama Gaara, jangan heran... Gaara itu salah satu pria idaman di sekolah. Sasuke pikir, satu-satunya alasan yang membuat pemuda itu tenar hanya karena dia adalah salah satu anggota OSIS. Anak-anak OSIS kan selalu terlihat keren -ahem- meski tidak semuanya juga sih.

"Sasuke..." Kiba meneriakkan namanya, bersamaan dengan lemparan bola yang ia pikir terlalu terburu-buru.

Sasuke menghela napas lega ketika lemparan itu benar-benar bisa ia tangkap. Kini dengan konsentrasi penuh ia mendribel bola menuju ring lawan.

Ketika melihat Naruto telah berada di dekat ring lawan, dan seolah siap memegang bola, ia memilih melemparkan bola ke arah Naruto. Dan hap... lemparan bola yang dilakukan Naruto mendarat sempurna melewati ring lawan.

Sekilas ia melihat Kiba mengacungkan jempol ke arahnya dan Naruto, seolah mengisyaratkan bahwa kombinasi mereka cukup bagus, tidak sia-sia juga latihan selama ini.

Sementara itu Gaara dan Sai yang hanya berdiri di dekat ring sama-sama bertepuk tangan. Sepertinya latihan pertama kali melawan kelas sebelah cukup sukses.

Tidak direncanakan dari awal, tapi entah kenapa mendadak penglihatannya mengarah tepat pada Sakura. Gadis itu tengah tersenyum sedemikian manis, hingga ia pikir benar-benar sedang melihat permen kapas hidup.

Kenapa jantungnya sedikit berdebar begini? Apa iya efek lelah? Tapi... kenapa perasaan aneh itu menimbulkan semangat yang menggebu tiap kali ia menatap ke arah Sakura. Ah... lupakan, ini pasti hanya karena terlalu bahagia karena timnya bermain cukup bagus hari ini.

Permainan berakhir ketika matahari sudah nyaris tenggelam seluruhnya di ufuk barat. Tim Sasuke mendapat skor tertinggi, dan tidak ada yang lebih membuatnya tersenyum lebar selain hal itu. Ini hebat, bukan begitu?

Ketika lawan mereka dengan wajah lesu mulai meninggalkan lapangan. Sai menggumamkan sederet kalimat pujian yang tak benar-benar Sasuke pahami. Iris sehitam jelaga miliknya tengah mengamati gerak-gerik Gaara yang sepertinya hendak mendekati Sakura.

Lihat saja, ia akan membuat bocah itu merasakan bagaimana deskripsi sebuah kekesalan. Setelah mengucapkan sampai jumpa singkat pada teman-teman basketnya, Sasuke berlari kecil mengambil tas ranselnya dan buru-buru menuju arah Sakura.

Saat itu, si gadis sedang berbicara dengan Gaara, tidak terlalu peduli dengan apa yang mereka bicarakan, kini Uchiha bungsu itu sudah menggandeng tangan Sakura.

"Maaf ya, kami harus pulang." Seolah ia tak memiliki masalah apapun dengan Gaara, tapi... memang tidak ada, hanya saja pria Sabaku No itu membuatnya kesal beberapa hari ini.

Sakura melambai pelan pada Gaara, lalu kakinya mulai melangkah mengikuti pemuda di depannya.

"Jangan dekat-dekat Gaara." Gumamnya.

"Apa?" Desisan pria itu tak begitu keras, dan Sakura pikir tidak ada salahnya ia menginginkan pengulangan.

Namun, Sasuke tak begitu suka melakukan pengulangan. Jadi... ia membiarkan kalimatnya mengabur bebas bersama dengan pertanyaan Sakura. "Aku akan mengantarmu pulang."

Gadis itu hanya mengangguk, tidak terlalu memikirkan sesuatu yang sedikit menganggu di otaknya. Lagi pula jika kalimat yang diucapkan Sasuke tadi penting, dia pasti akan mengulanginya lagi lain kali.

Dan demi Tuhan, Sasuke hanya ingin membalas kekesalannya pada Gaara dengan menjauhkan Sakura darinya. Apa... Gaara benar-benar tertarik dengan gadis ini?

TBC

sebelumnya makasih banyak buat para reader yg sudah meluangkan waktunya untuk baca fic ini. dan makasih... makasih banget untuk reviewnya dan fav nya.

untuk sasukenya, maaf... soalnya aku bikin agak kampret di sini XD...

semoga chap 2 ga mengecewakan.

yakin ya masih mau lanjut?

review?