chapter 3

Pretend

Naruto by Masashi Khisimoto

Pairing : SasuSaku

.

.

Itachi hanya sedang bosan saja, makanya ia memasuki kamar sang adik dan mengobrak-abrik barang-barang di dalamnya, lagi pula Sasuke pasti tidak punya pilihan kecuali hanya membereskannya ulang. Memikirkan hal itu membuatnya ingin tertawa melebihi yang bisa ia lakukan. Ia bisa berasalan tengah sakit dan butuh sesuatu untuk hiburan, seperti buku bacaan misalnya. Tapi... jika dipikir-pikir lagi, memang sasuke suka ya menyimpan buku bacaan?

Si Uchiha bungsu tengah mandi saat itu, biasa... pulang terlalu sore dan mandi kemalaman. Seperti rutinitas remaja kebanyakan, dan ia tak perlu terlalu ingin tahu mengenai semua itu.

Di dekat tas yang diletakkan secara asal di atas tempat tidur, ia melihat ponsel Sasuke menyala, bunyi dentingan keluar dari sana. Sebuah pesan masuk ternyata.

Itachi pikir, sang adik mungkin akan sedikit lebih lama, jadi ia meraih ponsel itu, barangkali pesan yang diterima itu penting.

From : Sakura

'Sasu...kau ada waktu malam ini?'

Si sulung mengernyitksn kening. Sakura? Sakura Haruno itu ya? Bukannya hubungan Sasuke dan Sakura sudah berakhir sejak lama? Eh tapi... atau jangan-jangan ini Sakura yang lain.

Pintu kamar mandi terbuka, Sasuke keluar dari sana dengan wajah yang tampak sedikit lebih segar dibandingkan usai pulang tadi. Tatapannya agak aneh ketika matanya bertumpu pada ponsel yang berada di genggaman sang kakak.

"Jadi... kau balikan dengan Sakura? Si gadis permen kapas itu?" Itachi agak ragu menanyakannya, sudah tahu wajah Sasuke tampak kesal karena pertanyaannya, ia malah mengingikan kepastian.

"Penting ya untuk tahu?" Dengan kecepatan yang tidak bisa diperkirakan ia merebut ponselnya. Itachi itu kenapa sih, sudah sakit masih saja banyak tingkah.

"Bukankah kau pernah bilang ya, pantang untuk jatuh cinta 2 kali." Ia duduk di ranjang Sasuke, memeriksa isi tas sang adik dan membuka beberapa buku catatannya.

"Memangnya kenapa?" Ia benci sekali jika Itachi sudah mulai mengungkit-ungkit masa lalu. "Aku cuma membutuhkannya untuk memperbaiki nilai kimia ku. Aku sudah SMA tingkat akhir. Memalukan jika nilaiku terlalu buruk untuk dikenang."

Si sulung Uchiha mengangguk. Sembari mencermati tiap tulisan tangan Sasuke dalam buku catatan tersebut. Kelihatannya kimianya tidak terlalu buruk. "Jadi..."

Sasuke membiarkan air menetes dari rambutnya yang basah, terlalu malas untuk sekedar mengambil handuk dan mengeringkannya. Itachi terlanjur membuat moodnya memburuk. "Aku dan Sakura akan belajar bersama malam ini." Ia memutar bola matanya kesal. Berharap si sialan Itachi berhenti untuk bertanya.

"Di mana?"

"Kenapa kau terlalu ingin tahu sekali sih? Memang kau ini siapanya Sakura?" Emosinya sedang tak stabil, rasanya ingin marah terus.

"Bukan siapa-siapanya Sakura, tapi kan aku kakakmu." Menyeringai puas ketika berhasil memancing kemarahan sang adik.

Tak mau peduli lagi. Sasuke lalu duduk di kursi belajarnya. Mengecek pesan yang dikirim Sakura padanya. Lapi pula, gadis itu hanya menanyakan ia ada waktu atau tidak, lalu kenapa Itachi sudah menyimpulkan jika ia balikan dengan si Haruno? Dia terlalu peka atau terlalu mengada-ada? Meski kenyataannya benar, ia masih sulit untuk mengakui kebenaran tersebut. Sekilas ia melirik sang kakak yang sibuk dengan buku catatannya.

"Kenapa tulisanmu semengerikan ini?"

"Bisa tidak sih berhenti berkomentar? Kau kan bukan komentator." Tangannya dengan cekatan mulai mengetikkan balasan untuk Sakura. Ia harus segera pergi dari rumah jika tidak ingin mengalami darah tinggi mendadak akibat ulah sang kakak.

Dan Itachi malah tertawa lepas, membiarkan Sasuke dengan wajah bersungut-sungut mendelik kesal ke arahnya.

.

.

Sasuke akui bahwa ia mungkin jago dalam hal matematika. Tapi untuk kimia, otaknya seolah menolak mentah-mentah segala sesuatu yang berbau stoikiometri, konfigurasi elektron beserta jajarannya. Jadi... ketika bibir mungil Sakura sibuk menerangkan tentang alkana, alkena dan alkuna, pikirannya tiba-tiba terasa buntu. Padahal jika dilogika, seseorang yang memiliki kemampuan menghitung yang baik tidak akan kualahan dalam pelajaran lainnya, namun sepertinya tidak berlaku untuknya.

"Bagaimana... sudah mengerti?" Iris zamrud Sakura mengerling ke arah si pemuda.

Sasuke geragapan, sejak tadi ia hanya mengamati gerakan bibir Sakura tanpa mengerti sedikit pun yang diucapkannya, ya Tuhan... ia melamun. "Be-belum, bisa diulangi?" Ia tersenyum ragu-ragu, namun ketika mendapati anggukan dari lawan bicaranya, ada sebersit rasa lega yang tak bisa dijelaskan.

Pemuda Uchiha itu baru mengerti pada pengulangan ke tiga, otaknya buruk benar, tapi... kimia kan memang begitu, menurutnya lebih sulit dari pada menyelesaikan soal logaritma dan kalkulus.

"Baiklah, baiklah... rangkap satu kan alkana, rangkap dua alkena dan rangkap tiga alkuna." Sasuke memgernyit, sejenak mencermati soal yang akan dikerjakannya. "Akan aku coba."

"Itu mudah, jika mengalami kesulitan, jangan sungkan bertanya ya." Gadis itu meraih buku tugas sejarahnya. "Aku mau menyelesaikan tugas dari Pak Guru Iruka."

Sasuke hanya mengangguk, andai ia satu kelas dengan Sakura, pasti menyenangkan sekali bisa menyalin tugas gadis itu, jadi kan tak perlu repot-repot belajar dengan keras seperti ini. Karena... jika tidak bisa, tidak ada yang dapat ia andalkan lagi di kelas. Teman-teman dekatnya kebanyakan memiliki IQ standar.

"Mmm... Sakura, kau... setiap hari belajar ya?" Pastilah begitu, memang dirinya apa? yang kadang hanya menghabiskan semalaman nonton acara basket di TV jika tugas sedang tidak banyak.

Gadis itu mengangkat kepalanya, tersenyum begitu manis, dan mengangguk perlahan. "Ya, memang harus begitu kan?"

Sasuke mengangguk canggung, lagi pula Sakura mana tahu jika ia tak setiap hari belajar. Terlalu banyak membuang waktu bersama buku-buku membosankan hanya akan membuat otaknya kejang-kejang.

"Sudah selesai Sasu?" Perhatian gadis itu beralih pada hasil kerjanya.

"Oh... sedikit, maksudku belum." Ia menyeringai, tak ingin terlihat layaknya bocah idiot yang IQ nya dibawah 60. "Aku baru menyelesaikan 5, kurang 15 lagi."

Sakura mengangguk. "Masih kesulitan?"

"Sepertinya tidak." Meski sebenarnya iya, tapi akan memalukan sekali jika menyuruh Sakura untuk mengulang penjelasan yang tadi. Otaknya jadi seperti batu karang, keras sekali sampai penjelasan yang tadi bahkan hanya masuk sebagian. "Aku akan berusaha menyelesaikannya, kau bisa membantu mengoreksi nanti."

"Oke, baik." Haruno kembali berkutat dengan tugasnya.

Sementara itu, diam-diam Sasuke beberapa kali mencuri pandang ke arah si gadis. Awalnya hanya penasaran karena kefantastisan otak si merah jambu itu, makan apa ya hingga pikirannya bisa seencer itu? Tapi... lama-lama Sasuke jadi suka mmandangi wajah di dekatnya tersebut.

.

.

Tidak ada bus, tidak ada taksi. Sasuke dan Sakura memutuskan untuk pulang jalan kaki saja, meski rasanya lelah sekali dan kantuk seolah nyaris melelapkan mata dari hingar-bingarnya malam Tokyo.

"Jam berapa sekarang?" Gadis itu bertanya, mengarahkan pandangan ragu-ragu pada pemuda di sampingnya.

Sasuke mengerling jam tangannya. "Jam 9." Huh... yang benar saja, 2 jam berkutat dengan kimia ternyata rasanya memuakkan.

Dari jarak cukup jauh mereka melihat lampu sorot menyala begitu mengagumkan, suara-suara riuh terdengar dari sana. Sementara itu dentuman-dentuman lagu bergantian terputar, seolah malam adalah hal yange indah untuk dirayakan.

"Ada apa di sana?" Uchiha muda itu mengernyit. Apakah mungkin ada konser dadakan yang digelar di sana? Dalam rangka apa orang-orang mengadakan konser itu?

"Ku pikir itu sebuah karnaval." Sakura tak begitu yakin. Namun, demi menuntaskan rasa ingin tahunya yang begitu menggebu, ia menarik tangan Sasuke. "Kita kesana ya."

Sasuke nyaris bilang 'tidak' tapi... detik berikutnya ia baru menyadari jika kakinya sudah melangkah mengikuti gadis di depannya, ah... yang benar saja, kenapa kaki sialan itu tak bisa diajak kompromi.

Dari jarak yang cukup dekat, Sasuke bisa menyaksikan bianglala yang berputar menakjubkan. Bagaimana mungkin ia bisa mengira jika ini adalah sebuah konser? Apa matanya memang terlalu rabun hingga tak bisa melihat bianglala raksasa yang terpasang menjulang di sana.

"Mau beli es krim?" Haruno muda menawarkan.

Rasanya agaka aneh saja jika Sakura yang menawarkan itu. Belum sempat juga ia mengiyakan atau sekedar mengangguk Gadis itu sudah melesat ke arah seorang penjual es krim. Menyebalkan sekali sih, kenapa juga mereka harus ke tempat seperti ini, buang-buang waktu saja. Lagipula... tempat ramai seperti ini mungkin hanya cocok untuk orang-orang frustasi yang butuh hiburan, dan ia tak merasa perlu dihibur.

Setelah membayar, mereka duduk di sebuah bangku dekat penjul takoyaki. Bianglala yang dipasang tepat di tengah-tengah kerumunan menjadi satu-satunya objek yang menarik untuk diperhatikan, karena sisanya hanyalah hiruk-pikuk menyebalkan orang-orang yang tak berhenti lalu-lalang.

"Kita naik komedi putar ya Sasu..."

Belum juga sempat ia menjawab, namun tangan Sakura sudah menariknya ke sebuah wahana.

Sasuke sendiri bingung, kenapa ia sulit sekali untuk menolak? Padahal ada banyak alasan yang mungkin dapat ia pergunakan, lelah misalnya, atau alasan bahwa kepalanya pusing dan kakinya terasa sakit karena main basket tadi. Yah... tetap saja, berapa kalipun otaknya melontarkan jutaan alasan, alasan itu hanya terbayang saja, tak benar-benar mampu untuk diungkapkan.

Pemuda itu tak bisa mendeskripsikan bagaimana perasaannya ketika naik komedi putar. Wahana yang satu itu adalah yang paling ia benci, kepalanya benar-benar pening. Jangankan mengharapkan adegan romantis seperti yang selalu disuguhkan dalam drama, ia malah ingin muntah beberapa kali. Untung saja tubuhnya jauh lebih kuat, jadi... gelombang besar rasa mual masih bisa disembunyikan.

Usai berkutat dengan komedi putar, kini mereka hanya berdiri di dekat seorang pemain sulap. Kerumunan orang-orang yang penasaran berjubel di sana, memenuhi tiap inci tempat yang kosong.

Sasuke mulai jengah, beberapa kali memijit pelipisnya karena terlalu pening. Ia ingin melarikan diri dari tempat ini, rasanya seperti berada dalam neraka, atau... mungkin jauh lebih buruk dari itu.

"Bianglala kelihatannya menarik." Pemuda itu berusaha memancing Sakura agar mau meninggalakn tempat itu. Lagipula susah sekali membujuk si gadis untuk cepat-cepat pulang, ia kan ingin tidur nyenyak tanpa ada gangguan apapun, fiuh... menyebalkan sekali.

Iris zamrud si Haruno bergulir, tampak sedikit tertarik. Ia tersenyum dan mengangguk senang. "Kita naik bianglala?"

"Kalau kau mau." Ia diam sejenak, mempertimbangkan sesuatu. "Ini sudah hampir tengah malam, memang orang tuamu tidak marah ya?" Sejak tadi ia tak berhenti mengerling jam tangannya, merasa kesal karena acara istirahatnya tersita banyak.

Gadis itu tak menjawab, mengalihkan pandangan pada seorang wanita penjual ramen. " Kau sendiri?"

Uchiha bungsu itu nyaris tertawa. "Aku laki-laki, Sakura. Orang tuaku tidak akan terlalu peduli dengan urusanku, paling-paling mereka mengira aku menginap di rumah teman." Matanya menatap lekat gadis di hadapannya, ada sebersit keraguan yang terpancar dari sorot matanya. "Sementara kau ini kan perempuan. Sudah sejak lama aturan pergaulan laki-laki dan perempuan itu berbeda."

Tampaknya Sakura mencermati kalimat lawan bicaranya. Ia mengerjap beberapa kali, sebelum mengambil keputusan. "Baiklah... setelah naik bianglala, kita pulang. Aku tiba-tiba ingin sekali naik wahana yang satu itu."

"Oke..." itu keputusan yang bagus, masa iya mereka akan menghabiskan semalaman di karnaval ini, lagipula besok bukan hari libur.

Ketika bianglala itu mulai berputar, Sasuke bagai melihat kerumunan semut di bawah sana, alih-alih sekumpulan besar manusia yang sibuk dengan urusan mereka masing-masing.

Udara malam agak terasa dingin, membuat rasa kantuknya makin subur. Parahnya ia hampir ketiduran beberapa kali, eh... memangnya Sakura tidak merasa mengantuk? Pelan ia menggeser pandangan ke arah si gadis yang duduk di sampingnya. Wajah cantik itu tengah tersenyum begitu manis, seolah takjub melihat pemandangan dari atas sini. Ya Tuhan... kenapa... wajah itu tampak sangat sempurna, kombinasi iris hijau zamrudnya bagai permata langka. Dan lagi... senyum itu, Sasuke nyaris meleleh.

Mata mereka bertemu, dan Uchiha muda itu merasa agak kikuk, namun tetap bertahan menatap si gadis. Akan tampak aneh jika ia menurunkan pandangan terlebih dahulu. Sakura tersenyum makin lebar, dan Pemuda itu tak memiliki pilihan kecuali membalas senyumnya, meski matanya nyaris seperti lampu senter yang nyaris padam.

Sasuke merasa ada sesuatu yang menyerupai aliran listrik tengah menjalari tubuhnya, berpusat pada jantungnya dan menyebabkan organ yang satu itu memompa darah lebih cepat. Menimbulkan sensasi aneh, senang dan gugup dalam waktu bersamaan. Apa ini? Bukan efek kantuk kan?

.

.

Entah berapa kali Naruto menjitak kepalanya karena matanya nyaris terpejam. Sepanjang pelajaran sejak tadi pagi, Sasuke sudah mampu menahan kantuknya yang keterlaluan. Efek tidur kemalaman, atau... nyaris pagi. Karena malam kemarin, ia baru pulang pukul 1, sementara itu ketika sampai rumah Itachi menjejalinya dengan berbagai macam cerita horor yang tak satu pun ingin ia dengar, namun terlanjur terekam oleh pendengarannya dan sulit dilupakan otak kecilnya. Jadi... ia tak benar-benar bisa tidur, dikejar-kejar mimpi buruk yang seolah telah bersarang lama di dasar memori.

Namun, pada prlajaran terakhir keinginan untuk tidur benar-benar di luar kendali. Tak bisa lagi dikontrol. Yang pada akhirnya membuatnya mendaratkan kepala pada meja, memejamkan mata seolah tak ada apapun yang patut dikhawatirkan.

Di sampingnya, Naruto sudah beberapa kali berusaha membangunkan disertai kalimat peringatan, bahwa mereka tak sedang berada di tempat yang nyaman. Zona bahaya mengintai, karena siapapun tahu jika Pak Guru Kakuzu adalah salah satu guru killer di sekolah mereka. Kendati demikian, Sasuke tetap nyenyak dalam posisinya. Suara sang guru yang bagai gelegar guntur, malah terdengar seperti lagu pengantar tidur.

"Hei...Sasuke, Sasuke... bangun." Ia menggoyangkan tubuh teman sebangkunya itu. Namun tak ada hasil, padahal niatnya baik kan. Ia hanya tak ingin anak itu berada dalam masalah, tapi yang ada, teman-temannya bahkan merasa terganggu dengan tingkahnya yang agak berisik tersebut.

'Klotak'

Sebuah penghapus papan terlempar tepat ke arah wajah Naruto, membuat pemuda itu geragapan diam dan menatap ke depan. Sementara itu, Sasuke mulai bangun, nyaris mengyap jika saja penampakan menakutkan itu tidak berdiri tepat di hadapan mereka.

"Keluar!" Pria setengah baya itu berteriak lantang.

Seisi kelas tak ada yang berani bersuara, bahkan sekedar bergerak. Seolah berkedip saja mereka akan ikut dihukum.

Sasuke menoleh ke arah Naruto yang mendadak diam tak berkutik. Napasnya memburu, dan gelombang ketakutan tak berhenti menguar dari kepalanya.

"Kalian, keluar dari sini!" Telunjuknya mengarah ke pintu keluar. "Bersihkan perpustakaan!"

Naruto mengerjap tak percaya, matanya terbelalak. Heran bercampur tak terima. "Tapi pak, aku-aku tidak-"

"Ku bilang keluar dan bersihkan perpustakaan. Cepat! Dan jangan kembali ke kelas sampai bel pulang berbunyi." Teriakannya makin keras. Dan daripada menghabiskan waktu dengan bentakan-bentakan menyakitkan itu, baik Sasuke maupun Naruto segera berlari ke luar kelas.

.

.

Mungkin akan lebih baik jika hanya membersihkan toilet atau halaman sekolah saja. Karena demi Tuhan, perpustakaan ini tidak kecil. Ruangannya begitu luas dengan rak-rak buku menjulang. Buku-buku di sana agak berantakan. Dan meskipun si penjaga perpustakaan-Nyonya Shizune- yang cerewet itu selalu siaga di sana, buku-buku di tempat itu selalu dibiarkan berantakan. Seolah hal itu memang sengaja disediakan sebagai hukuman bagi anak-anak nakal seperti mereka.

"Yang di sebelah sana belum tersentuh sama sekali." Wanita itu mengomel lagi.

Naruto memutar bola matanya, mengerling Sasuke yang sedari tadi memasang wajah suntuk. "Gara-gara kau yang pakai acara tidur di kelas segala. Aku kan jadi kena imbasnya."

"Lagipula salahmu sendiri kenapa harus terlibat. Yang ku ingat aku hanya tidur, tidak menyangkut pautkan dirimu. Tahu-tahu orang tua pengidap darah tinggi itu sudah berdiri di depanku." Sasuke memelankan suaranya, namun hal itu tak mengurangi rasa kesalnya pada Naruto. Bukankah seharusnya Naruto yang kesal?

"Hei... Uchiha, kau yang membersihkan sebelah sana!" Wanita 40 tahunan itu menunjuk sebuah rak yang berisi buku-buku tua dan berdebu. "Dan kau Uzumaki, tata buku di rak yang berada di sudut itu."

Kedua pemuda itu saling pandang dalam kekesalan yang sama-sama meletup tak tertahankan. Tapi, pada akhirnya tetap melakukan perintah.

Sasuke mendengus, mulai mengelap satu-persatu buku menggunakan sehelai kain yang diberikan Nyonya Shizune. Lagipula kenapa wanita itu harus dipekerjakan di sini, jika tugasnya hanya duduk diam dan menunggu kiriman murid yang dihukum untuk membersihkan perpustakaan. Membantu atau bagaimana kek, bukan malah menyuruh dengan nada ketus seolah ini perpustakaan miliknya sendiri.

Bahkan sampai bel pulang berbunyi, keduanya masih berkutat dengan hukuman menyebalkan itu. Ya Tuhan... berapa lama lagi kegiatan membosankan ini akan berakhir? Kakinya sudah lelah berdiri, dan tangannya terasa berat seolah ada banyak benda yang digantungkan di sana. Demi Tuhan... efek lelahnya jauh lebih buruk ketimbang harus bermain basket seharian.

"Tenang saja, sedikit lagi kalian selesai. Tidak perlu terlalu terburu-buru begitu."

Naruto mendengus, tapi benar juga mereka akan selesai sebentar lagi. Mungkin tidak akan membutuhkan waktu lebih dari 30 menit.

Ketika Kiba, Sai dan Gaara mendadak muncul di pintu perpustakaan. Sasuke pikir mereka datang untuk membantu, namun imajinasinya luntur seketika saat Nyonya Shizune menatap mereka lekat.

"Kenapa kemari? Mau pinjam buku?" Jelas-jelas pertanyaan itu hanya dibuat-buat. Wanita itu juga tahu jika mereka biasanya selalu kemana-mana bersama. "Atau mau membantu?" Tatapannya tajam, seolah ingin menelan mereka dalam sekali kedipan.

"Oh tidak, tidak." Kiba yang sudah menginjakkan kakinya di lantai perpustakaan nyaris berlari keluar. "Kami hanya, hanya..."

"Hanya ingin berbicara sebentar dengan me-mereka." Meskipun lututnya terasa gemetaran, namun Sai berusaha tersenyum sebaik mungkin. "Sebentar saja."

Wanita itu mengangguk, mengajak Gaara bicara. Dan entah apa yang tengah mereka bicarakan, sepertinya mengenai beberapa acara yang akan diselenggarakan sekolah beberapa bulan ke depan. Sementara itu, Kiba dan Sai sudah melesat mendekati Sasuke.

"Kau tahu... sebenarnya kami ingin sekali membantu, tapi..." Sai tersenyum ragu-ragu.

"Tidak masalah, tidak apa-apa. Ini juga hampir selesai." Naruto menyeringai, menyembunyikan raut kesalnya dan berpura-pura seolah kegiatan ini adalah hal yang paling menakjubkan dalam hidupnya.

"Hari ini pamanku datang dari Osaka, keluargaku mengadakan perayaan kecil. Jadi... sebaiknya latihannya besok saja." Kiba membuka suara, masih mengerling takut-takut ke arah Nyonya Shizune.

"Dan aku... juga ada kencan dengan Shion, mmm... sampai besok ya." Sai melambai pelan dan berjalan menjauh, senyum simpul tengah ia sembuyikan di balik bibir tipisnya.

Sasuke dan Naruto mengernyit heran, namun sama-sama diam dan tak mengatakan apapun. Sejak kapan Sai jadian dengan Shion?

Setelah Kiba juga berjalan meninggalkan mereka, sepertinya tak ada alasan lagi untuk berhenti menggerakkan tangan-tangan mereka yang lelah.

Gaara hanya melihat ke arah mereka sekilas, tahu jika Sasuke benar-benar tak menginginkannya ada di tempat itu. Maka setelah mengucapkan sampai jumpa pada Nyonya Shizune, dia melenggang meninggalkan tempat itu tanpa mau mengucapkan salam apapun pada dua temannya yang tengah sibuk menjalani hukuman.

"Ada apa dengannya?" Naruto pikir Gaara mungkin sedang mengalami masalah, atau sama-sama terburu-buru seperti Sai dan Kiba.

"Mana aku tahu." Sasuke mengedikkan bahu acuh. Ia bahkan sama sekali tak peduli dengan bocah Sabaku No tersebut.

Ternyata hukuman itu selesai 15 menit lebih cepat dari yang mereka perkirakan. Setelah mengucapkan sampai jumpa-yang rasanya begitu terpaksa, hingga otot-otot mereka rasanya memberontak-pada Nyonya Shizune, Sasuke keluar dari perpustakaan.

Merenggangkan tangannya yang rasanya nyaris putus. Menarik napas dalam-dalam seolah organ pernapasannya baru saja pulih dari derita yang berkepanjangan. Awalnya ia pikir, para murid sudah pulang semua dan menyisakan beberapa siswa yang terlalu penting hingga menghabiskan waktu terlalu banyak di sekolah.

Dari jarak yang cukup jauh, iris jelaganya merekam dua orang yang begitu familiar. Itu... Sakura dan Gaara kan? Bukannya Sakura tadi bilang akan menunggunya, tapi kenapa sekarang pulang bersama Gaara? Apa-apaan ini? Ia sedang dibohongi? Atau... ya Tuhan... kenapa perasaannya tak nyaman begini, rasa kesal terasa membakar seluruh tubuhya, mengalir dalam pembuluh darah seperti keratan-keratan pisau.

Lagipula kenapa juga harus Gaara yang bersama gadis itu, andai Kiba atau Sai, ia tidak akan merasa sekesal ini. Gaara itu suka sekali sih mencari masalah dengannya, awas saja nanti.

Dan dua orang itu berbelok pada tikungan. Meninggalkannya bersama kemarahan mengerikan yang seolah membuat kepalanya berdenyut-denyut dan nyaris pecah.

"Sedang lihat apa?" Naruto menepuk pundaknya.

Sasuke gerapagapan, antara terkejut dan geram. "Tidak ada." Lalu melangkah meninggalkan si pirang.

"Hei tunggu."

"Ayo cepat, sebelum si tua bangka Kakuzu datang memeriksa hasil kerja kita." Sasuke berjalan jauh lebih cepat dibanding biasanya.

"Lagipula kenapa? Kita sudah benar-benar membersihkan perpustakaan dengan baik." Ia kualahan menyeimbangkan langkahnya dengan si lawan bicara.

Seolah pikirannya tak sedang berada di tempat itu, Sasuke sama sekali tak mengubris keberadaan pemuda di sampingnya itu.

TBC

akhirnya chapter 3 bisa di update juga. sempat ada kendala gara2 kuota yg mendadak habis :'(.

oh ya untuk chapter2 selanjutnya, mungkin updatenya ga bakalan sering, tapi author akan berusaha menuntaskan fic yg satu ini.

oke makasih buat para readers yg udah nyempetin waktu buat baca fic ini, ngasih review dan fav. semoga berkenan kembali meninggalkan jejak, dan bisa memaklumi berbagai kesalahan yg ada di fic ini.

sekian... terima kasih :)