chapter 4

Pretend

Naruto by Masashi Khisimoto

pairing : SasuSaku

.

.

"Gaara kemana?" Kiba bertanya ketika mulai duduk dengan nampan yang berisi beberapa takoyaki dan dango.

"Ada rapat OSIS." Naruto memberikan ruang lebih lebar agar Kiba dapat bergerak lebih bebas. "Lagi pula kau kan tahu sendiri, sebentar lagi ada pelantikan anggota OSIS yang baru."

Kiba mengangguk paham. Tak lagi bertanya, hanya menikmati takoyakinya yang tampak begitu nikmat.

"Ada yang aneh dengan anak itu?" Sai mulai bersuara. Mengabaikan sejenak keripik kentang yang semula tengah ia makan.

"Maksudmu?" Sasuke pikir yang akan dibicarakan Sai adalah Kiba, dan ia merasa heran, apa yang aneh dari sosok Inuzuka Kiba. Dari kemarin-kemarin anak itu ya... begitu-begitu saja

"Si Gaara itu." Pria Shimura itu memelankan kunyahan keripiknya, memasang wajah begitu serius seolah apa yang hendak ia katakan adalah sebuah informasi penting. "Dia sering sekali mendekati si Haruno."

"Haruno Sakura?" Naruto memastikan.

"Memang siapa lagi murid di sekolah ini yang memiliki marga Haruno? Ku pikir hanya si merah jambu itu saja." Memutar bola matanya sebal, sebab Naruto itu suka sekali menyela pembicaraan orang. "Ku pikir anak itu...mmm mungkin saja menyukai gadis itu."

Sasuke tak berkomentar, ia tetap melanjutkan acara makan ramennya. Meski rasanya susah sekali menelan kunyahan yang sudah hancur. Kenapa rasanya janggal sekali ketika Sai berkata seperti itu, seolah ada yang tidak terima dari dirinya. Tapi... kenapa ia harus tak terima? Toh... Gaara kan cuma suka pada Sakura, akan aneh kan jadinya jika ia yang malah disukai. Namun, sebisa mungkin ia tetap bersikap biasa.

"Aku juga berpendapat begitu." Inzuka menyahut setelah menyelesaikan kunyahan dangonya. "Bahkan kemarin mereka pulang bersama."

Sasuke merasa sebal ketika teman-temannya mulai membicarakan hal ini. Apalagi Kiba dengan tenangnya mengungkit kejadian kemarin yang bahkan belum bisa diampuni hatinya.

"Kalian tahu?" Sai menatap serius satu-persatu mata kawannya. "Kupikir Sasuke kemarin tak mengatakan apapun pada Gaara soal menyuruh Sakura pulang duluan. Gadis itu menunggumu di dekat laboratorium biologi." Kini tatapannya intens pada Sasuke. "Tapi Gaara malah bilang bahwa kau sedang sibuk, dan ia mendapat amanah dari Sasuke untuk menyuruh si Sakura pulang duluan."

Kiba yang meskipun setuju dengan yang diungkapkan bocah Shimura itu, mengernyit heran, Sai ini bukan wanita jadi-jadian kan? Kenapa suka sekali bergosip?

"Dasar ratu gosip." Naruto melirik aneh ke arah Sai. "Maksudku... raja gosip."

Sementara Sasuke tetap diam, memikirkan ulang cerita yang disampaikan Sai. Memangnya Gaara sebejat itu ya. "Kenapa sih kalian menatapku seperti itu?" Jengah mendapat delikan tak menyenangkan dari kawan-kawannya, rasa kesalnya serasa naik satu level lagi.

"Tidak." Kiba benar-benar berhenti makan saat ini. "Kenapa kau tampak suntuk begitu? Kau tidak benar-benar menyukai Sakura kan?" Kerlingan matanya benar-benar menyebalkan.

"Atau jangan-jangan kau selama ini selalu bersikap buruk pada Gaara karena hal itu?" Kali ini Naruto menambahkan, semakin membuat ubun-ubun bocah Uchiha itu nyaris meledak.

Sasuke ingin sekali memukul dua pemuda itu dengan kakinya. Tapi... ia berusaha keras tetap terlihat biasa. "Mana mungkin begitu, lagipula siapa yang bersikap buruk pada Gaara? Kalian sendiri yang melebih-lebihkan." Itu terlihat terlalu menutup-nutupi. Oh ayolah, mereka juga tidak buta, jelas tahu bagaimana sikapnya selama ini pada Sabaku No muda. Otaknya berusaha keras memunculkan banyak kalimat yang akan ia pergunakan sebagai alasan. "Jika Gaara menyukai Sakura, tinggal tembak gadis itu, bereskan? Itu urusan si Sabaku No, dan kenapa kalian yang heboh? Seolah jika mereka jadian dunia akan hancur saja."

"Barangkali kau yang akan hancur." Sai bergumam pelan.

"Atau Gaara yang akan hancur." Kiba menyahuti.

"Maksudmu?" Naruto yang terlalu ingin tahu, padahal Sasuke jelas-jelas tak memiliki minat apapun untuk peduli.

Kiba menatap Sasuke dan Naruto bergantian. "Seolah kau tidak tahu saja, Sakura jelas lebih memilih Sasuke. Kau sendiri yang bilang kan jika..."

Naruto memberi isyarat berupa lototan mata supaya Inuzuka menghentikan celotehnya.

"Jika apa?" Uchiha merasa agak janggal ketika pemuda berambut coklat itu mendadak diam.

Kiba tak mampu bicara, tapi apa salahnya mengatakan yang sebenarnya. Lagipula Naruto itu kenapa sih? Ia kan cuma mau bilang bahwa mungkin saja Sakura masih menyimpan perasaan pada Sasuke. "Jika dia masih suka padamu."

"Benar juga." Sai tersenyum, lebar sekali hingga tampak deretan gigi putihnya. "Kalau gadis itu sudah tidak menyimpan rasa padamu, kau mungkin tidak akan diterima. Apalagi kejadian setahun yang lalu itu... menurutku tidak bisa diampuni."

Sasuke memutar bola matanya, ada-ada saja yang dibicarakan teman-temannya itu. Namun, tetap saja, berapa kalipun ia berusaha mengabaikan deretan kalimat yang diucapkan tiga kawannya itu mengusik pikirannya. Sakura masih menyukainya?

.

.

Sasuke pikir, rapat OSIS tidak akan berakhir sampai bel pulang berbunyi. Mungkin akan berakhir hingga menjelang malam. Namun kenyataannya lebih cepat dari yang ia duga. Padahal saat itu sedang seru-serunya main basket bersama Sai, Kiba dan Naruto. Dan si Sabaku No itu menghancurkan moodnya. Oh ayolah... kenapa si rambut api itu harus berada di sana sih?

Mendadak ia lupa pada basketnya. Suasana buruk tengah berkecamuk di hatinya. Apalagi ketika Gaara mulai memasuki lapangan, ia mulai muak dan berjalan keluar lapangan tanpa izin.

"Hei... mau kemana kau? " Naruto yang kali ini adalah bagian dari tim Sasuke berteriak heran.

Yang dipanggil tak peduli, semakin cepat melangkah ketika tas ranselnya sudah bertengger di pundaknya. Mengabaikan berbagai respon heran dari teman-temannya.

"Hei... kenapa dia?" Kiba mengerutkan kening heran ketika yang dibicarakan sudah menghilang di balik pintu.

Sai mengedikkan bahu, meski sebenarnya, tahu apa yang tengah terjadi. "Aneh ya, baru beberapa detik lalu dia baik-baik saja."

Sementara itu Gaara yang belum benar-benar mencapai tengah lapangan berdiri diam. Agaknya ia merasa bahwa kehadirannya merusak segalanya, tapi... apa mungkin karenanya?

"Ya sudah... mungkin suasana hati Sasuke sedang buruk. Lagi pula beberapa hari yang lalu kakaknya baru pulang dari rumah sakit kan?" Kiba mencoba menggali alasan.

"Kau yakin karena itu?" Naruto membuang napas kesal.

"Ada alasan lain yang dia sembunyikan dari kita." Pemuda Shimura melirik sedikit ke arah Gaara, namun buru-buru mengalihkan pandangan. Sedikit ragu dengan pendapatnya.

"Oke... kita lanjutkan saja permainannya. Urusan Sasuke kita urus nanti-nanti saja." Kiba mengoper bola pada Naruto. "Kau bagian dari tim Naruto." Dia melambai pada Gaara, memberinya isyarat agar masuk ke lapangan.

Bukannya Naruto memiliki masalah dengan si Sabaku No, dia juga tidak merasa kesal Gaara ada di sana. Tapi... mendadak ia tak berminat melanjutkan basketnya. Sasuke bermain jauh lebih baik dari Gaara. Jadi... percuma saja dia tetap bermain, dia tidak pernah menyukai kekalahan. "Maaf... aku mau pulang saja."

Bocah Uzumaki itu menggelindingkan bolanya. Tersenyum ragu, seolah ada banyan penyesalan di sana. Ketika teman-temannya masih terbengong karena ulahnya. Si pirang mulai keluar dari lapangan, menepuk pelan pundak Gaara dan mengambil tasnya.

"Jika kalian masih ingin bermain, teruskan saja tanpaku." Ada seringai lebar yang tampak konyol di wajahnya.

Sai mengumpat, bagaimana tidak, Naruto itu bodoh atau bagaimana sih? Kalau seperti ini kan tidak seru jadinya. Apa iya mereka bermain hanya bertiga sementara hanya ada 2 ring? Atau salah satu dari mereka harus berhenti? Tapi ia tidak mau berhenti, tampaknya Kiba juga. Kasihan kan Gaara yang tampak sudah cukup semangat namun diabaikan.

"Sialan Naruto." Kiba berteriak kencang, tak peduli bahwa Naruto masih ada di tempat itu.

Yang mendapat umpatan malah tertawa, keras sekali hingga suaranya seolah tertinggal dalam gedung itu. Kemudian menghilang setelah si pemilik tawa keluar dari sana.

.

.

Sasuke terkejut ketika Naruto tiba-tiba memgikutinya naik bus. Sialnya kursi di sebelahnya kosong, membuat bocah pirang itu mengisinya. Ya Tuhan... ia ingin sendirian saja kali ini. Tapi kenapa Naruto ada di sini?

"Kau marah pada Gaara kan?" Adalah yang diucapkan si Uzumaki pertama kali.

"Kenapa kau ikut pulang?" Nada ketus yang tersirat harusnya membuat Naruto paham bahwa Sasuke sebenarnya tak ingin diganggu.

Seringaian Naruto begitu lebar, dan rasanya Uchiha muda itu ingin memukulnya dengan setumpuk buku paket yang tebal. "Aku ada kencan dengan Hinata."

Seperti baru saja mendengar sapi melahirkan seekor kelinci, itu agak... mustahil. Kau tahu siapa Hianata Hyuuga? Dia adalah mantan ketua klub keranjinan tangan, klub itu benar-benar sukses ketika dia pegang, otomatis si Hyuuga itu begitu terkenal. Lah Naruto? Memang siapa dia ini? Orang biasa, kelewat biasa malah, dan bisanya juga cuma cengengesan. Bagaimana mungkin Hinata Hyuuga mau berkencan dengannya. "Masih ada ya... yang mau berkencan denganmu?" Ia mengalihkan pandangan ke luar jendela.

Bus yang sejak 5 menit lalu melaju, kini semakin mempercepat lajunya.

Dan ketimbang merasa kesal karena ejekan Sasuke, Naruto bahkan tertawa. Menganggap bahwa kalimat menyebalkan lawan bicaranya tersebut hanya sekedar candaan, hei... apa Sasuke pernah bercanda? "Memang kau saja yang bisa kencan dengan gadis-gadis yang kau inginkan? Aku juga bisa."

Sasuke mengernyit, melirik sekilas pada Naruto yang masih menyimpan senyum bodohnya itu, memuakkan sekali. Lagipula kapan ia mengencani gadis yang diinginkannya, terakhir kali ia mengencani Karin sudah berlalu sejak 10 bulan lalu. Dan kencannya dengan Sakura? Eh... memang itu kencan ya? Jika memang bisa disebut sebagai kencan, ia akan mengatakan bahwa Sakura bukan gadis yang diinginkanya. Jadi... sepenuhnya kalimat Naruto tadi salah, sangat salah.

Ketika Naruto terus berceloteh tentang awal mulanya ia bertemu Hinata di dekat laboratorium kimia, dan bla bla bla... bocah Uchiha itu tidak benar-benar mendengarkannya. Ia memang diam, tapi bukan diam untuk menyimak, melainkan diam karena terseret dalam pikirannya sendiri.

Apa benar ia tak sungguh-sungguh menginginkan Sakura? Lalu kenapa ia benci sekali ketika Sakura berada di dekat Gaara? Ini perasaan apa? Suka? Tertarik? Sayang? Cinta? Ya Tuhan... kepalanya ingin meledak memikirkan ini.

Naruto mendengus ketika menyadari sejak tadi ceritanya tak mendapat respon dari si lawan bicara. "Hei... Sasuke."

"Hmmm..." masih betah dengan lamuannya, pemuda ini bahkan ogah sekedar mengalihkan perhatian pada Uzumaki.

"Kau tadi belum menjawab pertanyaanku."

"Yang mana?" Setengah kesal, ia melotot pada Naruto.

"Kau marah kan pada Gaara?"

Yang ditanya tak menjawab, sibuk menggali alasan dalam otak kusutnya.

"Kenapa? Karena Sakura ya?" Bocah pirang ini sudah yakin sekali jika jawabannya tak akan meleset. Namun Sasuke malah tertawa sinis, membuatnya mengernyit dan berpikir, mungkin saja Sasuke tengah kerasukan. Oh ya Tuhan... ini benar-benar mengerikan, atau teman sejak kecilnya ini mengalami sejenis gangguan jiwa?

"Bodoh." Ia mengucapkannya tepat di wajah Naruto, dan tawanya hilang tak berjejak. "Kau pikir karena itu?" Lah terus? Ia sendiri bahkan bingung marah pada Gaara karena apa.

"Bisa tidak sih bersikap biasa saja? Kau ini kelewat mengesalkan." Naruto memasang ekspresi tak sukanya. "Nah terus? Kenapa kau benci sekali pada Gaara? Apa iya karena dia menggagalkan kemenanganmu tempo hari, waktu ponselmu berbunyi."

Benar... tapi itu cuma awal mulanya. Lagipula jika hanya itu alasannya, 2 atau 3 hari mereka akan baikan lagi. Tapi ini... sepertinya ia benar-benar cemburu ketika Gaara dekat-dekat dengan Sakura.

Biasanya ketika ada rasa yang dinamakan cemburu, akan ada rasa lain yang mendahuluinya, yaitu cinta. Jadi... ia mencintai Sakura? Eh..? Sepertinya ganjil sekali.

"Bagaimana jika waktu itu aku yang menggagalkan kemenanganmu, apa kau juga akan memusuhiku sampai seperti ini?" Kerutan heran di kening Naruto semakin menjadi.

"Tergantung."

"Maksudmu?"

"Ya Tuhan, Naruto kau bisa diam tidak? kita tidak sedang bermain twenty question." Amarahnya makin meluap, ada-ada saja tingkah bocah konyol itu. Yang dibentak kali ini benar-benar diam, meski mengomel beberapa kali dengan suara cicitan yang menyebalkan.

Sasuke menghela napas panjang. Tak peduli pada Naruto Atau apapun yang tengah dicicitkan bocah itu. Saat itu ia hanya berpikir bahwa, ia harus memutuskan Sakura secepatnya. Sebab gadis itu membawa efek yang buruk, membuat suasana hatinya mudah berubah-ubah dan emosinya naik turun seperti permainan jungkat-jungkit.

Barangkali dengan memutuskan Sakura, hubungannya dengan Gaara akan membaik. Dan mungkin saja sebenarnya Gaara memang menyimpan rasa pada Sakura namun terlalu sungkan, mengingat dirinya adalah pacar gadis itu. Jika ia dan Sakura putus, Gaara bisa menyatakan rasa cintanya gadis itu.

Akh... tapi kenapa khayalan itu tampak... err... menakutkan.

.

.

Malam itu, hujan turun dengan intensitas menyebalkan. Suaranya yang terlampau keras mengganggu pendengarannya. Sasuke beberapa kali menghela napas gelisah, ia sudah menghabiskan dua cangkir cokelat panas yang nikmat, berharap emosinya yang memburuk sedari tadi bisa cepat teratasi. Namun, percuma saja, rasa dongkol dan bimbang tak bisa lepas dari hatinya. Malah rasanya semakin menggerogoti akal sehatnya.

Di hadapannya, buku biologi terhampar tak tersentuh. Pemuda itu lebih fokus menatap ponselnya. Menimbang-nimbang rencananya yang tadi. Apa iya harus memutuskan Sakura sekarang? Oh man... ini menyebalkan sekali, kenapa rasanya begitu berat. Seolah harus melepaskan salah satu anggota tubuhnya untuk dimiliki orang lain saja.

"Iya, tidak, iya, tidak-"

Suara bel pintu depan berbunyi nyaring. Beberapa saat ia hanya diam memastikan, orang tuanya sudah pulang dari rumah sang bibi? Tapi bukankah mereka baru saja berangkat 15 menit yang lalu, jika dilogika mustahil orang tuanya kembali secepat itu. Atau... mereka pulang lagi karena ada barang yang ketinggalan? Tapi ibunya kan sudah mempersiapkan segala keperluan dengan baik, dan tentang suatu barang yang ketinggalan, terdengar bukan tipikal kebiasaan orang tuanya.

Bel itu terus berbunyi, membuatnya bingung, siapa yang malam-malam hujan begini datang bertamu? Bukan... oh lupakan, memikirkannya saja membuatnya merinding.

Sasuke memutuskan keluar kamar ketika bel itu terus saja mengganggu gendang telinganya. Ia masuk ke kamar Itachi, dan kecewa berat ketika mendapati kakaknya terlelap tanpa ekspresi. Ah... sialan Itachi, kenapa dia harus tidur pada jam seperti ini.

Uchiha bungsu itu tak punya pilihan kecuali membukakan pintu untuk siapapun diluar itu. Oh ayolah... kenapa ia mendadak jadi paranoid begini? Apa mungkin akal sehatnya benar-benar luntur sekarang?

"Yang diluar itu pasti cuma... tamu." Ya tamu, memang seorang tamu. Ada sedikit rasa gugup yang terlampau penuh di rongga dadanya ketika dengan terpaksa ia membuka daun pintu.

"S-Sakura?" Ini benar Sakura ya?

Gadis Haruno itu berdiri di sana, di teras rumah kediaman Uchiha dengan payung berwarna merah muda yang basah. Dan... gadis itu juga basah.

"Ku pikir kau sudah tidur." Ia menghela napas lega, menunjukkan sebuah kantong plastik yang sejak tadi ditentengnya.

"Kenapa? Kenapa malam-malam begini datang kemari?" Ada banyak sekali yang janggal, dan ini... benar Sakura kan? Oh man... ini Sakura, Sakura Haruno, Sasuke mulai mengumpat pada dirinya sendiri.

"Aku membawakan ini." Sebuah kotak makan yang entah apa isinya.

"Apa itu?" Gelombang keingingtahuan membuatnya tak berpikir bahwa gadis di depannya itu kedinginan.

"Kue... cokelat, kau biasanya suka kue cokelat kan? Aku membuatnya sendiri." Senyumnya terkembang di bibirnya yang gemetaran.

Baru setelah hembusan angin menerpa kulitnya, dan meninggalkan rasa dingin yang menyakitkan, ia baru berpikir untuk membawa si gadis masuk. Lagipula, Itachi tak akan bangun. Efek obat yang diminumnya tadi pasti masih bekerja.

"Oh..." sumpah ia terkesan, Sakura jauh-jauh kesini, saat malam dan hujan hanya untuk memberikan kue. "Masuklah, di sini benar-benar dingin." Ia mempersilakan si gadis masuk duluan, baru setelah itu tangannya kembali menutup pintu..

Ruang tamu benar-benar hening. Sakura pikir, terakhir kali ia memasuki ruangan tersebut, cat hijau masih menjadi latar tunggal di sana, dan warna cerah dari hijau muda benar-benar tampak segar. Namun sekarang sudah berbeda, catnya sudah diganti menjadi biru, biru Muda seperti langit cerah di musim semi.

"Kenapa sepi sekali?" Sakura mulai duduk di salah satu sofa tunggal, menggosokkan telapak tangannya beberapa kali.

"Mmm... ya, orang tuaku sedang ke rumah bibi." Dan ia tisak harus mengatakan keberadaan Itachi kan? Sasuke agak gelisah, dan ia masih berdiri terpaku di dekat si gadis. "Kubuatkan cokelat panas ya."

"Tidak, tidak perlu. Mmm..." dia tampak berpikir sejenak. "Aku boleh... meminjam selimut atau... jaket? Aku benar-benar kedinginan." Suaranya terbata, antara ragu dan kedinginan. Rasanya tubuhnya seperti di dekap oleh bongkahan es menyakitkan.

"Oh ya, tentu." Pemuda itu menuju kamarnya, mengambil sebuah jaket berwarna navy. Ini salah satu jaket kesayangannya. Dan sepertinya, tidak masalah jika dipinjam si gadis.

"Terima kasih." Sakura berucap ketika jaket yang diulurkan Sasuke padanya telah benar-benar berada di tangannya.

"Hm..." kini Uchiha bungsu itu mulai duduk, mengambil tempat paling dekat dengan Sakura, dan mengamati makhluk cantik itu selama memakai jaket. Ia bahkan tak berniat untuk membantu, benar-benar tipikal pria tidak romantis.

"Ini kuenya, ku harap kau suka." Tangan rampingnya mulai membuka kotak makan persegi berwarna merah muda. Mengulurkannya pada Sasuke yang awalnya hanya diam mengamati.

Pemuda itu tersenyum, mengambil sepotong kecil kue cokelat yang kelihatan menggiurkan itu. Mengunyahnya perlahan, bagai tersihir rasanya... demi Tuhan, ini sangat lezat, manis dan oh... cokelatnya begitu pekat di lidah. Ia menyuakainya, atau lebih tepatnya... jatuh hati.

"Bagaimana rasanya?" Ragu-ragu Sakura betanya. Ekspresi wajahnya menampakkan ketakutan yang mungkin saja menimbulkan kekecewaan, ia takut membuat si pemuda kecewa akan rasanya.

"Ini... fantastis, kau... sejak kapan suka memasak?" Sebersit senyum lega yang ditunjukkan Sakura melunturkan rasa kesal yang sejak tadi bersarang di hatinya.

Tidak salahkan tersenyum bangga karena mendapat pujian demikian? Sakura merasakan jantungnya berdebar semakin cepat kala Sasuke tampak begitu mempesona dengan senyuman tulus itu. "Sebenarnya sudah lama, aku ikut klub tataboga."

Uchiha muda mengangguk, ia mendengarkan setiap yang diceritakan gadis di hadapannya tersebut. Sakura benar-benar ekspresif, dia bukan lagi gadis pendiam dan canggung seperti dulu. Dan senyuman itu, oh man... gadis merah muda itu benar-benar cantik. Kenapa selama ini ia seolah menutup mata pada satu fakta itu.

Mereka mengakhiri acara mengobrol malam itu ketika jam di ruang tamu menunjuk pukul 9 tepat. Sakura harus benar-benar pulang sebelum sang ibu mengomel panjang lebar karena ia mengulangi hal buruknya beberapa waktu lalu, pulang kelewat malam.

Sasuke menawarkan diri untuk mengantarnya pulang.

Selama perjalanan naik bus, mereka tidak berhenti tertawa, menertawakan banyak hal soal betapa cerobohnya Sasuke yang tidur di kelas ketika Pak Guru Kakuzu sedang merenarangkan pelajaran fisika yang... mmm... kelewat membosankan, namun juga menegangkan.

Sasuke pikir ia memang jatuh hati, jatuh hati pada gadis di sampingnya itu. Dan... sudahlah... lupakan soal rencana memutuskan itu. Ia bisa pikirkan nanti, dan tidak penting apakah Gaara memang menyukai Sakura atau tidak. Itu bukan urusannya.

TBC

apa ini? setelah tak baca ulang kok mainstream banget #pundung di pojokan

haduh... maaf membuat readers semua menunggu, dan makasih banyak sudah bersedia baca sampai chapter ini :)

author putuskan akan update fic ini tiap sabtu.

oke sekian.

RnR please :)