Chapter 6

Pretend

Naruto by Masashi Khisimoto

Pairing : SasuSaku

.

.

Apa yang dilihat Sasuke benar-benar mengecewakan. Tak ada Sakura ketika ia telah keluar dari gedung olah raga, entah lari kemana gadis itu. Dan kini ia diliputi rasa bersalah yang tebalnya melebihi kerak bumi.

"Kemana dia?" Rasa menyesal bercampur marah mengaduk seluruh akal sehatnya. Membuatnya tak bisa berpikir jernih.

Ia mengacak rambutnya frustasi, tidak pernah sefrustasi ini sebelumnya. Oh... Gaara sialan, kapan coba si brengsek itu mengatakan kenyataan tersebut pada Sakura? Benar-benar mengajak ribut.

Iris hitamnya mengerling jam tangan yang kini nyaris menunjuk pukul 5 sore. Rapat OSIS akan berakhir sebentar lagi. Dan ketimbang mengejar Sakura dan menjelaskan semua kemustahilan yang mungkin tidak akan dipercayai oleh si gadis, ia lebih memilih memutar haluan. Menunggu rapat OSIS berakhir.

Tak peduli pada banyaknya siswa yang berjalan di sekitarnya, Sasuke dengan gerakan tak sabaran mulai menarik tangan Gaara, menyeretnya ke toilet pria.

"Apa-apaan kau ini?" Perlawanannya benar-benar tidak berguna, ia tidak pernah tahu sebelumnya jika Sasuke ternyata sekuat ini. Rasa terkejut bagai aliran listrik yang merambat tak terkendali dalam saraf otaknya. Kenapa Sasuke mendadak menjadi sebrutal ini?

Gaara berusaha mencerna apa yang sedang terjadi, dan mencari alasan kenapa dirinya yang baru keluar dari ruang OSIS langsung ditarik paksa menuju toilet.

'Bruk'

Satu pukulan dari kepalan tangan Uchiha menghantam telak pipi kiri Gaara.

"Kenapa kau ini?" Sabaku No berteriak, keras sekali hingga rasanya bergema diantara dinding toilet.

"Kau yang mengatakan pada Sakura mengenai taruhan itu kan?" Napasnya memburu, gelombamg panas mengisi rongga dadanya bagai vulkanik yang meluluh lantakkan segalanya. "Kenapa kau melakukannya? Kau cemburu padaku? Cemburu karena kenyataannya Sakura jauh lebih memilihku dari pada kau?" Tangannya menarik kerah seragam Gaara, membuat pemiliknya mengaduh dan meronta kesakitan.

"Kenapa kau marah? Itu kenyataannya kan?" Ia berusaha mendorong Sasuke, namun tak mampu. Meski tahu jika perlawanannya mungkin tak akan berpengaruh besar, Gaara tetap dengan penuh percaya diri menunjukkan senyum sinisnya. "Sakura berhak tahu yang sebenarnya. Kupikir... kau mungkin tersiksa dengan hubungan palsumu, kau hanya mencari waktu yang tepat untuk memutuskan gadis itu kan. Dan... lihatlah, aku membantumu."

"Brengsek." Sasuke mengumpat, kembali memukul pipi pemuda di hadapannya.

Gaara merasakan ada yang robek pada daging di ujung bibirnya. Rasa pedih menjalar hingga mengaburkan akal sehatnya. Dengan semua kekuatannya, ia menendang Sasuke, membuat si pemuda terjengkang ke belakang hingga membentur tembok toilet. "Kenapa kau harus marah begini? Atau jangan-jangan kau... menyukai gadis itu?"

"Kalau iya memang kenapa?" Sasuke bangkit. Rasa kebas di punggungnya benar-benar menyakitkan. "Ada masalah denganmu?"

"Dengar-" belum sempat pemuda dengan surai merah itu mengucapkan sesuatu, ia sudah didorong ke belakang. Kepalanya membentur tembok dan menyisakan rasa pening.

"Aku tidak pernah butuh bantuanmu untuk menjelaskan semua ini pada Sakura. Kenapa kau lancang sekali."

"Tindakanmu itu sudah keterlaluan. Pada akhirnya, Sakura akan tetap kecewa jika tahu yang sebenarnya." Gaara tak bisa terima kali ini, ia maju dan ganti memukul pipi Sasuke. Meninggalkan bekas merah mengerikan.

"Tidak ada sangkut pautnya denganmu, bodoh." Nyaris Sasuke menendang lawan bicaranya itu. Namun Naruto datang bersama Kiba. Berdiri tepat diantara keduanya.

"Berhenti!!" Kiba berteriak lantang. Benar-benar membuat dua pemuda yang saling baku hantam itu hanya berdiri dengan deru napas tak tenang.

"Kelakuan kalian seperti anak kecil saja. Lihat tuh di luar, puluhan murid berkumpul di sana mendengarkan pembicaraan kalian." Naruto berkomentar, merasa aneh ketika melihat pipi Sasuke maupun Gaara sama-sama memerah.

"Lagipula ini karenamu juga, jika waktu itu kau tidak memaksa Sasuke balikan dengan Sakura, hal seperti ini tidak akan terjadi." Sai masuk ke dalam toilet setelah berhasil membubarkan kerumunan di luar.

"Jadi sekarang kau menyalahkanku?" Naruto yang Suasana hatinya juga tidak sedang dalam keadaan baik mulai tersulut emosinya.

"Sudah cukup!" Kiba kembali berteriak. Bagaimana mungkin Naruto dan Sai hampir membuat ulah ketika Sasuke dan Gaara baru saja menghentikan aksi gila mereka.

Suasana hening menyelimuti ruangan itu, mereka berlima hanya saling pandang. Tak benar-benar mengatakan apapun untuk sekedar menghentikan kebosanan menyedihkan tersebut.

Sasuke mendengus, mengusap pipinya yang baru terasa nyerinya. Lalu menyeruak diantara teman-temannya, membebaskan diri dari tempat itu tanpa mengatakan apapun.

Setelah pintu toilet kembali tertutup, Naruto mengarahkan pandangan pada Gaara. Tak benar-benar mengatakan apapun, namun sedikit merasa geram pada ulah Gaara.

"Kenapa kalian menatapku seperti itu?" Gaara dengan ekspresi tak ramah mengerling satu-persatu temannya.

"Seharusnya tak ada pertengkaran. Siapa yang memulai semua ini."

"Sudah Sai cukup." Kiba sudah ingin keluar dari tempat itu, namun urung. "Obati lukamu." Katanya pada Gaara.

Tidak ada yang bisa menjelaskan semuanya. Tentang apa alasan Gaara hingga nekat membocorkan rahasia itu, atau... kenapa Sasuke harus marah sedemikian mengerikannya hanya karena pacar palsunya mengetahui yang sebenarnya. Sepertinya... ada yang harus membrikan kejelasan.

.

.

Buku tugas milik Sasuke terbuka terbaikan di seluruh meja belajarnya. Angka-angka dari deretan soal matematika tak satupun membuatnya tertarik. Itu agak aneh, sebab baginya matematika itu seperti emas yang berharga, ia menyukainya. Namun, kali ini... tidak.

Itachi yang sejak tadi mengira sang adik tengah belajar, mengoceh panjang lebar tentang pertandingan sepak bola yang ia tonton di TV tadi siang, juga tentang pembawa acaranya yang sangat-sangat memuakkan. Tapi, Sasuke tak mengerti apa yang tengah dikatakan orang itu. Mengabaikannya seolah ia tengah serius belajar. Padahal jelas-jelas kini ia sedang memandangi layar ponsel yang ia letakkan di tengah buku. Beberapa kali menghubungi Sakura namun tak kunjung diangkat. Pesan-pesan permintaan maaf juga sudah ia kirimkan, malah ratusan atau jumlahnya melebihi itu, ia tak menghitung.

Kenapa efek marah Sakura membuatnya jadi seperti ini? Perasaannya begitu bercampur aduk. Antara kesal, marah, merasa bersalah, bingung, tidak tenang dan menyesal. Atau... ia harus ke rumah Sakura saja? Tapi... itu tidak mungkin, gadis itu tetap tak akan mau menemuinya.

Ia mengacak rambut frustasi, yang dianggap Itachi sebagai kebingungan pada jawaban dari soal matematika yang dikerjakan sang adik.

'Ini semua salah Gaara.' Batinnya tak berhenti berteriak begitu. Jika saja Gaara tak mengatakan kebenaran itu, Sakura tak akan semarah ini padanya. Ya Tuhan... memangnya siapa yang memulai semua ini? Oh lupakan, ia bahkan berpikir tak akan pernah memperbaiki hubungan pertemanannya dengan Gaara.

"Eh... tunggu sebentar."

Sasuke menoleh, mematikan ponselnya dan menatap Itachi dengan campuran rasa kesal dan heran. Apalagi ketika tangan kiri sang kakak tiba-tiba menyentuh pipinya. "Hei... sakit tahu."

"Kenapa itu? Kau... mmm... sepertinya seseorang baru saja memukulmu." Keningnya berkerut, mengekspresikan tanda tanya yang menginginkan jawaban.

"Bagaimana jika aku bilang bahwa sebuah pintu baru saja memukulku." Sumpah, jawaban itu tak benar-benar ia pikirkan sebelumnya. Semakin merasa kesal ketika Itachi makin heran mendengarnya. "Sudahlah jangan tanya terus, kembali sana ke kamarmu."

Yah... sepertinya emosinya benar-benar teraduk-aduk, dan hanya Sakura yang bisa membuatnya sampai seperti ini.

.

.

Sejak tadi pagi bisik-bisik para siswi tak berhenti membicarakannya. Sasuke bukannya tak sadar, namun ia mengabaikan semuanya. Kabar mengenai hubungan palsunya bersama Sakura tersebar sangat cepat ke seluruh penjuru sekolah, tidak lupa juga mengenai Gaara. Pemuda yang banyak diidolakan banyak siswi itu akhir-akhir ini namanya agak tercemar, lantaran dianggap perusak hubungan orang.

Sejujurnya, Sasuke malas sekali pergi ke sekolah. Karena dengan begitu intensitasnya untuk bertemu Gaara akan sangat sering. Namun, jika ia tak pergi ke sekolah, ia mungkin tidak Akan bisa bertemu Sakura, itu lebih buruk.

Jadi... dengan langkah berat yang seperti tengah dibebani tumpukan beton, ia memaksakan diri berangkat sekolah. Dan... yah... semua tidak membaik secepat itu. Apalagi suasana hatinya yang makin buruk tiap jamnya hanya karena Gaara berada dalam satu kelas dengannya. Bayangkan saja kau memiliki seorang musuh yang berada di ruangan yang sama, itu benar-benar membuat segalanya tak nyaman.

"Kau ikut ke kantin?" Naruto yang duduk di sebelahnya berusaha menghentikan lamunannya.

Tak ada jawaban, sepanjang pagi hingga siang ia merasa kesal sekali. Dan tak satupun berhasil membuatnya merasa lebih baik.

"Aku akan jamin kita tidak satu meja dengan yang lain." Bocah Uzumaki itu memberikan tawaran ketika Sai dan Kiba sudah mulai berdiri dari bangku. Kemungkinan besar Gaara akan ada dalam gerombolan mereka.

"Tidak." Uchiha bungsu itu mengerling singkat. "Aku tidak ikut."

Helaan napas Naruto terdengar begitu jelas. Ia mengabaikan ajakan Sai maupun Kiba, dan melengos tak sudi ketika Gaara mengarahkan pandangan padanya. "Aku tahu... dia... memang menyebalkan."

'Kheh' Sasuke tertawa meremehkan. "Kau tidak tahu. Sebab kau tidak berada dalam posisiku dan lagi... kau tidak memiliki masalah dengan bocah rambut api itu."

Naruto diam beberapa saat. "Mungkin... aku memang tidak berada di posisimu. Tidak tahu bagaimana rasa kesalmu. Tapi... aku punya deskripsi kekesalan sendiri mengenai Gaara."

Ada yang membuat Sasuke tertarik dari kalimat Naruto barusan, namun ia berusaha tak ambil pusing. "Lupakan saja. Pergi sana ke kantin! Aku mau ke toilet." Ia mulai berdiri dari bangkunya. Mengabaikan bocah Uzumaki itu yang menatap tak percaya mengenai sikap teman dekatnya tersebut.

Mata biru Naruto mengikuti langkah Sasuke hingga si pemuda berbelok dan tak lagi tampak dalam penglihatannya.

.

.

Sasuke bertemu Sakura di dekat perpustakaan. Membuyarkan segala rencana untuk pergi ke toilet dan membasuh muka, Sakura lebih penting daripada menghilangkan rasa kantuknya yang menjemukan.

"Sakura..." panggilnya, namun tak ada sahutan.

Gadis itu tetap saja berjalan dengan tumpukan bukunya tanpa menghiraukan panggilan tersebut. Ia tetap tak peduli bahkan ketika telah tiga kali namanya disebut.

Sasuke menghela napas panjang, ternyata diabaikan itu rasanya menyakitkan. Pasti Sakura benar-benar sakit hati ketika ia meninggalkannya tempo hari, tanpa alasan, tanpa penjelasan, hanya kata 'kita putus' dan itu pasti sangat menyebalkan.

Ada banyak murid di sana, saling berbisik membicarakan keduanya. Namun tak satupun dari mereka membuat Sasuke merasa malu atau bagaimana, tak peduli lagi mengenai harga dirinya. Kali ini ia tidak boleh lagi kehilangan kesempatan untuk membuat Sakura mau memaafkannya.

"Aku mencintaimu." Katanya kemudian.

Sakura tak ingin peduli, ia tetap saja berjalan. Meski langkahnya lebih pelan dari yang tadi, entah ada yang memperhatikan perubahan itu atau tidak. Sejujurnya, pengakuan Sasuke di tempat umum seperti saat ini merupakan hal yang langka. Andai saja hubungan mereka tidak sedang merenggang seperti saat ini, ia pasti akan tertawa bahagia, menganggap Sasuke adalah pria paling romantis di dunia ini. Namun kesadarannya membuatnya kembali pada kenyataan bahwa pria itu hanya seorang penipu yang kejam. Hampir, air matanya kembali turun karena mendadak hatinya terasa begitu ngilu. Tapi semua itu berusaha ia tahan, ia tidak boleh sampai menangis di tempat seperti ini.

"Aku mencintaimu, Sakura." Pemuda itu mengulanginya. Membiarkan para murid memandangnya tak percaya, bagaimana mungkin seorang Uchiha Sasuke yang terkenal pendiam, angkuh dan terlalu cuek mengatakan hal semacam itu di depan banyak orang. "Kau menginginkan bukti yang seperti apa?"

Yang diajak bicara terus saja melangkah, dan bahkan berlari meninggalkan tempat tersebut.

Ya Tuhan... Sasuke ingin sekali mengejarnya, namun melihat Nyonya Shizune berhenti di ambang pintu perpustakaan dan menatapnya heran, ia jadi urung.

Wanita itu menggeleng tak percaya, sembari mendecak karena sangguh-sungguh tak habis pikir dengan ulah Sasuke yang seperti mempermalukan Dirinya di depan umum. Sasuke bahkan tak peduli.

Pemuda itu membungkuk singkat pada si Nyonya penjaga perpustakaan, seolah mengisyaratkan permintaan maafnya jika ulahnya barusan terlalu mengganggu. Lalu tanpa banyak kata ia meninggalkan tempat tersebut, masih dengan banyak beban yang bergelayut di pikirannya, dan semuanya tentang Sakura.

.

.

Yah... tidak ada yang lebih buruk dari ini. Memperhatikan gadis yang sejak beberapa hari lalu mengganggu pikirannya, tanpa berani mendekatinya langsung. Jujur saja menunggu diam-diam si merah muda itu menyelesaikan tugasnya di perpustakaan benar-benar menjemukan. Apalagi tanpa ada kegiatan jelas yang dapat ia lakukan, dan lagi... ia juga belum sempat pulang sejak 5 jam lalu.

Sasuke merasa benar-benar menjadi pengecut sekarang, ia duduk tanpa sepengetahuan Sakura, dan tak berani mendekati gadis itu. Ya Tuhan... ini mengerikan, mana tahu ia jika perasaannya bisa berbalik 180 derajat seperti ini.

Jadi... ketika Sakura telah meringkasi alat tulisnya, pemuda itu bersorak gembira dalam hati. Mungkin... ia akan mencoba mendekati si gadis setelah ini.

Tubuh Sakura yang masih terbungkus seragam sekolah berjalan keluar dari perpustakaan, kaki jenjangnya menapak lelah di lantai kusam tempat penuh buku tersebut. Baru setelah si Haruno telah melewati pintu keluar, Sasuke berdiri, menyeret kaki lelahnya yang beberapa kali mengalami kesemutan.

Oh man, ini mengerikan. Ia benar-benar tak siap harus berhadapan dengan gadis itu lagi. Tapi segala emosi di hatinya bercampur menjadi satu, dan tak ingin menunggu besok untuk menuntaskan segala urusan yang membebani ini.

Hingga Sakura menoleh ke belakang, mendapati si pemuda berdiri canggung di belakangnya.

Sasuke agak terkejut, tak bisa mengatakan apapun, bahkan mrngucapkan nama gadis itu saja tak mampu. Dan... kecewa berat ketika Sakura mengacuhkannya dan kembali berjalan.

"Aku berada di perpustakaan dan kau tidak menyadarinya." Sasuke mulai berucap, berjalan di belakang Sakura dan mulai bingung dengan apa yang ingin dikatakannya.

Si gadis tetap saja seperti yang tadi, sangat-sangat tak ingin peduli.

Uchiha Sasuke tak pernah merasa seperti ini. Jantungnya rasanya melompat-lompat acak, memompa darah lebih cepat dari biasanya, dan itu membuat tubuhnya seolah tak stabil. "Aku tahu kau pasti marah sekali padaku. Oke... yang dikatakan Gaara itu benar." Ia menghela napas. Beruntungnya tak ada lalu lalang orang, hanya beberapa angkutan umum yang masih beroperasi pada jam seperti ini.

"Awalnya aku hanya kalah taruhan main basket bersama Naruto, dan dia menyuruhku balikan lagi denganmu. Kau bisa bayangkan? Itu konsekuensi yang memalukan. Apalagi setelah aku memutuskanmu, hubungan diantara kita jadi canggung. Tapi... hanya karena aku tak ingin dianggap pengecut aku menyanggupinya. Ku pikir... aku bisa memutuskanmu secepat mengatakan ingin balikan lagi denganmu, tapi ternyata tidak." Oh... bagus, ia sekarang lebih mirip orang gila yang mengoceh sendirian.

Sasuke mendecak, mencoba tak ambil pusing soal dirinya yang diabaikan atau harga dirinya yang benar-benar dipertaruhkan di sini. Ia hanya tak ingin begitu egois, dan membiarkan rasa bersalah mengendap lebih dalam di hatinya.

"Baru-baru ini, aku menyadari sesuatu, kenapa nenekmu harus meninggal waktu itu. Pasti karena Tuhan tidak ingin aku berpisah denganmu." Yang ini mungkin agak berlebihan, tapi otaknya tidak tahu lagi harus mengatakan apa, seolah segala yang ia katakan tak benar-benar berdasar dari otak. "Karena jujur saja, aku benar-benar ingin memutuskanmu waktu itu."

Sakura masih tak bergeming, dia tetap saja berjalan tanpa ingin menoleh ke belakang. Menganggap ia hanya berjalan sendirian, tak ada seorangpun di sana, mengabaikan Sasuke yang terus bicara panjang lebar. Mmm... seperti bukan Sasuke yang biasanya.

"Dan satu lagi." Dia menarik napas dalam-dalam. "Kau ingin tahu kan kenapa aku memutuskanmu setahun yang lalu."

Kali ini kalimat terakhir si pemuda membuatnya tertarik, ia agak mengerling ke belakang. Beraharap Sasuke akan benar-benar mengakhiri keingintahuannya selama setahun belakangan.

"Selain karena Aku tertarik dengan Karin, ada alasan lain. Aku sangat kesal padamu."

Sakura mencermatinya, agak terkejut mendengar pernyataan tersebut sembari mengingat-ingat kesalahan apa yang pernah ia lakukan hingga membuat seorang Uchiha Sasuke kesal padanya.

"Kau sering keluar bersama si ketua klub Karate itu kan? Si Hyuuga Neji."

Bersamaan dengan jawaban yang baru saja terlontar dari bibir tipis Sasuke, Sakura mendadak tertawa, merasakan otot pipinya yang beberapa hari ini rasanya mengendur kini seolah tertarik terlalu kuat. Tak tahan juga mendengar ceramah panjang kali lebar kali tinggi yang disampaikan pemuda itu sejak tadi.

Mendapati reaksi demikian, pemuda itu mengerutkan kening heran. Apakah alasannya terdengar begitu lucu? "Eh?"

Sakura menoleh, gurat kemarahan sedikit luntur dari paras cantiknya. "Ya Tuhan... Sasuke, waktu itu aku hanya 2 kali keluar bersama Neji, dan itu hanya untuk mengerjakan tugas prakarya. Kebetulan aku satu kelompok dengannya, lagipula bukankah waktu itu aku sudah izin padamu?" Yah... entah bagaimana, Sasuke yang kemarin membuatnya sangat kesal hingga nyaris mendoakannya supaya malaikat maut segera mencabut nyawanya, kini... membuatnya kembali luluh. Siapa yang bisa disalahkan, ia terlanjur cinta mati pada pemuda Uchiha itu.

"Benarkah?" Sasuke tersenyum, ada sebersit rasa bahagia ketika usahanya kali ini berhasil.

"Ya. Aku izin keluar untuk mengerjakan tugas bersama Hyuuga." Gadis ini begitu bersemangat menjelaskan alasannya, merasa lega jika permasalahannya ternyata hanya sebuah kesalahpahaman. Meski yah... kau tahu sendiri, baru saja hatinya serasa beku dan kini mendadak mencair.

Sasuke mulai berani lebih dekat, ia menyamakan langkah kakinya dengan langkah di gadis. "Kau menyebutnya Hyuuga, jadi itu pasti Hinata bukan Neji."

Keduanya tertawa. Mengabaikan angin malam yang berhembus menggigit kulit dan seolah meretakkan tulang. Sesuatu yang membuat mereka berpisah ternyata hanya sebuah masalah sepele. Oh ya Tuhan... Sakura selalu nyaris tak bisa tidur di awal-awal perpisahan mereka, memikirkan apa yang salah dengan sikapnya hingga Sasuke meninggalkannya, namun waktu itu, Sasuke tak mau mengatakan apapun sebagai alasan.

"Jangan dekat-dekat Gaara lagi." Ucap Sasuke ketika tawa mereka akhirnya berhenti.

Haruno muda itu menatap lawan bicaranya lekat-lekat. Bukannya ia tidak tahu mengenai pertengkaran Sasuke dan Gaara beberapa hari lalu, tapi tetap saja, perintah Sasuke terlalu berlebihan. "Memangnya kenapa?"

"Jadi... kau ingin aku menghabisi Gaara?"

Sakura menghela napas kesal. Apa-apaan Sasuke ini, kenapa dia menjadi sedemikian sensitif? "Kau ini kenapa Sasu? Lagipula Gaara mendekatiku bukan tanpa maksud."

Pemuda itu mengernyitkan kening. Ingin menyanggah kalimat Sakura yang seolah menganggap hal itu bukan masalah besar. Namun, dia tetap diam. Menanti si gadis melanjutkan perkataannya.

"Dia sedang berusaha mendekati Matsuri, si anggota klub tari itu, adik kelas kita. Kebetulan dia tetanggaku dan Gaara tertarik padanya." Sakura mengakhiri pembicaraannya dengan senyum yang terkembang sempurna, sebab Sasuke tampak begitu terkejut dengan pernyataannya barusan.

Uchiha bungsu itu merasa kepalanya seperti dipukul seseorang menggunakan tongkat milik neptunus. Demi Tuhan... jika hanya itu alasannya ia kan tidak harus marah-marah pada Gaara seperti orang gila. Dan pada akhirnya ia tertawa, merasa senang sekaligus merasa bersalah. Barangkali ia harus menarik semua kata-katanya yang 'tidak sudi lagi memperbaiki hubungan pertemanannya dengan Gaara'. Kenyataannya, dirinya yang mengalami banyak salah paham disini. "Ya... kau kan tidak bilang dari awal jika masalahnya seperti itu."

"Kau harus minta maaf pada Gaara!" Kali ini perintahnya mutlak.

"Ya, akan aku lakukan." Tangannya dengan gemas mengacak rambut gadisnya. "Kau tahu Sakura? Aku bisa saja berpura-pura mencintai seseorang ketika tidak mencintainya. Tapi aku tidak bisa berpura-pura tidak mencintai ketika aku benar-benar mencintaimu."

Sumpah... Sakura meleleh mendengar kalimat itu. Sasuke belum pernah menjadi seseorang seromantis ini. Dan... ia tersipu dengan Perut yang seolah dihinggapi ribuan kupu-kupu.

"Aku mencintaimu."

Sakura tak bisa mengatakan apapun, senyum si pemilik iris sehitam jelaga itu begitu tampak sempurna di hadapannya. "Berjanjilah untuk tidak lagi meninggalkanku."

"Tentu saja. Aku berharap Tuhan berbaik hati untuk tetap melabuhkan hatiku padamu." Ia menertawakan kalimatnya.

"Dan..."

Sasuke menanti kelanjutan kalimat itu. Begitu tak sabar hingga belum semenit rasanya sudah setahun.

"Jangan terburu-buru mengambil kesimpulan." Tawa mengiringi kerlingan matanya, menganggap sikap ceroboh Sasuke sebagai lelucon paling tak menyenangkan di dunia. "Kau benar-benar tampak bodoh ketika bertindak seperti itu, seolah otakmu tak punya pikiran saja."

Sasuke terkekeh, sedikit kesal dengan olokan Sakura barusan. Tapi itu kan memang kenyataannya, dan ia tak memiliki alasan untuk mengelak. Terserah saja sih apa yang dikatakan Sakura tentangnya. Yang jelas gadis itu sedikit melunak, itu artinya ia masih memiliki kesempatan sekali lagi untuk memperbaiki diri. Kali ini, dengan segala tekad yang terkumpul rapi dalam hati dan pikirannya, ia berjanji, bukan hanya pada Sakura tapi juga pada dirinya sendiri untuk berusaha menjadi lebih baik lagi. Semoga saja itu berhasil.

.

.

Gaara membiarkan lampu tidur di kamarnya menyala redup. Membaringkan tubuhnya di atas tempat tidur, namun tak benar-benar berniat memejamkan matanya. Tadi siang Naruto memarahinya habis-habisan, Uzumaki bilang dialah perusak rencananya. Tapi... hei... siapa yang sebenarnya salah disini? Kenapa semuanya ingin benar sendiri. Ia kira dirinyalah yang paling benar, sebab menyembunyikan kebohongan adalah sebuah kegiatan negatif yang ujung-ujungnya akan menimbulkan sakit hati. Dan ia mengungkapkan kebenarannya, rasanya... itu sama sekali tidak salah. Namun, karena hal itu Sasuke dan Naruto menghujaninya dengan kata-kata menyebalkan yang sangat-sangat tidak patut untuk di dengar.

Lagipula... Naruto itu tidak waras atau bagaimana sih? Bisa-bisanya merencanakan kembalinya Sasuke dan Sakura. Padahal jelas-jelas perpisahan mereka dulu adalah hal yang paling tak ingin diingat dua pasangan itu. Tapi... yah... mungkin saja hal itu berhasil, yang jelas Sasuke entah bagaimana bisa merasa kembali terpikat pada Sakura. Hmmm... Sakura memang cantik siapa yang tidak suka.

Ketika ia masih sibuk berguling kesana-kemari, ponselnya mendadak berbunyi. Awalnya ia kira hanya lupa mematikan alarm, karena tidak mungkin ada yang menelfon malam-malam begini, itu tidak pernah terjadi. Namun ia segera bangkit, jangan-jangan itu benar-benar panggilan. Mengerikan jika saja seorang anggota OSIS tiba-tiba memberitahunya bahwa rapat akan dilaksanakan malam ini juga, oh tidak... semoga tidak.

Alangkah mengejutkannya ketika nama Sasuke tertera di sana. Ragu untuk mengangkat, tapi tidakkah ia terlihat pengecut jika membiarkannya saja. Maka dengan gerakan lamban ia mulai mengangkat panggilan itu.

"Hallo."

"Oh, hai... mmm..." ada jeda yang berisi keraguan, hening beberapa saat membuat semuanya terasa canngung.

"Kenapa?" Gaara mengerutkan kening, nada bicara Sasuke tidak seperti yang ia dengar terakhir kali.

"Aku minta maaf." Kalimat itu begitu spontan.

Gaara bahkan mengira Sasuke kesurupan atau mengalami amnesia mendadak, hingga melupakan pertengkaran mereka beberapa hari lalu. "Apa?" Tentu saja ia terkejut dengan pernyataan itu. Rasa sakit dari pukulan Uchiha itu saja masih terasa nyeri di pipinya.

"Kau kan tidak bilang jika motifmu mendekati Sakura karena ingin dekat dengan Matsuri." Sasuke tak lagi memberikan tedeng aling-aling dalam kalimatnya.

Sabaku No terkejut bukan main. "Siapa yang memberitahumu?"

"Aku tahu sendiri." Tawa pemuda di seberang itu terdengar nyaring, meski sedikit terselip kecanggungan. "Kalau kau memberitahuku sejak awal, aku kan juga bisa membantu."

Kini giliran Gaara yang tertawa. Keras sekali hingga lupa jika ini malam, bisa saja sang ayah mendobrak pintu kamarnya karena mengira dirinya kerasukan roh jahat. Oke... itu berlebihan, tapi siapa yang tahu opini orang lain.

"Jadi... kita bisa berdamai kan?"

Gaara berhenti tertawa, Hatinya sedikit merasa lega. "Ya... setelah aku memukul pipi kirimu, supaya impas."

Ada keheningan panjang di seberang sana. Hingga Gaara pikir si Uchiha itu mungkin saja marah padanya.

"Oke, kau boleh memukulku besok."

Yakinlah, itu hanya sebuah candaan, namun Sasuke sebenarnya kan memang pantas mendapat balasan. Hanya saja Gaara itu kelewat baik.

Namun lebih dari apapun, perseteruan dalam persahabatan itu akan selalu terjadi. Tapi bukan itu masalahnya, yang terpenting adalah bagaimana caranya untuk menyelesaikan perseteruan itu. Menyadari siapa yang salah dan perlu meminta maaf. Dan yang bersangkutan berhak memberikan maaf. Bukan begitu?

END

Kalau ada yg berpikir 'eh, kayaknya aku pernah baca deh chap ini.' yup, chap ini udah pernah tak publish, cuma ini akhirnya udah tak ubah.

Maaf jika kurang memuaskan dan mengecewakan. Apapun pendapat kalian, aku coba hargai. Oke, makasih buat yg udah meluangkan waktunya buat baca fic ini. Kalau ga keberatan, tinggalkan review yg positif ya...