Disclaimer: Naruto belongs to Masashi Kishimoto. However, this story purely of my thinking.

Genre: Romance, Friendship, Hurt/Comfort, Family.

Pair: SasuFemNaru

Rated: T

Warning: Gender switch, OOC, typo(s), dll.

• Winter Love •

Chapter 4: Membaik?

By: AirinaNatsu-chan

Sesi latihan vokal untuk video klip terbaru milik mereka kali ini berjalan cukup baik. Walaupun ada beberapa pertengkaran kecil yang menghiasi kedua kelompok idol itu. Terkadang mereka saling melempar tatapan tajam, cibiran, dan aura permusuhan yang nyata.

Asuma dan Shizune yang merupakan manager mereka menghela napas lelah. Mereka cukup beruntung karena pemimpin dari kedua kelompok itu tidak ikut terlibat dalam pertengkaran anak TK di depan keduanya. Baik Asuma maupun Shizune tidak mau membayangkan bagaimana jadinya kalau keduanya ikut bertengkar. Masalah besar, batin keduanya kompak.

"Aku seperti seorang ayah yang memiliki banyak anak berusia 5 tahun," keluh Asuma jengkel. Anak asuhnya yang biasa bersikap dewasa selalu berubah kekanak-kanakkan bila berdekatan dengan personil Vier Girl.

"Anggap saja ini sebagai latihanmu, Asuma-san. Kudengar istrimu tengah hamil tua," timpal Shizune sambil tersenyum geli melihat wajah merana Asuma.

"Kuharap anakku tidak seperti mereka!" rapal Asuma berulang-ulang, yang mengundang kikikan geli dari Shizune.

Naruto dan Sasuke yang sedari tadi mendengar percakapan manager mereka, hanya diam di tempat duduk mereka masing-masing. Sesekali Naruto melempar pandangannya ke arah Sasuke, namun segera ia alihkan saat pemuda itu menatapnya balik.

"Hentikan pertengkaran kalian!" desis Naruto kesal. Sudah lebih dari satu jam teman-temannya bercekcok mulut dengan personil Dark Moon dengan topik yang berganti-ganti. Naruto memijat pangkal hidungnya saat teman-temannya malah memprotes karena ia menghentikan pertengkaran mereka. Bukankah seharusnya mereka berterima kasih padanya karena telah membuat mereka terhindar dari hipertensi jika terlalu banyak marah? Dasar aneh, cibir Naruto dalam hati. Walau tak dipungkiri, kalau orang-orang yang ia sebut aneh itu adalah teman-temannya sendiri.

"Kenapa kau menghentikannya, Dobe?" tanya Sasuke datar. Dia hanya mengangkat bahunya acuh ketika Naruto mendelik tajam ke arahnya. "Bukankah pertengkaran itu bisa jadi tontonan gratis untuk kita?" tambahnya sambil menyeringai, mengejek teman-temannya yang menahan kekesalan karena merasa tersindir oleh ucapannya.

"Dan membuat telingaku berdengung? Tidak, terimakasih," balas Naruto datar. "Lagipula, aku memiliki pekerjaan yang lebih penting daripada menonton pertengkaran mereka," sambungnya monoton.

"Pekerjaan apa?" Sasuke menaikkan sebelah alisnya.

Naruto mendekatkan dirinya pada Sasuke, dan berbisik lirih tepat di telinga kanan Uchiha bungsu itu. "Memikirkan bagaimana caranya aku menghajarmu," desis Naruto dingin. Ia mengepalkan tangannya kuat dan memukul tepat di perut Sasuke. Sontak kejadian itu membuat mereka yang melihatnya membolakan mata serempak.

"Kenapa kau memukulku?!" tanya Sasuke kesal sambil menahan rasa sakit di perutnya. Ia akui, tinjuan Naruto cukup menyakitkan. Bahkan teman-temannya pun ikut meringis kesakitan seolah mereka pun menerima pukulan telak dari Naruto.

"Untuk membalas perbuatanmu tempo hari itu," jawab Naruto tenang tanpa ada mimik rasa bersalah. Namun terlihat jelas tangannya mengepal dengan aura hitam yang menguar dari tubuhnya.

Sasuke mengerutkan keningnya. Kesalahan apa yang telah diperbuatnya hingga membuat Naruto marah dan memukulnya? Tiba-tiba sekelebat ingatan muncul. Ah, Sasuke tahu. Setelah keluar dari klinik kecil milik Konan, Sasuke pikir Naruto meninggalkannya. Ternyata gadis itu menunggunya di luar klinik dengan aura dan tatapan menyedihkan. Awalnya Sasuke hanya ingin menghibur gadis itu, walau dia sangsi ia bisa melakukannya. Tapi yang terjadi tidak sesuai harapan sesuai dugaannya.

Sasuke menyesal karena telah mencoba menghibur seorang wanita, apalagi kalau itu Naruto. Biasanya, orang akan mengeluarkan kata-kata lembut untuk menenangkan orang lain yang tengah dirundung perasaan gelisah, tapi tidak dengan Sasuke. Bungsu Uchiha itu malah mengeluarkan kalimat yang sukses membuat Naruto naik darah seketika.

"Sudahlah. Jangan memasang ekspresi dan aura seperti itu, Dobe! Kalau kau tetap melakukannya, kebodohanmu semakin terlihat."

Alhasil, Naruto yang kesal memukul telak perut Sasuke, kemudian berbalik dengan cepat. Menghentakkan kakinya dan terus berjalan meninggalkan Sasuke tanpa tahu kalau ada kulit pisang di depannya. Akibatnya, gadis pirang itu nyaris terjerembab jika saja Sasuke telat menahannya.

Sungguh, Sasuke tidak tahu bagaimana mendeskripsikan seorang Naruto saat itu. Hembusan napasnya yang wangi dengan aroma jeruk, bola mata safirnya yang jernih, dan bibir mungil nan merahnya mengundang bibir Sasuke untuk bertemu. Dan Sasuke berjanji, dia tidak akan pernah mencoba mempertemukan bibirnya dan bibir Naruto jika masih ingin melihat indahnya dunia yang fana ini.

"Kenapa kau melamun?!" bentak Naruto kesal. Wajahnya merah padam, entah karena apa. "Jangan-jangan kau sedang mengingat kejadian itu?" selidik Naruto tepat sasaran.

Sasuke menelan ludahnya gugup. Tatapan tajam Naruto hampir menyamai tatapan Fugaku—ayahnya. Sebisa mungkin ia membuat air mukanya terlihat tenang. "Tidak," sahutnya pendek.

Mata Naruto menyipit. Tapi tak lama gadis itu berdiri tegak. "Bagus kalau begitu," ujarnya kemudian, "karena kalau kau mengingatnya, aku tak akan segan menghancurkan pedang kesatriamu!" tambahnya dengan aura gelap.

Setelah mengatakan itu, Naruto keluar dari ruangan tersebut tanpa melirik ke belakang sedikitpun. Menutup pintunya kasar hingga nyaris membuat engselnya terlepas. Ino dan kedua temannya yang lain saling melempar pandang, sebelum akhirnya ketiganya ikut pergi menyusul Naruto.

"Memangnya apa yang pernah terjadi di antara kalian?" tanya Kiba penasaran sesaat setelah Naruto dan ketiga temannya pergi. Pemuda itu mencomot cookies coklat di toples yang diletakkan di atas meja sambil menatap lurus Sasuke. "Aku lihat Naruto marah sekali padamu," sambungnya dengan mulut penuh.

Sasuke menghela napas mendapat banyak tatapan ingin tahu padanya. "Aku tidak mau mengingat kejadian itu lagi," katanya datar yang mengundang helaan napas kecewa orang-orang di sekelilingnya. "Dan itu semua karena kau, Kiba!" lanjut Sasuke tiba-tiba, tajam dan menusuk.

"Eh, aku?" beo Kiba.

"Kalau saja kau tidak meninggalkanku, pasti hal itu tidak akan pernah terjadi!" tukas Sasuke tajam. Tapi dalam hati, ia tidak sepenuhnya menyalahkan Kiba. Kalau Kiba tak meninggalkannya di toko kue yang dikunjunginya hari itu untuk memenuhi permintaan ibunya yang mendadak ingin kue dari sana, mungkin Naruto tidak akan selamat dari bahaya yang mengancamnya kala itu. Setidaknya ada kebaikan di balik perbuatan buruk Kiba, batin Sasuke.

Kiba meringis pelan, menggaruk-garuk kepala bagian belakangnya yang tidak gatal kala mendapat tatapan menusuk dari Sasuke. Tatapan seorang Uchiha memang bagus untuk mengintimidasi! rutuk Kiba dalam hati.

"Sasuke, sebaiknya kau meminta maaf kepada Naruto nanti," saran Asuma setelah mengerti situasi yang terjadi. Pria itu menepuk pelan bahu Sasuke sambil berujar dengan nada menasehati. "Perlu kau ketahui, wanita sangat menyeramkan saat marah."

"Pernah mengalaminya?" tanya Neji pada Asuma.

"Ya, istriku," balas Asuma pendek. Ia melepas napas lelah sambil mengusap kasar wajahnya. "Dan aku bersumpah tidak akan membuat istriku marah lagi hingga menghukumku—"

"Sepertinya Anda akan mendapatkannya lagi, Asuma-san." potong Shizune cepat. Tangan kanannya terangkat, menggoyangkan ponsel yang digenggamnya. Terlihat sederet angka dan kalimat terpampang dengan jelas di layar flat yang menyala itu.

"Shit! Kenapa kau mengangkatnya, Shizune?!" teriak Asuma frustasi.

"Jangan salahkan aku, Asuma-san! Aku hanya kasihan melihat layar ponselmu yang terus menyala dan bergetar tanpa suara. Sedangkan pemiliknya tengah menasehati anak-anaknya yang nakal," kilah Shizune. Ia menjeda untuk mengambil napas, kemudian kembali berbicara. "Istrimu sepertinya sangat marah karena aku yang mengangkat teleponnya. Dia mematikannya sebelum aku sempat menjelaskan apa yang tengah terjadi. Dan tak lama kemudian pesan ini datang," jelas Shizune panjang. Shizune meletakkan kembali ponsel Asuma ke atas meja, sedangkan pemilik ponsel itu sendiri menjambak-jambak rambutnya frustasi. Shizune harap, Kurenai tidak akan salah paham terhadapnya. Mood wanita hamil memang mengerikan, batin Shizune lelah.

Kiba menepuk-nepuk pelan punggung manager-nya. Sekuat tenaga dia menahan mulutnya agar tidak tertawa melihat nasib Asuma. Baru saja pria itu menasehati Sasuke agar tidak membuat masalah dengan wanita, ternyata dia sendiri harus menangani kemarahan istrinya yang tengah hamil dengan mood yang mudah berubah-ubah. "Bersabarlah, Paman Asuma. Setidaknya—"

"Jangan panggil aku 'paman'. Aku belum setua itu!" sergah Asuma cepat.

"Ya, terserah kau saja," kata Kiba menyerah. Bungsu Inuzuka itu memandang teman-temannya yang tengah sibuk dengan kegiatan masing-masing, seolah tak terganggu dengan raungan keputusasaan Asuma.

"Biarkan saja. Sebentar lagi juga ia akan kembali ceria," sahut Shikamaru datar, seakan mengerti akan arti tatapan Kiba.

"Dari mana kau tahu?"

"Karena aku pernah melihatnya. Dan aku berani bersumpah, kau tidak akan pernah mau melihat manager kita itu merayu istrinya," ujar Shikamaru lagi.

"Kau benar-benar pernah melihatnya?" tanya Kiba penasaran.

"Biasa, tetangga," jawab Shikamaru malas.

"Berapa langkah?" Kiba kembali bertanya.

"Satu kilometer!" tukas Shikamaru datar, lalu mengambil posisi duduk yang nyaman untuk tidur.

"Kalau jaraknya satu kilometer masih bisa disebut tetangga, ya?" tanya Kiba pada Neji dan Sasuke. Keduanya saling bertatapan sebelum akhirnya mengangkat bahu acuh dan kembali sibuk dengan kegiatan masing-masing.

oOo

"Hey, Naruto! Bisakah kau berjalan lebih pelan lagi?!" teriak Ino yang kesusahan menyamakan langkahnya dengan Naruto.

"Kalau begitu jangan ikuti aku," tukas Naruto dingin.

"Kenapa kau terlihat begitu marah?" sahut Temari cepat yang menghentikan langkah Naruto.

Naruto terdiam sejenak. Kemudian kembali berjalan, namun lebih pelan. "Kau tidak perlu tahu," ucap Naruto yang tidak membuat Temari puas.

"Kalau begitu aku akan terus mengusikmu sampai kau mau menjelaskannya!" putus Ino sambil berjalan di depan Naruto, kemudian berbalik dan merentangkan kedua tangannya lebar.

"Jangan berbuat hal yang aneh!" desis Naruto pada Ino, namun tak digubris oleh si empu. Pandangan Naruto menyapu keadaan sekeliling. "Hentikan apapun yang tengah kau lakukan. Itu membuat kita menjadi pusat perhatian!" ketus Naruto.

"Bukankah setiap saat kita selalu menjadi pusat perhatian? Kenapa harus takut?" Shion bersedekap. Sifat anggunnya tengah ia tinggalkan karena dia sendiri memiliki rasa keingintahuan yang sama seperti teman-temannya.

"Kita cari tempat lain untuk bicara," kata Naruto datar.

"Baik, tapi kau harus menjelaskannya!" keukeuh Ino keras kepala.

Naruto mendengkus pelan. Gadis itu memandang sekeliling, kemudian melangkahkan kakinya dengan anggun menuju sebuah kafe yang tidak jauh dari tempatnya berdiri. Langkahnya terus diikuti oleh ketiga rekannya.

"Jadi, apa mau kalian?" tanya Naruto datar.

"Kau kenapa tadi? Apa ada sesuatu yang sudah terjadi di antara kau dan Sasuke? Apa hubungan kalian sudah membaik? Mengapa tadi aku melihat kalian seperti sepasang kekasih yang bertengkar? Atau jangan-jangan kalian memang sepasang kekasih tapi berpura-pura menjadi rival? Ayo! Cepat katakan sesuatu!" cecar Ino tanpa henti, membuat Naruto, Temari, dan Shion speechless sambil memandangnya datar.

"Bagaimana aku bisa menjelaskan kalau kau terus bicara?!" dengkus Naruto sinis.

Ino menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal sembari nyengir lebar. "Habisnya, aku penasaran dengan kejadian tadi. Kalian—hmmph."

"Stop!" seru Temari cepat dengan tangan yang menutup mulut Ino. Sontak Ino melotot padanya, sedangkan Shion hanya menganggukkan kepalanya.

"Ino, aku tahu kalau mulut ini adalah milikmu," Temari membuka bekapannya sambil menunjuk mulut Ino menggunakan telunjuknya, "tapi bisakah untuk beberapa menit kemudian kau menguncinya dulu?" Temari tersenyum penuh arti. Menimbulkan anggukkan cepat dari Ino.

"Bagus," puji Temari tenang.

Naruto menggelengkan kepalanya pelan, "Jadi, masih mau dengar?" tanya Naruto ambigu.

"Tentu!" kompak Shion dan Temari, sedangkan Ino hanya mengangguk.

"Tempo hari itu, aku dan Sasuke mengalami sedikit kecelakaan," ujar Naruto membuka ceritanya. Gadis itu menceritakan garis besar ceritanya. Terlalu malas dan panjang jika dijabarkan. Lagipula yang mereka inginkan alasan kenapa dia marah, bukan? Namun ekspresi wajahnya menggelap saat ia berada di puncak permasalahannya. Naruto menceritakannya dengan suara geram tertahan dan raut wajah datar.

Ino bergidik. Jujur saja, ia ingin menyela agar Naruto menurunkan intensitas aura gelap yang mengintimidasinya. Rasanya bernapas pun susah. Tapi Ino terlalu takut. Nyalinya menciut saat Naruto menyapu pandangan ke sekelilingnya dengan tatapan tajam. Ino bersyukur karena tatapan tidak bisa membakar, karena kalau bisa, ia dan kedua sahabatnya sudah pasti hangus terbakar saat ini juga. Satu hal yang Ino tahu; Naruto kini marah besar.

"Tunggu dulu! Kau bilang Sasuke menci—" ucapan Temari langsung terpotong begitu saja ketika bola matanya ditatap tajam oleh Naruto.

"Jangan terlalu ribut. Banyak yang memperhatikan kita semua," timpal Shion pelan. Gadis itu memang paling mengerti keadaan. Tidak seperti Ino ataupun Temari yang kadang langsung bertindak spontan, meski Temari tidak separah Ino.

Temari mengangguk kecil. Ia menatap Naruto dengan tatapan maaf yang hanya dibalas anggukkan samar dari Naruto.

"Apa lagi yang terjadi setelah itu?" tanya Ino penasaran. Sekuat tenaga ia menekan nada suaranya supaya tidak terlalu tinggi ataupun terlalu rendah.

Naruto menghela napas pendek, "Tentu saja aku menamparnya," katanya tenang. "Tapi aku tidak akan memaafkannya begitu saja. Bagiku, dia sudah keterlaluan!" tambah Naruto tegas.

Naruto tidak terima ciuman pertamanya dicuri oleh pemuda berambut aneh seperti pantat unggas itu. Sasuke harus membayar lebih akibat dari perbuatannya. Bahkan tinjuannya tadi belum seberapa dengan harga dirinya yang ternodai oleh paruh unggas brengsek itu.

"Lalu, apa yang akan kau lakukan selanjutnya?" Ino meneguk ludahnya paksa ketika sahabat-sahabatnya memandangnya datar. "K-kenapa?" tanya Ino tak mengerti.

Ketiga gadis berambut pirang seperti Ino itu berdecak pelan. Apa otak Ino tak bisa menarik kesimpulan sedikitpun? Bukankah sudah jelas jawaban dari pertanyaannya?

Temari memijat pangkal hidungnya keras hingga nyaris meninggalkan bekas merah di sana. Ia harap dengan cara itu rasa sakit di kepalanya hilang. Menghadapi Ino yang sedang dalam mode 'penyambungan' memerlukan kesabaran yang ekstra. Temari juga berharap, di dalam diri Ino tetdapat alter-ego yang memiliki kecerdasan di atas rata-rata. Setidaknya saat penjelasan seperti ini, ia dan Shion tidak perlu kembali menjelaskan maksud Naruto. Karena 'Ino' bisa menangkap inti informasi yang didengarnya dalam waktu cepat.

Shion melirik ke arah Naruto yang balik menatapnya dengan satu alis yang terangkat tinggi. Shion mengangguk pelan yang menuai dengkusan dari Naruto.

"Tentu membalas perbuatannya dengan sangat menyakitkan!" seru Temari tiba-tiba yang menyentak Ino dan Shion dari dunianya masing-masing. Sedangkan Naruto terlihat biasa-biasa saja.

Shion menangguk kecil setelah menguasai dirinya lagi. Gadis yang dijuluki Haru itu menatap lurus Naruto yang memasang air muka tenang. "Ya, Sasuke harus mendapatkan balasan yang pantas."

"Kami akan membantumu, Naruto! Kau tenang saja, jika aku ikut campur maka semua permasalahan akan selesai!" sahut Ino berapi-api.

"Ya, selesai. Selesai dalam waktu yang sangat panjang!" dengkus Temari.

"Temari!" jerit Ino geram.

Shion terkekeh melihat interaksi para sahabatnya. Ino dan Temari memang selalu bertengkar jika berdekatan, tapi akan saling merindukan jika berjauhan. Namun tiba-tiba raut wajahnya berubah.

"Naruto," panggil Shion pelan dan hati-hati pada Naruto yang sedari tadi diam.

"Hm?" gumam Naruto tak jelas.

"A-apa kau akan mengundang orang tua serta kakak-kakakmu di konser peluncuran album baru kita?" tanya Shion hati-hati. Bagaimanapun ia tengah membahas hal tabu bagi Naruto.

Shion, Temari, dan Ino tahu betul mengenai masa lalu Naruto. Sebisa mungkin mereka mendorong Naruto supaya gadis itu terus melangkah maju. Menyokongnya dan memberi kehangatan yang Naruto inginkan. Sejak mereka tahu masa lalu Naruto, mereka berusaha mendekatkan kembali Naruto dan keluarganya. Namun hingga kini, tak ada sedikit kemajuan dari usaha mereka. Naruto terlalu keras kepala. Hatinya sudah membeku, dan sulit bagi leader Vier Girl itu untuk mengabaikan luka hatinya. Keluarga Namikaze sendiri seolah tak mempedulikan Naruto, hingga membuat Naruto merasa bahwa kehadirannya memang tidak diharapkan.

"Meski aku undang sekalipun, mereka tidak akan pernah datang." Naruto menjawab dengan nada datar. Sedatar ekspresinya. "Bagi mereka, aku tak lebih dari hama yang mengganggu. Aku tak pernah bisa menjadi orang yang mereka harapkan. Jadi untuk apa mereka mempedulikanku?!" Naruto beranjak dari duduknya. Tapi langkahnya terhenti ketika Shion kembali bicara.

"Setidaknya cobalah untuk membuka hatimu. Lupakan apa yang telah mereka lakukan di masa lalu. Karena kami hanya ingin hubunganmu dan keluargamu membaik." Shion tersenyum lembut.

Naruto melirik lewat bahunya. "Membaik?" beo Naruto. Ia tersenyum sinis, "Kalau memang mereka juga ingin hubungan kami membaik, seharusnya mereka juga berusaha sepertiku."

oOo

TBC

Sorry atas keterlambatan update-nya. Sebentar lagi, aku bakalan ujian akhir semester satu. Itupun kalau gak diundur. Apalagi tahun depan aku sibuk sama UN dan tetek-bengeknya. Mohon dimaklumi, ya :)

Fyi, Naruto dan Sasuke di cerita ini emang dingin kayak es. Tapi gak terlalu irit kata. Ada kalanya mereka malas bicara jadi irit ngomongnya, tapi di beberapa situasi mereka akan bicara cukup panjang. Bukan nggak konsisten terhadap penokohannya, tapi emang dari awal udah gitu :)

Jangan lupa baca cerita-cerita Airi yang lainnya

Sampai jumpa di chapter depan :D

Regards,

AirinaNatsu-chan