Disclaimer: Naruto belongs to Masashi Kishimoto. However, this story purely of my thinking.
Genre: Romance, Friendship, Hurt/Comfort, Family.
Pair: SasuFemNaru
Rated: T
Warning: Gender switch, Fem!Naru and Fem!Deidara, OOC, typo(s), dll.
• Winter Love •
Chapter 5.1: Kakak - 1
By: AirinaNatsu-chan
~oOo~
Naruto menatap pigura di tangannya dengan tatapan datar. Ia mendongakkan kepalanya, memandang langit biru yang terbentang luas dari balkon apartemennya—setelah ia meninggalkan ketiga sahabatnya di kafe sejak satu jam yang lalu. Pikirannya melayang bebas, sebebas angin berembus yang tak pernah bisa dilihat orang-orang. Naruto kembali melihat foto dalam bingkai kayu berwarna coklat dengan ukiran yang rumit di sisinya.
Foto itu berisi gambar sebuah keluarga kecil yang namanya begitu dikenal banyak orang. Namikaze. Ya, foto itu adalah foto keluarga Namikaze. Keluarga yang namanya berada di depan nama Naruto. Nama sebuah keluarga yang tak pernah bisa memberikan apa yang Naruto inginkan. Nama keluarga yang selalu menuntut Naruto untuk terlihat sempurna di mata orang-orang. Tak peduli bahwa ia sedang dalam keadaan terpuruk sekalipun.
Di foto itu, terlihat Minato dan Kushina duduk bersisian di sebuah kursi yang hanya mampu diisi oleh dua orang. Keduanya tersenyum tipis ke arah kamera, dengan aura kewibawaan yang terpancar dari keduanya. Di sisi kanan dan kiri mereka, dua orang pemuda berambut merah dengan potongan rambut berbeda berdiri dengan wajah datar dan tatapan yang begitu tajam. Seolah memperlihatkan pada dunia, bahwa mereka bukanlah orang yang mudah dikalahkan. Dan di belakang kursi yang ditempati pasangan Namikaze, seorang gadis cantik berambut pirang keemasan menampilkan wajah datarnya. Tatapannya begitu dingin dan tak bercahaya. Seakan baginya, semua yang ada di sekelilingnya tak berarti apa-apa.
Itu adalah foto yang diambil saat kabar kesuksesan keluarganya semakin melejit dan akan dimuat di surat kabar. Bak roket yang terbang ke luar angkasa, nama mereka melambung tinggi di mata masyarakat. Apalagi kewibawaan dan keramahan mereka, semakin menyempurnakan hasil jerih payah yang mereka lakukan selama ini untuk mendapatkan tanggapan positif orang-orang.
Tapi, tak banyak yang tahu sisi gelap keluarga Namikaze. Dimana mereka mencampakkan seorang gadis kecil yang bahkan tidak tahu apa-apa tentang dunia luar. Menganggapnya seolah tak pernah ada dan tidak memberikan apa yang harus mereka berikan padanya. Hingga gadis kecil itu beranjak dewasa dan ia berhasil menempatkan namanya di atas angin, mereka membuat skenario sempurna, seolah apa yang dicapainya adalah hasil campur tangan mereka.
Naruto meremas dadanya yang terasa sesak. Setiap kali mengingat bagaimana nasibnya yang kurang beruntung, seakan-akan ada ribuan jarum yang menghujam jantungnya. Membuatnya sulit hanya sekadar untuk bernapas sejenak. Sekuat tenaga, Naruto menahan air mata yang terkumpul di kedua bola matanya yang memanas. Dia menggigit bibir bawahnya kuat-kuat, guna mencegah isakan kecil lolos dari mulutnya.
Kau hanyalah barang tak berguna di mata mereka. Jadi untuk apa air mata ini ingin jatuh? Naruto membatin frustrasi.
"Setidaknya cobalah untuk membuka hatimu. Lupakan apa yang telah mereka lakukan di masa lalu. Karena kami hanya ingin hubunganmu dan keluargamu membaik."
Ucapan Shion kembali terngiang di kepalanya. Bagaimana ia bisa melupakan kesalahan mereka begitu saja, sementara luka yang mereka buat sudah terlalu dalam dan sulit untuk diobati? Naruto bisa saja memberikan maaf pada mereka dengan begitu mudahnya, tapi, apa lukanya juga akan seperti itu? Apakah luka di hatinya akan sembuh begitu saja seperti Naruto yang bisa memaafkan perbuatan mereka?
Nyatanya, sekeras apapun kau mencoba, tetap saja hatimu tidak akan pernah berbohong dengan apa yang kau rasakan. Mulut bisa saja berkata dengan nada tulus, namun bisakah hati juga melakukannya?
"Dunia ini tidak seperti apa yang kau bayangkan. Apa yang ada di dunia ini selalu berbanding terbalik dengan semua yang kau pikirkan. Banyak rahasia yang mungkin tidak akan pernah bisa kau ungkapkan. Begitu juga isi pikiran dan hati seseorang."
Naruto mengenyahkan memori yang baru saja melintas di kepalanya. Masih segar di ingatannya siapa orang yang mengatakan itu. Kakaknya, atau lebih tepatnya kakak pertamanya.
Saat itu, Naruto kecil tengah menangis di taman belakang mansion Namikaze setelah dirinya dibentak habis-habisan oleh Kushina karena ketahuan mendapat nilai kecil saat ulangan harian di sekolahnya. Naruto yang saat itu sedang ingin sendiri di ayunan tiba-tiba dihampiri oleh kakak pertamanya. Dan kakaknya itu mengatakan kalimat panjang yang sulit dimengerti oleh dirinya kala itu, namun bisa diingatnya dengan baik.
Saat ia ingin bertanya apa maksud perkataan kakaknya, kakaknya itu malah langsung berbalik pergi, meninggalkan ia sendirian dalam kesepian yang meremukkan jiwa.
Apapun yang terjadi, kau harus kuat! Jangan biarkan orang lain melihat kelemahanmu! Karena, bisa saja mereka menggunakan kelemahan itu sebagai senjata utama untuk menyerangmu!"
Lagi-lagi, perkataan kakaknya berputar di kepalanya. Bukan, kali ini bukan kakak pertamanya yang mengatakannya. Melainkan kakak keduanya. Sama seperti kakak pertamanya, kakak keduanya langsung meninggalkannya setelah memberinya kalimat yang sulit dimengerti.
Naruto memukul kepalanya menggunakan salah satu tangannya. Berusaha untuk mengusir semua kenangan yang tak pernah ingin ia ingat.
Satu isakan kecil lolos dari mulutnya. Percakapan singkat antara dirinya dan Shion mengenai keluarganya ternyata berefek besar terhadap dirinya.
"A-apa kau akan mengundang orang tua serta Kakak-kakakmu di konser peluncuran album baru kita?"
Kakak. Ya, kakak. Apakah mereka ingat kalau mereka masih mempunyai adik, yaitu dirinya? Ataukah mereka sama saja seperti ayah dan ibunya yang tak pernah menganggap keberadaannya?
"Kakak …." lirih Naruto serak.
Bagaimana kabar mereka? Meskipun mereka sama saja seperti orang tuanya yang mengabaikannya, tapi setidaknya, mereka pernah memberinya kata-kata penyemangat, walau hanya satu kali. Dan Naruto sangat terharu hingga kini.
oOo
Sementara itu, di belahan bumi yang lain, seorang pemuda berambut merah jabrik tengah berkutat dengan setumpuk dokumen penting di mejanya saat pintu ruang kerjanya diketuk beberapa kali.
"Tuan, ini aku, Yamato," kata seseorang yang mengaku bernama Yamato dari luar ruangan.
"Masuk!" perintah pemuda itu datar.
Tidak lama setelah perintah itu keluar, sesosok pria berambut coklat masuk sembari membawa sebuah tab di tangannya. Pria itu membungkuk hormat beberapa detik sebelum kembali berdiri tegak untuk menghadap bos-nya.
"Tuan, rapat dengan perwakilan dari Power's Group akan dilaksanakan satu jam lagi," lapor Yamato sambil menatap lurus atasannya yang masih memperhatikan lebih layar laptop di depannya.
"Kau sudah mempersiapkan semuanya?" tanya pemuda itu datar.
"Sudah, Tuan Kurama. Semua persiapan sudah selesai sejak setengah jam yang lalu," terang Yamato tenang. Namun, sejurus kemudian, ekspresi mukanya berubah ketika ia kembali memanggil bos-nya. "Tuan Kurama …."
"Ada apa?" Kurama kembali bertanya untuk kesekian kalinya dengan nada datar.
"Tiga hari lagi, Vier Girl akan merilis album terbarunya bersama Dark Moon. Selain itu, menurut kabar, jika album kali ini sukses besar, satu minggu dari peluncuran album baru tersebut, mereka akan mengadakan konser besar untuk merayakannya, sekaligus untuk kegiatan amal yang rutin mereka lakukan," jelas Yamato panjang. Dia mengambil napas sejenak, sebelum bertanya, "Apa Tuan akan datang ke konser itu?"
Fokus Kurama yang tadinya tertuju pada layar laptopnya, kini teralih sepenuhnya kepada Yamato yang berdiri gugup di depannya. Embusan napas kasar terdengar dari mulutnya ketika ia hendak berbicara.
"Apa aku pantas untuk datang?" tanya Kurama pelan.
"Tentu, Tuan. Anda adalah kakak dari Nona Naruto, leader Vier Girl. Tentu saja Anda harus datang!" tegas Yamato tanpa ada keraguan yang terselip di nada bicaranya.
Kurama menghela napas berat, "Kakak?" gumamnya pahit. Ia meneguk ludahnya paksa. "Apa aku pantas dipanggil 'Kakak' setelah semua yang kulakukan pada adikku?" katanya dengan suara tercekat.
Dalam pikirannya, terlintas adik kecilnya yang tersenyum, namun tak lama kemudian, senyum itu luntur tak berbekas. Dan itu semua adalah kesalahannya. Sebagai kakak, Kurama sudah gagal. Dia tidak bisa bersikap layaknya seorang kakak. Di saat di luar sana banyak kakak yang mati-matian menjaga adik-adiknya, sedangkan dia malah mencampakkannya. Ah, bukan adik-adiknya, tapi adik kecilnya. Hanya adik kecilnya yang ia abaikan, sementara yang satunya selalu ia perhatikan. Bukankah itu sangat tidak adil?
Yamato terdiam. Dirinya tidak tahu dan tidak bisa merespon perkataan Kurama. Pria itu membiarkan Kurama terus bicara, sementara ia memilih diam untuk memperhatikan.
"Aku sudah gagal, Paman. Aku tidak pantas dipanggil 'Kakak' oleh adikku, adik kecilku." Kurama memukul dadanya yang terasa sesak. "Katakan Paman, apakah adil aku menyalahkan adik kecilku atas kesalahan yang tak pernah ia lakukan, bahkan tidak ia ketahui. Apakah itu adil, Paman? Katakan apa itu adil?!" jerit Kurama frustrasi. Beruntung ruang kerja Kurama kedap suara. Kalau tidak, pasti banyak yang sudah mendengar jeritan kefrustrasian Kurama.
Yamato berjalan menghampiri Kurama. Menepuk pelan pundak pemuda itu sembari memberikan kata-kata penyemangat untuk pemuda itu. "Berhenti menyalahkan dirimu sendiri seperti itu. Kalau kau memang merasa bersalah padanya, seharusnya kau berusaha untuk mendapatkan maaf darinya. Bukan melarikan diri seperti ini." Yamato tersenyum tipis ketika Kurama mulai tenang. "Di mana Kurama yang kukenal? Kurama yang kukenal adalah dia yang pantang menyerah dalam meraih sesuatu. Bukan Kurama yang seperti ini."
Perlahan, Kurama bisa menguasai dirinya kembali. Pemuda itu mengambil napas dan membuangnya beberapa kali.
"Sudah lebih baik?" tanya Yamato tanpa menghilangkan senyumnya.
Kurama membuang napas lelah, "Terima kasih, Paman. Kau memang bisa diandalkan!" puji Kurama dengan satu sudut bibirnya tertarik ke atas.
Yamato tertawa pelan mendengar pujian dari bos yang sudah dianggapnya keponakannya sendiri.
"Paman, apa Sasori tahu kabar tentang Vier Girl yang tadi Paman sampaikan?" sahut Kurama cepat, membuat Yamato menghentikan tawanya.
"Sepertinya dia tahu," jawab Yamato acuh tak acuh.
Alis Kurama terangkat sebelah. "Bagaimana Paman bisa sangat yakin?"
Yamato menyeringai. Tangannya mengangkat ponsel hitam miliknya dan memperlihatkan sesuatu yang terpampang di layar flat itu kepada Kurama.
Seniman Kebanggaan Jepang; Namikaze Sasori dikabarkan akan kembali ke tanah kelahirannya dalam waktu dekat ini.
Kurama terkekeh cukup keras. Namun berbanding terbalik dengan wajahnya yang kian menyendu bak langit kelabu.
oOo
"Senior Sasori, apa kau sudah membereskan barang-barangmu?!" teriak seorang gadis cantik berambut pirang yang diikat tinggi dengan menyisakan setengah bagian rambutnya. Poninya yang panjang menutupi salah satu matanya yang berwarna safir. Gadis itu melangkah cepat menghampiri seorang pemuda berambut merah yang tengah berkutat dengan berbagai macam alat di atas meja di depannya.
"Belum."
Jawaban yang sangat pendek itu sukses membuat si gadis mendengkus kesal. Tanpa aba-aba, gadis itu merebut alat yang ada di tangan Sasori dan berkacak pinggang saat pemuda itu menatapnya lurus.
"Apa, huh?!" seru Deidara galak. Segera ia melempar alat di tangannya ke sembarang arah kala Sasori hendak merebutnya. "Kau mau itu, kan?! Silahkan ambil sendiri!" ketus Deidara.
Sasori menggeleng pelan, "Kau ini kenapa, hm?" tanya Sasori lembut.
Deidara mendecih. Gadis itu menyeret kursi yang ada di pinggirnya dan mendaratkan tubuhnya pada kursi itu. "Kenapa kau bilang?!" geram Deidara tertahan. Oke, mungkin dia terlalu kesal karena menghadapi sosok pemuda keras kepala yang cuek terhadap sekitarnya di depannya kini hingga ia harus berusaha sekuat mungkin agar tidak memaki pemuda yang berstatus kekasihnya itu.
"Memangnya harus apa?" Sasori menggaruk tengkuknya ketika Deidara melotot padanya.
"Kau ini niat tidak sih untuk pulang ke Jepang?!" kesal Deidara dengan wajah memerah.
"Tentu saja.
"Lalu kenapa kau tidak bersiap?!" sentak Deidara lagi. Hilang sudah kesabarannya akibat kekasihnya. "Bukannya mempersiapkan keberangkatanmu ke Jepang, kau malah bercinta dengan boneka-boneka itu!" cibir Deidara seraya menunjuk ganas boneka-boneka setengah jadi di atas meja.
Sasori menghela napas lelah. Dirinya tahu betul penyebab Deidara marah, bahkan sebelum Deidara mengomelinya, dia sudah tahu tujuan kekasihnya datang ke ruangannya itu untuk apa. Tentang mengepak pakaian dan yang lainnya, Sasori sudah melakukannya dari jauh-jauh hari tanpa sepengetahuan Deidara. Dirinya tidak sabar untuk kembali ke Jepang. Namun seolah tidak berpihak padanya, hatinya itu malah menjerit frustrasi. Tidak siap bila harus kembali ke Jepang secepatnya, apalagi bertemu dengan sosok yang selalu menghantuinya oleh rasa bersalah. Ya, sayangnya sosok itu adalah adiknya. Adik yang selama ini ia campakkan dan tidak menganggap keberadaannya.
"Apa kau tidak mau bertemu dengan adikmu secepatnya?
Pertanyaan Deidara seolah menyentak Sasori dari lamunan. Pemuda itu kini menatap kekasihnya sendu. Tentu ia ingin segera bertemu adiknya, tapi hatinya benar-benar belum siap. Sasori mengacak rambutnya frustrasi. Dan Deidara tahu, mengapa Sasori terlihat kacau seperti itu.
"Hanī ... aku tahu kalau kau masih belum bisa memaafkan dirimu sendiri atas kesalahanmu pada adikmu," ujar Deidara hati-hati. Dia tersenyum ketika Sasori memandangnya dengan tatapan seperti anak yang sedih karena kehilangan mainannya. "Tapi, bukankah kau ingin memeluk adik kecilmu itu? Dan kau pasti tahu kalau kau harus mendapatkan maafnya terlebih dahulu jika ingin memeluknya."
"Tapi Deidara, bagaimana caranya aku melakukannya?!" jerit Sasori sambil menahan air mata yang berkumpul di pelupuk matanya.
Lagi-lagi Deidara tersenyum, begitu lembut dan hangat. "Gunakan hatimu. Beranikan dirimu. Tidak mudah memang, tapi kalau kau mau berusaha, aku yakin adikmu pasti akan memaafkanmu," kata Deidara tenang.
"Kenapa kau begitu yakin aku bisa melakukannya? tanya Sasori lirih.
"Karena kau kekasihku. Dan aku tahu kau bisa melakukannya. Hanya saja kau terlalu takut saat menatapnya. Takut jikalau ada bekas luka yang kau berikan. Itulah kau." Deidara menggenggam tangan Sasori dan meremasnya pelan. "Maka dari itu, singkirkan rasa takutmu. Orang yang berani sekalipun pasti mempunyai rasa takut, dan orang penakut pasti memiliki keberanian dalam dirinya. Ingat, orang yang kuat bukanlah mereka yang mampu menghadapi semuanya sendirian, tapi dia yang bisa mengalahkan rasa takutnya yang membuatnya terdorong untuk terus melangkah maju meskipun masalah semakin bertambah berat. Aku juga akan terus berada di sampingmu untuk menemanimu. Karena pada dasarnya, tidak ada yang sendiri di dunia ini."
Sasori tersenyum hangat. Tangannya ia gerakkan untuk mengusap puncak kepala kekasihnya. Tidak pernah sekalipun terpikirkan oleh kepalanya mengenai semua yang dikatakan Deidara padanya.
"Aku beruntung memilikimu sebagai asisten dan kekasihku." Sasori memeluk Deidara sembari mengusap rambut pirang Deidara yang mengingatkannya akan warna rambut adik kecilnya.
Deidara tersenyum kecil. Dia semakin membenamkan wajahnya di dada Sasori yang membuatnya bisa mendengar irama detak jantung Sasori yang membuatnya tenang. "Dan aku beruntung dimiliki oleh pemuda baik sepertimu."
~oOo~
TBC
1. Hanī : Sayang
Hai, hai! Masih ada yang nunggu cerita ini?
Mungkin ini adalah update-an tercepat Airi di work ini XD
Bukan apa-apa, masalahnya selama PAS, Mom gak ijinin aku main HP. Aku gak terlalu suka ngetik di komputer, gak bisa dibawa ke mana-mana kalau misal idenya muncul tiba-tiba. Gak kayak HP. Tapi ... akhir-akhir ini Mom ngancam bakal tarik semua fasilitas Airi kalau nilai Airi di semester ini turun T_T. Aish, malah jadi curhat..
#maafkeun
Semoga chapter ini dapat memuaskan kalian, ya...Oh ya, aku perkirakan sih cerita ini udah mau hampir konflik (spoiler dikit). Kalian bisa tebak-tebak gimana kelanjutannya mulai dari sekarang atau mungkin udah ada yang bisa tebak ke mana arahnya dari awal-awal cerita [mengingat ide cerita ini yang pasaran, hiks]
Oke deh, udah banyak cuap-cuapnya. Terima kasih atas semua dukungannya yang tak terkira.
Sincerely,
AirinaNatsu-chan
