Disclaimer: Naruto belongs to Masashi Kishimoto. However, this story purely of my thinking.

Genre: Romance, Friendship, Hurt/Comfort, Family.

Pair: SasuFemNaru

Rated: T

Warning: Gender switch, Fem!Naru and Fem!Deidara, OOC, typo(s), dll.

• Winter Love •

Chapter 5.2: Kakak - 2

By: AirinaNatsu-chan

~oOo~

Pernahkah Sasuke mengatakan kalau ia membenci nama Uchiha? Kalau tidak, sekarang Sasuke akan mengatakannya. Bahwa ia benar-benar membenci Uchiha, tanpa terkecuali!

Pemuda yang menjabat sebagai leader Dark Moon itu memakan makan malamnya dalam diam. Berusaha tak memedulikan keadaan sekitarnya. Keadaan yang membuatnya muak.

"Bagaimana perkembangan proyek yang kau kerjakan, Itachi?" tanya Fugaku sambil menatap putra sulungnya lurus.

Itachi mengunyah makanan dalam mulutnya pelan, lalu menelannya kemudian mengulas sebuah senyum kecil. "Baik, Ayah. Semuanya berjalan lancar. Bahkan, bisa dibilang proyek kali ini berkembang begitu pesat," jawabnya yang membuat rasa bangga membuncah di dada Fugaku.

"Bagus sekali. Kau memang anak yang bisa diandalkan!" puji Fugaku, tersenyum tipis namun masih bisa dilihat orang lain yang ada di sana.

"Itachi memang anak yang hebat. Sejak kecil perangainya sudah terbentuk dengan baik. Maka dari itu, pantas kalau saat ini apapun yang dikerjakannya berbuah manis," timpal Mikoto dengan tatapan teduh yang dia layangkan pada anak sulungnya.

Sasuke mengeratkan pegangannya pada sendok dan garpu di tangannya. Rasa sesak di dadanya membuat napasnya sedikit berat. Dia semakin menundukkan kepala dan memejamkan matanya. Berharap dengan cara itu perasaannya kembali membaik. Walau dia tidak yakin bisa.

Madara—Ayah dari Fugaku itu sadar dengan gerak-gerik cucunya, Sasuke. Tatapan tajamnya menyapu ke sekelilingnya. Terlihat di matanya, Fugaku dan Mikoto masih membanggakan Itachi, tanpa peduli air muka Sasuke yang keruh.

Madara menghela napas. Dia tahu arti dari air muka Sasuke. Itu adalah sarat kecemburuan. Madara menggelengkan kepalanya pelan. Fugaku dan Mikoto telah melakukan kesalahan. Bagaimana di saat acara keluarga seperti ini, keduanya hanya membanggakan Itachi? Madara akui, Itachi memang anak yang baik dan sangat membanggakan. Tapi, bukankah Sasuke juga sama? Bahkan jika dibandingkan, popularitas Sasuke lebih tinggi daripada Itachi. Banyak penghargaan bergengsi yang disabet Sasuke.

Madara juga tahu kalau sebenarnya Sasuke memiliki usaha sendiri. Yaitu mendirikan sebuah resort dekat dengan pantai pribadi milik keluarga Uchiha yang dibuka untuk umum. Resort itu cukup terkenal, namun tak banyak yang tahu siapa pemilik sebenarnya dari resort itu. Dan Madara adalah salah satu dari segelintir orang yang tahu fakta tentang pemilik resort tersebut.

Apakah Madara merasa bangga? Tentu saja, iya. Bagaimana tidak bangga ketika cucu kesayangannya meraih kesuksesannya tanpa memakai embel-embel Uchiha? Mungkin bagi sebagian orang, di balik kesuksesan Sasuke, ada nama Uchiha yang mengikutinya. Padahal, pencapaian yang Sasuke dapatkan adalah murni hasil jerih payahnya sendiri, tanpa ada campur tangan Uchiha.

Sekali lagi, Madara melepas napas berat sebelum akhirnya membuka suara, "Bagaimana denganmu, Sasuke?" tanya Madara dengan suara beratnya, sukses membuat Sasuke mendongak dan menatap lurus ke arahnya, begitupun keluarga Uchiha yang lain. "Kudengar, kau dan teman-temanmu akan meluncurkan album baru."

"Semuanya baik-baik saja. Kakek tidak perlu khawatir," jawab Sasuke datar, walau tak dipungkiri ada rasa senang membuncah di dadanya kala kakeknya bertanya.

Madara tersenyum tipis. "Kau benar-benar membuatku bangga, Sasuke!" puji Madara terang-terangan yang membuat keluarganya yang lain, bahkan Sasuke juga terkejut. "Apalagi profesimu mengingatkanku akan sosok Izuna," lanjutnya dengan kekehan pelan.

Sontak, semua yang ada di sana membelalakkan matanya. Bagaimana mungkin seorang Uchiha Madara yang terkenal akan keinginannya membangga-banggakan Sasuke secara terang-terangan? Padahal menurut mereka, Itachi jelas lebih mengharumkan nama Uchiha.

"Apa yang Ayah katakan?" tanya Fugaku setelah berhasil menguasai diri dari keterkejutannya. "Bukankah Itachi juga sangat membanggakan? Dia bahkan hampir menyamai kehebatan Ayah dalam dunia bisnis. Bahkan pasar saham di Jepang kini dikuasai oleh keluarga kita karena Itachi."

Sasuke memutar bola matanya jengah. Mood-nya yang barusan membaik karena kakeknya lagi-lagi hancur setelah mendengar perkataan ayahnya yang seolah merendahkannya. Tidak bisakah ayahnya itu meliriknya setelah semua yang dicapainya? Tidak bisakah Sasuke mendengar kata-kata pujian yang dilontarkan Fugaku khusus untuk dirinya?

Madara mendengkus, "Aku tahu itu, Fugaku." Tatapan tajam dia layangkan pada putra sulungnya. "Bukankah kau selalu melaporkan perkembangan seluruh perusahaan keluarga kita padaku, Shisui?" katanya yang kini memandang Shisui.

Shisui—Putra semata wayang mendiang Kagami, mengangguk samar ketika Madara mengalamatkan pertanyaan itu padanya. Dia tidak menyangka kakeknya ingin menghentikan pujian setinggi langit yang terus diberikan keluarga Uchiha lain kepada Itachi dengan memuji Sasuke secara terang-terangan. Selain itu, Madara juga menyamakan Sasuke dengan Izuna. Dimana semua orang tahu kalau Madara sangat menyayangi mendiang adiknya yang juga memiliki profesi yang sama seperti Sasuke.

"Lihat?" Suara Madara kembali menyentak perhatian orang-orang di sekelilingnya. "Aku memiliki mata, telinga, tangan, kaki, dan hidung di mana-mana. Tak peduli dia bawahanku atau bahkan keluargaku sendiri."

Hening.

Semua orang terdiam di tempat mereka masing-masing. Tak ada yang berani bersuara untuk menyela perkataan Madara.

Madara menghela napas, "Aku selalu memantau kalian tanpa kalian sadari," tukasnya pelan, "dan aku juga tahu jalan yang kalian pilih dalam meraih kesuksesan yang kalian punya saat ini," tambahnya tajam.

Nyali mereka mendadak menciut, terkecuali Sasuke. Lagipula, untuk apa ia takut? Dia tidak merasa melakukan kesalahan sedikitpun dalam meraih namanya. Kalau pun iya dia melakukan kesalahan, tentu sebelum Madara menyinggungnya, Sasuke pasti lebih dulu mengatakannya.

"Aku kecewa karena ternyata kalian memakai nama Uchiha demi karir kalian!"

Lagi, suara Madara menyentak mereka. Mereka tidak menyangka Madara tahu mengenai hal itu. Mereka terlalu ceroboh hingga tak menyadari kalau Madara bisa melakukan hal yang di luar akal mereka.

Madara tersenyum sinis, "Aku selalu berharap kalian membesarkan nama Uchiha dimulai dari nol. Tapi kalian malah memakai cara instan dengan memakai nama Uchiha yang memang sudah besar."

Dalam hati, Shisui berdecak kagum. Kakeknya memang hebat dalam mengendalikan situasi. Bahkan dia juga sebenarnya merasa terintimidasi meskipun sudah tahu kalau semua yang terjadi saat ini adalah skenario yang dibuat Madara. Well, bisa dibilang jika dibandingkan dengan yang lain, Shisui adalah orang terdekat Madara saat ini. Kakeknya lebih mempercayainya yang merupakan cucu dari anak keduanya, Kagami, dibandingkan Itachi yang merupakan anak dari putra sulung Madara, Fugaku.

Entah jelasnya karena apa Madara lebih mempercayainya, tapi satu hal yang Shisui tahu, kakeknya tidak menyukai sifat Fugaku. Sejak kecil, Fugaku selalu menilai tinggi dirinya dan apa yang dia miliki daripada orang lain. Hal itu dikarenakan Fugaku dididik keras oleh kakeknya—ayah dari Madara yang memiliki sifat sewenang-wenang. Berbeda dengan Kagami yang lebih dekat dengan istri Madara yang lembut. Sehingga Kagami memiliki sifat yang hampir mirip dengan ibunya.

Sasuke yang sudah bosan dengan pembicaraan keluarganya ini memutuskan beranjak dari ruang makan yang terasa berat oleh aura intimidasi dari Madara. "Aku sudah selesai. Terima kasih atas makanannya," ucapnya monoton. Dia sudah mengambil ancang-ancang melangkah kala suara Itachi menghentikannya.

"Sasuke, tidak baik meninggalkan meja makan ketika semua orang sedang berkumpul!" tegur Itachi yang tidak dihiraukan adiknya.

"Sasuke!" tegur Fugaku keras, tapi hanya dianggap angin lalu oleh putra bungsunya. "Kembali ke tempat dudukmu. Lihatlah, Kakakmu! Dia bahkan masih sempat memikirkanmu yang sulit diatur!"

"Biarkan saja, Fugaku. Biarkan dia kembali ke kamarnya," ujar Madara tenang sembari menyesap nikmat teh hangat di depannya.

"Tapi—" ucapan Fugaku terpotong ketika pria paruh baya itu melihat putra sulungnya mencegat langkah Sasuke.

"Kubilang jangan tinggalkan meja makan, Sasuke. Bahkan Ayah sudah menegurmu tapi kau tidak mau mendengarkannya!" Itachi berkata sedikit keras yang membuat Sasuke semakin muak.

"Lalu apa, hah?! Kau ingin aku diam melihat Ayah dan Ibu yang membangga-banggakanmu?!" sentak Sasuke yang mengagetkan semuanya. Suaranya terdengar menggelegar hingga para pelayan mampu mendengarnya dengan baik.

"Kau ingin aku melihat bagaimana Ayah memperlihatkan wajah bangganya terhadap dirimu? Kau ingin aku melihat bagaimana Ibu selalu menomorsatukan dirimu? Kau ingin aku melihat bagaimana tanggapan keluarga Uchiha yang lain ketika Ayah dan Ibu memujimu secara terang-terangan? Kau ingin aku melihat semua itu, kan?!" bentak Sasuke lebih keras lagi. Napasnya memburu, dadanya naik turun dengan cepat. Rasa sesak menyeruak, membuat matanya memanas.

Itachi terdiam, begitu juga Fugaku dan Mikoto, sementara Madara dan Shisui menghela napas panjang.

"Kau ingin menunjukkan kepadaku kalau kau lebih baik dariku? Iya, kan?!"

Setetes air mata jatuh ke pipi Sasuke. Pemuda itu menatap nanar keluarganya yang kini terdiam membatu, tidak seperti tadi yang berkoar-koar layaknya ayam yang baru saja bertelur.

Sasuke melayangkan tatapannya kepada Itachi. "Kau tahu? Kupikir kau adalah kakak yang ku idam-idamkan," bisik Sasuke yang nyaris tak bisa didengar. "Aku akui, kau memang membanggakan. Kau selalu saja bisa meraih semua yang kau inginkan dan mendapatkannya dalam waktu singkat. Tidak sepertiku yang membutuhkan waktu yang lama untuk mendapatkan semua yang ku punya sekarang."

Sasuke melepas napas berat, "Baiklah, sekarang aku ingin mengakui satu hal," ucap Sasuke yang membangkitkan rasa penasaran semua yang mendengarnya, termasuk Itachi. "Aku iri padamu, Kak," bisik Sasuke parau.

Itachi membulatkan matanya. Hatinya bergetar ketika melihat bahu adiknya yang berguncang, menahan tangis akan semua rasa sesak yang ditahannya selama ini. Benarkah, Sasuke iri padanya? Dan apa itu tadi … Sasuke memanggilnya … 'Kak'?

Sasuke mengusap kasar wajahnya yang kini dibasahi air mata sialan yang keluar dari pelupuk matanya. Dia mengumpat kala air mata itu tidak mau berhenti mengalir.

"Kau tahu, siapa yang membuatku mengejar sesuatu yang tidak pernah kupikirkan selama ini?" lirih Sasuke getir.

Hening.

"Kau, Itachi. Kau lah alasanku mengejar sesuatu yang bukan menjadi impianku!" seru Sasuke keras. Wajahnya memerah, deru napasnya tak beraturan, rasa sesak terus menyeruak.

Sasuke tertawa getir melihat raut wajah Itachi yang syok. Dia tahu kalau Itachi mengerti apa maksud perkataannya. Tapi dia tidak mau berhenti. Kali ini, biarkan dia yang menjadi tokoh utama dalam cerita keluarga Uchiha ini.

"Hari itu aku pernah membaca buku catatanmu. Kukira itu buku catatan biasa yang penuh dengan tulisan-tulisan jadwal kegiatanmu, atau daftar pelajaran yang akan kau pelajari. Tapi ternyata, ada selembar kertas kecil yang terselip di sana." Tatapan Sasuke menerawang jauh, tepat ke masa dirinya membaca impian Itachi yang tertulis di selembar kertas lusuh itu.

"Impianmu adalah menjadi seorang leader dari sebuah boyband terkenal. Iya, kan?" dengkus Sasuke, meski terasa sulit karena napasnya yang tercekat.

Fugaku tersentak. Dia menatap tidak percaya punggung Itachi sesaat setelah Sasuke mengatakan kalimat itu. Bagaimana mungkin Itachi memiliki impian seperti itu?

"Awalnya aku ingin menyemangatimu agar kau tidak patah semangat untuk mencapai impianmu. Tapi aku tahu kalau Ayah tidak akan menyukainya. Dan ternyata dugaanku benar karena Ayah memerintahkanmu untuk meneruskan pekerjaannya sebagai pemilik perusahaan Uchiha."

Ingatan Sasuke melayang pada kenangan ketika ia berumur enam tahun. Ketika ia berniat menyemangati kakaknya dan ketika ia melihat bagaimana ayahnya menuntut kakaknya untuk menjadi penerus ayahnya.

"Aku tahu kau merasa sedih karena tidak bisa mengejar impianmu dan aku berpikir untuk mewujudkan impianmu, meski awalnya aku ragu." Sasuke tersenyum kecil, namun senyum itu penuh dengan luka dan rasa sakit.

Sasuke mengambil napas dalam, dan untuk kesekian kalinya, ia bicara dengan nada berat, "Berharap dengan cara itu kau bisa tersenyum lepas dan merasa bangga atas pencapaianku."

"Sasuke—"

"Tapi apa yang kudapatkan sekarang?!" sentak Sasuke, memotong ucapan Itachi yang sudah ada di ujung lidah. "Kupikir semua yang kudapatkan saat ini bisa membuatmu, Ayah, dan Ibu melihatku. Menganggapku ada dan … bersikap layaknya sebuah keluarga," lirih Sasuke pahit.

Bohong jika Sasuke tidak merasakan sakit atas semua perlakuan orang tuanya. Sasuke juga seorang manusia biasa yang mempunyai kelebihan dan kelemahan masing-masing. Dia beruntung bisa menyembunyikan semua rasa sakit dan kesedihannya selama ini. Namun, layaknya batu yang terus ditimpa air, topeng yang selama ini ia pakai akhirnya retak. Sejak dulu topeng itu sudah rapuh dan terus mendapatkan terpaan badai yang setiap waktunya kian bertambah dahsyat. Pantas jika saat ini pertahanan Sasuke runtuh. Tidak selamanya perasaannya itu bisa ia pendam sendiri.

"Kau tahu, Kak?" Kini air mata benar-benar sudah memenuhi pelupuk mata Sasuke, wajahnya begitu kusut, tidak seperti biasanya. "Aku sangat iri padamu. Aku selalu menjadikanmu sebagai tujuan dan alasanku dalam mencapai karir ini, yaitu melewatimu atau setidaknya berjalan sejajar denganmu."

Tangan Sasuke terkepal kuat hingga kuku-kuku jarinya memutih. Rahangnya mengetat, napasnya semakin memberat, bahunya berguncang hebat, dan rasa sesak terus menyeruak. "Aku … ingin sepertimu, Kakak."

Tanpa basa-basi lagi, Sasuke membalikkan tubuhnya, melanjutkan kembali langkahnya yang sempat tertunda, meninggalkan keluarga besarnya yang menatap kepergiannya dalam kesunyian yang mengusik jiwa.

Madara yang sudah bisa menguasai dirinya beranjak dari kursi yang ditempatinya. Pria itu berjalan tenang, keluar dari ruang makan yang berbatasan langsung dengan ruang keluarga dan hanya dibatasi oleh sekat kaca. Namun sebelum benar-benar menghilang dari pandangan orang-orang, ia bersuara.

"Masuk ke kamar kalian masing-masing. Jangan ada yang keluar satu pun atau aku tidak akan segan-segan memberikan hukuman pada kalian!" tegas Madara yang tak bisa dibantah oleh siapapun.

Itachi masih terdiam membatu ketika sebuah tepukan pelan mendarat di bahu kirinya. Putra pertama Fugaku dan Mikoto itu melirik ke samping, dimana sepupunya berdiri dengan senyum kecil di bibirnya.

"Pikirkan semua yang terjadi saat ini dengan baik agar kau mengerti, Uchiha Itachi!" kata Shisui tenang, namun tajam dan penuh keseriusan. Pemuda itu beranjak pergi saat Itachi masih terpaku di tempatnya berdiri.

Sasuke ….

xxXxx

Malam ini terasa begitu kelabu bagi Itachi. Pengusaha muda itu memandang langit yang kini terlihat gelap tanpa ada satu bintang pun yang meneranginya, bahkan rembulan terlihat enggan untuk menampakkan diri di malam sunyi ini.

Angin malam berembus pelan, cukup membuat Itachi yang duduk di balkon menggigil, namun tak ia hiraukan. Rasa dingin terasa menusuk kulit hingga tulang, nyaris membekukan.

Itachi melepas napas lelah. Kepalanya berdenyut saat otaknya kembali memutar kejadian tadi. Rasanya aspirin atau alkohol sekalipun tidak mampu meringankan beban yang ada di kepala dan pundak Itachi. Semuanya terjadi terlalu mendadak. Atau mungkin sebenarnya, memang harus terjadi tadi? Entahlah, tidak ada yang tahu dengan pasti apa yang akan selanjutnya terjadi.

Tapi, satu hal yang Itachi tahu. Bahwa hubungannya dengan Sasuke tidak akan seperti dulu lagi.

Itachi mendesah kasar. Asap mengepul ketika ia mengembuskan napasnya. Udara malam begitu dingin di awal musim dingin ini. Sama seperti keadaan hati Itachi.

"Tidak baik berdiam diri di luar malam-malam begini. Apalagi sekarang awal musim dingin," celetuk Shisui yang membuat Itachi menoleh ke belakang dan mengernyit.

"Kenapa kau ada di sini?" tanya Itachi bingung. Dia semakin heran saat Shisui mengangkat bahunya ringan dan berjalan menghampirinya. Duduk di sampingnya sambil menenteng dua cangkir teh hangat dan menyodorkan salah satunya kepada Itachi. "Kakek bisa marah besar kalau tahu kau ada di sini!" peringat Itachi.

Shisui mendengkus. Bukannya mendengarkan perkataan Itachi, pemuda itu menenggak teh hangatnya pelan-pelan sembari memandang tirai malam yang gelap.

"Untuk apa Kakek marah kalau dia sendiri yang menyuruhku kemari?" ujar Shisui, menyeringai ketika Itachi semakin menatapnya bingung.

"Kakek yang menyuruhmu ke sini?" tanya Itachi memastikan. Anggukkan Shisui menjadi jawaban dari pertanyaannya. "Untuk apa?"

"Mengingatkanmu akan peranmu sebagai seorang kakak bagi Sasuke."

Itachi memalingkan muka, sedangkan Shisui hanya bisa melepas napas panjang. Dia sudah menduga kalau respon yang didapatkannya akan seperti ini, tapi tetap saja, ada rasa gemas saat menerima respon ini secara langsung.

"Sepertinya Kakek tidak menyukaiku," lirih Itachi yang masih bisa didengar Shisui dengan baik.

Shisui tersenyum kecil. Tangan kekarnya meletakkannya cangkir tehnya, lalu menarik bahu Itachi dan memaksa pemuda itu untuk merapatkan diri padanya. Mengusap punggungnya pelan dan berkata dengan santainya, "Jangan terlalu memikirkan kata-kata Kakek tadi. Kau tahu sendiri dia seperti apa."

"Tapi perkataan Kakek seakan-akan menamparku untuk tidak terlalu bahagia atas penca—"

"Karena Kakek ingin kau melihat Sasuke," potong Shisui tersenyum kecil. Shisui menarik napas sejenak sebelum kembali bicaranya. "Kau, Paman Fugaku, Bibi Mikoto, serta keluarga Uchiha lain larut dalam euforia semu yang Ayahmu ciptakan atas rasa bangganya terhadap dirimu. Tanpa sadar, kalau itu semua melukai Sasuke."

Itachi menundukkan kepalanya dalam. Rasa bersalah menyerang dadanya dengan hebat. Rasanya begitu sakit dan sesak. Bernapas pun rasanya begitu sulit. Padahal beberapa saat lalu dia bisa menarik dan mengembuskan napasnya sesukanya. Tapi sekarang, semuanya berubah hanya dengan beberapa kalimat yang meluncur dari mulut Shisui.

"Kakek tahu kalau selama ini Sasuke selalu memendam perasaannya terhadap dirimu."

Wajah Itachi memucat. Bulu kuduknya meremang. Perkataan Shisui barusan benar-benar membuat adrenalinnya berpacu lebih cepat.

"Bukan perasaan cinta, Baka!" ralat Shisui cepat. Ia menyunggingkan senyum sini, "Sepertinya otakmu sudah bergeser total dari tempatnya hanya dalam kurun waktu beberapa menit," oloknya datar.

Itachi memutar bola matanya jengah, "Kau salah memilih kalimat!" cibir Itachi, datar.

Shisui tersenyum lebar hingga menampilkan deretan gigi putihnya. "Setidaknya sekarang kau tidak terlalu tegang," katanya santai yang disambut decihan dari Itachi.

Shisui terkekeh keras, disusul oleh Itachi yang mendengkus geli.

"Kau tahu, Shisui, kenapa aku mau meneruskan karir Ayah sebagai seorang pengusaha?" gumam Itachi, kembali membuka pembicaraan sembari memandang langit. Dia tersenyum samar ketika angin kembali berembus, "Itu karena, Sasuke," bisiknya nyaris tak terdengar.

Shisui mengerutkan dahinya dalam, "Maksudmu?" tanyanya tak mengerti.

"Sejak dilahirkan aku sudah ditakdirkan untuk menjadi penerus Ayah. Aku tahu aku tak bisa menolak, apalagi Ayah memiliki sifat yang keras." Itachi memejamkan matanya. "Sebenarnya aku pernah memohon kepada Ayah agar aku dilepaskan dari kewajibanku untuk meneruskan karirnya. Tapi Ayah menolaknya."

Shisui memilih diam mendengarkan cerita Itachi. Dia bisa merasakan bahwa sepupunya itu tertekan. Tapi Shisui tidak bisa berbuat apapun.

"Berulang kali aku berlutut padanya, memintanya untuk mengabulkan keinginanku. Tapi Ayah terus menolaknya dan akhirnya, dia pun mengancam akan merebut masa kecil Sasuke, mendidiknya dengan keras, dan menjadikannya penggantiku jika aku terus memohon hal yang sama." Itachi tertawa getir.

Shisui memalingkan mukanya. Matanya memanas. Hatinya menjerit iba. Bagaimana bisa pamannya mengancam Itachi seperti itu di saat putra sulungnya masih kecil? Apa dia tidak mempunyai hati nurani untuk putra-putranya? Tak sadarkah kalau selama ini pamannya itu sudah menyakiti kedua putranya terlalu dalam?

"Aku yang takut senyum Sasuke hilang akhirnya berhenti memohon dan mulai menerima takdirku yang kadang aku benci," sambung Itachi lirih. Rasanya sulit menceritakan kepedihan yang selama ini ia simpan rapat-rapat dari orang lain. Terutama dari adik kesayangannya.

"Aku pikir aku sudah melakukan yang terbaik untuk adikku, melindunginya dari orang-orang yang ingin menjatuhkan dan menyakitinya. Tapi ternyata aku salah, karena aku lah yang paling menyakitinya." Bahu Itachi bergetar hebat, dan Shisui hanya bisa mengusap punggung sepupunya. Tidak tahu harus berkata apa.

"Aku ingin melihat Sasuke tersenyum lagi, Shisui!" jerit Itachi tertahan. Napasnya memburu. Air mata yang sedari tadi ditahannya jatuh, mengalir di pipi putihnya, dan meninggalkan jejak yang membuat wajah Itachi terlihat begitu kusut.

"Aku ingin melihatnya, Shisui. Aku ingin melihat senyum hangat Sasuke lagi. Aku ingin ... melihatnya ..."

Shisui menatap nanar Itachi. Dia menarik bahu Itachi, menjadikan bahunya sebagai sandaran untuk sepupunya. Dia tidak tahu harus berkata apa untuk menenangkan Itachi. Lidahnya kelu, matanya memanas, pandangannya memburam. Sakit. Ya, dia juga merasakan rasa sakit yang kedua sepupunya rasakan selama ini.

"Suatu hari nanti, Sasuke pasti akan tersenyum kembali. Aku yakin hari itu akan datang. Dan saat hari itu tiba, bersikaplah layaknya seorang kakak untuknya, Itachi."

~oOo~

TO BE CONTINUED

Hai, hai! Masih adakah yang menunggu cerita ini?

Menulis part ini benar-benar menguras air mata dan tenaga! Beberapa kali file part ini hilang dan itu membuat Airi stres T_T

Well, bagaimana pendapat kalian tentang part ini? Semoga terhibur atau sedikit tersentuh ya... T_T

City of Wind, December 15th 2018.

With love,

AirinaNatsu-chan