Peringatan: keemungkinan banyak typo lho... mohon di maklumi.

.

.

.

Chapter 3

Musuh dalam Selimut

.

Ino berjalan di koridor sekolah penuh dengan kekhawatiran. Semalam Tenten menelponnya dan mereka membicarakan banyak hal. Tenten bahkan tak terdengar seperti seorang yang terkena hukuman. Nada bicaranya tetap bahagia dan menggebu gebu. Berulang kali Tenten mengingatkan Ino untuk mencari senior mereka yang bernama Shikamaru Nara. Namun Ino tidak yakin untuk melakukannya. Ino memang sedikit takut namun bukan berarti ia lemah. Rasa takut yang mendampinginya mengingatkanya jika dia masih seorang manusia normal.

Ino mengeratkan peganganya pada tali tas yang menggantung di bahunya. Apapun yang terjadi, Ino akan menghadapinya. Ini bukan pertama kali Ino menghadapi buli. Hampir 8 tahun penuh masa taman kanak kanak dan sekolah dasarnya yang ia ingat hanya memori tentang dirinya yang selalu di buli oleh lingkungannya. Jadi apapun yang terjadi nanti bukanlah hal yang harus ia takuti terlalu dalam.

Ino memasuki kelasnya, dan kelas yang tadinya riuh kini menjadi hening. Ia menuju bangkunya dan benar saja. Kini bangkunya sudah sangat kotor dengan coretan dimana mana dan juga kotoran yang terjumpal di loker mejanya. Tidak sedih tidak marah. Hanya nostalgia sudah 3 tahun Ino tidak merasakan sensasi tersebut. Ino tak bergeming ia lalu pergi mengambil tong sampah di pojok kelas lalu ia berjongkok di depan bangkunya dan mengeluarkan sampah sampah tersebut dari mejanya. Ada sampah minuman, sampah makanan, dan juga lumpur yang membuat tangan Ino menjadi sangat kotor. Teman teman sekelasnya tidak ada yang berkomentar. Semua hanya diam tanpa sepatah katapun. Ino juga tak berharap ada yang berkomentar, Ino hanya tersenyum sinis. Lagipula percuma berharap ada yang berbelas kasih disekolah dengan mayoritas anak orang kaya tersebut.

Ino berdiri setelah menali kantong sampah yang kini sudah penuh dengan kotoran yang tadinya memenuhi mejanya. Ino memandang sekeliling kelas yang kini mulai bingung dan mengalihkan pandangan mereka dari Ino. Pura pura tidak tahu dengan apa yang terjadi. Dan itu membuat Ino makin geli dibuatnya. Sangat menyedihkan sekali.

"Kalian semua dengar ya," Ino membuka omongan sehingga semua teman sekelasnya bisa mendengar.

"Aku tidak peduli jika kalian tidak peduli. Aku tidak peduli jika kalian pura-pura buta dengan sekeliling kalian. Aku juga tidak peduli jika kalian merasa senang atau sedih melihat seorang di kelas kalian mengalami hal seperti ini. Aku sangat sangat tidak peduli." Ino mulai menaruh kantong sampah di atas mejanya dan hendak membawa mejanya keluar untuk dibersihkan.

"Yang membuat aku ingin tertawa adalah. Kalau tidak peduli sebaiknya jangan memasang wajah seperti itu... kalian terlihat menyedihkan. Kalau mau menolong ya tolong saja. Aku heran dengan kalian ini. Penuh dengan kemunafikan. Menjijikan." Akhirnya Ino melenggang keluar dengan meja yang kotor di kedua tanganya. Ino tersenyum melihat kelasnya yang tercengang sepeninggalan Ino dari kelas.

Ino mencuci mejanya di atap sekolah. Ia menemukan keran dan slang disana. ia cuci mejanya dengan sikat lantai yang ia bawa dari ruang piket. Masa bodoh jika ia harus membolos pelaajaran pertama, setidaknya Ino punya alasan untuk itu.

"Akhirnya... selesai juga hahh..." Ino menghempaskan tubuhnya di lantai. Ia menatap awan yang bergerak pelan di atasnya. Mejanya sudah bersih dan tinggal menunggu kering. Angin musim semi sedikit dingin tapi juga sejuk membuat matanya sayu dan rasanya ingin tidur. Namun Ino Tak menutup matanya. Karena saat Ino menutup matanya. Karena ia hanya akan mengingat hal hal tidak mengenakan di masa lalunya.

Ino mengangkat tanganya menutupi sang surya dan membuat sebagian wajahnya menjadi teduh. Ia genggam sang matahari namun seketika ia tersenyum dengan kekonyolan sendiri. Tujuannya untuk balas dendam terhadap ibunya masih seperti matahari. Terlihat dekat namun sebenarnya sangat jauh.

"Indah bukan?" Ino terkesiap saat seseorang tiba tiba mengajaknya bicara. Saat Ino mencari orang tersebut ternyata seseorang tersebut sedang terlentang di sebelah tandon besar yang teduh.

"Apanya?" Tanya Ino pada orang asing tersebut.

"Awannya." Jawab pemuda dengan model rambut seperti nanas tersebut.

"Hm." balas Ino menanggapi pemuda rambut nanas tersebut.

"Apa kau sedang dibuli?" Tanya pemuda tersebut kini memandang Ino yang sudah bangun dari posisi terlentangnya.

"Sepertinya begitu." Ino mengidahkan bahunua cuek lalu iya mulai berdiri dan mengambil tasnya dan mengecek mejanya apakah sudah kering atau belum.

"Hmmm begitu." Jawab pemuda itu. Membuat kedua alis Ino menaut. Karena pemuda itu sangat Aneh. Buat apa bertanya kalau tidak peduli.

"Kalau kau sedang kesusahan kau boleh datang kesini. Aku tidak janji akan membantu tapi mungkin aku bisa memberi solusi." Ucap pemuda tersebut saat Ino sudah sampai di depan pintu.

"Tempat ini tidak berlabelkan namamu. Jadi aku tidak perlu mendapat ijinmu jika mau kemari. Lagipula aku tidak mengenalmu aku tidak butuh bantuan ataupun hanya sekedar solusi darimu." Jelas Ino kini memeggang ganggang pintu.

"Namaku Shikamaru Nara. Aku tidak akan berkata seperti itu jika temanmu tak memintaku. Semua wanita memang merepotkan." Tambah Shikamaru membuat Ino terhenti lagi. Ino menutup kembali pintu didepannya. Ia kini menghampiri Shikamaru Nara yang malah tidur memunggunginya.

"Tenten memang menyuruhku untuk mencarimu. Tapi malah kau yang menemukanku. Senpai." Ucap Ino dan seketika angin kencang berhembus kencang dan membuat rambut pirang Ino berkibar indah.

"Hm. Hanya kebetulan"

Jawab Shikamaru tanpa menoleh pada Ino.

"Aku tidak tahu apa yang akan terjadi padaku nanti. Aku tidak akan menyembahmu untuk meminta bantuan. Tapi jika kau mau membantuku aku tidak akan menolak. Sampai nanti." Dan Ino meninggalkan Shikamaru yang terlihat sedang mengendus kesal dengan ucapan gadis Yamanaka.

.

Ino pun akhirnya kembali kekelas dengan membawa mejanya yang sudah bersih. Ino berharap bisa makan siang dengan tenang jika nanti ia bertemu senior yang mana adalah temanya Tenten tersebut di kantin. Awalnya Ino memang enggan untuk mencari seorang Shikamaru Nara. Namun karena ia tak sengaja malah ditemukan. Ino pun tak keberatan jika harus menggunakan pengaruh sang Nara untuk melindunginya.

.

.

Ino menggeser pintu kelasnya, seketika seluruh kelas memperhatikannya. ia sudah membolos 2 mata pelajaran dan yang lebih buruk lagi kini ia masuk di kelas Guru Kurenai yang mana adalah wali kelas sekaligus guru paling killer di Konoha Gakuen.

"Bisa menjelaskan tentang keterlambatanmu Yamanaka?" Tanya Guru Kurenai pada Ino yang Kini sudah memasuki kelas dan menaruh kembali mejanya pada tempat semula. Ia kemudian menatap sang guru dan menaruh tasnya di atas meja.

"Seseorang telah mengotori mejaku dengan sampah dan cat serta spidol. Aku membersihkan mejaku dan mengeringkanya agar aku bisa belajar dengan tenang sekarang." Jelas Ino menatap sang guru dalam.

"Tapi itu tidak bisa dibuat alasan untuk membolos 2 jam mata pelajaran Yamanaka. Kau bisa keruang guru dan meminta meja baru." Ini bukan pertama kali bagi Ino berada dalam situasi seperti ini. Dan semua orang dewasa sama saja. Bukan Mejanya yang menjadi inti masalah disini. Namun apakah sang guru memikirkan psikologi seorang muridnya yang jelas jelas terkena buli? Apa seorang guru hanya bertugas memberi pelajaran akademis namun tidak untuk pembentukan mental dan moral?. Ino tersenyum sinis pada gurunya.

"Maafkan saya bu. Maafkan saya yang sudah berpikir jika saya membersihkan meja saya maka saya akan lebih kuat menghadapi pembulian ini. Maafkkan saya jika saya berpikir meja baru tak akan menyelesaikan inti masalah karena pasti mereka akan mengulangi hal yang sama lagi dan lagi. Maafkan saya jika saya sudah berpikir jika tindakan saya adalah suatu bentuk perlawanan terhadap pembulian. Bagi saya, Jika mereka mau mengotori meja saya 1000 kali, maka saya akan tetap membersihkannya 1000 kali juga. Niat saya untuk belajar tidak akan bisa dihentikan meski harus melihat meja saya penuh kotoran setiap pagi." Jelas Ino tanpa melepaskan pandanganya dari guru Kurenai yang Kini terperangah medengar ucapan Ino. Tak hanya guru Kurenai, namun seisi kelas juga demikian. dan tak luput juga gadis Indigo yang duduk di depan bangku Tenten yang kosong juga membuat ekspresi takjub pada Yamanaka Ino. Hinata Hyuga untuk pertama kalinya sangat mengagumi seseorang hanya dari pandangan pertama.

"Apakah saya sudah boleh duduk dan mengikuti pelajaran anda?" Tanya Ino lagi membuat Guru kurenai salah tingkah.

"Silahkan Yamanaka. Ba-Baik Anak anak kita mulai lagi pelajaran kita." Guru Kurenai kembali menghadap papanya dan kembali menulis catatan untuk muridnya. Namun di balik itu ia membuat ekspresi yang seakan mau menangis. Rasanya ia seperti di tampar kenyataan. Membuat sisi keadilan dalam dirinya yang sudah lama terkubur dalam tumpukan peraturan dan norma norma yang di buat oleh raksasa besar bernama Konoha Gakuen kini sedikit demi sedikit keluar mengoyak setiap inci hatinya.

Ino membuka buku pelajaranya namun ia merasa seolah ada seseorang yang memperhatikannya. Saat ia menoleh disana maniknya menemukan sepasang mata abu abu dan rambut indigo yang terlihat halus dan indah membingkai wajah cantik seorang yang belum pernah ia jumpai kemarin. Gadis itu memberi senyum pada Ino, alih alih membalas Ino hanya melongo dengan mata yang melebar.

"Hinata... Hyuga" bibir Ino reflek menyebutkan nama gadis indigo tersebut.

"Y-ya?" Jawab Hinata berbisik karena tak mau di dengar oleh gurunya.

Tangan Ino mencengkeram hebat. Jantungnya berdetak kencang seakan ingin melompat dari dadanya. Rasanya ingin ia berlari dan mencakar wajah pucat gadis yang memiliki warna kulit yang sama dengannya tersebut. Namun rasa bencinya yang terlalu dalam mengurunkan niatnya. Bukan hanya dendam sesaat. Yang Ino inginkan adalah benar benar menghancurkan Hyuuga sampai ketulang tulangnya

Tidak sekarang... tidak sekarang

Dalam hati Ino mengingatkan dirinya sendiri. Dan dengan hati yang sangat berat Ino memaksakan otot bibirnya untuk membuat seulas senyum pada Hinata.

"Aku Ino. Yamanaka Ino. Salam kenal."

Semuanya baru saja dimulai.

Tbc

A/n

Sangat singkat yah... hehe maafkan.

Terimakasih sudah meluangkan waktu untuk membaca.

Elkyouya