Kupegang erat surat yang berada ditanganku. Aku tersenyum samar. Sudah lama sekali, sejak pertemuan terakhir kami setahun lalu.
"Bisa lihat undangannya?"
Seorang wanita menyambutku seramah mungkin. Kulebarkan senyumku. Dari awal aku memang sudah kelewat bodoh ya? Rasanya kuingin menertawai diriku lagi sebanyak mungkin yang bisa kulakukan.
Lihatlah dirinya di depan sana? Begitu bahagia—bersama dengannya, gadis yang selalu ia sebutkan dalam tidurnya.
Pada akhirnya kalian menikah. Aku turut berbahagia. Terdengar seperti kebohongan yang sudah kelewat batas. Aku lagi-lagi menertawai diriku keras-keras untuk kesekian kalinya.
Dari sepanjang waktu yang telah kami habiskan bersama. Hari ini dia benar-benar terlihat begitu gagah dan sialnya dia—si pengantin wanita juga tampak begitu cantik, serasi dengannya dari segi apapun. Kalian berdua terlihat begitu bersinar. Dengan tuxedo dan gaun putih yang kalian kenakan, aku merasa menjadi orang yang terpuruk—sejak awal kan?
Kuarahkan mataku berkeliling ruangan terbuka ini. Mencari tempat terindah untuk menikmati patah hati terakhirku. Setelah ini aku takkan lagi berusaha untuk menyatukannya. Aku akan membiarkannya menjadi dua bagian.
Aku tersenyum. Bahagia karena orang yang ada di lingkaran meja ini tidak ada yang kukenal. Membuatku lebih nyaman.
Tak kusangka dia akan menikah secepat ini. Begitu tiba-tiba, aku tersentak mendengarnya kala itu. Walaupun aku sudah tahu kalau hari seperti ini akan terjadi juga. Tapi tetap saja, hatiku masih tidak bisa menerimanya, aku masih berharap. Namun untuk hari ini, kumatikan api harapanku. Karena dadu sudah berhenti berguling dan menunjukkan hasilnya—bahwa aku sudah kalah dalam permainan ini.
Dia adalah orang terakhir yang kau pilih. Pasti dia adalah orang yang begitu baik kan? Tentu saja. Aku bahkan tak berani untuk membandingkan diriku dengannya mengenai siapa yang terbaik untukmu. Dia terlampau lebih baik dariku dari segi apapun kan?
Aku tahu dia. Bahkan juga ingat betul bagaimana paras lembutnya. Aku pernah menemuinya, memberikan jalan untuk kalian. Sesuatu yang selalu menjadi penyesalanku yang tak pernah ada habisnya, namun aku selalu menutupinya atas nama cinta. Itu membuatku lebih baik. Bodoh.
Lonceng kebahagiaan menggema sampai ke langit—merayakan hatiku yang benar-benar patah dan tidak akan pernah bisa kembali menjadi satu untuknya. Hari ini pada akhirnya datang juga.
Dalam suka ataupun duka. Disisinya kini sudah ada dia—yang tak ingin kusebutkan namanya. Apapun yang terjadi, aku tak perlu untuk khawatir lagi. Karena aku sadar, akan ada orang lain yang akan terbiasa dengan nama belakangnya. Nama yang kurahapkan akan tersemat dinamaku, jika sejak awal aku tidak sebodoh ini.
Andaikata aku menikah dengannya. Terkadang aku punya pikiran bodoh seperti itu. Mungkin kami akan bertengkar hanya karena berebut saluran televisi. Begitu bodoh. Tapi mungkin tidak buruk juga.
Hanya andaikata.
Dari wajah di balik renda putih itu, seulas senyuman hangat bertengger disana. Wajahnya berseri hingga ia terlihat begitu berkilauan akan cahaya kebahagiaan. Begitupun dirinya. Setapak demi setapak, menyelaraskan langkah menuju masa depan yang hanya milik kalian berdua.
Kuhembuskan nafas. Menyiapkan diri akan masa depanku sendiri.
Aku berdiri di hadapan kalian membawa hatiku yang remuk redam—yang tidak akan pernah kutunjukkan. Sudah kubilang dari awal. Aku si bodoh Lee Donghyuck.
"Donghyuck!"
Dia memelukku erat, berbisik padaku. "Kau kemana saja?"
Kulepaskan pelukannya. "Maaf ya, aku sibuk setahun terakhir ini. Kau tahu ayahku memintaku melanjutkan studi di Amerika kan?" lagi-lagi senyum bodohku keluar lagi.
"Setidaknya hubungi aku di waktu luangmu. Kau sudah seperti ditelan bumi saja."
Aku tersenyum, kemudian mencuri pandang perempuan itu sebentar.
"Kau bisa menikah juga?" ejekku seperti biasa. Konyol sekali kalau aku terlihat biru dihadapannya.
Dia mendesis kesal. "Sialan kau." Diakhiri tawa yang sudah lama sekali tidak menyapa indra pendengaranku, semakin membuat dalam diriku biru sepenuhnya. Sialan.
"Eung... kau yang dulu ya?"
Aku mengerti. Tapi tidak perlu dibicarakan. Aku tersenyum padanya sembari menarik Mark kerangkulanku. Menunjukkan kedekatan kami sebagai seorang teman. Teman, sekedar teman dekat. Status yang paling kubenci.
"Benar. Aku si Bodoh yang berteman dekat dengan makhluk super bodoh ini. Lihat dirinya? Bodoh sekali kan?" aku menarik pipi Mark sekuat mungkin membuat laki-laki itu meringis kesakitan. Itu bahkan belum cukup, Mark. Di dalam sini lebih sakit lagi.
"Kau tahu tidak? Si Bodoh ini sudah menyukaimu sejak sekolah—"
Dan Mark langsung membekap mulutku tanpa segan-segan. Khawatir jika aku membongkar semua rahasianya.
Dia mendelik padaku. "Sialan." Umpatku sembari tertawa, menertawai diriku sendiri lebih tepatnya.
Kurapikan rambutku yang jadi kusut akibat ulahnya. Kemudian tersenyum pada perempuan itu. Ini yang terakhir.
"Dia ceroboh, sering lupa menaruh barang, kekanakan dan sering menyebalkan. Jadi bawa surat cerai kemana saja, itu membantu." Aku memeluknya, mengabaikan Mark yang tidak terima akan ucapanku. Perempuan itu membisikkan rasa terima kasihnya padaku layaknya aku adalah pahlawan hidupnya. Setidaknya itu sedikit membuatku lebih baik.
Saat kami melepaskan pelukan, Mark melayangkan kembali ketidakterimaannya. "Jika kau hanya ingin mengacau, lebih baik kau pergi saja, Donghyuck sialan."
Aku tahu dia hanya bercanda. Tapi aku memang sudah berniat pergi—benar-benar pergi dari hidupnya sejak aku menerima surat undangannya. Jadi aku memeluknya kembali, sebagai tanda bahwa aku sudah meletakkan semua cintaku untuknya disini, di tempat ini.
"Mark-sialan-Lee. Selamat ya."
Aku mencoba menghirup aroma khas tubuhnya untuk terakhir kalinya. Aku akan sangat merindukannya.
"Terima kasih sudah mau datang, Donghyuck-sialan-Lee." Dia berujar pelan sepertiku. Aku tersenyum getir. Setelah ini panggilan kami akan terasa berbeda. Jika aku bisa memutar waktu, aku akan kembali di saat kami belum bertemu. Aku dengan kehidupanku. Dan dia dengan kehidupannya. Terasa adil untuk kami berdua. Tidak akan ada patah hati diantara kami. Ah mungkin hanya aku lebih tepatnya.
Jalan menuju masa depan baru yang akan ia jalani mulai sekarang akan terselimuti oleh cinta yang melimpah—bukan cintaku tentunya. Tapi setidaknya dia orang yang tepat. Jadi aku tidak ragu lagi untuk meninggalkan tempat ini. Aku meninggalkan semuanya disini. Cinta, rasa sayang, dan kasih yang selama ini aku rawat untuknya, kutinggalkan disini. Yang kubawa pulang hanyalah serpihan hatiku—aku bodoh sekali kan?
Untukmu yang tengah memulai mimpi besar dengan teman hidupmu ditempat ini. Aku sungguh mencoba berbahagia untukmu. Ini pengorbanan terakhirku untukmu. Berbahagialah, Mark Lee. Karena setelah ini aku tidak akan menjadi si Bodoh lagi. Aku akan mencari cinta baru dan memperjuangkannya, bukan memendamnya dan lebih memilih mengalah. Terima kasih sudah memberikanku pelajaran kalau cinta itu ada untuk diperjuangkan. Aku akan berubah.
"Lee Donghyuck!"
Mataku berkeliling mencari orang yang memanggilku. Tamu yang hadir di pernikahan Mark begitu banyak. Aku tidak bisa menerka siapa yang memanggilku barusan.
"Ya?"
Seorang laki-laki berdiri dihadapanku dengan senyum melengkung diwajahnya.
"Kau masih mengingatku?"
Dahiku menekuk. Tidak ingat dengan wajah yang sedang memandangku. Memang terlihat familiar, tapi aku masih tidak bisa mengenalinya.
"Siapa?"
Dia tertawa, mungkin kesal atau tidak habis pikir dengan ingatanku yang buruk.
"Teman sekolahmu. Kita satu kelas dulu."
Aku masih tidak punya klu sama sekali. Namun kemudian entah apa yang mencetuskannya, memori di waktu sekolah dulu muncul begitu saja diotakku. Berputar layaknya rekaman usang. Aku ingat dia!
"Lee Jeno?" ingin memastikan.
Dia tersenyum manis. Masih sama seperti dahulu aku mengenalnya. Laki-laki yang selalu membuat perempuan dikelasku mengelu-elukannya karena sikapnya yang ramah dan tentu karena ketampanannya yang begitu manis dan lembut. Tapi aku tidak begitu dekat dengannya. Aku orang yang apatis.
"Benar. Aku Jeno. Senang bisa bertemu denganmu disini, Donghyuck-ssi."
Laki-laki itu menjulurkan tangannya, aku membalasnya. "Senang juga bisa bertemu denganmu, Jeno-ssi."
Dan saat jabatan tangan kami terlepas. Entah kenapa aku merasa laki-laki ini tidak bermaksud hanya sekedar lewat dikehidupanku. Apakah mungkin kau akan berperan lebih dari seorang figuran, Lee Jeno?
"Boleh bertukar nomor?"
.
.
.
Gue buat apa?! /ditabok/
Gak begitu sreg sebenarnya. Tapi yaudin lah, up ajah. Penting kasih sequel kan yak :'3
Sebenernya sik gue lagi menghindari kemupengan gue ama skripshit yaw. Deadline sidang proposal januari di depan mata :'V Jadi kalau seandainya gue agak lama up, maklumin ajah yak.
Semoga hari kalian menyenangkan ^^
