Naruto belongs to Masashi Kishimoto
Canon. Post 699.
Written specially for heyhoskylarks. Niatnya buat kado, tapi telat banget hehe :p
.
.
.
Sakura menutup buku materi mengenai anatomi yang sudah dibacanya selama dua jam. Ibu jari dan jari telunjuknya memijat pangkal hidungnya. Lensa matanya tak berakomodasi ketika ia mengangkat dagu dan menjatuhkan pandangan ke dinding putih di seberang ruangan. Punggungnya ia senderkan ke bahu kursi yang didudukinya.
Besok ia akan melakukan sebuah operasi bagi seorang warga sipil. Tenaganya adalah tenaga yang paling dibutuhkan dan dipercayai. Sebagai seorang ninja medis terbaik di angkatannya, wajar saja jika ia menjadi yang sangat diandalkan. Meski begitu, itu tak membuat Sakura menjadi seseorang yang besar kepala. Ia tak pernah puas dalam menambah ilmu dan kemampuan medisnya, juga berbagi pada orang-orang. Seperti padi, semakin kaya maka semakin merunduk.
Sebuah ketukan pintu membuat Sakura kembali menegakkan tubuhnya lagi. Ia merapikan mejanya yang dipenuhi buku-buku tebal yang terbuka. Kemudian ia berkata, "Masuk."
Shizune 'lah yang masuk melewati ambang pintu. Sakura tersenyum sopan ke arahnya. Ia beranjak dari duduknya, sedikit merasa malu karena kelihatan sedang bersantai di jam kerjanya—sebenarnya sekarang memang bukan shift-nya, tetapi tetap saja ini adalah wilayah bekerjanya. Kemudian ia menghampiri Shizune.
"Sakura, Rokudaime-sama memintamu untuk datang ke kantornya," kata Shizune.
"Oh? Ada apa?" tanya Sakura, sedikit terkejut dengan pesan yang disampaikan Shizune, selaku penasihat Hokage. Sudah lama sekali semenjak ia bertemu dengan gurunya saat masih di Tim Tujuh itu. Keduanya sama-sama sibuk dengan urusannya sendiri. Terlebih Kakashi, menjadi seorang hokage tentu saja bukanlah pekerjaan yang lengang.
Shizune sedikit mengangkat bahu. "Entahlah. Dan kalaupun aku tahu, aku tetap tak bisa menyampaikannya di sini, Sakura," katanya sembari terkekeh pelan.
Sakura menepuk dahinya pelan, merasa pertanyaannya sedikit melanggar prosedur ninja. "Oh! Tentu saja! Baik, aku akan segera ke sana. Terima kasih," kata Sakura. Ia tersenyum kemudian sedikit membungkukkan tubuhnya.
Shizune mengangguk. "Baik, aku duluan, Sakura."
"Ya."
Setelah Shizune meninggalkan ruangan, Sakura segera mengganti pakaiannya. Kemudian ia menumpuk bukunya dan ditaruh di dalam laci. Ia memperbaiki penampilannya—menarik ujung terusan merah marun yang dikenakannya ke bawah, menyeka keringat dengan tisu, memperkuat ikatan hitai-ate, dan menyisir rambut menggunakan sela-sela jemari.
Sakura meninggalkan rumah sakit setelah menitipkan pesan bahwa ia dipanggil oleh Hokage. Kakinya melangkah dengan lebar karena tak ingin terlambat dalam memenuhi panggilan dari orang nomor satu di Konoha. Sesekali ia tersenyum dan mengangguk sopan ketika berpapasan dengan beberapa orang.
Kantor Hokage sudah berada di depan mata. Sakura segera menaiki tangga dan mengetuk pintu sebelum membuka pintunya secara perlahan. Yang mengisi ruangan itu adalah Kakashi, Shizune, serta Naruto. Ia menutup pintu di belakangnya. Kemudian tersenyum ketika ia menjadi pusat perhatian di dalam ruangan itu.
"Halo, Sakura-chan!" kata Naruto penuh semangat.
"Hai, Naruto. Kau dipanggil ke mari juga?" kata Sakura.
Naruto mengangguk antusias. "Ya."
"Sudah cukup sapa menyapanya." Bahu Sakura maupun Naruto seketika menegang ketika menyadari kata-kata itu disampaikan oleh siapa. Mereka merasa salah tempat sekarang. Tidak seharusnya mereka bertingkah seringan itu di dalam kantor Hokage. Keduanya menatap takut-takut ke arah Sang Rokudaime.
Menangkap ekspresi tak biasa di wajah kedua shinobi terbaik di Konoha membuat Kakashi terkekeh kecil. "Aku hanya bercanda, tidak usah kaku begitu," katanya. Ia memejamkan mata sebagai tanda bahwa ia sedang tersenyum.
Naruto dan Sakura mengembuskan napas panjang. Bahunya melemas kembali. Kemudian keduanya sama-sama tersenyum canggung.
"Jadi ... kenapa kau memanggil kami, Sensei?" tanya Naruto mewakili pertanyaan keduanya.
Sakura menatap lurus wajah Kakashi, menunggu jawaban yang bisa ia tebak pasti sebuah misi.
"Ada misi kelas A yang harus kalian jalani lusa," kata Kakashi sembari membuka tumpukan kertas di atas mejanya. "Aku sengaja memberi tahu kalian lebih awal agar kalian bisa mempersiapkan diri terlebih dahulu dan mengosongkan jadwal," tatapannya berdireksi ke Sakura, "terutama kau, Sakura."
"Ah, ya, aku ada operasi besok, tapi lusa tentu saja bisa," kata Sakura.
"Harus bisa," kata Kakashi. "Kau yang harus menemani Naruto di misi ini."
Sakura mengangguk. "Aku mengerti."
Kakashi mengalihkan pandangannya ke arah Naruto. "Dan kau Naruto—"
"Tentu saja aku bisa!" potong Naruto.
"Naruto! Jaga sikapmu, kau ini sedang berbicara dengan Rokudaime!" tegur Sakura.
"Eh, iya. Maaf, Sensei."
Kakashi tertawa. "Kau memang belum berubah, Naruto." Ia merapikan tumpukan kertas yang dipegangnya dengan cara mengetuk sisi-sisinya ke meja, kemudian ditaruhnya lagi di atasnya. "Lusa, pagi-pagi sekali, kalian harus datang ke sini. Urusan kalian sudah selesai. Sekarang, silakan membubarkan diri," kata Kakashi.
"Hai," jawab Naruto dan Sakura secara bersamaan. Mereka mengangguk kecil dan berjalan menuju pintu untuk meninggalkan ruangan.
"Oh, ya, Sakura," panggil Kakashi.
Sakura menghentikan langkah kakinya kemudian menoleh ke belakang. "Ya, Sensei?"
"Istirahatlah yang cukup setelah operasi besok. Sekarang pun kau terlihat kelelahan," nasihat Kakashi.
Sakura tersenyum hingga sudut matanya mengerut. "Ah, tentu, Sensei. Terima kasih," kata Sakura.
"Hn."
.
Operasi yang dilakukan Sakura berjalan lancar, namun cukup banyak menguras tenaganya. Ini sudah pukul sepuluh malam, dan ia sama sekali belum istirahat, bahkan ia baru saja tiba di apartemennya. Sakura mematut diri di hadapan cermin di kamarnya. Wajahnya terlihat kusam, betul-betul mencirikan bahwa ia baru saja melakukan sebuah pekerjaan yang berat. Beberapa bagian rambutnya mengembang, bekas diikat tinggi.
Ia melepas hitai-ate-nya lalu menyisir rambutnya menggunakan jemari. Kemudian ia bersiap-siap untuk membersihkan diri. Setelah selesai membersihkan diri, ia kembali membuka buku-buku medis. Dibacanya hingga satu jam berlalu. Ketika matanya mulai terasa lelah, ia mengangkat dagu. Matanya menangkap sebuah kalender yang menempel di dinding. Di samping tanggal hari ini, ada sebuah tanggal yang dilingkari. Sakura mengernyitkan dahi, mengingat-ngingat arti dari tanggal itu sehingga perlu dilingkari segala. Tak butuh satu menit hingga ia sadari sesuatu. Matanya membulat ketika ia teringat akan misi yang harus dijalani esok hari. Misi kelas A pula! Sakura yakin misi ini tak akan selesai dalam satu atau dua hari. Ia menepuk dahi ketika ia sadar bahwa ia baru saja mengabaikan nasihat dari Kakashi kemarin.
Sakura segera mematikan lampu utama dan menyalakan lampu tidur. Ia segera menutup mata dan berharap istirahatnya kali ini cukup untuk menghadapi misi esok hari.
.
Naruto dan Sakura sudah siap di gerbang utama Konoha dengan masing-masing ransel yang menempel di punggung mereka. Ada satu orang warga sipil yang berdiri di tengah-tengah mereka. Ia bukan orang penting, tetapi yang dibawanya merupakan satu hal yang penting, sehingga bisa mengundang para ninja bayaran untuk melukai orang itu demi benda yang dibawanya.
Namanya Teppei. Sebelum berangkat pun, Naruto dan Sakura bisa menarik kesimpulan bahwa Teppei adalah seseorang yang tak bisa menjaga kata-katanya. Sama seperti Sai saat mereka baru bertemu. Selama misi, ia terus menerus berkata jujur yang bersifat sarkastik, padahal itu sama sekali tak perlu diucapkan. Meski kesal setengah mati, Naruto dan Sakura tetap harus menahan diri demi bagusnya laporan misi.
Semenjak melewati gerbang desa Konoha hingga menjelang malam berada di tengah-tengah hutan, untungnya tidak ada musuh yang menyerang. Teppei merasa beruntung akan itu, namun sedikit membuat Naruto merasa tidak berguna. Hingga benda yang Naruto dan Sakura pun tak ketahui apa itu sampai di tujuan pun, tak ada satu pun yang mengusik perjalanan mereka kecuali turunnya hujan. Ada, sebenarnya. Tapi itu tak seberapa. Ninja bayaran itu bisa kalah dengan mudahnya, dilawan oleh Naruto dan Sakura.
Dunia ninja sudah benar-benar mendekati kedamaian rupanya. Naruto bersyukur akan itu karena mengalaminya sendiri.
Mereka bertiga kembali ke Konoha dengan selamat. Sebelum menginjak tempat tinggal masing-masing, mereka menyempatkan diri untuk laporan ke kantor Hokage. Laporan yang bisa mereka sampaikan merupakan laporan yang bagus, terbukti dari tak segores luka pun yang melintang di kulit ketiganya.
Teppei tak ikut melapor, tentu saja. Itulah yang membuat Naruto dan Sakura terkejut akan kehadiran lelaki itu di balik pintu kantor Hokage.
"Sedari kemarin, ada yang ingin aku tanyakan. Tetapi, aku tahan karena takut merusak konsentrasi kalian dalam menjalankan misi, dan akan membahayakan diriku sendiri," kata Teppei.
Naruto geram. Sedikit kesal dengan cara bicara Teppei yang kesannya sangat sombong. "Apa maumu?" tanya Naruto. Sakura segera menepuk pundak Naruto untuk menenangkan.
"Kalian ini anggota Tim Tujuh, bukan? Naruto, Sakura, dan ... Sasuke?"
Bahu Sakura menegang saat nama Sasuke disebut. Seketika ia menjadi turut awas akan kata-kata Teppei selanjutnya, menemani Naruto yang sudah sejak awal sudah merasa begitu.
"Ya," jawab Sakura dengan suara serak. Secepat cahaya, Sasuke memenuhi pikirannya. Kali ini, bukan dalam artian bagus.
"Jadi, kalian teman dari si pengkhianat i—" Kata-kata Teppei terputus ketika Sakura menampar pipinya hingga menimbulkan suara.
"Jaga bicaramu!" bentak Sakura. Kali ini, Naruto yang memegangi bahu Sakura. Naruto sama marahnya dengan Sakura, giginya menggertak, tetapi ia bisa menahan amarahnya sendiri. Ada amarah Sakura yang harus ia bantu untuk diredam.
"Kau tidak tahu apa-apa tentang Sasuke dan kau tak berhak berkata hal-hal buruk tentangnya!" bentak Sakura lagi. Air mata mulai membasahi ujung matanya.
"Heh," Teppei mengusap bekas tamparan Sakura, "tetapi, faktanya ia memang missing-nin, bukan? Sama seperti pengkhianat," katanya lagi.
Sebelum Sakura menyentuh Teppei lagi dengan keras, Naruto sudah menahan dari belakang. Ia mencari mata Teppei dan menatapnya tajam. "Kau tidak perlu berkata apa-apa lagi. Misi sudah selesai. Kau sudah tidak ada urusan lagi dengan kami. Jadi, silakan pulang," kata Naruto, berusaha tenang. Meskipun giginya masih menggertak kuat.
Teppei mendecih dan segera meninggalkan dua orang yang masih berada di dalam emosi yang meletup-letup. Setelah Teppei menghilang dari pandangan keduanya, emosi Sakura pecah melalui tangisan. Ia memeluk Naruto erat-erat dan membasahi kain yang melapisi dadanya. Naruto menepuk-nepuk pundak Sakura, kemudian berkata, "Sudah, Sakura-chan. Sudah."
.
"Tapi, Teppei memang ada benarnya, Sakura," kata Ino setelah mendengar cerita dari Sakura.
Sakura mengangkat dagu kemudian menatap Ino lurus-lurus. "Itu dulu," Ia mengembuskan napas panjang, "Sekarang ia sudah bukan pengkhianat lagi. Ia ada di pihak kita, Konoha," katanya. Ia sudah jauh lebih tenang sehingga bisa menanggapi kata-kata Ino dengan kepala dingin.
"Yah," Ino mengangkat bahu tak acuh, "Kau benar. Tapi, coba kau pikirkan lagi. Teppei itu salah satu dari warga sipil yang tidak tahu apa-apa. Hingga saat ini, ia masih menganggap Sasuke begitu. Aku yakin pikirannya tak jauh berbeda dengan warga lainnya. Kau mengerti maksudku, kan, Sakura?" katanya.
Sakura mendesah. "Aku mengerti."
"Jadi...?"
"Jadi apa?"
Ino memutar kedua bola matanya. Ia memegang kedua pundak Sakura. "Sakura, jangan katakan kau masih mau menunggu Sasuke," katanya.
Sakura menunduk. "Aku memang mau begitu."
Ino mendesah lelah. "Sakura ... kau harus lebih realistis. Kau harus ingat posisimu sekarang. Aku sudah menikah, Naruto, Shikamaru, dan Kiba juga. Bahkan, Chouji pun sudah menikah. Kau mau begini terus hingga Sasuke kembali? Diam, jangan protes dulu. Aku hanya mau kau menjawab pertanyaanku, kau tahu kapan Sasuke akan kembali?" kata Ino panjang lebar.
Sakura terdiam. Ia menatap teh dalam cangkirnya dengan tatapan tak bermakna. "Aku ..."
"Tidak tahu, kan?" potong Ino.
"Ino, sudah cukup." Sakura mengangkat dagunya. Ia menatap Ino dengan tatapan tak terbaca. "Kau boleh bilang aku tidak realistis jika status Sasuke masih seorang kriminal. Dan ... kau harus mengerti kalau ini adalah urusanku," katanya telak.
Sakura beranjak dari duduknya. "Ngomong-ngomong, terima kasih sudah mendengarkan ceritaku hari ini. Dan terima kasih juga traktirnya," kata Sakura. Ia tersenyum polos kemudian pergi meninggalkan Ino.
Ino tercengang. Dan beberapa detik setelah Sakura pergi, ia baru sadar bahwa Sakura mengatakan sesuatu tentang traktir yang sama sekali tidak disepakati.
.
Kata beberapa orang yang Sakura temui, ibunya mencarinya. Maka dari itu, hari ini Sakura memutuskan untuk pulang ke rumah orangtuanya saja. Sudah lama sekali semenjak ia terakhir berkunjung ke sana karena kesibukkannya. Mumpung sedang lengang jam kerja—ia diberi waktu istirahat karena baru selesai menjalani misi dan selesai melakukan operasi besar—ia akan mengisi waktu luangnya bersama orangtua.
Ketika ia tiba di rumahnya, yang ada di sana hanyalah ibunya. Ayahnya belum pulang. Sakura memeluk ibunya erat sekali. Ia rindu pada ibunya. Mereka berbincang-bincang di sofa yang berada di ruang keluarga. Ada banyak yang mau Sakura ceritakan, begitu pula sebaliknya. Sakura baru saja selesai menceritakan tentang pernikahan Ino dan Sai, dan saat itu Sakura baru menyadari bahwa adanya perubahan suasana di antara mereka.
"Ibu, ada apa? Oh, ya, tadi kata orang-orang di desa, Ibu mencariku," kata Sakura.
"Sakura ... teman-temanmu sudah menikah. Bagaimana denganmu?" kata Mebuki lirih.
Sakura tersentak. "Ibu ... aku ..." Ia menggantungkan suaranya di udara.
"Uchiha Sasuke, ya?"
Sakura bergeming. Ia tak berani menyuarakan pikirannya. Setiap kali nama Sasuke disebut, ia selalu merasa ada yang berkecamuk di dalam dadanya. Tiga tahun terlewati semenjak perang berakhir, dan Sasuke sama sekali belum pernah memunculkan batang hidung di hadapan Sakura. Yang menjadi pegangan Sakura hanya satu, yaitu kata-kata terakhir sebelum Sasuke melakukan perjalanannya. Belum ada yang berubah ... hingga sekarang.
Sakura meremas kain yang melapisi lututnya. Tatapannya tertuju pada remasan kain itu. Ia mulai merasa tak nyaman dengan konversasi ini.
"Kenapa kau bertahan dengannya? Ia bukan orang baik, Sakura. Uchiha Sasuke itu musuh Konoha," kata Mebuki lagi.
Dalam hati, Sakura mengiyakan kata-kata Ino tadi padanya. Yang menjadi masalahnya sekarang adalah lawan bicaranya adalah ibunya sendiri.
"Tapi, Bu—"
"Sakura, realistislah sedikit."
Sakura semakin tersentak. Persis dengan kata-kata Ino. Kalau Ino saja yang bilang, barangkali itu bisa dianggap angin lalu olehnya. Masalahnya, yang mengatakannya barusan adalah ibunya sendiri. Apakah benar ia memang tidak realistis? Tapi, Sasuke sudah berjanji padanya akan kembali. Meski lelaki itu tak pernah memberi kepastian kapan, tapi Sakura tetap percaya.
"Dengarkan Ibu, sekali saja." Sakura semakin kehabisan kata-katanya. Cara ibunya berbicara seakan-akan mengatakan bahwa ia adalah seorang pembangkang. Meski ibunya mengatakan secara implisit, tapi Sakura bisa menangkap makna yang terselip di sana. Dan Sakura mengakui bahwa selama ini ia memang sering kali melawan permintaan dari orangtuanya.
"Kau belum menjawab lamaran dari Tuan Kazekage, kan?" tanya Mebuki. Sakura menundukkan kepalanya semakin dalam. "Terimalah, Sakura. Ini demi kebaikanmu sendiri."
"Realistislah. Sasuke belum tentu kembali ..."
Mata Sakura membasah. Sebelum setetes air mata pun jatuh dari pelupuk matanya, ia beranjak dari duduknya. Kemudian ia masuk ke dalam kamarnya tanpa suara.
Ibunya tak lagi menegur semenjak kamarnya ditutup. Sakura menenggelamkan wajahnya ke dalam bantal. Bantal itu semakin lama semakin basah, menampung air mata yang tak henti-hentinya menetes dari matanya.
Sakura tak tahu sudah berapa lama ia berada di dalam posisi itu. Yang ia ketahui hanyalah cahaya yang menyusup melalui jendelanya semakin menipis. Tiba-tiba pintu kamarnya terbuka. Sakura menebak bahwa ibunya lah yang masuk ke dalam kamarnya. Ia hanya bisa menebak karena ia tak mau mengangkat wajahnya.
"Sakura ..." Tebakannya salah. Suara berat itu adalah milik ayahnya.
Sakura mengangkat wajah dan menghapus jejak air mata yang membasahi pipinya. Ia mengusap matanya yang terasa gatal. Pandangannya dipenuhi oleh sosok ayahnya. Sakura tak tahu harus berkata apa.
"Ibumu sudah menceritakan semuanya," kata Kizashi.
Sakura tak menanggapi. Ia masih kehabisan suara.
"Itu pilihanmu, Sakura. Yang akan menjalani hidup ke depannya adalah dirimu sendiri. Tapi, coba pikirkan juga konsekuensi dari pilihanmu." Sakura mendengarkan kata-kata ayahnya.
"Dan kau juga harus ingat apa yang akan terjadi jika kau melawan kata-kata ibumu," kata Kizashi lagi. Sakura bergeming. Ia teringat beberapa kali ia melawan perkataan orangtuanya, dan yang terjadi di akhirnya adalah sesuatu yang fatal. Ia meneguk ludahnya sendiri.
"Ayah tidak akan memaksakan pilihanmu. Ayah hanya akan mencoba membuka jalan untukmu memilih." Kizashi mengusap bagian belakang kepala Sakura. "Sekarang ... coba pikirkan baik-baik."
Air mata Sakura jatuh lagi. Kemudian ia memeluk ayahnya erat sekali. Sakura tahu ayahnya sebenarnya berpihak pada siapa. Ayahnya mencoba terlihat netral, tapi Sakura melihat ada faktor lainnya. Ia tahu, orangtuanya hanya menginginkan yang terbaik baginya. Dan Sakura tahu, pilihan orangtuanya memang yang terbaik jika dilihat dari sudut pandang manapun. Kecuali ... jika dilihat dari hati kecilnya.
Dalam satu hari, sudah ada tiga hal yang menunjukkan bahwa pilihannya untuk menunggu Sasuke lagi adalah satu kesalahan. Dan tak ada satu pun yang menunjukkan bahwa yang sudah dilakukannya adalah satu hal yang benar. Barangkali, ini memang petunjuk terbesarnya. Sakura harus memilih.
Ia akan berusaha berhenti mencintai Sasuke.
Ia harus berhenti mencintai Sasuke.
Dan ... ia akan menerima lamaran dari Kazekage.
.
Sakura tidak ingin bicara dengan Ino dulu. Ia takut Ino meledeknya karena sudah termakan kata-katanya sendiri. Tidak juga dengan kedua orangtuanya, meski ia sudah menuruti permintaan mereka. Sakura butuh teman bicara. Kemudian, pikirannya berlabuh pada Naruto. Ya, Naruto merupakan teman bicara yang paling tepat untuk saat ini. Naruto pun harus tahu soal pilihannya.
Ia mengetuk pintu rumah Naruto. Satu menit kemudian, pintu terbuka. Hinata 'lah yang membuka pintu itu.
"Halo, Hinata," sapa Sakura. "Apakah Naruto ada di rumah?"
Hinata tersenyum. "Halo, Sakura-chan. Ada, tunggu sebentar, ya. Silakan masuk dulu," kata Hinata.
"Terima kasih." Sakura melangkahkan kakinya ke dalam kediaman Uzumaki.
Naruto datang beberapa menit setelahnya. Ia duduk berhadapan dengan Sakura. "Sakura-chan, ada apa? Tumben sekali datang kemari," tanya Naruto.
"Jangan bilang begitu, Naruto. Aku jadi tidak enak, tahu," kata Sakura. Ia mengembuskan napas panjang.
"Hehehe." Naruto terkekeh. "Maaf. Jadi, ada apa? Hey, kau habis menangis, ya?" kata Naruto setelah menyadari ada yang berbeda dari wajah Sakura. Matanya bengkak.
Sakura mengabaikan pertanyaan Naruto tentang menangis. "Ada yang mau aku bicarakan. Yah, tepatnya aku beritahu."
Wajah Naruto kelihatan lebih serius.
"Aku ... menerima lamaran dari Gaara."
Naruto tersentak. "Apa?! Kau pasti bercanda, kan?" katanya. Ia tak percaya dengan kata-kata Sakura.
"Aku tidak bercanda," jawab Sakura. Air mata mulai menggenangi matanya. Sebelum ia menangis lagi, ia memejamkan mata erat-erat untuk menghalau jatuhnya air mata itu.
"Sasuke? Bagaimana dengan Sasuke? Kau mencintai Sasuke, Sakura-chan!"
Sakura menarik napas panjang. Ia membuka matanya. "Sudah tidak lagi, Naruto," jawabnya nyaris berbisik.
"Kau bohong."
"Aku tidak—"
"Kau bohong, Sakura-chan!" Suara Naruto naik satu oktaf. "Aku pernah mendengar Uchiha tidak pernah bermain-main dengan perasaannya. Maka, jika Sasuke bilang bahwa ia mencintaimu, ia benar-benar mencintaimu. Sama sepertimu. Kau pernah bilang padaku bahwa jika seorang gadis mencintai seseorang, maka gadis itu benar-benar cinta. Itu berdasarkan dirimu sendiri, bukan? Maka dari itu aku tak percaya jika kau bilang kau sudah tidak mencintai Sasuke. Itu pasti bohong, aku tahu itu."
Bahu Sakura menegang. Ia merasa tenggorokannya serat. "Sasuke tidak pernah bilang bahwa ia mencintaiku, Naruto. Tidak pernah," katanya dengan suara serak.
"Tapi itu tidak mungkin ..." kata Naruto.
"Aku tidak berbohong, Naruto." Sakura mengatur napasnya. "Aku sudah tidak mencintai Sasuke lagi. Hidupku tidak mungkin terhenti karena satu lelaki, tahu," katanya dengan suara bergetar. Kemudian ia tertawa hambar.
Naruto masih bergeming. Ini pasti bukan Sakura. Ini tidak mungkin. Sama sekali tidak mungkin. Semua kata-kata Sakura benar-benar sulit dipercaya. Tapi, ia tak punya hak apapun untuk mengatur Sakura ini itu.
"Terserah padamu, Sakura-chan. Aku harap pilihanmu tidak salah," kata Naruto.
"Tentu saja tidak," jawab Sakura.
Sakura tahu pilihannya tidaklah salah. Kesalahannya hanya satu, yaitu tidak berbicara dengan Naruto lebih awal. Ia nyaris menangis lagi, namun ditahannya. Naruto tidak boleh melihatnya menangis. Ia harus segera pulang.
"Sepertinya aku harus pulang, Naruto. Terima kasih sudah meluangkan waktumu untukku."
"Tapi Hinata-chan sedang membuatkan minum untukmu."
"Maaf, bukannya tidak menghargai. Tapi, aku sedang buru-buru. Maaf sekali. Tolong sampaikan maafku pada Hinata."
Naruto mendesah pasrah. "Baiklah, hati-hati, Sakura-chan!"
"Jaa!"
.
Ada satu hal yang sangat sulit Sakura percayai. Sasuke kembali. Sasuke benar-benar kembali. Sasuke kembali tepat di saat pernikahannya hanya tinggal dua minggu lagi. Ketika tiga hari sebelum Sakura akan meninggalkan Konoha.
Sakura berlari mencari Sasuke. Entah kenapa, kakinya tak bisa berhenti berlari. Ia berharap kabar itu hanyalah kabar angin, kabar yang tak bisa dibuktikan kebenarannya. Ia berharap ia tak bisa menemukan Sasuke di mana pun. Benar-benar berharap begitu.
"Sakura ..." Suara itu dibawa angin hingga membelai daun telinganya. Langkah Sakura berhenti. Tidak mungkin. Ia tak berani menolehkan kepalanya ke belakang.
Suara itu memanggil namanya lagi. Sakura tahu, suara bariton itu hanya milik ... Sasuke.
Kabar itu benar.
Kabar itu bukan kabar angin.
Sasuke ada di sini.
Sakura merasa tak bisa menarik napasnya lagi. Ia membalikkan tubuhnya untuk menjawab panggilan itu. Telinganya tidak berbohong. Apa yang mengisi penglihatannya adalah Sasuke. Sasuke benar-benar ada di sini. "Sasuke-kun ..." panggilnya lirih.
"Aku ... kembali, Sakura," kata Sasuke.
Kali ini, Sakura benar-benar sudah tidak bisa menahan tangisnya lagi. Sasuke tidak seharusnya ada di sini. Bahunya bergetar. Isakan kecil meluncur dari mulutnya. Lututnya melemas hingga ia rasa tak sanggup lagi berdiri. Seharusnya, kata-kata yang Sasuke ucapkan membuatnya bahagia. Tetapi, nyatanya tidak. Kata-kata itu justru menghancurkannya dari dalam.
Sasuke ada di sini. Benar-benar ada di sini. Kehadirannya mengamini tuduhan Naruto yang menyatakan bahwa ia berbohong. Sakura ... memang masih mencintai Sasuke, hingga saat ini.
Sakura masih menahan lututnya agar masih bisa kokoh berdiri. Ia menunduk kemudian menghapus air mata yang membasahi wajahnya. Ia tersenyum kemudian menatap Sasuke lurus-lurus. "Kau memang kembali," katanya serak. Sasuke yang berada di sini memang sama sekali bukan keberuntungannya. Namun, ia tak bisa menghindar. Ia tak bisa bersikap buruk.
Sasuke masih berdiri di sana. Ia heran kenapa Sakura menangis. Ia tak tahu harus melakukan apa. Rasanya canggung sekali. Sudah lama semenjak terakhir kali ia bertemu dengan Sakura. Relasinya juga masih berupa relasi canggung waktu itu. Ia sama sekali tak tahu bagaimana mencairkan kecanggungan di antara mereka. Ini seharusnya tugas Sakura yang lebih banyak bicara dan bersikap supel.
Kakinya bergerak melangkah mendekati Sakura. Apa yang dilakukannya berdasarkan naluri yang mengalir di balik kulitnya. Jaraknya dengan Sakura tidak sejauh tadi. Jarak yang terbentang di antara mereka tidak mencapai satu meter.
Sasuke memerhatikan wajah Sakura. Ia mencari-cari penyebab tangis Sakura. Namun, nihil. Ia tak bisa membaca apa-apa di sana. Kali ini, Sakura sama sekali tidak seperti buku yang terbuka.
Pipi Sakura memerah ketika merasa diperhatikan begitu. Bagaimanapun juga, lelaki yang berdiri di hadapannya adalah satu-satunya lelaki yang dicintainya, yang bisa membuatnya malu hanya karena sebuah tatapan.
"Ke-kenapa melihatku seperti itu?" tanya Sakura. Kemudian ia mengalihkan tatapannya. Tak sanggup menyelami mata hitam Sasuke.
Apa yang ada di dalam hati Sasuke adalah: "Kenapa kau menangis?" Tapi, lidahnya kelu saat hendak mengatakan itu. Rasanya sangat tidak sesuai dengan dirinya. Ia merasa malu. Maka dari itu, yang terucap dari bibirnya adalah: "Kau membiarkan rambutmu tetap pendek."
Sakura spontan memegangi ujung rambutnya. Ia tersenyum tipis. "Ya ... rambut pendek ini adalah tanda perubahan hati untuk menjadi lebih kuat. Maksudku, saat ujian Chuunin dulu—ah, kurasa kau tidak ingat karena kau berada di bawah pengaruh—"
"Aku ingat," potong Sasuke. Sebenarnya ia tak suka mengingat kenangan itu. Karena itu mengingatkannya akan kutukan yang diberikan Orochimaru padanya dulu. Tetapi, yang ini berbeda maknanya. Kemudian tatapannya beralih pada jemari yang memegangi ujung rambut merah muda itu. "Kau ... memotong rambutmu menggunakan kunai ketika dijambak ninja dari desa Bunyi."
Sakura merasa tersanjung. Sasuke mengingatnya. "Oh, aku tidak tahu kau mengingat hal sepele seperti itu," katanya pelan. Sedikit takut Sasuke akan tersinggung.
Sasuke mengangkat bahu. "Itu tidak sepele," katanya.
Mata Sakura membulat. Degup jantungnya tak beraturan hingga terasa sakit. Entah bagaimana, ia merasa matanya membasah lagi. "Menurutmu begitu?" tanyanya dengan suara bergetar.
"Hn."
Rasa yang ada di dada Sakura sekarang adalah rasa yang seharusnya sudah tidak ada. Kehadiran Sasuke di dekatnya sekarang sejujurnya membuat hatinya merasa senang, namun logikanya membantah hingga kini hatinya terasa sakit. Wajar jika seorang gadis merasa bahagia karena kehadiran seseorang yang dicintainya di sampingnya. Tetapi, tidak jika gadis itu sudah memiliki tunangan yang bukan lelaki yang dicintainya itu.
Sakura beharap Sasuke menghilang, tak ada di dekatnya, namun ia benar-benar tak bisa. Fakta bahwa ia masih sangat mencintai Sasuke 'lah yang membantah hal itu.
Merasa terlalu lama diam dan itu terasa aneh bagi Sasuke maupun dirinya sendiri, Sakura membuka suara. "Kau mau ke mana sekarang, Sasuke-kun?"
"Aku mau pulang, jika rumahku masih ada," kata Sasuke.
Sakura tertawa. Barangkali, menghabiskan waktu bersama Sasuke bukanlah kesalahan. Di sini Sakura tak berniat macam-macam. Sasuke hanyalah teman satu timnya, tidak lebih. Ia ingin menghabiskan waktu sebentar saja bersama Sasuke. Sebagai sebuah reuni, atau sebuah ... salam perpisahan. Sakura tersenyum pahit. "Boleh aku ikut?" tanyanya sedikit ragu.
"Ayo," kata Sasuke sembari melangkahkan kakinya.
Sakura mengikuti langkah Sasuke. Mereka berjalan beriringan hingga ke tengah desa. Matahari sudah terbenam, cahayanya tergantikan oleh ratusan cahaya lampu. Sasuke menoleh ke arah Sakura. Ada rasa khawatir yang tak ia mengerti.
"Sakura," panggil Sasuke.
"Hm?"
"Ini sudah malam. Lebih baik kau pulang saja," saran Sasuke.
Sakura mengerucutkan bibirnya. "Kau pikir umurku berapa? Dua belas?" protesnya.
"Kuantar kau pulang," kata Sasuke datar.
"Apa?"
"Kau mendengarnya, Sakura."
Langkah Sakura terhenti. Ia menengadahkan kepala ke langit. Benar juga, ini sudah malam. Daripada menimbulkan berita yang tidak-tidak, lebih baik ia pulang saja.
"Ya sudah. Ayo, Sasuke-kun. Kau belum tahu di mana apartemen baruku," kata Sakura.
"Hn."
Kemudian mereka berjalan menuju apartemen Sakura. Sesampai di sana, Sakura tidak langsung masuk begitu saja. Ia berhenti di depan pintu, menimbulkan tanda tanya di kepala Sasuke. Sakura berbalik, kemudian membuka mulut. "Sasuke-kun, kau besok kosong, kan? Ma-mau tidak temani aku seharian?" tanyanya gugup.
Sasuke terdiam. Jika jiwa saat ia masih berumur dua belas tahun masih ada di dalam tubuhnya, ia akan dengan mudahnya berkata, "Tidak." Tapi, kali ini berbeda. Ia tak bisa berkata begitu tanpa berpikir sebelumnya. Kali ini, ia mempertimbangkan jawabannya. "Ya," jawabnya sedikit ragu. "Tapi, aku harus ke kantor Hokage terlebih dahulu."
Sakura tersenyum tulus. "Tidak masalah. Terima kasih sudah mengantarku. Dan terima kasih sudah ... kembali." Suaranya mengecil di pengujung kalimat.
Sasuke mengangguk. "Oyasumi."
"Oyasumi."
.
Sasuke sudah selesai dengan segala urusannya dengan Hokage. Ia dengar, Naruto sedang menjalani misi. Padahal tadinya ia mau menyapa dan memberitahu sahabat sekaligus rivalnya itu bahwa ia sudah kembali. Naruto 'lah satu-satunya anggota Tim Tujuh yang belum ia temui. Tapi, itu tidak jadi masalah, ia bisa melakukan itu nanti. Lagipula, ada Sakura di sampingnya sekarang. Ia sudah berjanji akan menemani gadis itu seharian ini, meskipun sekarang matahari sudah berada tepat di atas kepala.
"Mau ke mana?" tanya Sasuke.
Pikiran Sakura mendadak kosong. "Sebenarnya ... aku tidak tahu," jawab Sakura sembari tersenyum minta dimaklumi.
Sasuke mendengus. Tiba-tiba ada satu tempat yang terlintas di kepalanya. "Ya sudah, ikut aku," katanya.
"Ke mana?" tanya Sakura bingung.
Sasuke tak menjawab. Ia memutar tubuhnya dan mengambil jalan yang berlawanan dengan yang tadi.
"Sasuke-kun, tunggu!" teriak Sakura. Kemudian ia melangkahkan kaki lebar-lebar untuk menyusul Sasuke.
Sakura mengenali ke arah mana Sasuke melangkah. Ke ujung desa, tepatnya ke Komplek Uchiha. Ia heran kenapa Sasuke membawanya ke mari. "Sasuke-kun, kenapa ke sini?" tanyanya.
"Diam dan ikuti saja," kata Sasuke datar.
Dugaan Sakura benar, Sasuke membawanya ke kompleks Uchiha. Rumah-rumah kosong itu terus dilewatinya—Sakura sedikit merinding—dan hal itu semakin membuatnya heran. Sebenarnya mau ke mana, sih? batinnya.
Pertanyaan di dalam benaknya terjawab oleh pepohonan lebat di belakang kompleks Uchiha. Rasanya di sini damai sekali. Seperti hutan pada umumnya, tapi ia tak menangkap keberadaan hewan buas apapun.
"Aku baru tahu ada hutan di balik Kompleks Uchiha," gumam Sakura.
"Hn."
Langkah kaki keduanya menjadi lebih santai. Sasuke masih belum menghentikan langkahnya meski bangunan-bangunan di desa sudah menghilang dari pandangan. Yang terlihat hanyalah coklatnya pepohonan dan hijaunya daun. Langkah diteruskan lagi, dan danau berair jernih pun memasuki penglihatan keduanya.
Sakura terpukau. Sudah lama ia tak melihat pemandangan seindah ini. "I-ini indah," katanya.
"Hanya Uchiha yang tahu tempat ini," kata Sasuke.
Sakura tak tahu harus menanggapi apa. Ia bukan Uchiha, tetapi ia bisa mengetahui tempat ini. Rasanya ... menyenangkan. Ia merasa bersyukur tadi tak tahu tujuan.
Sakura terdiam di tempat. Sementara Sasuke melangkahkan kaki menuju jembatan kecil yang menjorok ke danau. Jembatan itu tidak bisa digunakan untuk menyeberangi danau, karena fungsinya memang bukan itu. Sasuke berdiri di ujungnya.
Sakura mengikutinya dari belakang. Ia duduk di ujung jembatan, di samping Sasuke yang masih berdiri. "Sasuke-kun, ayo duduk. Leherku pegal kalau bicara denganmu nanti," kata Sakura.
Sasuke menuruti permintaan Sakura. Ia duduk di samping gadis itu. Sementara Sakura melepas sandal ninjanya, dan menenggelamkan kakinya ke dalam danau.
"Kenapa mengajakku jika kau belum tahu tujuan?" tanya Sasuke tiba-tiba.
Sakura sedikit tersentak. "Kau tidak suka, ya?"
"Bukan begitu." Sasuke menunduk dan menatap refleksinya sendiri di permukaan danau. "Sedikit aneh saja."
"Aku hanya ingin menghabiskan waktu bersama Sasuke-kun, itu saja," jawab Sakura lirih. Ia menoleh ke arah Sasuke kemudian tersenyum.
Sasuke kehabisan suara. Ia meraih sebuah kerikil yang berada di sampingnya, kemudian melemparkan ke tengah danau hingga riak-riak air bermunculan. Melihat itu membuat sebuah ide terlintas di kepala Sakura.
Sakura meraih kerikil di sampingnya, kemudian melemparnya juga ke tengah danau. "Siapa yang lebih jauh melempar, berarti ia yang menang!" kata Sakura.
"Itu konyol," dengus Sasuke.
"Ayam," ledek Sakura.
"Bukan begit—"
Sakura menirukan suara ayam dan itu membuat Sasuke jengah. Ia merotasikan kedua bola matanya, kemudian meraih kerikil dan melemparnya ke tengah danau.
"Puas?" kata Sasuke.
Sakura tertawa lepas. Ia meraih kerikil lain dan melemparnya lagi. Lemparannya lebih jauh dan lebih kuat daripada lemparan Sasuke, bahkan hingga percikan air mengenai wajah keduanya. "Aku menang!" seru Sakura.
Sasuke tak terima dan mengulang lemparannya lagi. Namun, ia tetap saja dikalahkan Sakura berkali-kali. Bagaimanapun tenaga Sakura di bagian ini memang lebih unggul.
Sekali lagi, Sakura melempar kerikil dan menimbulkan percikan air. Kali ini, percikan air itu tak berhenti. Dari langit telah turun hujan.
"Hujan," gumam Sakura sembari merentangkan tangannya.
"Jangan di sini," kata Sasuke. Ia beranjak dari duduknya.
Sakura mengikuti langkah cepat Sasuke hingga memasuki hutan kembali. Kedua tangannya ia taruh di atas kepala untuk menghalau hujan. Ia turut berhenti ketika Sasuke mendongak ke atas.
"Kenapa berhenti? Hujan masih mengenai kita," kata Sakura.
"Naik ke atas," kata Sasuke.
"Ke mana?"
"Ke atas." Sasuke menunjuk ke arah langit. Sakura mengikuti arah tunjuk Sasuke dan mendapati sebuah rumah pohon. Setelah mengerti maksud Sasuke, Sakura segera menginjak tangga-tangga kecil yang menempel di pohon. Disusul oleh Sasuke.
Sakura mendesah lega ketika air hujan sudah tidak membasahi keduanya. Ia menyenderkan tubuhnya ke dinding. Perlahan tapi pasti, kehangatan menjalar ke dalam tubuhnya. "Tempat ini nyaman sekali!" kata Sakura. Meski huhan, tetapi tetap hangat. "Apakah kau pernah mengajak orang lain ke mari sebelum ini?"
"Kau adalah perempuan kedua yang pernah kubiarkan ke mari," jawab Sasuke.
Sakura murung mendengar kata 'perempuan kedua'. Ia cemburu, meski tak seharusnya begitu. "... oh."
"Yang pertama adalah ibuku. Ibuku kurang setuju aku ikut membangun rumah pohon ini bersama Itachi. Takut Ayah memarahi kami, katanya."
Mata Sakura mengerjap. Ia baru saja mau berkomentar tentang ketidakbiasaan Sasuke yang berbicara tanpa ditanya. Tetapi, ia batasi kata-katanya sampai pangkal tenggorokan saja karena takut Sasuke akan memutuskan untuk berhenti berbicara. Ia melirik lelaki di sampingnya. Wajah Sasuke kelihatan setenang air, dan Sakura bisa membaca bahwa cerita Sasuke belum berakhir dalam satu kalimat saja. Ia dengan sabarnya menunggu hingga Sasuke meneruskan kata-katanya.
"Kemudian ibu berjanji akan tutup mulut, tetapi dengan satu syarat. Ibu sering nyinyir jika bocah sekecil diriku waktu itu terlalu membatasi diri dan membutuhkan 'privasi'," bibirnya mengulas sebuah senyuman tipis ketika teringat masa lalu yang menyenangkan, "jadi, Ibu harus diizinkan untuk naik ke rumah pohon kapanpun. Dan aku tak bisa menolak syarat itu."
Sakura tersenyum. Seingatnya, ini adalah kali kedua Sasuke bercerita tanpa diminta. Yang pertama adalah ketika latihan pertama bersama Tim Tujuh, lebih detilnya saat memperebutkan dua lonceng.
"Oh, aku tahu jelas maksud ibumu, Sasuke-kun. Kau ... terlalu sulit disentuh, tahu," kata Sakura sembari tersenyum miring.
"Aku tahu."
"Lalu?"
"Lalu apa?"
"Kau akan tetap begini terus?"
"... tergantung."
Keduanya terdiam. Baik Sasuke maupun Sakura kehilangan kata-kata. Mereka menikmati suara hujan yang masih terdengar keras semenjak tadi. Sama sekali belum ada pertanda akan mereda. Petrichor menyerbu ke dalam indra penciuman keduanya, mematri sebuah kenangan baru di antara mereka.
Langit susah semakin gelap. Sakura tak tahu sejak kapan matahari terbenam, karena posisinya memang sudah tertutupi awan hitam semenjak tadi.
Tiba-tiba Sakura teringat waktu yang akan ia habiskan bersama Sasuke tidak akan lama lagi. Lusa ia akan pergi ke Suna untuk persiapan pernikahan. Ia menggigit bibirnya sendiri dan mengepal tangan. Kemudian ia menoleh ke arah Sasuke yang belum memutus pandangan dari hujan.
"Sasuke-kun," panggil Sakura.
Sasuke menoleh ke arah Sakura. "Hm?"
Sakura semakin mengepalkan tangannya. "Jika misalnya aku pergi ... apakah kau akan merindukan aku?" tanya Sakura.
Sasuke tertegun. Ia belum tahu apa jawabannya. Matanya mencari mata Sakura untuk mencari keseriusan di sana. "Kau akan pergi?" Bukannya menjawab, ia malah bertanya balik.
Sakura mengalihkan pandangan dan menggigit bibirnya lagi. Ia tak sanggup menjawab pertanyaan dari Sasuke. "Hujannya lama, ya ..." katanya. "Padahal aku sudah mengantuk sekali."
Tubuh Sasuke mendadak kaku ketika Sakura menjatuhkan kepala pada bahunya. Gadis itu menggeliat sedikit hingga kepalanya bergeser dari bahu Sasuke. Sasuke dengan sigap menahan kepala Sakura, lantas dibaringkan di atas pangkuannya. Tubuh Sakura diubah menjadi posisi telentang hingga ia bisa menatap wajah gadis itu lebih jelas.
Sasuke menahan pandangan pada wajah Sakura cukup lama. Gadis itu cantik, meskipun dalam keadaan tertidur. Sekilas ia teringat saat mereka masih berumur dua belas tahun. Saat itu Sakura begitu diincar beberapa shinobi yang umurnya tak jauh berbeda dengan mereka.
Tanpa disadari, sharingan aktif dengan sendirinya. Keinginan untuk mengingat wajah Sakura yang sedang tertidur adalah satu hal yang mendorong aktivasi mata kekkei genkai-nya. Ia tak mengerti mengapa ia memiliki keinginan seperti itu. Jauh di dalam nuraninya, ia merasa akan segera jauh lagi dari Sakura. Padahal, sekarang ia tak ingin pergi dulu untuk sementara. Apakah mungkin perasaan seperti itu muncul karena Sakura yang akan pergi kali ini? Ia sama sekali tak tahu.
Pikirannya terhenti ketika Sakura mengusap lengannya sendiri dan menggigil. Gadis itu jelas sedang kedinginan. Sasuke putuskan untuk meletakan kepala Sakura di bahunya lagi. Tangannya terbentang di belakang punggung gadis itu, kemudian menariknya merapat. Telapak tangannya menempel pada kulit lengan Sakura dan mentransferkan kehangatan. Bibirnya mengulas sebuah senyuman tipis ketika merasakan Sakura menyamankan diri di sampingnya. Kemudian ia memiringkan kepala hingga pipinya menempel dengan pucuk kepala Sakura. Merasa nyaman, mata yang sudah berubah menjadi hitam kembali terpejam dengan sendirinya.
.
Sakura terbangun bukan dengan perasaan nyaman. Ia gusar, teramat sangat gusar. Kegusarannya itu muncul ketika ia sadari bahwa dirinya tidak seharusnya berada di sini; tertidur semalam suntuk dengan Sasuke sebagai sandarannya. Apalagi, seharusnya kemarin ia pulang ke rumah orangtuanya. Mereka pasti sangat khawatir sekarang.
"Sasuke-kun, bangun, ini sudah pagi," kata Sakura sembari sedikit mengguncang tubuh Sasuke.
Sasuke seketika terjaga. Ia membuka mata kemudian menegakkan tubuhnya. Ini sudah pagi dan ia sama sekali tidak menyadari sudah tertidur semalaman di sini.
"Ayo pulang," kata Sakura. Ia menggigit bibirnya gelisah.
Mereka segera turun dari rumah pohon dan kembali ke Kompleks Uchiha. Keduanya tak bicara sepatah kata pun, merasa sedikit canggung seperti saat awal mereka baru bertemu kembali.
Langkah Sakura berhenti ketika mereka berada di depan kediaman Sasuke. "Sasuke-kun, kau langsung pulang saja. Aku bisa pulang sendiri," kata Sakura.
"Kau yakin?"
"Aku bukan anak kecil, Sasuke-kun," kata Sakura sembari tersenyum miring. "Sampai jumpa lagi!" Suaranya sedikit bergetar.
Teringat akan perasaan akan segera jauh dari Sakura, Sasuke menarik tangan gadis itu sebelum ia pergi. Ketika Sakura menoleh, Sasuke menunduk dan mengecup bibir Sakura pelan.
Sakura menitikkan setetes air mata. Ia tak seharusnya menerima ciuman dari Sasuke dan mendorong lelaki ini jauh-jauh dengan tangannya sendiri. Ia sudah dimiliki orang lain! Namun, ia tak bisa. Ia merasa tak punya tenaga. Ia jatuh, jatuh, dan jatuh lagi untuk yang kesekian kalinya pada Sasuke. Seharusnya ia tidak begitu setelah mengambil keputusan untuk menyimpang dari bayangan bersanding dengan Sasuke selamanya. Ini salahnya karena tidak cukup sabar untuk menunggu Sasuke kembali.
Sasuke segera menarik diri dari Sakura. Ia tertegun ketika mendapati murung pada wajah Sakura. "Sakura ... maaf, aku—"
"Tidak apa-apa." Sakura menggeleng. Tangannya mengusap pipinya. "Tapi ... ke-kenapa kau melakukan itu?"
"Aku hanya ..."
Kumohon berikan alasan yang jelas. Aku mohon, Sasuke-kun. Aku mohon.
Tatapannya menghindari mata Sakura. "Aku tidak tahu."
Sakura terhenyak. Wajahnya menyiratkan rasa kecewa yang kentara. Aku tidak tahu, katanya? Rasanya Sakura ingin tertawa miris sekarang juga. Tetapi, jika alasan yang terlontar dari bibir Sasuke merupakan alasan lain yang jauh lebih bermakna, apalagi yang bisa kaulakukan, Sakura? Itu tak akan mengubah apapun secara signifikan. Kau sudah menjadi milik orang lain.
Sakura memejamkan matanya erat-erat ketika mendengar suara dari dalam kepalanya sendiri. Ia nyaris menangis lagi, namun ditahannya.
"Sasuke ... kun," panggil Sakura dengan suara bergetar. Ia mengalihkan pandangan dari sepasang mata hitam milik Sasuke. Setiap tarikan napas yang diambilnya mampu mencengkram leher hingga ia memekik dalam hati. Jantungnya terasa seperti diremas sebuah genggam imajiner hingga berdenyut nyeri. "Aku ... a-aku ..."
"Katakan," tegas Sasuke. Ia mengepal tangannya lalu diselipkan ke dalam saku celana. Mencekamnya atmosfer yang melingkupi mereka merasuki tubuhnya untuk berkelana. Ia tahu yang dihadapinya sekarang bukanlah sesuatu yang ringan—yang bisa dibuat terbang kapan pun ia mau. Namun, ia tidak tahu apa itu dan ia sadari dirinya butuh tahu.
Sakura masih terdiam. Kata-katanya menempel di ujung tumpul lidahnya. Matanya terpejam sama eratnya dengan kepalan tangannya. Hawa dingin dari bahan dasar cincin yang melingkari jari manisnya semakin membuat hatinya perih. Ia membuka mata dan berusaha untuk memberanikan diri. Sasuke-kun harus tahu.
Lensa mata beriris hijaunya mengerling ke arah ujung. Matanya mulai membasah ketika ia mendapati Sasuke masih menatapnya intens, menunggunya bicara. Ia memejamkan mata erat-erat, kemudian membuang muka lagi. "Aku takut ini adalah hari terakhir kita bertemu," katanya. Suaranya bergetar.
Sasuke tak punya satu kata pun yang bisa digunakan sebagai upaya tanggap. Mimik mukanya masih sekeras biasanya. Dalam hati ia bertanya, kenapa? Tapi tak diucap melalui lisannya, atau melalui gestur tubuh mana pun selain pundak yang kaku sebagai tanda terkejut. Ia yakin Sakura tak sadar sama sekali akan hal itu.
"Aku akan segera menikah." Udara yang Sasuke hirup seketika berubah menjadi tajam. Kepalan tangannya semakin mengerat di dalam saku celananya. Setelah seharian bersama dengan Sakura, ia baru sadar akan adanya sebuah cincin melingkari jemari manis gadis itu. Seberkas cahaya terpantul dari sana, seakan menekankan satu hal yang tak ia ketahui selama ini. "Aku akan segera menikah dengan—"
"Aku sudah tahu." Sebenarnya Sasuke baru saja tahu. Sekarang. Ia hanya tak mau Sakura menyebut nama calon mempelai pria dalam pernikahannya nanti. Sebuah nama yang bergulir di kepalanya akan membuat bahunya terasa dibebani seluruh dunia. Membayangkan Sakura bersanding dengan seorang lelaki yang bisa dibayangkan di benaknya akan mengantarkan tumpukan rasa teramat sangat terganggu dalam kepalanya. Dan tentu saja ia tak ingin hal itu terjadi.
Entah untuk yang keberapa kalinya, Sasuke berhasil menyembunyikan emosi yang berkecamuk dalam tubuhnya di balik topeng dingin wajahnya.
Air mata yang Sakura tahan semenjak tadi akhirnya jatuh juga. Tanggapan dari Sasuke hanya seperti itu? Begitu saja? Oh, memangnya apa yang seharusnya terjadi? Sasuke memeluknya erat lalu membawanya pergi agar ia batal menikah? Atau marah akan satu fakta bermassa besar yang tengah terjadi di antara mereka? Itu sama sekali tidak mungkin! Lagipula, mengapa Sasuke harus dan akan melakukan itu? Tidak ada alasan yang cukup logis. Kecuali ... kecuali jika Sasuke mencintainya. Namun, Sasuke yang menerimanya seperti sedang mendengar kabar bahwa besok adalah hari Minggu menyatakan bahwa lelaki itu tidak mencintainya dan tidak masalah jika Sakura akan menikah dengan orang lain.
Sakit di hatinya membuat ia lupa bahwa tadi Sasuke mengecup bibirnya.
Bahu Sakura bergetar. Cairan kesedihan itu terus meleleh dari pelupuk matanya. Tangisnya sudah pecah dan tak tertahankan. Isakan-isakan kecil terus meluncur dari bibirnya. Ia merapatkan tubuhnya dengan tubuh lelaki di hadapannya, menenggelamkan wajah pada dada bidang Sasuke. Kedua tangan Sakura mencengkram kuat-kuat kain yang melapisi dada Sasuke.
Aku akan menemuimu ketika aku kembali. Dan ... terima kasih.
"Ma-af."
"Aku tidak menunggumu ... lagi. Kau terlalu lama, Sasuke-kun. Aku ... a-aku ..." Kemudian tangisnya semakin pecah. Air mata terus membasahi kain yang melapisi dada Sasuke. Tubuh gadis itu bergetar hebat hingga beresonansi pada tubuh Sasuke. "Orangtuaku ... teman-temanku ... tidak ada yang mengerti!"
Sasuke terdiam. Ia memang selalu menjadi lelaki yang tak banyak bicara; namun, kali ini ia benar-benar merasa tak ingin bicara. Dengan gerakan canggung, tangannya terangkat hingga berada tepat di belakang rambut merah muda Sakura dengan jarak sepersekian inci. Dagunya terasa tertarik ke bawah untuk diletakkan di atas pucuk kepala gadis yang mengisak di dadanya. Sesuatu dalam dirinya mendorong untuk menunjukkan sebuah afeksi hingga setiap sentuhan yang ingin ia lakukan pada Sakura nyaris menjadi sebuah gerak refleks. Di sisi lain, akal sehatnya mampu melawan gerak yang tak dikehendaki itu. Ia tahu ia tak akan pernah bisa—mau—melepas Sakura lagi jika ia mendekap erat gadis itu. Satu alasan sederhana lainnya tetapi tajam: Sakura sudah menjadi milik orang lain.
Sakura tak pernah tahu seberapa dekat dirinya dengan ruang dan waktu di mana Sasuke akan menunjukkan sebuah afeksi singkat. Dan Sasuke pastikan Sakura tak akan pernah tahu, selamanya. Demi kebaikkan kami berdua, begitu pikirnya. Tapi, apakah itu benar, Sasuke?
"Tak ada alasan untukmu meminta maaf padaku." Sebuah tarikan napas. Sasuke menelan salivanya sendiri. Udara yang keluar dari mulutnya bergetar senada dengan gemetarnya tubuh Sakura. "Aku memang berengsek." Namun, ia berhasil menyembunyikan kegentaran dalam hatinya sekali lagi. Suaranya tetap dingin dan terdengar sangat Sasuke. Tak ada celah sekecil apapun di sana.
Ia ingin selamanya terus begini. Ia ingin waktu berhenti sekarang juga. Sakura ada di sisinya; memeluk tubuhnya; mendengarkan detak jantungnya. Ia kesampingkan dulu fakta bahwa Sakura masih menangis sekarang. Tetapi, ia tak bisa begini terus. Dari sekian besar tenaga yang ia miliki, tak satu kalori pun digunakannya untuk mendorong tubuh Sakura menjauh. Ia tak punya tenaga untuk itu.
Cengkeraman tangan Sakura pada pakaian Sasuke semakin kuat. Hatinya terasa sakit sesakit-sakitnya. Kenapa Sasuke harus kembali tepat di saat ia memutuskan untuk pergi? Seandainya ... Sasuke pulang sebelum Sakura menerima lamaran dari Gaara—yang mana memang butuh waktu lama bagi Sakura untuk menjawabnya. Seandainya saja begitu. Kini Sakura jadi berpikir, kenapa takdir begitu tidak adil padanya? Pada Sasuke?
Sasuke menyentuh pundak Sakura dan mendorongnya perlahan. Ia—mereka tak bisa terus seperti ini. Sasuke menarik napas berkali-kali hingga ada gerakan pada bahunya. "Sakura ..." Gadis itu mendongak. Tangan Sasuke tergerak untuk menyentuh pipi Sakura. Ia tak mengerti mengapa ia melakukan itu. "Selamat tinggal."
Dua kata itu sanggup membuat tubuh Sakura hancur berkeping-keping. Ia menunduk dalam-dalam dengan keadaan masih mengisak.
"Aku ..."
"Sela—"
"Se-selamat ting—"
"Aku tidak bisa!" Kemudian ia berbalik dan berlari. Meninggalkan Sasuke terpaku di sana sembari memandangi punggung Sakura yang semakin menjauh.
Kali ini, Sakura lah yang meninggalkan Sasuke. Bukan sebaliknya.
.
.
.
Tbc
.
.
.
A/N:
Happy belated birthday, Kak Laras! Wish you all the best. Sukses kuliahnya! Sorry for taking so long. Stuck di beberapa bagian huft
Aarrrgghhh ini jadinya drama gini u,u kita sering swearing about drama tapi aku malah bikin drama buat kakak. Maaf ya kak x'D Tapi ini gak over drama a la sinetron kan? Huehehehe. And surprise! It's canon and hurt/comfort. Tapi maaf kalo hurt-nya kurang :'3 maaf juga kalo plot-nya lelet parah-_- atau malah plot-nya kecepetan? ._. Kayaknya ini agak ngebosenin ya -_-
I hope you're fine with all of this fic's contents, Kak :")
Kalo ada kesalahan mohon di koreksi ya, cuma cek sekali soalnya.
Anyway, thanks for reading :)
Daffodila
P. S. : Teppei itu OC. Dia nggak ada di manga maupun anime. Kenapa munculin Teppei segala? Peran dia kan nggak penting? Biar ada satu hal yang bikin Sakura keinget Sasuke dengan cara yang 'agak' sakit aja. Biar kesannya dia nggak lemah dengan tiba-tiba galau-galauin Sasuke tanpa sebab. Gitu.
