Naruto belongs to Masashi Kishimoto
Written specially for heyhoskylarks :)
Enjoy reading!
.
.
Kata "selamat tinggal" yang Sasuke ucapkan bukanlah sekedar basa-basi, bukan juga sesuatu yang tak berarti. Ia mengucapkannya berdasarkan sesuatu yang logis. Tak ada lagi kata yang tepat untuk diucap setelah mendengar semua yang sudah Sakura utarakan. Sakura akan pergi. Pergi meninggalkan dirinya. Jika ia mengucap "sampai jumpa lagi", tentu saja akan terdengar tidak relevan. Karena kemungkinan terbesar yang berada di dalam genggaman adalah ia tak akan pernah bisa berjumpa dengan Sakura lagi setelah ini. Dan, itu memang benar adanya. Tepat setelah itu, Sakura sama sekali tak muncul lagi di hadapannya.
Sasuke sama sekali tak mengerti kekosongan yang dirasakannya saat ini. Ini adalah kekosongan yang menyerupai seperti saat pertama kali ia memutuskan untuk pergi dari Konoha. Sesuatu yang semestinya sudah tak asing lagi baginya. Namun, kali ini rasanya berbeda. Seseorang yang terpisah dengannya masih Sakura, tak ada bedanya dengan dulu. Lantas, mengapa rasanya tak sama? Mengapa kekosongan yang dirasanya kali ini lebih banyak mengganggu dibanding dulu?
Ada yang berbeda. Tepatnya, ada yang berubah.
Pikirannya berlabuh pada apa yang terjadi satu hari sebelumnya. Ia tak mengerti mengapa ia bisa-bisanya mengajak Sakura ke hutan di balik Kompleks Uchiha. Ia tak paham apa yang terlintas dalam benaknya ketika ia mengajak Sakura menaiki rumah pohon yang sudah sangat lama dihindarinya karena membangkitkan terlalu banyak kenangan. Ia tak tahu apa yang terjadi pada sarafnya ketika tangannya tergerak untuk setengah mendekap Sakura. Dan, ia tak yakin apa yang membuat sharingan-nya aktif hingga wajah Sakura yang sedang tertidur terpatri dengan jelas di benaknya, dibantu kemampuan lebih dari kekkei genkai-nya.
Ada yang salah. Seharusnya, ia tak merasa seperti ini. Rasanya terlalu irrasional ketika seseorang yang terbiasa hidup sendiri malah merasa kosong karena kepergian satu orang saja. Normalnya, ia tak keberatan, karena sudah terbiasa. Lantas, mengapa kali ini tidak normal? Bagaimana bisa menjadi irrasional?
Sasuke memutar otak. Kenapa terasa begitu kosong?
Matanya menatap ke arah langit-langit. Masih tak ada jawaban. Ia memutuskan untuk menutup mata dan mengatur napas agar tak terasa seperti sedang menghirup zat padat. Tanpa diduga, sebuah kilas balik melintas di dalam benaknya.
Sasuke terbaring di salah satu ranjang di dalam rumah sakit Konoha. Waktu itu, ia masih lemah setelah pertarungannya dengan Naruto. Ujung tangannya yang hancur masih begitu ngilu, hingga rasa itu merambat sampai ke giginya. Mata kirinya masih belum terbuka lagi, karena kepalanya terasa tersiksa ketika cahaya menyeruak masuk melalui lensa mata yang beriris nila dengan beberapa pola putaran khas rinnengan. Lebam-lebam masih terpeta di sebagian besar kulitnya. Untuk sekedar bergerak pun sulit. Gerakan terbanyaknya adalah naik turunnya dada saat menarik atau mengembuskan napas dan kedipan mata. Rasanya begitu tersiksa.
Itu belum seberapa. Bukan hanya fisiknya saja yang tersiksa, tetapi batinnya juga. Batinnya masih tertekan karena kabar tentang ada tidaknya hukuman atas segala yang sudah ia lakukan belum turun juga. Ditambah lagi mimpi-mimpi buruk yang terus menghantui malam-malamnya.
"Sasuke-kun, masih sakit?" Namun, suara bening itu memecah fokus pada rasa sakitnya. Saat bibirnya tak sanggup menjawab, pemilik suara itu bisa mengerti melalui tatapan matanya. Pemilik suara itu hanya Sakura. Suara yang pernah memanggilnya dengan suara centil, suara lembut, suara lirih, bisikan, teriakan, bahkan tangisan.
Cahaya hijau dari cakra penyembuh di telapak tangan gadis itu akan mengalir melalui bagian tubuh yang paling sering terasa ngilu. Kemudian, berpindah ke beberapa lebam yang terpeta di kulitnya. Meski sudah tak terasa sakit, Sakura tetap berusaha untuk menghilangkan bilurnya. "Semua bekas luka ini mengingatkanku betapa parahnya pertarungan kalian, dan segala rasa sakit yang Sasuke-kun rasakan. Aku tak suka," begitu katanya.
Ketika proses penyembuhan yang diangsur selesai, ia akan menarik sebuah kursi mendekati tempat tidur Sasuke. Meraih beberapa buah apel dari kantung kertas coklat yang sengaja dibawanya, lantas mengupas kulit merahnya. Dipotongnya apel-apel itu menjadi bagian-bagian kecil. Setelah selesai, ia akan meminta Sasuke untuk membuka mulutnya dan memakan apa yang sudah dibawanya. Awalnya, Sasuke sedikit ragu. Namun, akhirnya ia membuka mulutnya juga meski tidak selebar seharusnya. Giginya akan menggigit ujung apel itu perlahan-lahan, sedikit canggung karena Sakura yang menyuapinya. Lama-kelamaan ia jadi terbiasa. Ia merasa ... nyaman.
Ketika Sakura selesai mengurusi pasien lainnya, ia akan kembali ke kamar di mana Sasuke dirawat. Ia duduk di kursi di mana ia biasa mengupas apel, lantas menggenggam tangan Sasuke tanpa ragu. Ia akan bercerita tentang hari-harinya, dan Sasuke akan menjadi pendengar yang baik, meskipun tanpa adanya tanggapan. Sakura tanpa sadar akan tertidur menyandar ke tempat tidurnya, karena keseharian yang memang melelahkan. Walau begitu, genggaman tangannya tak terlepas. Sasuke bingung harus apa. Ia tak mau melepasnya, dan terlalu ragu untuk menggenggam balik. Namun, ada satu hal yang tak ia ragukan: ketika Sakura menggenggam tangannya, maka kecemasan akan bentuk hukuman yang ia dapatkan nantinya serta mimpi-mimpi buruknya tak akan datang menghantui malamnya.
Dari semua rasa nyaman yang Sakura berikan untuknya, ada satu rasa tak nyaman yang ada di baliknya. Ia kurang—memang—tidak suka ketika Sakura bilang, "Aku harus mengurus Naruto dulu, luka kalian sama parahnya." Meski pertarungan besar sudah terjadi di antara mereka, rasa tak ingin kalah saing masih ada. Ia tak mau Sakura menghabiskan waktu lebih banyak dengan Naruto ketimbang dengan dirinya. Yang ini bukan soal persaingan, sepertinya. Ada perbedaan yang signifikan. Ia tak begitu ingin tahu arti dari rasa tak nyaman itu. Namun, ia akan mengulas sebuah senyuman tipis ketika mengingat Sakura yang nyaris setiap malam menemaninya tertidur di kursi yang biasa didudukinya. Itu berarti Naruto tak pernah mengalami hal itu karena Sakura selalu ada di sampingnya.
Ia masih ingat betul ketika Sakura berlari tergesa ketika memasuki kamar rawatnya. Mata gadis itu berkaca, namun ia tersenyum lebar. Ia begitu gembira, hingga terlihat seperti sedang menahan lompatan a la anak kecil yang baru saja mendapatkan apa yang diinginkannya. Semua ekspresi menyenangkan yang Sakura tampilkan terjawab alasannya ketika Sakura berkata, "Sasuke-kun, Kakashi-sensei selaku hokage bilang kau bebas dari hukuman karena kau sudah membantu melepas mugen tsukoyomi! Dan setelah melihat perkembangan kesehatanmu, kau sudah boleh pulang dari rumah sakit! Bukankah ini kabar yang menggembirakan?"
Setelah mendengar kabar itu, sore harinya ia keluar dari rumah sakit Konoha. Kondisi tubuhnya sudah jauh lebih baik, dan semua itu berkat Sakura. Mata kirinya sudah bisa dibuka tanpa menimbulkan rasa sakit, ngilu di tangannya sudah tak terasa, dan lebam di tubuhnya nyaris menghilang. Soal lebam, itu bukan masalah. Barangkali Sakura menyisakan bekasnya sebagai tanda bahwa ia adalah seorang shinobi yang tangguh, yang masih sanggup bertahan setelah adanya puluhan luka yang melintang di kulitnya.
Dibebaskan dari hukuman bukan berarti dirinya bebas dari rasa bersalah. Karena itu, ia memutuskan untuk membayar dosanya dengan cara berkelana, kemudian Sakura meminta untuk ikut. Saat itu, tangannya terasa tergerak sendiri, mengikuti suara hati yang sunyi. Jarak di antara jari telunjuk dan jari tengahnya terkikis habis. Pergelangan tangan satu-satunya tertekuk, lengannya terangkat. Ujung jarinya menyentuh dahi Sakura perlahan, tidak cukup untuk membuat kepala gadis itu mundur. Matanya menangkap sebuah semburat merah tipis di pipinya. Bibir Sasuke mengulas sebuah senyuman ketika melihatnya.
Dan, "Aku akan menemuimu ketika aku kembali. Dan ... terima kasih," kata-kata itu terucap dari bibirnya.
Sasuke terdiam sejenak. Ada rasa tak nyaman yang bermuara di perutnya ketika pikirannya sudah tertarik kembali pada masa kini. Ada yang aneh. Dan yang aneh itu adalah apa yang dirasakannya saat ini.
"Aku hanya ingin menghabiskan waktu bersama Sasuke-kun, itu saja." Suara itu menggema di benaknya.
Ia menegakkan tubuh. Kepalanya terasa berdenyut. Ia menarik napas panjang-panjang. Ia sudah tahu jawabannya. Jawabannya sudah sangat jelas sekarang. Sakura meninggalkannya, menggenggam sebuah alasan yang memberatkan pundaknya serta terasa mencekam jantungnya hingga terasa kosong. Sakura ... tak akan pernah lagi ada di sisinya. Rasa nyaman itu tak akan pernah bisa ia rasakan lagi, selamanya.
.
Ini adalah detik-detik terakhir Sakura menghirup udara di Konoha. Terakhir kali ia terbangun di dalam kamar pribadinya, membuka tirai dan jendelanya, serta menatap foto Tim Tujuh yang berada tepat di bawah jendela.
Sakura bersiap-siap untuk pergi. Bukan pergi ke rumah sakit atau menjalani sebuah misi. Maka, hitai-ate tidak diperlukan kali ini. Setelah persiapannya selesai, ia menahan pandangan pada kenangan Tim Tujuh yang diabadikan. Ibu jarinya mengelus sisi kirinya. Air mata terkumpul di sudut matanya. Sebelum jatuh membasahi pipi, ia merobek secarik kertas dari jurnalnya. Ditariknya pena yang tersemat di sana. Ia menulis kata-kata singkat. Setetes air mata jatuh membasahi kertas itu hingga tintanya mengabur. Kemudian, kertas itu diletakkan di atas meja, di bawah sebuah pigura foto yang sudah diletakkan tertutup.
Penantian yang sudah berakhir.
Sakura mengembuskan napas panjang dan menggigit bibir. Ia mengusap pipi dan ujung matanya yang membasah. Langkahnya ragu ketika melewati ambang pintu. Kemudian, ia menutup pintu dengan hati yang terasa berat. Ia belum mau meninggalkan tempat ini, tetapi ia harus.
Langkah beratnya bukan hanya ketika meninggalkan kamar saja, tetapi ketika meninggalkan gerbang utama Konoha. Bahkan, bukan hanya langkahnya yang memberat, tetapi, sekujur tubuhnya juga. Matanya mengerling pada satu per satu orang yang mengantarnya pergi. Semua orang yang berharga baginya. Ada Ino, Sai, ayahnya, ibunya, bahkan Kakashi yang semestinya teramat sangat sibuk sekali pun. Juga ada Hinata yang menitipkan salam dari Naruto yang sedang menjalani sebuah misi. Ia baru saja melepas pelukan kelompok bagi mereka semua. Ia tak kuasa menahan jatuhnya air mata, tetapi Ino menahannya dengan berkata, "Semuanya akan baik-baik saja."
Ada yang kurang. Ini tak lengkap, seperti biasanya. Sasuke. Sasuke tak ada di sini, untuk melepasnya pergi atau mengucapkan selamat tinggal untuk yang terakhir kali. Sakura tersenyum masam. Entah ia harus bersyukur atau bersedih atas ketidakhadiran Sasuke di sini.
Tak ingin lagi menumpuk keraguan di hatinya, ia memutuskan untuk pergi sekarang juga. Tangannya melambai sebagai salam perpisahan terakhir, kemudian kakinya menginjak undakan pertama di dalam kereta yang akan mengantarnya ke Suna.
"Selamat tinggal ... Sasuke-kun," bisiknya pelan sekali. Cairan kesedihannya mencair dan terus mengalir ketika tak ada yang bisa melihat wajahnya. Ia baru sanggup mengucap selamat tinggal ketika mata Sasuke tak ditatapnya.
.
Sasuke terbangun karena suara lirih yang menabuh gendang telinganya. Cahaya matahari sudah menyusup melalui celah tirai dengan intensitas yang besar. Ia sadari ini sudah kelewat siang, dan ia mengutuki diri untuk itu. Tak biasanya ia bangun siang begini.
Setelah seluruh nyawanya terkumpul, ia membuka tirai jendela. Matanya menyipit menghalau silau. Tak lama setelah itu, ia sadari sesuatu. Ia baru mengingat apa yang membangunkannya tadi. Itu suara Sakura. Suara Sakura yang berkata, "Selamat tinggal ... Sasuke-kun."
Tubuhnya mendadak kaku. Ada rasa tak nyaman yang bergelut di dalam dirinya. Ia memang pernah meninggalkan Sakura dan merasakan sesuatu yang tak nyaman juga saat itu. Tapi, itu berbeda. Karena saat itu ia tahu ia pasti akan kembali. Sementara kali ini ... ia tahu jelas Sakura tak akan pernah bisa kembali ... padanya. Sekalinya kembali pun, semuanya pasti sudah berubah. Tak akan pernah sama lagi, selamanya.
Entah apa yang merasuki dirinya, ia segera melangkahkan kaki keluar dari rumahnya dan Kompleks Uchiha. Ia harus bertemu dengan Sakura, meskipun untuk yang terakhir kalinya.
Ia tak datang ke rumah Sakura maupun apartemennya. Ia hanya berdiri di satu-satunya jalan yang mengarah ke Rumah Sakit Konoha, menunggu Sakura yang sudah pasti akan melewati jalan itu jika akan memenuhi tugas medisnya. Sudah sepuluh menit ia berdiri, namun yang ditunggunya belum datang juga. Itu memang risiko yang harus ditanggungnya karena merasa terlalu canggung jika harus mengetuk pintu segala.
Dua puluh menit. Ia melihat beberapa ninja medis sudah berlalu-lalang di hadapannya. Jika Sakura sedang dalam shift malam pun, seharusnya gadis itu sudah pulang bersama rekan-rekan kerjanya yang lain sekarang. Namun, nihil. Sakura sama sekali tak memunculkan batang hidungnya.
"Sasuke." Panggilan itu memecahkan diamnya. Sasuke menoleh ke arah sumber suara. Itu Kakashi, dengan jubah Hokage yang dikenakannya.
Ia menautkan alis. Bukankah seharusnya Kakashi berada di kantor Hokage?
"Aku baru saja dari gerbang utama Konoha, kemudian kebetulan melihatmu di sini," kata Kakashi seakan membaca pikiran Sasuke.
"Hn."
Sasuke berlagak seakan-akan mengabaikan kehadiran Kakashi. Ia mengalihkan pandangan ke jalanan lagi, khawatir Sakura sudah lewat ketika ia sedang mengacuhkan kehadiran Kakashi.
"Ia sudah pergi pagi tadi."
Sasuke berpura-pura tuli dan masih terus bertahan dalam mengabaikan Kakashi. Mengapa ia tak mengurusi pekerjaan Hokage saja? batinnya.
Kakashi mengembuskan napas panjang ketika merasa diabaikan muridnya sendiri. Ia tahu apa yang Sasuke lakukan di sini. Ia bisa menarik kesimpulan itu ketika melihat mimik muka Sakura saat pergi tadi dan ketidakhadiran Sasuke di sana. Lelaki berambut hitam itu pasti tidak tahu. "Sasuke, kau mencarinya." Kakashi terdiam sejenak, kemudian melanjutkan, "Mencari Sakura."
"Aa." Sasuke tak mengelak. Karena memang begitu adanya. Ia memang sedang mencari Sakura, dan tak ada yang bisa ia sembunyikan. Kehadirannya di sini sudah terlalu jelas apa tujuannya.
"Dan kau tak akan pernah bisa menemukannya," kata Kakashi.
Alis Sasuke terangkat sebagai pengganti pertanyaan. Kakashi sudah menduganya, Sasuke memang belum tahu. Ia menepuk pundak Sasuke. "... di sini. Sakura sudah tidak ada di sini."
Sasuke semakin tidak mengerti. Sakura pergi? Ke mana? Kenapa ia tak tahu? Yang ia ketahui hanyalah Sakura akan menikah. Ia pun tak tahu dengan siapa, karena dirinya sendiri yang menolak tahu. Jangan-jangan ...
"Sasuke, kau tidak tahu? Sakura akan menikah," kata Kakashi. Sasuke baru saja mau membuka mulutnya untuk menanggapi, namun Kakashi lebih cepat dalam memutus niatan berbicaranya. "Menikah dengan Gaara. Sakura sudah pergi ke Suna tadi pagi. Itu sebabnya aku bilang kau tidak akan menemukannya di sini."
"Apa?" kata Sasuke spontan. Ia merasa kehilangan pijakan. Ia memang sudah tahu Sakura akan menikah, tapi, ketika ia mengetahui dengan siapa, rasanya menjadi jauh lebih mengganggu daripada sebelumnya. Ia cepat-cepat menutupi ekspresi terkejutnya sebelum Kakashi menyadarinya.
"Karena yang kau cari sudah tak ada di sini ... lebih baik kau pulang saja, Sasuke," saran Kakashi. "Besok atau lusa mungkin kau akan menerima misi dariku, jadi, bersiaplah."
Sasuke terdiam. Seluruh indranya terasa kehilangan fokus. Entah bagaimana, ia merasa seperti ada yang mencuri oksigen yang mengisi paru-parunya. Sesak. Sesak sekali. Kulitnya terasa mati rasa, tak sanggup membuatnya bergidik ketika ada angin dingin yang bertiup. Penglihatannya mengabur. Pendengarannya mendengung. Lidahnya pun terasa seperti sedang mengecap sesuatu yang pahit. Ia merasa berdiri sendiri, tak ada pijakan, tak ada sandaran. Bukankah berarti kemarin adalah kali pertama dan terakhir ia bertemu dengan Sakura setelah perjalanan panjangnya? Mengingat soal perjalanan panjang, apakah semuanya tidak akan menjadi seperti ini jika ia kembali ke Konoha lebih cepat?
"Sasuke? Kau mendengarku?" kata Kakashi membuyarkan lamunan Sasuke.
Sasuke sedikit terperanjat. Ia menggelengkan kepalanya untuk menarik diri ke dunia nyata. Ia harap pergerakkannya tidak kentara di mata Kakashi. "Hai, aku mengerti," jawabnya.
"Bagus, kalau begitu. Aku harus kembali ke kantor Hokage. Sampai jumpa lagi," kata Kakashi.
Sasuke tak menanggapi. Wajah Kakashi berubah masam ketika menyadari arti di balik segala gerak-gerik anak didiknya setelah mengetahui apa yang sebelumnya tak ia ketahui. Kakashi tahu, Sasuke merasakan sesuatu tentang Sakura. Dan ia juga tahu bahwa Sasuke kesulitan mengerti perasaan itu. Seandainya ia mengerti lebih cepat sehingga membuatnya pulang lebih cepat juga, semuanya pasti tidak akan jadi seperti ini.
Kakashi membatasi diri soal ini. Ini urusan Sasuke, biar dirinya yang menyelesaikannya. Ini sama sekali bukan porsinya. Dan ... ia pun tak tahu harus bilang apa pada Sasuke mengenai ini.
Sasuke memutar tubuh ke arah yang berlawanan dengan yang diambil Kakashi. Kepalanya menunduk, memandangi ujung kaki yang menendang-nendang kerikil kecil. Tak ada suara lain yang didengarnya. Karena itu, suara Sakura yang memanggil namanya menggema di dalam benaknya. Sial. Sasuke menendang kerikilnya keras-keras hingga memantul dan menimbulkan suara lain. Pita suara Sakura dalam kepalanya seakan pecah. Kini, ia bisa menarik napas lega. Meski tidak selega semestinya.
.
Satu minggu menuju hari besarnya, Sakura masih merasa begitu canggung dengan calon suaminya. Gaara sendiri pun masih sibuk dengan tugasnya sebagai Kazekage. Istilah 'dipingit' tidak berlaku bagi keduanya. Awalnya, Sakura pikir ia dibawa ke Suna untuk dipingit. Ternyata ia salah. Ia bisa keluar rumah tamu yang menjadi tempat tinggal sementaranya di sini kapan pun ia mau. Ia bahkan beberapa kali membantu beberapa ninja medis yang bekerja di Rumah Sakit Suna. Apalagi angka pasien sedang membengkak, entah apa penyebabnya.
Besok ayah dan ibunya akan berangkat ke Suna untuk menemaninya. Jika cuacanya sedang bagus, mereka akan tiba empat hari ke depan. Sakura merasa ia masih membutuhkan waktu sendiri. Waktu untuk menangis di malam hari tanpa khawatir akan ada seseorang yang mendengarnya. Waktu untuk menutup diri tanpa khawatir akan ada seseorang yang mengetuk pintunya. Ia masih menangis setiap malam, setiap ia sedang lengang. Ia ingin sekali menghentikan kebiasaan buruknya yang satu ini. Namun, rasanya sulit sekali.
Sakura takut perasaannya tak akan pernah bisa berubah. Sangat takut. Ia takut Sasuke terus ada dalam pikirannya saat ia sudah menyandang status sebagai seorang istri dari Gaara. Ia takut perasaannya akan mengkhianati ikatan sucinya nanti. Dulu, ia tahu Naruto memiliki rasa yang mendalam untuknya. Dan ia selalu merasa bersalah ketika ia sadar ia tak akan pernah bisa membalas perasaan lelaki itu. Ini adalah Naruto, lelaki yang nyaris setiap hari ada di sampingnya, dan ia hanya bisa menyukai Naruto secara platonis, tapi masih mencintai Sasuke secara mendalam. Ia takut hal ini akan terulang lagi pada Gaara, lelaki yang akan menjadi suaminya nanti. Tentu saja hal ini menjadi satu hal yang teramat sangat buruk.
Ia sebenernya masih bingung dan belum lapang dada. Kenapa hampir semua orang yang dikenalnya menyatakan bahwa Gaara lebih baik daripada Sasuke? Jika mereka bilang Sasuke adalah orang jahat, sekarang ia sudah tidak lagi begitu. Dan apakah mereka lupa bahwa Gaara juga sama seperti Sasuke? Pernah berperilaku jahat dan berusaha untuk berubah menjadi lebih baik? Jika mereka bilang Sasuke pernah berusaha untuk membunuhnya, apakah mereka lupa bahwa Gaara pernah melakukan hal serupa padanya? Jika mereka lupa, Sakura bisa mengingatkan mereka. Itu adalah saat ujian Chuunin, saat ada penyerangan mendadak dari Orochimaru, saat Gaara mencekiknya dengan tangan Shukaku.
Sakura masih bingung. Benar-benar bingung. Meski begitu, ia hanya mencoba menerima dan menjalaninya saja. Kata-kata ayahnya tentang melawan orangtua terus merapal di dalam hatinya untuk menguatkan diri.
Setiap harinya, ia akan mencari sebuah pengalihan. Dengan memasak, salah satunya. Ia akan memasak dan mengantarkannya pada kantor Kazekage. Meski rasa gusarnya tidak hilang sepenuhnya, namun setidaknya berkurang. Dan kegusaran puncaknya akan datang lagi ketika ia mengingat alasan ia memasak untuk Gaara. Hanya satu: karena itu akan menjadi tugasnya setiap hari setelah menikah nanti.
Hari ini, Sakura akan melanjutkan kebiasaannya lagi. Ia berharap sebesar-besarnya kali ini tak ada lagi denyutan nyeri di dadanya ketika ia mengingat alasan dirinya melakukan ini setiap hari. Ia mengetuk pintu kemudian membukanya.
"Sakura?" panggil Gaara.
Sakura memaksakan diri untuk tersenyum. "Ini makan siang untukmu. Istirahatlah sebentar, makan dulu," katanya. Ia meletakkan bento di atas meja kerja Gaara yang kosong, tidak terdapat tumpukan laporan atau permintaan misi.
Gaara mendongak. Ia mengangguk, kemudian berkata, "Terima kasih."
Gaara membuka tutup dari kotak bento-nya. Sakura masak banyak hari ini, ia tak yakin bisa menghabiskannya sendiri. "Kau sudah makan?" tanya Gaara.
Sakura menggeleng. "Belum," jawabnya.
"Mari makan bersama, kalau begitu," tawar Gaara.
Sakura mengibaskan tangannya dan tersenyum. "Terima kasih. Tapi, aku makan nanti saja."
"Ini terlalu banyak untuk dimakan sendiri, Sakura. Tidak apa-apa."
"Tapi, aku membuat itu untuk Sasuke-kun," kata Sakura. Kemudian matanya membulat. Ia baru saja salah bicara. Ia membekap mulutnya kemudian membukanya lagi. "Aaa, maaf, maksudku—"
"Sakura," potong Gaara. Ia cukup terkejut dengan kata-kata Sakura sebelumnya. Ditutupnya kotak bento itu. Lalu kotak itu didorongnya hingga mejanya menyisakan tempat untuk sikunya. "Ada yang harus aku katakan padamu."
Sakura menunduk dalam-dalam. Kesalahannya tadi benar-benar fatal. Ia tak sanggup mengangkat dagu dan menatap mata Gaara. Ia tak siap mendengar kata-kata Gaara selanjutnya.
"Apakah kau pernah mendengar soal pertahanan Suna yang semakin memburuk akhir-akhir ini? Atau kau pasti sudah melihat sendiri bagaimana rumah sakit dipenuhi oleh korban luka parah," kata Gaara. Kedua tangannya dianyam, kemudian menjadi tumpuan dagunya.
Dahi Sakura mengernyit tidak mengerti. Kenapa malah membicarakan hal seperti ini? Ia hanya mengangguk menanggapinya. Terlalu bingung untuk menanggapi dengan kata-kata.
"Petinggi Suna khawatir akan ada serangan lanjutan dalam waktu dekat. Maka dari itu aku belum bisa mengambil semacam cuti, yah mungkin bisa dibilang cuti, dari tugasku sebagai Kazekage."
Sakura sama sekali tak mengerti ke mana arah pembicaraan Gaara. Maka dari itu, ia hanya menjadi seorang pendengar saja.
"Mereka benar-benar khawatir penyerangan kali ini jauh lebih besar daripada sebelumnya. Karena itu ... mereka meminta hari pernikahan kita ditunda selama paling sebentar tiga bulan. Untuk menghindari hal yang terburuk." Gaara melanjutkan. Ia menarik napas panjang.
Sakura tersentak. Kedua matanya membulat. "Kau tidak sedang bercanda, kan?" katanya.
Gaara menggeleng. Ia beranjak dari duduknya. Ditatapnya mata Sakura. "Sakura, aku tidak akan memaksamu untuk menungguku."
Mulut Sakura terbuka. Ia tak percaya dengan kata-kata Gaara. Ini terlalu mendadak. Ini aneh. Janggal. "Ta-tapi ..."
"Anggap saja kita belum terikat apa pun. Jika dalam tiga bulan ke depan kau bertemu dengan lelaki lain, dan kau jatuh cinta padanya, kau boleh memilih lelaki itu. Jangan menungguku, tiga bulan itu tidak sebentar," potong Gaara. Tak ada keraguan dalam bicaranya.
Sakura menggigit bibir bawahnya hingga terasa perih. Ini benar-benar terlalu mendadak. Jangan-jangan Gaara mengatakan ini karena tadi ia salah bicara? Ia sudah tahu bahwa kesalahannya tadi adalah sesuatu yang fatal! "Maafkan aku, Gaara," kata Sakura. "Ini karena tadi aku ... salah bicara, kan? Ini terlalu mendadak, rasanya janggal. Aku benar-benar minta maaf, aku berjanji tidak akan mengulanginya lagi."
"Kau tidak perlu berjanji, Sakura. Aku mengatakan yang sejujurnya. Aku hanya bingung bagaimana menyampaikannya padamu. Tapi, akhirnya semua sudah tersampaikan," kata Gaara.
"Aku ... aku tidak tahu harus bicara apa ...," gumam Sakura lirih. Ia menenggelamkan wajah ke dalam kedua telapak tangannya. Pipinya terasa memanas, entah karena apa.
"Aku tidak tahu harus apa ke depannya ...," kata Sakura lagi. "Ini terlalu membuatku bingung ..."
"Maaf jika kau merasa dipermainkan. Demi Tuhan, aku tidak bermaksud begitu. Aku seorang shinobi, seorang Kazekage. Aku tak bisa meletakkan kepentingan diriku sendiri di atas kepentingan semua orang, di atas kepentingan desa," kata Gaara. Ia menarik napas dalam-dalam. "Aku harap kau mau mengerti. Seperti yang sudah aku katakan tadi, aku melepasmu. Kau boleh kembali ke Konoha atau menetap di sini, itu terserah padamu. Jika dalam tiga bulan kau masih sendiri ... aku akan datang padamu lagi."
Sakura terdiam. Gaara benar, ia merasa dipermainkan, namun ia tahu Gaara tak bermaksud begitu. Ia tak tahu harus bertindak apa, tak tahu harus berkata apa. Bagaimana dengan orangtuanya? Bagaimana pandangan orang lain nantinya? Ia benar-benar bingung.
"Aku tidak punya pilihan selain mengikuti keputusanmu," kata Sakura. Entah kenapa matanya membasah. Cepat-cepat ia memejamkan matanya untuk menghalau jatuhnya air mata. "Aku ... akan pulang ke Konoha. Maafkan aku, aku tahu aku pernah berbuat salah padamu."
"Maaf, Sakura ... Setelah ini aku akan memberi kabar ke Konoha. Aku akan meminta burung pengirim pesan tercepat untuk mengantarkan kabar itu," kata Gaara.
Sakura mengangguk. Entah harus bicara apa lagi. Kemudian ia meninggalkan kantor Kazekage dalam diam.
.
Tiga hari setelah Sakura pergi, Kakashi masih belum memberi misi apa pun. Barangkali waktu itu hanya upaya untuk membuat Sasuke pulang saja. Namun, entahlah. Ketika Sasuke masih membutuhkan waktu sendiri, Naruto malah pulang dari misi. Sial. Bukannya apa-apa, sebelumnya ia memang berniat menemui Naruto, tapi sekarang sudah tidak lagi. Sasuke terlalu malas bertemu dengan siapa pun, apalagi Naruto. Sungguh.
Dengan ogah-ogahan, ia diseret ke kedai Ramen Ichiraku. Akan ditraktir, katanya. Tapi ditraktir atau tidak pun, Sasuke tak peduli. Ia ingin sendiri dulu. Itu mutlak. Tapi, hidup setelah mengenal Uzumaki Naruto memang tak akan semudah sebelumnya lagi.
Naruto memakan ramen-nya dengan lahap. Dengan tiga kali sumpit sudah langsung habis. Sementara Sasuke menatap mangkuk ramen-nya dengan tatapan tak nafsu makan. Sumpitnya sama sekali tak ia gunakan sebagai alat makan, melainkan sebagai pengaduk. Naruto melirik Sasuke melalui ujung matanya. Sasuke memang biasanya pendiam dan tenang. Tapi, kali ini bukan jenis diam yang biasanya. Ia tahu itu.
"Teme, kapan kau kembali ke Konoha?" tanya Naruto setelah meneguk air mineral.
Tatapan Sasuke masih terpaku pada mangkuk ramen. Tahu diperhatikan, kali ini ia menggunakan sumpitnya sebagai alat makan. "Enam hari yang lalu," jawabnya dingin.
"Oh." Naruto mengalihkan pandangan ke mangkuk ramen Sasuke yang masih penuh. Benar, ada yang berbeda. "Berarti kau sempat bertemu dengan Sakura-chan?" tanyanya. Kali ini matanya menatap Sasuke dari samping. Menelaah efek dari pertanyaannya.
Bahu Sasuke sedikit menegang. Gerakan sumpitnya sempat terhenti. Bahkan, Naruto yang sedang menjalani misi pun tahu soal Sakura. Sial. Ia merasa benar-benar kalah sekarang. Namun, ia cepat-cepat menyembunyikan efek dari kata-kata Naruto dengan cara menunduk untuk melahap ramen yang sudah terjepit di tengah kedua sumpit. "Ya," jawabnya setelah kunyahannya selesai.
Salah satu sudut bibir Naruto tertarik ke atas. "Kau pulang di saat yang tepat, ya. Masih sempat bertemu dengan Sakura-chan sebelum ia pergi."
"Hn."
"Ugh, aku tidak sempat bertemu dengannya! Kakashi-sensei memang menyebalkan, memberi misi di saat-saat seperti itu. Padahal aku ingin sekali mengantar Sakura-chan bersama yang lain," omel Naruto. Kemudian ia menambahkan lagi, "Kau ikut mengantar Sakura-chan, tidak?"
Genggaman pada sumpit Sasuke mengeras. Sumpit itu nyaris patah jika saja Sasuke tak ingat posisinya saat ini. Ia sedang bersembunyi dari Naruto. Dan sialnya, gelagat Naruto sekarang jelas-jelas seperti sedang berusaha menggali dirinya. Ini lah penyebab ia malas bertemu dengan Naruto. Ketika Sasuke mencoba membuang jauh-jauh kejadian saat Sakura pergi, Naruto malah mencekokinya dengan pertanyaan mengenai itu terus. Benar-benar sial.
"Tidak."
"Kenapa?"
Pipi Sasuke memanas. Ia mulai kesal sekarang. "Naruto, bisakah kau diam dulu? Aku sedang mencoba untuk makan," katanya.
Naruto menarik kursinya mundur. "Huh, masih sok-sokan seperti biasanya," keluh Naruto.
Sementara Sasuke hanya memutar kedua bola mata untuk menanggapi kata-kata tak bermakna dari Naruto.
Setelah tegukan terakhir dari dalam gelas air mineral Sasuke sudah habis, Naruto bersemangat kembali. "Kenapa?" tanya Naruto.
"Apa?"
"Kenapa tidak mengantar Sakura-chan?"
Sasuke mendengus. Genggaman pada gelasnya mengerat. Rasanya ia ingin melempar gelas itu ke wajah Naruto, sungguh. Ia pikir Naruto akan melupakan pertanyaannya setelah ia menunda untuk menjawabnya. Tanpa diduga, lelaki itu malah menunggu kesempatan lain untuk bertanya.
Giginya sedikit menggertak. "Sakura tidak bilang apa-apa padaku," kata Sasuke.
Naruto menautkan kedua alisnya. "Jadi kau tidak tahu ia akan menikah?" tanya Naruto. Kali ini suaranya mulai serius. Tidak ada niatan menggoda Sasuke lagi.
"Kalau soal itu, aku tahu." Sasuke mengembuskan napas panjang. "Tapi, ia tak bilang soal akan pergi waktu itu," katanya.
Naruto mengangkat bahunya. "Pantas. Kalau kau tahu, kau pasti akan mengantarnya, kan, Sasuke?"
"Mungkin," jawab Sasuke tak acuh. Ia tahu, Naruto memang sedang berniat memancingnya.
"Ngomong-ngomong, memangnya kau sudah tidak menyukai Sakura-chan? Kenapa sepertinya kau tenang-tenang saja?" tanya Naruto tepat pada intinya.
Sasuke nyaris menyemburkan air yang sudah ditelannya semenjak tadi. "Memangnya kapan aku bilang bahwa aku menyukai Sakura?" jawabnya dengan nada sangat sinis.
"Masih denial rupanya." Naruto tertawa. "Tapi, baguslah. Jadi, Sakura-chan yang akan mendengar pernyataanmu untuk yang pertama kalinya."
Sasuke mendengus dan memutar bola mata sebagai representasi dari rasa jengahnya. "Kau gila. Ia akan menikah, Dobe!" kata Sasuke sewot.
"Akan, bukan sudah. Kau pasti mengerti apa maksudku," kata Naruto dengan nada menyebalkan.
"Aku tidak akan pernah mengerti apa maksudmu." Sasuke beranjak dari duduknya kemudian menyibak spanduk-spanduk kecil yang selalu menjadi tirai di kedai Ramen Ichiraku. Ia pun meninggalkan Naruto di sana. Naruto yang bayar, bukan?
Naruto tak masalah jika harus membayar apa yang Sasuke makan. Lagipula, tadi ia sendiri yang bilang ia akan traktir. Yang penting, Sasuke mau jujur pada perasaannya sendiri. Meskipun sampai saat ini ia masih denial. Bukan, Naruto bukannya ingin merusak pertunangan Sakura. Sama sekali bukan itu maksudnya. Seperti yang sudah ditulis tadi, ia hanya ingin Sasuke jujur pada perasaan dirinya sendiri. Ia tahu, Sasuke merupakan seseorang yang masih bisa berpikir dengan logika. Sekali pun ia pada akhirnya bisa jujur pada dirinya sendiri, pasti tujuannya bukan untuk menghancurkan pernikahan Sakura. Naruto tahu betul akan itu. Itu lah sebabnya ia berani mengompori Sasuke seperti tadi.
Mereka akan jadi bagaimana nantinya, tak akan ada yang pernah tahu. Naruto hanya bisa mengharapkan yang terbaik bagi keduanya.
.
Sasuke tahu, ia tak akan bisa hadir di pernikahan Sakura nanti. Tepatnya, ia tidak mau. Baginya, itu bukanlah sesuatu yang penting. Hal itu berada di deretan akhir dalam daftar apa yang paling ingin ia lakukan selama hidup.
Kata-kata Naruto tadi membekas di telinganya. Ia tahu ia memang merasakan sesuatu tentang Sakura. Tapi, ia tak begitu ingin tahu apa itu. Namun, ketika Naruto bicara soal suka, rasanya ada sebuah kunci yang masuk ke dalam gembok yang pas. Tetapi, kunci itu tak bisa membuka gembok itu karena ukurannya terlalu kecil. Ia menyukai Sakura ...? Bukan, itu masih kurang tepat. Mungkin ... sesuatu yang lebih dari suka. Sasuke menelan salivanya untuk menepis pikiran-pikiran yang menurutnya tak berguna.
Ia tak tahu bagaimana bisa kakinya melangkah ke sini. Pijakannya adalah gurun pasir yang sangat gersang, hingga ia perlu menyipit untuk menghindari masuknya sebuah partikel ke dalam matanya. Setelah berbicara dengan Naruto tiga hari yang lalu, entah mengapa kakinya bergerak sendiri keluar dari gerbang utama desa Konoha, dan melangkahkan kaki menuju satu-satunya jalan ke Suna.
Setelah dihitung-hitung, hari pernikahan Sakura adalah empat hari ke depan. Masih sempat. Gerbang utama desa Suna sudah berada di depan mata. Ia sedikit ragu ia bisa masuk dengan mudah, mengingat status yang disandangnya tiga tahun yang lalu. Seorang kriminal.
Belum sempat kakinya melangkah lebih jauh, di ujung gerbang lainnya ia melihat sesuatu yang familiar. Helaian rambut merah muda. Ia tahu itu siapa. Sangat-sangat tahu. "Sakura," bisiknya.
Langkah sosok di ujung gerbang itu berhenti. Ia mencondongkan tubuhnya ke depan. Di tengah suara gesekan pasir, ia bisa mendengar ada seseorang yang memanggil namanya. Dan, ia tahu jelas itu suara siapa.
Kakinya melangkah lebih cepat. "Sasuke ...?"
Sasuke terdiam mendengarnya. Langkah kaki Sakura semakin melebar. Mempersempit jarak dan waktu yang memisahkan di antara keduanya. Ketika jarak keduanya hanya terpaut satu meter, langkah Sakura berhenti.
Sakura sama sekali tidak memercayai apa yang dilihatnya. Mungkinkah ini hanya fatamorgana di tengah gurun pasir? Tidak, fatamorgana tidak menimbulkan suara. Jadi, ini nyata ...? Sasuke benar-benar ada di sini?
Sakura baru saja akan pulang ke Konoha setelah ia diberi kabar bahwa burung pengantar pesan sudah kembali ke Suna. Ia ingin pulang sendiri. Awalnya, keinginan yang satu ini ditentang habis-habisan. Namun, setelah ia membujuk dan meyakinkan, akhirnya disepakati juga. Meski dengan berat hati. Dan ketika ia baru saja akan memulai perjalanannya, ada Sasuke yang melangkahkan kaki berlawanan arah dengannya. Ini bukan sesuatu yang tidak mengejutkan.
"Apa yang kau lakukan ... di sini?" tanya Sakura. Ia benar-benar tidak mengerti apa yang Sasuke lakukan di sini dan untuk apa ia ke mari.
Sasuke menarik napas panjang. Kepalanya menunduk untuk menatap wajah Sakura. Tangannya terkepal di samping jahitan celananya. "Menemuimu," jawabnya sedikit ragu.
Mata Sakura mengerjap tak percaya. Ia menggigit bagian dalam mulutnya untuk memastikan bahwa ini bukan mimpi. Dan yng dilakukannya barusan menimbulkan rasa sakit. Ini nyata. Kenyataan yang sulit dipercaya.
"Untuk apa?" tanya Sakura.
"Aku—ada yang harus kukatakan padamu, Sakura." Sasuke menarik napas dan mengembuskannya dalam jangka waktu pendek untuk menenangkan diri. Jantungnya berdegup kencang sekali hingga kemungkinan besar Sakura bisa mendengarnya. Kepalan tangannya semakin mengerat. "Sebelum kau menikah."
Sakura terdiam. Sasuke belum tahu bahwa pernikahannya batal? Ia memejamkan mata, kemudian mengalkulasikan kapan kira-kira Sasuke berangkat ke mari. Tiga hari yang lalu, hari yang sama dengan saat kabar baru disampaikan. Sakura cepat-cepat meralat, "Sasuke-kun, aku—"
"Aku," Sasuke menarik napas panjang, "aku mencintaimu, Sakura." Kedua bola mata Sakura membulat. Mulutnya terperangah. Ia tidak salah dengar, kan? Kenapa semuanya menjadi lebih sulit dipercaya sekarang?
"Aku tidak bisa mengatakan ini jika kau sudah menjadi istri dari orang lain," kata Sasuke. Buku-buku jarinya memutih. Detak jantungnya yang semakin cepat mulai terasa menyakiti dirinya. "Aku hanya ingin kau mengetahuinya. Tidak ada yang bisa aku harapkan lagi. Dan ... terima kasih atas semuanya."
Sakura menunduk dalam-dalam. Ia merasa kehilangan tenaga untuk berdiri. Apa lagi sekarang? Halusinasi macam apa yang sedang mengelabuinya? Ia membuka mata dan menangkap ujung sepatu Sasuke. Ia tanamkan kukunya ke dalam telapak tangannya. Rasanya sakit. Ini nyata. Ini bukan mimpi.
Sakura memberanikan diri untuk mengangkat dagu. Kedua mata mereka saling bertumbukkan. Ada keseriusan yang tak ia mengerti di sana. Wajah Sasuke masih sedingin biasanya. Tanpa cela. Jika ia tidak sedang berada di dalam keadaan seperti ini, ia pasti sudah meleleh seperti coklat yang digenggam karena tatapan dari mata sekelam malam itu.
Tenggorokan Sakura tercekat, seperti sudah tak minum berhari-hari. Ia kehabisan kata-kata. Entah apa yang seharusnya ia rasakan sekarang. Senang atau ... sedih? Ia bingung dengan perasaannya sendiri. Namun, ada satu hal yang bisa ia ketahui sekarang. Cintanya terbalas. Sasuke mencintai dirinya, Haruno Sakura.
Tanpa diduga, Sakura menampar Sasuke keras sekali. "Kau bodoh!" Sasuke tersentak. Belum sempat ia memalingkan wajah kembali, ia merasakan tubuhnya terdorong ke belakang. Ada kehangatan yang mengalir ke tubuhnya. Tak butuh waktu yang lama hingga ia sadari bahwa Sakura sedang memeluknya erat sekali. "Bodoh, bodoh, bodoh!" Tangis Sakura pecah sebagai pelampiasan dari konflik batinnya.
"Lalu kenapa kau pergi lama sekali?!" bentak Sakura. "Kau ... aku sungguh-sungguh tak bisa mengerti jalan pikiranmu!" Suaranya teredam ke dalam dada Sasuke.
Sasuke terdiam. Ia tak tahu harus berkata apa. Ia tahu ia memang salah. Sekarang ia tahu, jika ia pulang lebih cepat, maka keadaan tidak akan menjadi seperti ini. Seandainya saja ia menyadari perasaannya lebih awal, mungkin kenyataan tidak akan menjadi sepahit ini.
"Kenapa ... kenapa kau selalu diam?" keluh Sakura lirih. Air mata terus membasahi kain yang melapisi dada Sasuke. "Jika pernikahanku tidak dibatalkan, kau mau apa? Kita akan sama-sama tersiksa!"
Detak jantung Sasuke nyaris berhenti. Apa katanya? Sasuke mencengkeram bahu Sakura perlahan dan mendorongnya hingga melepas pelukan. "Pernikahanmu ... batal?"
Sakura tak sanggup menjawab. Ia hanya mengangguk kecil di tengah tangisnya. Kali ini, tangan Sasuke lah yang melingkari tubuhnya. Sasuke memeluk tubuhya erat, seakan tak akan pernah mau melepasnya lagi. Pernikahan Sakura batal. Pernikahan Sakura batal. Pernikahan Sakura batal. Kata-kata itu terus menggema di dalam kepalanya. Entah ia harus merasa seperti apa sekarang. Pergerakannya mengikuti intuisi. Ia menunduk dan mengecup bibir Sakura lembut. "Maaf. Maafkan aku, Sakura," kata Sasuke.
Sakura tak menjawab. Ia menenggelamkan wajah ke dada Sasuke dan masih meneruskan tangisnya. Tangan Sasuke tergerak, mengelus helaian rambut Sakura dengan gerakan yang masih canggung. "Maaf, Sakura. Aku mencintaimu," kata Sasuke nyaris berbisik.
Sakura mengangguk. Emosi yang berkecamuk di dalam dirinya sudah mulai mereda, sudah terlampiaskan melalui tamparan dan bentakan-bentakannya tadi. "Aku juga mencintaimu, Sasuke-kun," katanya serak. Tangannya tergerak lagi untuk melingkari tubuh Sasuke. Bahunya masih bergetar, sisa dari tangisnya. Jejak-jejak air mata masih menghiasi wajahnya.
Sakura teringat akan posisi mereka yang masih berada di sekitar desa Suna. Untungnya, sedari tadi eksintensi manusia yang ada di sana memang hanya dirinya dan Sasuke saja. Sakura melonggarkan rengkuhannya, diikuti dengan Sasuke. "Ayo pulang," kata Sakura. "Ke Konoha."
Sasuke hanya mengangguk dan tersenyum tipis menanggapinya.
.
Kabar akan batalnya pernikahan Sakura waktu itu memang sempat menggemparkan banyak orang, meski berdasarkan satu hal yang teramat sangat masuk akal. Gaara benar, pertahanan Suna memang terus-menerus memburuk setelah ia pergi. Kakashi selaku Hokage dengan bijaknya memberi misi kepada beberapa shinobi untuk mengurangi kegentingan di Suna. Status keamanan di sana memang sudah ditandai sedang kurang baik.
Sakura bersyukur ketika ia mendengar kabar bahwa bantuan dari Konoha cukup banyak mengurangi kegentingan di Suna. Meski hingga sekarang warga Suna masih tetap harus waspada. Ia juga bersyukur, kedekatannya dengan Sasuke tidak menimbulkan nyinyiran macam-macam. Biasanya selalu saja ada orang yang berbicara yang tidak-tidak. Namun, kali ini tidak. Mereka justru terkesan sangat biasa saja.
Di istirahat makan siangnya, Sasuke mencarinya di rumah sakit. Ia dan Sasuke sudah beberapa kali makan siang bersama, jika dalam waktu yang terhitung senggang bagi keduanya. Seperti sekarang, mereka sedang duduk di dalam sebuah tempat makan yang khusus menjual mochi. Awalnya Sakura memang tidak mengerti mengapa Sasuke mengajaknya ke mari. Bukannya Sasuke tidak menyukai makanan manis? Ketika ditanya, Sasuke menjawab, "Tidak menyukai makanan manis bukan berarti tidak bisa memakannya."
Sakura tak ambil pusing akan itu. Malah menurutnya bagus Sasuke memiliki toleransi tinggi pada makanan dan tidak menjadi seseorang yang terlalu pemilih. Yang ia ambil pusing adalah pergerakan Sasuke yang sedikit aneh. Sasuke tak banyak bicara semenjak tadi. Ya, ia memang tidak banyak bicara tapi Sakura merasakan sebuah perbedaan. Entah mengapa semenjak tadi Sasuke terus-menerus menghindari bertatapan dengannya. Pergerakannya juga kelihatan begitu gelisah.
"Ada apa?" Sakura akhirnya memberanikan diri untuk bertanya.
Sasuke menggeleng. "Tidak apa-apa."
Sakura menautkan alis tak mengerti. Sasuke pasti sedang mengelak. Jelas sekali ia tidak sedang tidak apa-apa. Mungkin Sasuke sedang tidak mau berbagi dengannya. Sakura mencoba mengerti, ia pun hanya mengangkat bahu tak acuh.
Setelah itu, keheningan yang janggal menyelimuti mereka berdua. Jika tidak ada keramaian di sekitar mereka, mereka yakin bisa saling mendengarkan degup jantung satu sama lain. Entah kenapa Sakura merasa tidak nyaman dengan keadaan seperti ini. Ia mengangkat dagu dan menatap wajah Sasuke lurus-lurus.
"Sasuke-kun."
"Sakura."
Mereka saling menyahuti nama di saat yang bersamaan. Sakura terkikik geli.
"Kau dulu."
"Kau dulu."
Lagi-lagi, mereka berkata secara bersamaan. Sasuke mendengus. Kemudian Sakura cepat-cepat menyambar, "Baik, kau dulu."
Seketika Sasuke berubah menjadi gugup. Ini adalah pertama kali dalam hidup Sakura melihat Uchiha Sasuke kelihatan begitu gugup. Ia semakin ingin tahu apa yang mau Sasuke ucapkan.
"Sakura, aku," Sasuke menarik napas banyak-banyak. Tangannya turun ke bawah meja, "aku tidak tahu bagaimana mengatakan ini dengan benar. Tapi ... menikahlah denganku," kata Sasuke. Tangannya sudah kembali ke atas meja dengan sebuah kotak yang tersemat cincin di dalamnya.
Sakura terperangah. Ia terkejut bukan main. Sasuke melamarnya? Benar-benar melamarnya? Ia tak percaya ini nyata. Tetapi, ini memang nyata. Tangannya membekap mulutnya. Rasanya ia ingin berteriak sekencang-kencangnya. Berteriak untuk melampiaskan segala rasa asing yang berputar di dalam tubuhnya. Rasa asing yang menyenangkan. Sebuah euphoria.
Sakura masih kehilangan suaranya. Jangan bilang Sasuke tidak romantis, karena ia bisa romantis dengan caranya sendiri. Salah satunya ini. Ia tidak suka makanan manis, tetapi Sakura suka. Ia menentukan destinasi makan di sini karena Sakura. Jika orang lain yang melakukan ini, tentu saja akan terkesan sangat biasa saja. Tapi, ini Uchiha Sasuke. Bagi Sakura, ini sangat lebih dari biasanya. Jelas, karena lelaki itu selalu terkesan dingin dan cuek, berbeda dengan sekarang. Memikirkan alasan Sasuke mengajaknya makan di sini membuatnya tak kuasa mengulum senyum lebih lebar.
"Sakura?" sahut Sasuke. Di tengah gugupnya, Sakura malah diam. Benar-benar diam, seperti kehilangan suara.
Mata Sakura mengerjap. Tentu saja ia hanya memiliki satu jawaban. Tak ada jawaban lain yang muncul di benaknya semenjak Sasuke pertama kali menyuarakan penyebab kegugupannya. Sakura membuka bekapan mulutnya. "Ba-bagaimana mungkin aku bisa bilang tidak?" Sakura mengangguk. "Ya, Sasuke-kun. Aku mau menikah denganmu." Ujung mata Sakura membasah.
Sasuke tersenyum tulus mendengar jawaban dari Sakura. Kali ini, dirinya lah yang kehilangan suara. Ia menarik tangan Sakura kemudian menyematkan cincin di jari manisnya. Keheningan kembali menyelimuti keduanya. Kali ini, keheningan yang menyenangkan.
Setelahnya, tak ada lagi yang berubah. Kecuali tangan mereka yang saling bertautan semenjak meninggalkan tempat makan itu.
.
.
Selesai
.
.
a/n:
Little Short of Being = frasa lain dari Almost. Kalo pakai judulnya Almost tar ketahuan lagi plot-nya gimana :p jadi cari pengganti kata lain.
Tamat! Aslinya ini one-shot. Tapi kepanjangan. Jadi waktu nulis sampai 6k+, dipotong dulu, deh. Haha.
Kak Laras, ini udah tamat. Maaf kalo agak gimana ceritanya(?) :p
Kalo ada yang bingung sama time skip, let me explain. Sakura pergi setelah seharian bareng Sasuke. Sakura ngobrol sama Gaara seminggu sebelum pernikahan. Sasuke ngobrol sama Naruto di hari yang sama saat Sakura ngobrol dengan Gaara. Perjalanan Konoha-Suna itu 2-3 hari.
Kalo ada kesalahan mohon dikoreksi, ya. Ini ngeditnya selewat-selewat banget soalnya.
Bales review menyusul! Makasih udah baca sampai sini :)
Daffodila.
