Why People Prefer Snows Over Rain
Pairing : Akashi OC
Warning : Omega verse. Future AU where everyone is in their respective jobs. Cameos from other fandoms. Pseudo-science. Oreshi!Akashi.
Genre : Romance, Pseudo-science, Drama, humor dan beberapa genre lain yang bakalan bikin spoiler kalo dikasih tahu sekarang.
Summary : Sebuah eksperimen bisa jadi sesuatu yang gawat di tangan yang salah. Untuk Kotori Yoshitsune, hal ini mengakibatkan kematian untuknya… dan dibuangnya dia ke selat Jepang, bertemu teman lama, dan bertemu seorang pria tampan bermata kucing. Omega Verse. Second part of Docile Universe.
PENGUMUMAN :
Langsung aja :
Disini semuanya terjadi setelah Winter Cup. Malah sepuluh tahun setelahnya. Jadi kalau ada yang expecting Akashi berbuat Yandere dan dengan nggak sopannya manggil orang lain pakai nama depan, pikir lagi yaaa :D karena Akashi udah jadi 'Akashi' yang baik, bukan yang jahat. Tapi tetep aja, setiap aksi yang dilakuin sama karakter disini selalu berbasis akan suatu alasan.
Nggak akan ada joke guntingnya Akashi
Di dunia ini, ras dibagi jadi empat : alpha, beta, omega, natureless, orang biasa.Penjelasan lebih lanjut ada di dalam cerita
Mungkin bakalan OOC.
Anuu… jangan panggil saya 'Author' apalagi Thor. Saya bukan Dewa Skandinavia…
.
.
.
.
.
.
.Snowball.
.
.
.
.
Gelap.
"….dam air, kemungkinan asfiksiasi, detak jantung lemah, nafas tersendat—"
"—PR, CPR!"
Gelap.
Lalu tiba-tiba matanya penuh dengan sinar.
Wajah orang-orang asing terlihat ketakutan disekitarnya, suara ambulans terdengar memekik di keheningan malam—dingin seperti merasuki tubuhnya, es seperti berenang didalam pembuluh darahnya, dan jam pelabuhan yokohama berdentang di angka tujuh lewat sepuluh malam. Bulu matanya terasa berat seperti dirayu oleh jin untuk ditutup saja, tapi semakin lama kesadarannya semakin kembali. "Dia sudah sadar!" seru orang yang berada diatasnya, suaranya serak dan nafasnya patah-patah. Sepertinya dia baru diberikan pernapasan buatan.
"Sebelah sini, sensei!"
Tiba-tiba beberapa orang dengan jaket berwarna putih dan bertampang pintar mendekatinya, menyentuh tubuhnya, mengecek suhu tubuhnya, mengamati kapiler darah di kantung mata dan bibirnya, sebelum mereka melemparkan pertanyaan-pertanyaan medis yang sepenuhnya tidak dijawab oleh yang bersangkutan. Orang yang bersangkutan sendiri malah langsung melebarkan mata dan menjerit pilu, seperti suara jeritan sapi yang hendak dibawa kebawah pisau guillotine.
"Ke-kenapa?" orang-orang melihat pemandangan kontroversial.
"Ibu, takut…" bisik anak kecil yang mendekat kepada ibunya, disamping TKP.
Suara-suara penasaran dan kaget terdengar dari atasnya, dan tidak ada yang lebih menakutkan dibandingkan rasa ketakutan dan rasa ingin mati yang dirasakan gadis ini, gadis yang baru saja dilempar ke selat Jepang seperti dilemparnya karung sampah ke atas bukit. Seperti melempar mainan bekas ke dalam tungku api.
"Sshhh, kami disini bukan ingin menyakitimu," ucap salah satu petugas medis dengan lembut, sementara matanya waspada ke arah temannya. Tangannya bersiap, meminta sebilah jarum yang dilumurkan senyawa berisi annilin. Sementara yang ditenangkan masih tetap histerikal, suaranya menggema hingga seantero pelabuhan. Orang-orang mulai menatapnya ngeri. Jeritan itu bukan jeritan seseorang yang putus asa ataupun seseorang yang baru saja ingin bunuh diri. Itu jeritan seseorang yang ingin hidup, tapi tahu dewa kematian sudah menskakmat hidupnya, tujuh kali berturut-turut. Itu jeritan seseorang yang pelari yang ingin terus berlari, walau kaki dan tangannya diamputasi berkat penyakit yang menggerogoti. Itu jeritan seorang pejuang yang terus menebas, walau dia sangat tahu hatinya sedang tertebas oleh parang musuh yang diasah dengan bauksit darah.
Suara seseorang berhati baja!
Tapi apa mau dikata, ketika senyawa campuran yang biasa digunakan sebagai pewarna diazo tersebut masuk ke dalam sistem tubuhnya, otaknya merespon diluar kendali—alih-alih tertidur, dia malah menjerit lebih keras, kesakitan, ingin mati, ingin mati. "Apa yang terjadi?" sepertinya petugas medis yang menyuntikkan penenang juga bingung setengah mati. "Dosisnya?" ucap kepala petugas medis, nadanya bicaranya menukik, tajam meliuk, seperti seorang profesional yang tidak segan-segan memotong tangan seseorang yang melakukan kesalahan, sementara tangannya mencari-cari detak nadi milik sang gadis. "0,8 gram," ucap sang penyuntik. Sebelum kepala petugas medis melakukan tindak lanjut, gadis itu terkulai tanpa dosa dalam pelukannya, wajahnya cekung pucat berwarna kehijauan, bukan warna yang kelihatan sehat.
"Jangan bengong, kita harus segera mengambil tindakan. Buka kap." Sang kepala segera menaruh si korban tenggelam sekaligus asfiksiasi tersebut ke atas tandu, yang dengan sigap dibawa kedalam mobil. "Apa yang terjadi, kenapa tadi dia tidak langsung tertidur, bos?" Tanya salah seorang petugas medis dengan sedikit bingung. Sang ketua yang dipanggil Bos hanya mengelus dagunya. "Dia… ah, tidak." Bos berbalik, rambutnya acak-acakan. "Hmm… tidak mungkin…"
"Tidak mungkin kenapa, bos?"
Si Bos malah melotot, onihage saja kalah. "Tidak mungkin kau ada disini nanti soalnya aku akan melemparmu ke neraka. Ngapain disini? Cepetan naik ke atas mobil, pemalas!"
.
.
.
.
.
.
Bau formaldehid.
Midorima memijat kepalanya, tiba-tiba pusing. Sudah tiga kali dia bolak-balik ke ruang ICU hanya untuk menangani pasien tabrak lari… apa boleh buat, dokter tugas jaga hari ini adalah dia dan beberapa dokter lainnya. Tapi tetap saja, semua tekanan ini membuat kepala sang rambut hijau sakit. Bento kotak yang ia dapat dari supermarket sebelah rumah sakit sekarang kosong melompong. "Are, Midorima-sensei? Kau baru makan? Kami baru saja mau mengajakmu untuk makan malam, lho." Salah seorang dokter jaga nongol dari balik pintu ICU. "Aah, aku sudah makan. Aku jaga disini saja." Ucap Midorima, sesekali menyapukan pandangannya ke pasien-pasien yang sudah tertidur berkat analgesik yang diberikan tadi. "Mau nitip sesuatu?"
"Tidak, terima kasih."
Dengan itu, Midorima sendirian dikelilingi oleh suara alat pendeteksi detak jantung, ekskresi tabung oksigen, dan nafas orang-orang yang tercekat. Hening. Midorima menghela nafas, matanya melihat buku milik Takao yang tanpa sengaja tertinggal di kantornya tersebut. Why People Prefer Snows over Rain.
Kotori Yoshitsune…
Entah apa hubungan antara Yoshitsune dan Kazunari. Bagaimanapun, Kazunari bukan tipe orang yang mudah untuk terlihat sedih. Kazunari adalah secercah cahaya matahari untuk Midorima. Melihat Kazunari begitu depresi di rumah ketika membaca buku ini tentu saja membuat Midorima bingung. Mengingat nama itu, dia jadi ingat ketika dia pergi ke London, enam bulan yang lalu…
"…As we finally concluded, that's why the monetarist did work diligently in the world and why it fit with the Omegans. Thank you very much."
Setelah kalimat penutup tersebut, tepuk tangan yang sopan dan bisik-bisik menyebar di seluruh ruangan. Midorima menatap Kotori Yoshitsune. Dia tidak berbeda dari sepuluh tahun yang lalu. Sepertinya dia tipe yang awet muda. Midorima hanya menaikkan bahu dan segera membuka mail handphone-nya, hendak menjawab mail-mail dari Kazunari yang belum sempat terjawab. Para ekonom tua di sekeliling Midorima terlihat begitu sebal akan seminar tadi. Mau bagaimana lagi, pikir Midorima. Pendapat dari Kotori Yoshitsune begitu skandalis—dia mengkonfrontasi banyak penganut Adam Smith dengan pembicaraannya mengenai kaum monetaris. Kenapa Midorima ada disini, tempat yang sarat akan para pemikir berat penganut kapitalis? Tentu saja karena dia dipanggil oleh atasannya untuk menggantikannya menghadiri seminar internasional para Ekonomis.
"Midorima…"
Midorima berbalik untuk melihat seseorang yang sedari tadi dia pikirkan.
"Yoshitsune." Midorima mengangguk cepat. Memang sulit melupakan rival sekolah.
"Aku tak menyangka kau ada disini sekarang. Bukankah kau bekerja sebagai Dokter?" Tanya Yoshitsune, berkedip dengan penuh ketertarikan. "Aku hanya memenuhi undangan." Ucap Midorima pelan. "Aaah, begitu. Hmm…. Apa kau masih bersama dengan Takao?" Tanya Yoshitsune kemudian. Matanya mencari-cari ke dalam mata Midorima, dan Midorima berfikir apa yang membuat Yoshitsune begitu… tidak tenang.
"Tentu saja. Aku tidak mudah berganti-ganti pasangan, nodayo." Kata Midorima.
"Waah, hebat ya. Kalian benar-benar mencintai satu sama lain." Ucap Yoshitsune, terlihat benar-benar terkejut. Midorima mengerutkan dahi, tidak menyukai keterkejutan Yoshitsune. Kesannya Midorima itu mudah sekali tergoyahkan oleh omega lain. "Baiklah, aku harus pergi sekarang. Ja, sayonara." Untuk pertama kalinya Yoshitsune menggunakkan bahasa Ibunya.
"Oh, Midorima…
"Kalau bisa, jangan beri tahu Takao kalau kau bertemu denganku, ya?"
Dia bilang begitu, ya… Midorima melepas kacamatanya. Aku lupa.
(Midorima tidak lupa. Dia hanya tidak suka merahasiakan sesuatu dari pasangannya.)
"Apa kalian tadi lihat?"
Midorima mendengar seorang suster jaga yang tiba-tiba mendatangi salah seorang temannya dibelakang Midorima. Apa mereka sudah selesai keliling kamar rawat pasien? Ngapain mereka menggosip? "Iiih, menyedihkan sekali ya. Untung saja perempuan tadi dibawa kemari ditengah malam seperti ini." Bisik si suster 2. "Masalahnya dia kelihatan depresi sekali ya. Baunya seperti natureless." Sanggah si suster 1 si biang gossip. "Apa dia benar-benar natureless?" omong si suster 2 kemudian. Midorima berhenti mendengarkan, kemudian berbalik dengan tajam. "Apa yang kalian lakukan? Sudah selesai mengecek ulang pasien? Kalau ada waktu untuk mengobrol, pakai waktu itu untuk merawat pasien." Tegur Midorima tajam, membuat kedua susterwati tersebut kehilangan kata-kata saking takut dan kagetnya karena ditegur oleh dokter paling tampan (dan paling aneh) seantero rumah sakit.
Ada pemegang jam biologis baru yang masuk rumah sakit ini, pikir Midorima. Memang, gelandangan omega akhir-akhir ini banyak ditemukan. Mereka biasanya membuat jalanan menjadi penuh oleh para alpha yang ingin kawin, dan biasanya hal itu membuat kemacetan parah. Jika hal ini terjadi, rumah sakit yang akan menjadi tujuan utama, dan penampungan omega menjadi tujuan kedua. Terkadang, beberapa omega tersebut memiliki sedikit masalah kejiwaan, karena itu mereka dibuang/diceraikan oleh alpha mereka masing-masing. Tidak seperti yang semua orang percaya, zaman sekarang menjadi seorang omega masihlah riskan. Tidak ada persamaan hak, tidak ada pembagian harta. Midorima sangat-sangat bersyukur karena menemukan Takao secepat yang ia bisa, atau Takao mungkin akan berakhir seperti gelandangan omega tersebut.
"Midorima-sensei, sudah dengar? Katanya ada natureless yang dikirim dari pelabuhan Yokohama, lho." Sebuah suara membuat Midorima berbalik ke belakang. "Aku sudah dengar, Sasayan-sensei." Ucap Midorima dengan pendek. Sasayan-sensei, dokter kardiologi, manggut-manggut ceria. "Kasihan sekali. Dia kebasahan, karena jatuh di laut mungkin." Ucap Sasayan-sensei. Midorima hanya menganggukkan kepala, tidak terlalu tertarik. "Tapi tetap saja, dia sepertinya dibuang, deh. Kenapa ya? Natureless kan sudah jarang sekali, sejarang orang biasa. Yang seperti itu harusnya diobservasi, dibiakkan sekalian."
"Kau bicara seakan-akan natureless hanyalah mikroorganisme saja, sensei."
"Mau bagaimana lagi, kan? Sebentar lagi, pasti pemerintah akan datang untuk mengambil anak manis itu. Tapi tentu saja pihak rumah sakit tidak akan membiarkannya. Pasti atasan ingin bermain sedikit dengannya."
Midorima sedikit tidak nyaman. Pembicaraan tentang pemegang jam biologis dan kenyataan bahwa semakin sedikit natureless di dunia akan menarik perhatian. Natureless adalah pemegang jam biologis yang tidak memegang jam biologis. Mereka anggota dari A/B/O. Perbedaan mereka dan orang-orang biasa adalah bahwa natureless bisa menghasilkan anak dengan fenotip dan genotip alpha, omega, beta, sementara orang biasa itu steril, alias tidak dapat dikembangbiakkan. Persentase dari banyaknya orang biasa dilahirkan oleh para pemegang jam biologis adalah satu banding satu milyar kelahiran, membuat orang biasa dan natureless begitu dicari. Belum lagi kenyataan bahwa kedua ras eksepsional ini berlaku sebagai penengah antara omega, beta dan alpha, entah itu dalam bidang kesehatan, partai politik, ekonomi, debat kusir, entertainmen dan lain-lain.
"Anak itu perempuan?" ucap Midorima, agak desperate untuk mengingkari pembicaraan mereka yang begitu gelap.
"Yah, yang kucek sih begitu. Mukanya baby face, mungkin tujuh belas tahun? Entahlah, dia tidak memiliki identitas apapun. Tidak mau bicara dan tidak mau disentuh oleh orang bermasker juga. Dan sepertinya dia sedikit gangguan mental. Sekarang divisi biologis sedang mengambil sampel urinnya. Mereka pasti kerepotan." Ucap Sasayan-sensei.
Midorima tidak ambil peduli. Tidak ada waktu untuk mengurusi orang lain—lebih baik dia mengurusi dirinya dan keluarganya saja yang ada di rumah.
.
.
.
.
.
.
Nijimura Shuuzo bukan seseorang yang mudah untuk percaya dengan legenda, atau tahayul.
Atau sesuatu yang masih belum memiliki basis saintek. Sesuatu yang masih desas-desus, hoax, kabar burung, baginya itu hanyalah palsu, ekivalen dengan nol, setara dengan tong yang kosong. Dan hal itu juga berimbas pada karirnya sebagai kepala patologis di rumah sakit Tokyo, Rumah sakit paling terkenal seantero Jepang.
Tapi sekarang, didepannya…
"Tidak mungkin," ucap Shuuzo.
"Itulah yang tadi kulontarkan, ketika belum memiliki cukup data." Kata Bos, atau Fujisaki Yuusuke, sang ketua petugas medis yang turun ke lapangan. "Tidak mungkin."
"Tapi ini tidak mungkin." Shuuzo beralih. "Kita tidak bisa—"
"Tapi coba lihat, tanda-tandanya!" seru Fujisaki, mata cokelatnya terlihat liar. "Dia jelas-jelas adalah tikus percobaan. Dia adalah korban eksperimen, eksperimen yang entah ilegal atau legal. Kau lihat disini? Banyak sekali percobaan merobek kulitnya, tapi dijahit kembali. Kau lihat memar-memar di kontur lengannya? Ini bukti kalau dia sudah diinfus berkali-kali. Dan yang lebih parah lagi, apa perlu aku ambil sampel darahnya sekarang juga, disini, lalu menyuruhmu melihat sendiri DNA-nya? Dia bermutasi, oke. Bermutasi. Kita tidak bisa melakukan apapun karena kita tidak tahu data-data orang ini kecuali kita melakukan percobaan lebih lanjut. Kita tidak tahu pasti apa yang terjadi padanya, tapi percobaan ini mengikis dia. Ini percobaan salah kaprah, dan kau tidak percaya akan hal ini? Kau buta, Shuuzo."
"Kau benar." Ucap Nijimura, walaupun sedikit segan. "Tapi hal ini masih tidak membuktikan kalau dia dulu adalah orang biasa."
"Shuuzo, dia punya kromosom XX. Para pemegang jam biologis, kita, kita ini mutan. Kita mutan alami. Artinya mereka terkadang memiliki pertambahan dan pengurangan kromosom. Ada beberapa kromosom terpaut seks yang sudah bermutasi menjadi XXX tapi ada beberapa yang masih XX. Ini aneh, Shuuzo. Aku sudah melakukan semua yang kubisa, tapi sekali salah langkah dan aku mungkin akan mengkastrasi dia secara kimia, dan aku tidak mau hal itu terjadi. Walau mungkin hal itu tidak akan merubah apapun, dia sepertinya steril." Ucap Fujisaki, wajahnya serius. "Aku datang padamu karena kita adalah partner, jadi aku mau kau beritahu hal ini pada para petinggi. Ini hal serius, Shuuzo."
Nijimura hanya diam. Wajah gadis yang terlihat malnutrisi tersebut pucat, dan tergolek lemah. Memar-memar bekas suntikan (suntikan hormon, transfusi darah, suntikan senyawa-senyawa anorganik—) Nijimura memalingkan wajah.
"Shuuzo. Kau tidak sopan." Ucap Fujisaki mengerutkan dahi.
"Maaf." Nijimura kembali menatap tubuh yang menyedihkan didepannya.
"Kasihan." Ucap Nijimura, mengelus rambut jerami yang dimilik sang gadis. Mungkin dia dulu adalah gadis yang cantik. Ada sedikit luka di dahinya, mungkin dia memakai kacamata. Mungkin dia dulu adalah seseorang yang memiliki kekayaan dan kepintaran. Mungkin dulu dia adalah seseorang yang dibutuhkan. Sekarang dia malah teronggok seperti ini, seperti seonggok daging yang menunggu untuk busuk. "Aku sudah selesai melapor. Aku mau pergi sekarang, Oke?" Fujisaki melambaikan tangan dan berjalan keluar dari ruang isolasi tersebut. Nijimura hanya menatap gadis tanpa nama didepannya.
Dalam keheningan.
Piip
Piip
Piip
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Jaaaang! Oke, sekarang udah chapter pembuka. Diatas sudah dijelaskan sedikit tentang dinamika A/B/O okeeey. Hahahahahaha.
Nah, move on—saya ngernyit tiap kali nulis fakta tentang mutasi diatas lho. Abisnya terlalu mengada-ngada sih…
Sekali lagi, ini pseudo-science. Saya bisa mendeviasikan sains sesuka perut saya, tapi tetap aja saya merasa punya kewajiban buat ngasih tahu kalo :
Mutasi mengakibatkan perubahan fisik. Kayak misalnya klinefelter, kelopak mata bakal membesar, torso mengecil, klitoris membesar, rahang mengecil, dan mungkin bakalan ada perubahan adenoid juga dsb dsb.
Mutasi kromosom XX/XY itu menurun. Menurun. Jadi nggak bisa tiba-tiba bermutasi kayak diatas. Diatas is sesat. Don't ikutin.
Kastrasi secara kimia sebenernya cuma bisa buat cowok, buat cewek mungkin bisa juga, tapi jatohnya dioperasi?
Adalagi fakta yang saya lewatin? Tolong dikasih tahu buat yang tahu. Cuma mau ngasih tahu doang ya. Kalau bingung, silahkan ditanyain, sek!
