Jika aku sudah repot akan sesuatu, mulutku memang tidak bisa kuhentikan untuk berkoar-koar. Yang kupikirkan, hal yang membuatku terganggu harus segera dibereskan sebelum menjadi parah. Biar mukaku cuek begini, aku adalah orang yang juga bisa khawatir akan masa depan.
Tapi Air memang orang yang tidak suka ambil pusing. Dia cinta damai. Hanya yang kukenal sejak kecil, dia adalah orang yang selalu menjauhi hal tertekan.
Sedikit mirip dengan Api. Hanya fisik yang membedakan mereka. Sejak dulu, Air terkena penyakit dimana ia tidak bisa berdiri lama. Perutnya akan terasa perih untuk itu.
Jika Api melampiaskan rasa tertekan dengan meminjam sepeda tanpa izin menuju rental, maka Air melampiaskan rasa stressnya dengan tidur.
Aku mengira ia diam karena malas berbicara. Efek dari penyakit biasanya menular pada anggota tubuh yang lain, bukan? Rata-rata orang yang punya tubuh cacat atau sakit tubuh lebih suka berbaring. Menurutku, begitu.
"Aglio...phobia..."
Aku meletakkan sendok juga garpu perak pada piring. Kuberanjak dari kursi, mencuci perabotan makan sendiri, beranjak menuju kamar mandi untuk mencuci kaki juga wajah, kemudian tidur.
-oOo-
Sebagai kakak, aku tidak bisa membiarkan adik bungsuku yang baru lulus sekolah tertinggi menjadi pengangguran. Dia harus bisa membuat tabungan untuk jenjang kuliah nanti. Aku tidak bisa selamanya membiayai taraf kehidupan dia.
Aku dan dia bekerja pada satu naungan kantor. Aku jelas dalam jabatan tertinggi karena aku cukup lama melamar. Sedang dia baru dua bulan bersamaku.
Aku sebagai supervisor pada suatu marketing, sedang dia hanya cleaning service.
Kuyakin dia sedikit gengsi menerima pekerjaan tersebut awalnya. Penyakitnya dipicu jumlah gaji yang lebih kecil dariku, pasti sempat membuatnya memalingkan wajah sebelum kupaksa untuk melamar.
Tapi keajaiban apa yang membuatnya mau-mau saja menerima.
"Kalian kakak adik bukan? Kenapa kalian seakan tidak bicara sering?"
Rekan kerjaku kadang menanyakan kejaanggalan diantara kami berulang-ulang.. hanya dengusan kecil sebagai jawaban awalku.
"Dia orangnya pendiam," alasanku. Beberapa orang yang bertanya hal yang sama, saat kuberi alasan tersebut langsung manggut-manggut mengerti.
Yah, aku tidak mau terlihat mencolok bahwa aku ogah-ogahan dengan keadaan adikku sendiri. Tapi aku juga tidak bisa terus memperhatikan kegiatannya.
-oOo-
Sepulang kerja, kami pulang bersama untuk sampai pada rumah. Mungkin hawa kami saat diluar tampak hangat. Air terus berdempetan denganku. Ia tidak suka terlihat di depan oleh kawan kerjaku.
Bila sampai di rumah, lain lagi sudah. Dia langsung menghampiri kamar tidurnya untuk melepas penat juga pikiran. Atau saja, dia mulai sibuk kembali dengan 'dunianya'.
Sejak kuingat peringatan Fang akan dia, kurasa aku harus mengambil tindakan kali ini. Aku berani untuk naik tangga dan masuk ke kamarnya. Tampak Air tengah mengetik di depan sebuah laptopnya sendiri. Masih bermain-main dengan dunia dia sendiri.
Dan itu membuatku kesal.
Kuhampiri dia, mengambil salah satu bantal kepunyaannya lalu memukuli bidangnya tepat di kepala Air begitu keras. Nyaris ia terhuyung menimpa barang elektronik miliknya. Namun berterima kasihlah pada posisi dia yang sudah duduk bersila.
Dia melengok, ingin menyahut. Namun aku sudah main sembur terlebih dahulu.
"Kayak apa nanti kalau kau jadi suami?! Bukannya menafkahi istri, kau bakal mampus kalah bersaing mencari pekerjaan baik!"
Dia diam. Reaksi yang sudah kuprediksi.
"Coba berbaur sedikit! Buang laptopmu! Buang semua kebiasaan burukmu! Cobalah untuk mencari pekerjaan!"
Dia menggeleng. Dan hal tersebut sempat meredakan bibirku untuk mengoceh.
"Dan... kau tidak mungkin selamanya bakal di duniamu selamanya. Ingat, kita laki-laki harus bisa berusaha keras bekerja."
"Kak, aku saja belum kuliah. Aku punya masa depan."
Balasannya membuatku terhenyak.
"Aku mau meneruskan impianku. Aku sudah berusaha menahan segala omelan kakak. Tapi kakak selalu merasa rumah ini harus kakak kendalikan. Sebenarnya aku mau keluar dari rumah, tapi aku mencari bekal..."
"Bekal untuk hidup susah?"
Bibirnya bergetar ketika diapit. Ia mendongak langsung, "KAKAK JANGAN ANGGAP PALING HEBAT DEH! LIHAT 'KAN KAK TAUFAN, KAK GEMPA, SAMA KAK API GAK PERNAH DI RUMAH GEGARA KAKAK? SEKARANG MEREKA BERKELUARGA. KAKAK DUDA. AKU MASIH PERJAKA. AKU YANG SEHARUSNYA PANTAS DAPAT WARISAN IBU!"
Emosi Air meledak. Dan untuk pertama kalinya, aku melihat Air begitu murka padaku dengan ucapan senonh sampai seperti itu.
"AKU BAKAL KELUAR DARI RUMAH INI! KAK API PASTI MENERIMAKU! TAPI APA, AKU MASIH BERTAHAN KARENA KAKAK BAKAL SENDIRI!"
"YA SUDAH KE RUMAH DIA SEKARANG!"
"Baik, aku akan pergi. Aku gak mau serumah dengan kakak lagi!"
Dia lekas bangkit dari ranjangnya. Dihampirinya cepat lemari pakaian, untuk memunguti semua yang ada disana ke dalam sebuah koper yang akan ia keluarkan nantinya. Semua barang ia tumpuk di depan lemari tersebut.
Aku tidak kuasa menahan amarahku. Semua membenciku. Semua mengangggapku serakah karena menarik harta warisan orangtua kami.
Bahkan Air, adik yang kuanggap baik juga bisa marah.
"Dia menderita agliophobia."
APANYA TRAUMA BEGITUAN? Dia bisa membantahku, bahkan sekarang dia nekad untuk minggat.
"Mati saja kau sana!"
Kutarik laptop yang masih menyala milik Air itu, kemudian melambungkannya dengan cara membanting tepat ke arah kepala Air.
Kedua matanya tampak terbelalak kaget. Ekspresi ketakutan yang besar kudapat saat laptop dari tanganku melayang menuju tempatnya.
=end=
A/N: Silakan menerka apa jadinya. SIlakan kreasikan plottwitst kalian di review~ Maaf untuk update yang lama :"v
