Angin malam menyusup dari sela rumah, suara gesekan ranting dan daun terdengar sampai ke telinga, Hikari yang sedari tadi sibuk mengiris sayur untuk makan malam keluarganya tiba-tiba berhenti bergerak, ada suara-suara langkah cepat di luar rumahnya. Mungkin itu kucing liar yang sedang mengejar tikus, Hikari mengelus perutnya yang mulai buncit—Kandungannya berumur tujuh bulan, itu kehamilan ke dua—Ia tersenyum bahagia tatkala merasakan pergerakan liar dalam perutnya, bayinya berputar dan menendang-nendang.

"Doujobu … doujobu …," gumamnya sambil mengelus perutnya turun naik.

"Kaa-chan." Seorang bocah bermata bulan menghampiri sang ibu, tangannya yang mungil ikut mengusap perut buncit ibunya, "Doujobu imouto-chan."

Hikari mengusap rambut anak perempuannya yang baru berumur enam tahun, Hinata yang hanya setinggi pinggul sang ibu mendongakkan kepalanya, "Adik tak mau berhenti bergerak."

Hikari tersenyum menatap wajah lucu Hinata, "Mungkin adik sedang bermain."

"Di dalam sini." Hinata mendekatkan telinganya ke permukaan perut Ibu, "Imouto-chan, cepatlah keluar dan main sama Nee-chan," bisiknya tepat di depan perut Ibu.

Hikari tertawa renyah, kegelisahannya segera lenyap tiap kali memandang wajah anak sulungnya. Tak seharusnya ia memikirkan hal-hal yang mengerikan dalam keluarganya, semua kisah seram yang belakangan tersiar di desa tetangga tak akan terjadi di daerah tempatnya tinggal. Terlebih para lelaki dewasa di desa mulai ketat berjaga-jaga, mereka saling berbagi tugas dalam menjaga keamanan desa, jika sesuatu terasa janggal mana mungkin tak ada tanda-tandanya.


Naruto belong to Masashi Kishimoto

Der Jäger presented by Andromeda Arundhati

Pairing: NarutoXHinataX...

Rate : M (Kekerasan, sedikit gore)

Genre: Vampict, Tragedy

Don't like don't read

Saat berada dalam masa paling mengerikan dalam hidup, kau akan berharap itu hanya mimpi hingga kau bisa terbangun, namun pada kenyataannya mimpi burukmu adalah sebuah kenyataan yang terus menjadi bayang-bayang paling terkutuk.


Suasana di luar rumah terasa tenang, sejak matahari mulai tenggelam tak ada satu orang pun yang berani keluar, anak-anak yang bermain di luar rumah telah kembali tanpa diseru. Suami Hikari, Hyuuga Hiashi belum pulang, ia kembali melanjutkan kegiatannya, ia meminta Hinata untuk membantunya menyiapkan alat makan. Hikari sibuk mencoba kuah sayur yang sudah matang, beberapa menu sudah siap tersaji di meja. Tak lama terdengar suara derap langkah dari luar rumahnya, kali ini langkahnya terdengar beritme, ini sudah jamnya Hiashi pulang untuk makan malam, setelahnya ia bisa kembali berpatroli.

Waktu menunjukan pukul sembilan malam, rumah setiap penduduk tak memiliki pencahayaan yang baik, mereka hanya menggunakan lampu dengan minyak hewan yang ditempel pada tiang dan dinding rumah. Malam baru beranjak seperempatnya, namun kegelapan sudah terlihat sempurna. Cahaya bulan yang keluar masih ragu-ragu, terlebih awan yang mulai terlihat tebal di penghujung musim gugur ini. Angin yang bertiup makin terasa kencang, empat hari yang lalu hujan bahkan pernah turun dalam jumlah rintiknya yang masih sedikit.

Hikari terkesiap mendengar suara berdebuk sepertinya ada yang memukul tanah. Debaran ketakutan kembali menghampiri, ia segera menghampiri tubuh mungil Hinata dan membawanya dalam dekapan. Gesekan langkah cepat dengan daun-daun kering terdengar tepat di luar rumahnya. Tak lama ada suara berderit di pintu depan rumahnya, lengkap dengan suara deru napas yang tak beraturan.

Tubuh Hikari bergetar ketakutan, ia eratkan pelukannya pada tubuh Hinata.

"Kaa-chan," Hinata bersuara.

"Ssst …."

Dengan sigap Hikari membopong tubuh mungil anaknya, memasukannya ke dalam sebuah lemari kecil yang ada di dapur, sebelum menutup pintunya Hikari berpesan, "Jangan berisik Hinata, dan jangan keluar apa pun yang terjadi, mengerti!"

Hinata menganggukan kepala, air matanya mulai tergenang di bawah kelopak matanya. Ia hanya anak berusia enam tahun yang belum mengerti apa-apa, setiap kali sang Ibu atau bahkan ayahnya merasa ketakutan mereka akan selalu menyembunyikan dirinya di suatu tempat yang gelap dan sempit, dan hal ini sudah berkali-kali terjadi, Hinata sudah sangat paham dengan apa yang harus ia lakukan, semua anak di desa sudah sangat memahami perilaku orang dewasa yang suka menyembunyikan anak-anaknya. Mereka hanya tahu ada makhluk jahat di luar sana yang sedang melewati rumah, agar bisa selamat mereka tak boleh menangis dan berisik.

'Tidak akan lama' Hinata berbicara pada dirinya sendiri, 'Tak lama lagi Ibu akan kembali membuka pintu lemarinya, lalu mengeluarkanku'

Di luar suara guntur bersahutan, tak lama hujan turun dengan derasnya. Suara gemuruh itu menakutkan, Hinata memaksakan diri untuk memejamkan mata. Tatkala Hinata mendengar suara teriakan ia berharap itu hanya sebuah mimpi buruk.

Hikari beranjak ke arah pintu depan, ia mendapati suaminya yang berdiri di balakang pintu yang tertutup rapat, deru napasnya memburu, keringat di wajahnya mengalir deras.

"Hikari …," suara Hiashi terdengar lirih.

Baru tiga langkah Hiashi mendekat ke arah istrinya, pintu rumah mereka tiba-tiba terdorong dan rubuh. Tubuh Hikari terpaku, kakinya lemas sampai tak mampu menahan berat badannya, janin dalam perut Hikari menendang-nendang, air matanya tak terkendali menetes. Walaupun ia memejamkan mata, liquid dari matanya masih terus mengalir.

"Grrrrr …." Setelahnya hanya suara geraman yang terdengar diikuti oleh suara teriakan suami tercintanya.

Hikari masih berlutut ketika sebuah cengkeraman mencekik lehernya, kuku-kuku tajam mengoyak kulit lehernya. Hikari tak mampu berbuat banyak, kekuatannya tak sebanding dengan penyerangnya. Makhluk itu membenturkan tubuhnya ke lantai, kepalanya beradu dengan lantai, seketika darah mengalir deras membasahi rambut dan terus mengalir ke sekujur badannya. Saat ia memberanikan diri membuka mata, ia melihat tubuh suaminya yang tak lagi berbentuk, beberapa monster mengerubungi tubuh Hiashi yang kaku. Suara kecapan terdengar jelas, mereka makhluk biadab yang terlihat kelaparan berpesta dengan darah manusia.

Dengan napas yang mulai putus-putus Hikari melihat tepat ke arah sosok monster yang akan memangsanya, mata makhluk itu berwarna merah, secara fisik mereka memiliki ciri umum manusia hanya gigi dan matanya saja yang berbeda. Monster itu menyeringai lalu dengan gerakan cepat ia merobek perut Hikari.


.

.

.


Matahari menyorot bumi dari balik awan, tanah basah terlihat gembur oleh lumpur, ada bau amis yang menyengat, bau itu berasal dari genangan air yang bercampur dengan warna merah kental. Di halaman rumah tercecer bagian tubuh manusia, di jalan-jalan mayat bergelimpangan dengan tubuh terkoyak. Pagi itu, desa yang seharusnya ramai dengan kegiatan penduduknya menjadi senyap seperti kuburan terbuka. Tak ada anak-anak yang keluar rumah untuk bermain, dan tak ada para lelaki yang membawa senjata untuk berangkat ke ladang, di dalam rumah pun sangat sepi, tak ada satu wanita pun yang bersenandung sambil menyelesaikan pekerjaan rumah.

Sekelompok orang bersenjata lengkap terlihat berlari dengan mengendap-endap, tangannya memegang pedang yang terlihat putih mengkilap. Gerakan mereka sangat terlatih dan teratur, setiap kelompok memiliki pemimpin yang menyusun strategi pergerakan. Tak ada satu pun yang bergerak perorangan, dalam setiap kelompok setidaknya terdiri dari lima sampai empat orang.

Beberapa kelompok kecil berpencar dan memisahkan diri, mereka memasuki satu persatu rumah penduduk. Sebagian berkeliling memutari perkebunan penduduk, jarak dari rumah ke rumah yang lain cukup jauh.

"Hashirama sensei …." Di balik sebuah topeng terdengar suara halus seorang perempuan, "Aku mencium bau anyir yang kuat dari dalam." Matanya yang hijau menatap tajam pada rumah di hadapannya.

"Pegang senjata kalian erat-erat, kita akan masuk ke sana," Hashirama memerintah para muridnya.

Ke tiga remaja dengan warna rambut berbeda mengangguk dan meremas gagang pedangnya, meyalurkan keberanian dan keteguhan hati pada benda itu. Pedang dalam tangan mereka adalah nyawa mereka sendiri, karena dalam pertarungan yang terjadi hanya senjata yang terbuat dari perak itulah yang mampu mengeksekusi lawan.

Mereka memasuki rumah yang pintunya sudah rusak, ceceran darah di lantai dan dinding menghiasi rumah. Bagian- bagian organ manusia yang tersisa jelas milik si penghuni rumah.

"Keparat! Mereka menghabisi semua orang tanpa sisa, mereka seperti bintang kelaparan." Seorang remaja tampak sangat geram, padahal pemandangan ini bukan untuk yang pertama kalinya dilihat. Remaja lelaki itu memandang tubuh seorang wanita yang sedang melotot, perutnya hancur tak karuan.

"Para vampire memang lebih rendah dari binatang, Naruto," si perempuan menyahut.

"Lihat saja, akan kubunuh semua makhluk kotor itu, Sakura," timpal remaja bersurai kuning yang dipanggil Naruto, matanya yang biru memancarkan dendam kesumat.

"Sebelum itu kau harus lebih giat berlatih," ucap sang guru. Hashirama memasuki setiap kamar, memeriksa tanda-tanda keberadaan musuhnya.

Para vampire itu bergerak lebih cepat dan kini mereka tak pernah berlama-lama lagi tinggal dalam lumbung makanannya. Kebiasaan mereka yang suka tidur di dekat sumber makanannya kini telah mereka tinggalkan. Mereka bahkan mulai membentuk kelompok dalam memburu mangsa, dulu mereka tak pernah berani memasuki sebuah desa kecil sekalipun, tapi kini mereka mulai berani berlaku brutal.

Sakura memeriksa dapur, di meja masih terlihat makanan yang tersaji sudah tak hangat lagi. Keluarga yang terrlihat harmonis kini telah tinggal sejarah. Sudah ribuan keluarga yang bernasib sama, semua terjadi semenjak kepemimpinan Lord Uchiha terpecah.

"Cih, para pengkhianat," makinya. Sakura termasuk korban kebengisan makhluk biadab itu, keluarganya yang mengabdi selama ratusan tahun menjaga dekrit perjanjian antara manusia dan vampire harus terbantai oleh kekejaman para vampire pemberontak.

"Kau menemukan sesuatu." Naruto meghampiri teman seperjuangannya.

"Tidak ada yang tersisa di sini."

Perempuan bersurai pink itu beranjak meninggalkan ruangan, Naruto mengikuti di belakang. Keduanya kembali menoleh saat mendengar suara pergerakan di dalam lemari pendek berdaun dua yang berada di pojok ruangan.

Mereka saling memandang, pedang mereka kembali dilucuti dari sarungnya. Keduanya mendekati lemari, Naruto mengetuk ujung pedangnya ke permukaan kayu yang menjadi sumber suara.

"Kaachan." Sebuah suara lirih terdengar menyahut ketukan pendang Naruto.

Dengan sigap Naruto membuka lemari itu dan menemukan seorang bocah perempuan sedang terduduk menekuk kaki, ia memeluk kedua kakinya. Wajah bocah itu terlihat ketakutan, bukan ibunya yang membukakan pintu, padahal ia sangat berharap sekali ibunya yang membukanya.

"Kau baik-baik saja?" Naruto menatap mata sendu si bocah.

Naruto menarik tubuh anak perempuan itu dari dalam lemari, memeriksa tubuhnya yang terlihat sehat tanpa luka. Naruto memegang bahu kecilnya yang terasa ringkih, Naruto tersenyum untuk menenangkan kegilisahannya.

"Di mana Kaa-chan?" Tubuh mungil itu bergerak mundur menjauhi sentuhan Naruto, "Hinata takut." Ia menatap wajah Naruto dan Sakura secara bergantian.

Senyuman Naruto yang sempat menenangkan pikiran Hinata lenyap, dengan langkah kecil Hinata pun berlari meninggalkan kedua orang asing di hadapannya.

"Hey, tunggu!" Naruto mengejar, diikuti Sakura.

Hinata terpeleset dan terjatuh dekat dengan potongan tubuh mungil yang masih terlihat tali pusatnya, baju Hinata menjadi basah dan lengket. Pandangannya yang tiba-tiba menggelap memaksa untuk menatap tubuh tak bernyawa ibunya.

"Kaachan …." Hinata mecoba membangunkan diri dengan kaki gemetar, ia tak berani melangkah lebih dekat ke tubuh rusak ibunya.

"Hey …." Naruto berlutut menghalangi penglihatan bocah malang itu.

Bibir Hinata berkedut tak mampu digerakan, dalam hatinya ia menjeritkan panggilan pada ibunya. Naruto mengusap air mata yang mengalir di pipi Hinata. Diusapnya pipi itu berkali-kali, akhirnya isakan dan erangan Hinata pecah menggema, dan Naruto masih setia menghapus air mata itu.

Hashirama dan Sai melihat kejadian itu dengan wajah tertunduk, Sakura sendiri sudah menangis semenjak ia menatap wajah pucat Hinata yang menemukan mayat kedua orang tuanya dan sosok kecil yang tak dikenalnya.

Hari itu menjadi masa tersuram dalam kehidupan Hinata, walaupun ia terus memohon sambil menangis untuk mengembalikan sosok kedua orang tuanya, bocah enam tahun itu tetap tak bisa mendapatkan keinginannya. Ia hanya bisa melihat mayat kedua orang tua, adik dan penduduk lainnya di kubur dalam liang yang sama.

Note : Entah bisa dilanjut atau tidak, karena bisa jadi ini akan menjadi FF yang lumutan. Saya tak bisa mengontrol pikiran saya.

Para Vampire di sini bukan hanya menggigit tapi juga mencabik.