"Ada apa? Apa kata Alaska?"

Jean menggigit bibir bawahnya. Kedua tangannya menggenggam konsol erat-erat. Akan tetapi suaranya pelan ketika ia bicara; sama sekali berbeda dengan pemuda yang duduk di tempat yang sama lima menit yang lalu. "Titan sudah melewati perbatasan Kanada. Base Edna diserang. Kita tidak bisa mendarat sebelum membersihkan landasan."

.

.

.

.

SKYSWIMMERS

Chapter II

[ Courage (n.) : When "Fuck this shit" is stronger than "I have a bad feeling about this". ]

.

.

.

.

Mata Eren membulat.

Oke. Ini gila. Ini bahkan jauh lebih gila dari semua mimpi-mimpinya seumur hidup.

Iya sih, waktu kecil Eren memang seringkali berpikir bahwa menjadi seorang pilot itu spektakuler. Tapi memangnya siapa sih yang tidak? Berseragam putih-coklat dengan lambang sayap bersilang, mengendalikan burung besi, menguasai langit, menjadi pahlawan dengan mengalahkan musuh. Bahkan bisa dibilang, 'jadi pilot' adalah salah satu cita-cita mainstream di kalangan anak-anak—yah, salahkan saja film dan cerita-cerita sejarah, yang selalu menampilkan mereka sebegai sosok yang keren sekaligus heroik.

Tapi sekarang, ketika akhirnya Eren sendiri yang mencicipi kursi kemudi jet paling mutakhir abad 20, terseret ke dalam misi hidup-mati melawan raksasa walaupun dalam keadaan ingin buang air kecil dan tidak bisa membedakan mana tombol tembak dan mana tombol self-destruct

… rasa-rasanya dia tidak akan mengizinkan anak-cucunya kelak menjalani profesi yang dengan kurang ajarnya menantang malaikat maut seperti ini.

"J-Jean."

"Apa."

"Kalau lo nggak balikin gue ke rumah, gue nggak tanggungjawab ya kalau lo nanti dipenjara gara-gara kasus penculikan."

"Bodo."

Sementara itu Jean Kirschtein, fighter muda yang duduk di kursi sebelah Eren, masih menggerutu dalam hati—sambil berusaha mengingat-ingat dosa apa yang pernah ia perbuat, sampai dia jadi ketiban sial begini parahnya. Persetan dengan si Jaeger; bocah itu bahkan tidak punya hak untuk protes. Karena bagaimanapun, kredibilitasnya-lah yang dipertaruhkan di sini. Ini misi besar pertamanya! Harusnya ini jadi debut dari karirnya yang cemerlang!

"Tapi—"

"Kita sudah sekitar dua puluh menit dari Alaska," ujar Jean. Masih setengah mati berusaha kelihatan kalem, biarpun jantungnya sendiri pun berdebar tidak karuan. Ada masalah lebih penting yang sedang berlangsung di sini, oke? "Siap-siap."

Eren langsung melotot. "Jean, lo serius mau cari mati, ya!?"

"Dan solusi lo supaya gue nggak mati adalah…?"

"Kan gue udah bilang dari tadi! Ikut gue ke Melbourne! Tenang aja, di sana disediakan rumah untuk pengungsi kok, juga jaminan makanan, fasilitas kesehatan dan air bers—"

"Oke, Eren, gue hargain kepedulian lo atas kemaslahatan gue," potong Jean cepat. Gagal paham kenapa bocah berambut cokelat di sampingnya itu tidak juga mengerti soal konsep menjadi prajurit Angkatan Udara. "Tapi sekali lagi lo nyuruh gue terbang ke Melbourne, gue umpanin lo ke Titan. Sekarang gue kasih lo dua pilihan: bantuin gue di sini, atau gue buang ke laut! Seenggaknya lo bakal lebih berguna jadi makanan ikan, daripada cuman menuh-menuhin kokpit dan ngabisin oksigen!"

Si pemuda berambut cokelat langsung mewek, seakan-akan dia adalah tokoh protagonis yang jadi korban kedzaliman sang pilot otoriter—sebelum kemudian dipelototi oleh yang bersangkutan dengan ekspresi pegang-kemudinya-atau-gue-lempar-sekarang-juga. Dan sekali ini, Jean Kirschtein kelihatan benar-benar serius; jadi Eren tidak ada pilihan selain menurut… demi kelangsungan hidupnya.

"Fine! Ini gue udah pegang! Puas?"

"Ya megangnya jangan kayak megang kotoran kucing gitu lah! Yang jantan!" bentak Jean, sambil mencontohkan pegangannya yang mantap ke joystick. Akhirnya sekarang ia mengerti juga… kenapa dulu instruktur pertamanya, Mayor Keith Shadis, gampang sekali emosi kalau menghadapi kadet junior yang baru pertama kali duduk di kursi kemudi. Ini sih namanya tes kesabaran! "Plis, sekali ini bantu gue, jangan ngerepotin! Di sini cuma ada kita berdua!"

"Bentar, bentar—lo yakin nggak ada pilihan lain? Masa sih pesawat secanggih ini nggak bisa terbang otomatis? Atau nggak bisa gitu dikendaliin satu orang?"

"Bisa kalau gue punya empat tangan!" ujar Jean, sarkastis. Dan apa mau dikata, memang seperti itu adanya. Dari awal Sirion memang dirancang untuk dioperasikan oleh dua orang pilot. Jadi meski pengendalian dasar seperti take off dan landing bisa dilakukan dari salah satu kursi, tapi untuk melakukan manuver-manuver sulit, keberadaan navigator bisa dibilang esensial. Jadi dalam pertempuran, navigator dan fighter ibarat dua tangan pada manusia: berbeda, tapi bekerja bersama-sama.

"Udah, pokoknya nanti lo ikutin aja instruksi gue. Gak usah banyak nanya, gak usah banyak protes!" perintah Jean; meski sebenarnya ia sama sekali tidak yakin bisa menggantungkan hidup di tangan pemuda dari antah berantah ini. Tapi apa boleh buat. Toh mengeluh tidak akan merubah fakta bahwa sekarang Jean terperangkap di atas sini, bersama manusia keras kepala bernama Eren Jaeger—yang otomatis menjadikan mereka sebagai pasangan pilot paling tidak kompatibel sepanjang sejarah Sirion.

Yah, sebenarnya kalau dilihat dari satu sisi, kata-kata Jean ada benarnya juga. Tapi di sisi lain, one does not simply nyetir jet tempur, sementara gelar akademisnya adalah LLM, alias Magister Ilmu Hukum! Eren mengumpat dalam hati, tapi toh mengeratkan genggamannya juga ke kemudi. Ekspresi pemuda itu jelas sekali menggambarkan apa yang ada di pikirannya: kalaupun gue mati, seenggaknya gue mati dengan keren. Biarpun nanti gue matinya konyol macem kesangkut pohon atau nabrak pantat Titan... tapi tetep aja, gue mati sebagai prajurit!

.

.

.

.

.

"Itu Base Edna." Ketika akhirnya pangkalan tujuan mereka masuk ke radius pandang, Jean menunjuk ke satu arah. Tapi bahkan kalau ia tidak repot-repot menunjukkannya, Eren pun sudah pasti tahu—karena di depan mereka sudah ada satu pasukan jet yang berputar-putar, terbang di atas area itu seperti lebah mengelilingi bunga.

"Yang ada tower tinggi warna biru. Lihat?"

"I-iya." Eren mengangguk. Salah satu tampilan GPS di depannya pun menunjukkan kalau mereka mendekati tujuan.

"Oke. Sirion 09S ready, masuk mode manual," lapor Jean lewat mikrofon, sambil mengutak-atik layar sentuh. Eren tidak tahu apa yang barusan itu ditujukan padanya atau markas. Tapi belum sempat ia bertanya, Jean sudah keburu berbicara lagi—yang mana kali ini, jelas sekali berupa komando yang ditujukan ke navigatornya. "Turun."

"Eh?"

"Turunin pesawatnya! Mana gue bisa nyerang kalau setinggi ini!" ujar Jean, nyaris emosi karena tidak terbiasa instruksinya direspon dengan interjeksi idiot—sedetik sebelum wajah tablo Eren mengingatkannya kalau Dewi Fortuna sedang tidak berada di pihak mereka hari ini. Oh, ya ampun. Pemuda itu mengerang, tampak seperti akan menepuk dahi kalau saja kedua tangannya tidak sibuk.

"Oke, begini saja." Setengah hati, Jean menerangkan langkah-demi-langkah yang dulu diterimanya di pendidikan dasar. "Nyalain switch yang ini, yang itu, yang itu. Sisanya gue tanganin dari sini. Terus dalam hitungan ketiga… dorong kemudinya ke depan, sedikit-sedikit. Paham?"

Eren menahan nafas, berusaha meresapi instruksi dari sang pilot. Tatapannya terfokus jauh ke depan, ke arah kubah biru raksasa yang berdiri megah di samping tower. Dan seluruh hidupnya sebelum ini mendadak terasa begitu datar, dibandingkan tiga puluh detik yang menegangkan saat pesawat yang dikendalikannya meluncur turun. Cukup mulus, untungnya, tentu saja berkat Jean yang akhirnya turun tangan meraih kemudi demi memastikan keselamatan mereka.

Tapi petualangan, bahkan belum dimulai.

"I-itu… Titan!?"

Ketika mereka mendekat, musuh terlihat semakin jelas. Sebagai penduduk sipil yang seumur hidup tinggal di wilayah aman, jujur saja, baru sekali itu Eren Jaeger melihat wujud Titan secara langsung. Ia bergidik ngeri. Sosok-sosok raksasa dengan tubuh tidak proporsional menjulang di antara bangunan, menghancurkan apa saja yang menghalangi jalannya. Tanpa ampun. Eren menghitung ada lebih dari sepuluh Titan berkeliaran di sana; dan bahkan ketika dilihat dari kejauhan, pangkalan yang luas itu tampak rusak parah di beberapa bagian.

"Tenang, tenang saja, Eren. Tarik nafas… hembuskan. Tarik lagi… hembuskan." Melihat rekannya mendadak pucat pasi, Jean langsung memutar otak—karena jelas, hal terakhir yang dibutuhkan Sirion adalah pemuda belingsatan di dalam kokpitnya. "Dengar. Instrukturku bilang, Titan hanya berbahaya dalam jarak dekat, karena jangkauan tangan mereka terbatas. Sementara kita adalah penyerang jarak jauh. Mengerti? Jadi selama kita jaga jarak dengan mereka, kita aman—"

Tapi bahkan belum sampai Jean menyelesaikan kalimatnya, mendadak sebongkah beton besar melayang di depan mereka—nyaris saja mengenai hidung pesawat kalau Eren tidak refleks banting setir. Si titan pelempar barangkali mantan atlet tolak peluru.

Jean langsung bungkam.

Dusta. Ternyata kata-kata motivasi yang diberikan Instruktur Shadis, semuanya dusta!

"MAKAN TUH AMAN!" Bukannya tenang, yang ada Eren malah emosi. "UDAH LO TUNGGU APA LAGI! TEMBAK BURUAN!"

Sang penyerang pun tersentak, lalu kembali memfokuskan diri ke tugas. Target sudah masuk ke radius serang. Dengan cekatan, tangan kanannya pun memainkan joystick—sementara yang satu lagi menari di kendali layar sentuh. Misil meluncur dengan suara berdesing, meninggalkan jejak asap dari ekornya. Di saat bersamaan, jet-jet lain pun melepaskan diri dari formasi—melintas cepat di kanan kiri pesawat mereka. Bendera start tak kasat mata seperti baru saja diangkat, menandai dimulainya pertempuran. Derum mesin jet, derau saluran komunikasi, desing pesawat dan ledakan hebat semua berbaur menjadi satu. Eren terkesima. Seumur hidup, jangankan terlibat dalam serangan udara seperti ini, melihat langsung saja dia belum pernah!

Dan ketika ia berada di sudut pandang orang pertama, rupanya perang tidak se-epik yang ia lihat di televisi.

"Jean!"

Satu Titan berjenggot panjang mendadak melompat, menepis satu jet yang melintas di terlalu dekat. Puing-puing terlempar dengan derak yang membuat Eren bergidik. Suaranya serasa tertahan di tenggorokan, ketika makhluk itu hendak menangkap pesawat kedua. Beruntung Jean berhasil menembak putus pergelangan tangannya. Suara erangan nyaring membelah udara, diiringi asap dan bunyi mendesis dari potongan tubuh yang jatuh ke tanah.

Entah bagaimana, semua yang ia lihat terasa begitu tidak nyata. Eren jadi merasa dirinya ada di dunia mimpi, atau mungkin semacam virtual reality empat dimensi.

"Oi naik, naik!" Sejurus kemudian, teriakan Jean menyentak Eren kembali dari momen salah-fokusnya. "Baca angka altitudeabsolutnya, jangan sampai terlalu rendah! Bahaya! Kurangi kecepatan, baru ambil arah jam 10, naik 30 derajat!"

"Hah?" Lagi-lagi, Eren cengo. Bisa nggak sih ngasih petunjuk yang lebih spesifik! "Ini mana remnya? Mana kopling? Gimana beloknya?"

Jean mengerang frustrasi. Tapi berhubung mereka sudah berada di jarak kritis dari permukaan tanah; ia buru-buru memberi contoh, dengan menggerakkan kedua tangannya di kemudi imajiner. "Putar kayak gini! Cepet!"

Tanpa berpikir dua kali, Eren pun buru-buru mengikuti gerakannya. Setang kemudi ditarik cepat, memaksa komputer kontrol mentrigger aktuator di badan pesawat. Tapi sayang, terlalu kasar—alhasil pesawat malah berbelok tajam, lalu meluncur serong dengan sudut puntiran abnormal yang membuat perut Jean langsung mulas. Lalu pesawat kehilangan keseimbangan, berguncang hebat ke segala arah. Dan kalau bukan karena tarikan gravitasi mendadak yang seketika membuat pandangannya buram, Jean pasti sudah memaki Eren habis-habisan.

"Ugh—"

Dalam dunia aviasi, ada satu aturan tidak tertulis: bahwa dalam sebuah penerbangan yang melibatkan lebih dari satu orang, harus ada paling sedikit satu orang yang selalu berkepala dingin dalam segala kondisi. Kalau tidak bisa, setidaknya harus ada satu orang yang bisa pura-pura berkepala dingin ketika menghadapi chaos—demi satu alasan yang berkaitan dengan aspek psikologi.

Tapi sekarang, Jean betulan tinggal sejengkal lagi menuju histeris. Eren, apalagi.

"JEAAAANNNNN DI SINI LO ADA NYIMPEN TEKS DOA BUAT ORANG MAU MATI KAGAAAAAAK!?"

Mampus! Hidup gue berakhir dalam sepuluh… sembilan… delapan…

"PUTAR! PUTAR KE ARAH SERONG KIRI, SAMBIL TARIK KE BELAKANG!" teriak Jean panik, mengabaikan fakta bahwa lawan bicaranya duduk kurang dari satu meter di sebelahnya. Tangannya tergenggam erat-erat. Mana boleh pasrah sekarang! Titan pertama bahkan belum ditumbangkan! "NARIKNYA PAKE PERASAAN LAH! PELAN-PELAN! JANGAN DISENTAK KAYAK TADI!"

Tapi bagaimanapun Eren berusaha, pergerakan yang dihasilkan tetap saja jauh dari kata mulus. Namun setidaknya, perlahan-lahan, ketinggian mereka kembali ke batas normal. Jean langsung merosot lemas di kursinya. Diam-diam dia bersyukur, karena Sirion punya teknologi canggih dengan range kesalahan yang lebar dan fitur self-correction. Jadi setidaknya, bahkan setelah kecerobohan fatal Eren yang bikin dia terancam stroke… mereka masih bisa mengudara.

Ini kalau belum apa-apa gue sudah mati duluan karena navigator pesawat abal-abal, gue dapat bintang jasa nggak ya? pikir Jean melantur, sambil menunggu setengah nyawanya yang barusan tercecer kembali terkumpul—mengabaikan seseorang entah siapa yang berteriak-teriak di saluran komunikasinya. Yah… mungkin setelah ini dia bakal kena semprot Kapten, mungkin callsign-nya akan langsung berubah jadi aib seumur hidup, mungkin juga dia bakal kena hukum gara-gara ulah si navigator sakit jiwa. Tapi biarlah itu semua dia hadapi nanti, kalau dia sudah selamat dari kursi maut ini!

Tapi di tengah-tengah imajinasinya yang melantur jauh ke depan, mendadak Jean dikagetkan oleh rotasi pesawat 360 derajat tanpa peringatan apapun.

"WHOAH!"

Eren berteriak kaget, Jean meraung. "WOI APA-APAAN ITU TADI! LO JANGAN MAIN-MAIN! LO KIRA KITA LAGI MAIN AKROBAT!"

"BUKAN GUE, KUDA! ITU TADI ADA TITAN YANG NAMPAR SAYAP KANAN! MASA TANGAN SEGEDE ITU NGGAK LIHAT! LO INI RABUN ATAU GIMANA, SIH?!"

"Hah, masa—"

"MAKANYA MATA ITU KE DEPAN! JANGAN MELENG KEMANA-MANA!"

"IYA IYA!" teriak Jean balik. Lah, ini siapa yang punya pesawat, siapa yang numpang, siapa yang dibentak-bentak, sih!? "Kalau begitu kita masih terlalu rendah! Naik lagi! Naik!"

Sang pilot menahan hasrat untuk mengurut dada. Tidak, dia tidak bisa begini lebih lama lagi. Kalau navigatornya saja tidak bisa menerbangkan pesawat dengan benar, bagaimana dia bisa menyerang Titan? Mau ambil sasaran saja susah!

Tapi belum selesai Jean merutuki nasibnya, mendadak masalah kesekian muncul. Sesuatu di dalam kokpit mengeluarkan bunyi bip sekuensial, berkali-kali. Lalu disusul bunyi serupa dari arah lain. Lalu dari arah lainnya lagi.

"Jean, apa tuh yang bunyinya kayak bom waktu?" tanya Eren polos, dengan nada kekhawatiran yang bahkan tidak repot-repot disembunyikan.

"Mana gue tahu! Gue kan fighter! Warning-warning gini biasanya muncul di konsol elo!" Jean mulai naik darah, tapi refleks celingukan juga mencari sumber suara ("Sial, ada apa lagi sih ini!?") sebelum kemudian menyadari kalau ada tiga indikator yang berkedip di panel peringatan.

"Lihat itu tuh di sebelah kiri lo, yang lampunya nyala oranye!"

Kedua pilot pun terdiam, bertukar pandang dengan wajah horor: MATI KITA. Ternyata bahkan setelah dua jantung nyaris copot dari tempatnya, kesialan mereka belum klimaks. Jean jadi berpikir, jangan-jangan sebentar lagi pesawatnya ini pindah destinasi dari Base Edna ke alam baka….

"Terus gimana dong!"

YA TUHAN APA DOSA HAMBA? KENAPA ENGKAU BEGITU TEGA MEMPERTEMUKAN HAMBA DENGAN MAKHLUK SATU INI!?

"Udahlah mending tuker aja! Lo di sini!" ujar Jean akhirnya, mengambil keputusan cepat. Feelingnya mengatakan sebentar lagi Eren akan menabrakkan pesawatnya ke salah satu tembok beton Edna, kalau ia duduk di kursi putih itu lebih lama lagi. Dikira ini pesawat kamikaze! Dengan berat hati Jean pun melepas kendali senjata, lalu mengajari Eren dari kursinya bagaimana membawa pesawat ke ketinggian dan posisi yang aman untuk beralih ke mode autopilot untuk sementara.

Perlahan tapi pasti, kecepatan pesawat diturunkan. Setelah apa yang terasa seperti bertahun-tahun lamanya, Sirion mulai terbang mulus lagi; dan akhirnya Eren bisa menghela nafas lega. Tapi sayangnya, belum lagi lama ia menikmati hirupan oksigen dengan tenang, tiba-tiba Jean sudah memerintah-merintah lagi dengan nada diktatornya yang menjengkelkan.

"Eren, pindah ke sini!"

"A-apa?"

Jean mendengus sebal. Apa dia harus mengulang setiap perintahnya dua kali, baru pemuda ini betul-betul paham!? Coba dia berani pasang attitude macam begini ke komandannya, sudah pasti dia bakal langsung dirujuk ke spesialis THT!

"Lo jadi fighter!" tukas Jean… terpaksa.

"T-tapi—gue nggak bisa!" Eren mencicit. Memandang parno ke konsol kanan, yang meski sekilas kelihatan tidak lebih rumit dari counterpart-nya, tapi entah kenapa mendadak terasa lebih mengintimidasi.

"Lo mau mati cepet, atau cepet banget? Kalau mau cepet banget, yaudah lo di situ aja terus!" Jean mulai naik pitam. Susah banget sih ini orang diajak kerja sama!

Oke fix, keputusannya ini mungkin akan jadi pelanggaran paling nekat yang pernah Jean lakukan terhadap prosedur keamanan. Tapi mau bagaimana lagi… karena dilihat dari sisi manapun, ini solusi yang paling logis kalau ia masih mau bertahan di arena pertarungan. Jean pun melepas rangkaian seatbeltnya, memperbaiki sedikit posisi kabel komunikasi dan selang oksigen, diikuti Eren yang ragu-ragu. Baru setelah ia membantu Eren melangkahkan kaki melalui panel rendah, Jean menyusul lompat dari kursi hitam ke kursi putih. Lalu diaturnya kembali set pengaman secepat mungkin.

"Jean, lo yakin—"

"Udah diem. Protes sekali lagi, lo jadi sampah organik Samudra Pasifik."

Sekarang, Jean Kirschtein yang sudah terbiasa dengan point of view seorang fighter, jelas harus mengakui kalau kursi navigator adalah tempat yang sama sekali berbeda—meski masih berada dalam satu pesawat.

Tapi bagaimanapun, mereka tidak punya banyak waktu. Panel-panel navigasi Sirion sekilas tampak cukup intuitif, jadi semoga saja ia bisa belajar sambil terbang. Sekarang masalah besarnya adalah Eren; dan bagaimana Jean bisa menyederhanakan setengah tahun pendidikan menjadi instruksi sederhana dalam waktu kurang dari satu menit.

"Kiri misil kecil, kanan misil besar. Tengah jatuhin bom. Lo pake kiri, kecuali gue suruh yang lain," jelas Jean, sembari memosisikan jemari Eren di joystick. Menunjukkan tombol-tombol kunci. "Kalau menghadapi Titan, sebisa mungkin bidik ke tengkuk; atau kalau nggak bisa, lumpuhkan dulu. Arahkan ke area diantara belakang lutut sampai pergelangan kaki untuk memperlambat gerakan. Oke?"

Teorinya sederhana: bidik, kunci, tembak. Tapi prakteknya jelas jauh lebih sulit—karena seorang fighter harusnya punya insting yang kuat untuk membandingkan variabel jarak, kecepatan dan waktu; juga gerak lintasan relatif target terhadap pesawat. Apalagi sama halnya dengan Jean yang tidak terbiasa dengan kendali Sirion, Eren pun tampaknya sama sekali tidak punya pengalaman dengan senjata api.

Ah, ya. Sekarang tiba-tiba saja Jean jadi teringat pada debat kusir yang jadi semacam tradisi di akademi; di mana para trainee seringkali adu pendapat soal mana yang lebih bergengsi: navigator atau fighter. Dan tidak perlu ditanya lagi; bahwa tentu saja, Jean Kirschtein dengan segala ke-weeaboo-annya selalu beranggapan kalau divisinya lebih keren.

Tapi rasa-rasanya, sekarang ia harus mengakui kalau kefanatikannya itu benar-benar konyol. Semua yang dialaminya hari ini seakan memaksa ia membuka mata bahwa sebenarnya, pilot fighter sama sekali tidak ada artinya tanpa seorang navigator.

Well… yang jelas, apapun yang terjadi di akhir hari ini, setidaknya Jean sudah berusaha. Dan kalaupun akhirnya hidup terlalu singkat untuk menyelesaikan urusannya dengan si bocah Jaeger ini, awas saja ya, kehidupan setelah mati masih panjang!

Setelah technical meeting singkat, mereka pun turun lagi ke area pertempuran. Eren meneteskan keringat dingin. Jean tidak berkomentar apa-apa—jelas terlalu gengsi untuk mengakui kalau skill-nya tidak sampai setengah kemampuan navigator asli; tapi setidaknya ia yakin kalau dirinya lebih baik daripada seorang pemuda tanggung yang bahkan tidak punya Surat Izin Mengemudi.

"Lo lihat Titan yang berambut hitam, yang di kubah? Kita serang yang itu." Jean menunjuk dengan dagunya, satu objek sebagai target: Titan abnormal yang melompat-lompat dari gedung ke gedung, merusak apa saja yang disentuhnya. Arah geraknya lebih susah diprediksi daripada titan biasa, tapi siapa yang tahu kalau tidak dicoba?

"Siap?"

Eren menghela nafas, mempererat genggamannya ke joystick. Berusaha membayangkan bahwa dia cuma bermain dalam semacam game tiga-dimensi…. kecuali dia benar-benar akan meledak kalau salah bergerak, dan tidak ada pilihan restart setelah Game Over.

"Yes, Sir!"

Pesawat pun meluncur, menukik ke bawah. Jean meneriakkan komando, Eren menekan tombol sekuat tenaga—dan belum pernah ada yang membuat adrenalinnya terpompa lebih deras selain rentetan desing tembakan yang menyusul kemudian. Bunyi ledakan teredam oleh helm, tapi Eren masih bisa melihat gumpalan debu bercampur puing yang membubung dari permukaan tanah.

Jean mulai merasakan kalau sedikit demi sedikit, optimismenya mulai terpompa lagi. Mungkin Eren tidak sepayah yang ia kira—

Setidaknya sampai sejurus kemudian kemudian, Titan yang baru saja mereka tembak mendadak melompat santai keluar dari asap… tanpa luka sedikit pun.

…Dan optimisme Jean pun langsung lenyap, terjun bebas ke jurang tak berdasar.

"Woi, lo gimana, sih! Nembak yang bener dong!"

Eren merengut, jengah dengan ekspektasi sang pilot yang menurutnya tidak masuk akal. "Lo kira gue anak ajaib, sekali coba langsung bisa!" ujarnya, membela diri, "Lo juga terbangnya yang bener dong! Gerak terus mana gue bisa bidik!"

Jean frustrasi. Rupanya benar juga kata para senior, bahwa menjadi sepasang pilot Sirion memang butuh chemistry. Bahkan partner-partner terbaik sepanjang sejarah, seperti misalnya duo Squad Leader Hanji Zoe dan Mike Zacharius, kabarnya bisa berkoordinasi tanpa kata-kata—yang mana akhirnya menjadikan mereka berdua sebagai role model pilot pesawat kendali ganda.

Ah, mimpi di siang bolong, pikir Jean, pundung. Jangankan sinkronisasi pikiran. Pesawat sekecil ini ini tidak pecah gara-gara kedua pilotnya ribut terus saja sudah syukur!

"Eh lo bisa nggak sih bodoh lain kali? Namanya pesawat kalau nggak gerak ya nggak terbang lah!" omel Jean sengak, "Trus lo nembaknya juga jangan kayak monyet dikasih senapan gitu dong! Ngabisin amunisi! Main yang rapih! Arahin sampe targetnya masuk lingkaran merah, kunci pake tombol kotak, baru tembak! Monumen elang emas yang barusan lo hancurin tadi harganya lebih mahal dari ginjal gue, mampuslah kalau nanti disuruh ganti rugi!"

"Bawel! Lo sendiri nyetirnya ugal-ugalan kayak orang mabok! Udah mending gue mau bantuin!"

Diam diam Jean kesal juga mendengar komentar Eren, yang membuatnya jadi merasa gagal sebagai pilot Angkatan Udara—karena meski sudah tahu prinsip dasar navigasi Sirion, tetap saja dia merasa luar biasa gaptek ketika menghadapi perangkat aslinya. Yah, orang awam sih mana peduli mana fighter mana navigator, yang mereka tahu cuma keduanya sama-sama pilot! Duh, biasanya Marco pake jampi-jampi apaan sih, kok terbangnya bisa mulus bener?!

"Yaudah sih, kalo lo gak mau bantuin juga nggak apa-apa! Kita mati sama-sama!"

"Ogah, sok romantis amat sih lo! Mati aja sana sendiri! Udahlah nggak apa-apa nembaknya kayak Rambo! Yang penting kena kan?"

"Kena jidat lo! Ini gue barusan dimaki-maki sama Reiner, katanya lo hampir aja nembak ekor pesawatnya! Udahlah pokoknya nanti kalau kita selamat sampai di base, ingetin gue buat jauh jauh dari om-om bermuka gorila yang rambutnya pirang!"

Gagal di percobaan pertama, Jean pun ganti taktik. Ia mesti terus-terusan melirik layar, baru memberi aba-aba 'kunci' ketika target masuk ke area bull's eye dan 'tembak' ketika posisinya sudah bagus. Orang ATC nun jauh di sana mungkin pengang juga mendengar dia teriak-teriak, tapi ya sudahlah, mau bagaimana lagi.

Selanjutnya, sedikit-sedikit Jean sudah mulai bisa beradaptasi. Sejak awal masuk militer, ia memang selalu dapat jatah fighter, atau paling tidak pesawat pilot tunggal. Tapi untungnya ia sempat belajar navigasi sedikit dari Marco—yang kadang tanpa diminta pun menjelaskan bagaimana trik-trik melakukan manuver yang relatif aman.

Dan lebih dari itu, rupanya Tuhan tidak benar-benar kejam ketika memilihkan partner baru untuknya. Karena agak mengejutkan juga, ketika kemudian Jean menyadari bahwa kalau diberi instruksi yang tepat, sebenarnya Eren bisa menembak dengan benar. Memang masih kaku dan tidak sempurna, tapi dia cepat belajar. Jean jadi merasa, mungkin karir pemuda ini akan bagus kalau dia masuk ke akademi….

…tapi sayangnya, tidak. Dia masih mahasiswa biasa, yang sama sekali awam dengan dunia aviasi. Jadi di sepanjang pertempuran, Jean terpaksa harus terus membagi fokusnya antara mengendalikan pesawat dan meneriakkan instruksi sampai suaranya serak. Yang mana bahkan lebih susah daripada mengendalikan pesawat single seat fighter.

Dan ya Tuhan, Jean benar-benar harus mengerahkan seluruh kemampuan pengendalian dirinya selama lima tahun terakhir… untuk tidak mencekik pemuda di sebelahnya ini, yang mulutnya benar-benar minta dicium pakai staples.

"JEAN! KALAU MAU MANUVER BILANG-BILANG DULU BISA KALI! SEKALI LAGI LO MUTER KAYAK TADI, GUE BENERAN MUNTAH DI SINI NIH!"

"JEAN KAGAK USAH TERIAK BISA KALI! BERISIK!"

"JEAN! KURANG GREGET TAU PAKE MISIL YANG KECIL! GUE PAKE YANG BESAR, YA! ATAU GUE PAKE BOMNYA SEKALIAN, YA!"

"TATAKAEEEEEEEE—"

"JANGAN HALANGIN GUE! MEREKA SEMUA SAMPAH! HEAH! AYO SINI KALAU BERANI!"

Sampai sini, Jean mulai curiga kalau jangan-jangan si Jaeger ini menderita semacam gangguan mental, karena kepribadiannya yang tadi cupu cemen ngeselin tiba-tiba saja berubah jadi agak-agak psikotik... lengkap dengan tawa maniak yang menggema di kokpit setiap kali ia menembakkan misil.

"MATI KALIAN SEMUAAAAA! WOAHAHAAHAHAHAHA!"

Oke. Sekarang Jean betulan merinding.

Kemudian, satu demi satu Titan pun berhasil ditumbangkan, berkat jumlah pasukan yang bahkan melebihi jumlah musuh. Sampai akhirnya hanya tersisa beberapa saja yang benar-benar keras kepala—satu ukuran 14 meter, dan yang satu lagi mungkin hanya setengah dari itu; tapi masuk ke kategori abnormal dan lompatannya lincah sekali.

Entah sudah berapa lama Jean cuma berputar-putar saja, demi mencari sudut yang tepat untuk menembak. Jadi begitu kesempatan emas akhirnya datang, jelas ia tidak membiarkannya terlewat begitu saja.

Menyerang Titan pelompat seperti ini agak tricky, tapi sekarang Jean sudah menemukan caranya. Mereka biasanya mengambil ancang-ancang dulu sebelum bergerak; dan pertanda yang tepat untuk menembak, adalah saat tubuh mereka mundur sedikit sepersekian detik sebelum lompatan. Dengan mengarahkan senjata ke jarak tertentu sedikit di depan trayeknya, besar kemungkinan target akan kena di udara.

Tapi sialnya, sekarang ia menggenggam kemudi dan bukannya joystick. Maka kembali lagi, semua tergantung pada Eren. Tidak ada waktu untuk menjelaskan detailnya, jadi sekali ini saja, Jean berharap insting bocah itu berfungsi. Tiga… dua… satu—itu dia!

Aba-aba diteriakkan. "Eren, kunci! Langsung tembak!"

Bunyi lock yang familiar pun terdengar, bersamaan dengan Titan yang melompat dengan kecepatan mengagumkan. Tapi ketika misil meluncur, Jean langsung menyadari kalau arahnya melenceng jauh sekali dari target. Jean meraung. "WOI, LO NEMBAK KE MANA?"

Tapi belum sempat Eren menjawab, kemudian misil yang ia luncurkan meledakkan sebuah tower—yang kemudian menjelaskan semua strateginya pada Jean. Titan yang tadi melompat kehilangan tempat mendarat, meraih dinding yang rapuh, lalu jatuh bersama dengan runtuhan bangunan.

Eh, pintar juga dia rupanya.

Tanpa menunggu perintah, Jean pun membawa pesawatnya melewati lokasi jatuhnya Titan, menahan nafas ketika kemudian Eren menekan tombol tengah.

Ledakan besar menggetarkan tanah. Asap membubung tinggi, diiringi suara berdesis. Pesawat lain bergerak cepat menembak ke lokasi jatuhnya musuh, memastikan ia tidak bangkit lagi.

Beberapa menit pun berlalu, dengan semua mata menatap ke raksasa yang separuh tubuhnya hancur tertimbun puing-puing. Menunggu. Tapi tidak ada gerakan. Hanya tampak asap putih yang menguap dari bangkainya.

Eren menoleh ke arah Jean, ragu-ragu. Keringat dingin mengaliri seluruh tubuhnya. Dan ketika kemudian sang pilot mengacungkan satu jempol sebagai isyarat Titan terakhir sudah dimusnahkan… ia serasa mau meleleh di kursinya.

.

.

.

.

.

"Gue bisa jalan sendiri." Eren menepis tangan Jean yang terulur, bermaksud membantunya turun dari kokpit.

"Yaudah sih." Jean yang dongkol karena kemurahan hatinya ditolak mentah-mentah, mendengus kesal. Padahal mau dilihat pakai sedotan dari puncak tower pun, Eren Jaeger ini sama sekali tidak kelihatan seperti prajurit yang memenangkan pertarungan. Malah ekspresinya persis orang yang habis menelan kecoa mati, bajunya basah kuyup oleh keringat, tangannya dingin, bahkan kakinya sampai bergetar ketika melompat turun dari pesawat.

Satu kesimpulan yang bisa ditarik Jean dari sang rekan baru: si Jaeger ini tipe orang yang gengsinya jauh lebih besar daripada otaknya.

"Kita mau ke mana?" tanya Eren kemudian, setelah akhirnya berhasil menyamakan ritme langkahnya dengan sang rekan (Jean yang masih jengkel, sengaja ambil langkah lebar-lebar). Pemuda berambut cokelat gelap itu menoleh ke kanan-kiri—memperhatikan kalau orang-orang di sekitar mereka pun tampaknya berjalan ke arah yang sama; dan langsung merasa kalau hanya dia sendiri yang tidak tahu ke mana mereka menuju.

"Lo nggak dengar pengumuman barusan? Semua prajurit disuruh berkumpul di Hall," jawab Jean malas, sambil terus saja melangkah zig-zag secepat yang ia bisa, setengah berharap Eren tertinggal dan hilang tertelan keramaian, syukur-syukur kalau mereka tidak bertemu lagi. Tapi rupanya mata bocah itu cukup jeli juga, karena berapa kalipun sempat terpisah, ia selalu bisa menyusul lagi. Dan setiap kali kembali, ia malah jadi makin menempel ke Jean. Sial betul.

"Eh, ke Hall? Ngapain di sana?"

"Apel dulu."

Eren mendengus. "Gue mau istirahat aja ah."

"Lo kira ini pangkalan punya moyang lo!?"

"Trus gue mesti ngapain? Ikut apel juga?"

Jean berpikir sejenak. Menyelundupkan satu orang di tengah-tengah ribuan orang, rasanya tidak akan begitu sulit. Lagipula di tengah kekacauan begini, orang-orang biasanya cenderung lebih memperhatikan diri mereka sendiri. Yah, selama Eren tidak sengaja menarik perhatian, sih.

"Jangan ikut, nanti ketahuan. Takutnya nanti lo diapa-apain. Mending sembunyi aja di toilet dulu." Jean memberikan solusi pertama yang terlintas di kepalanya. "Biasanya cuma hitung pasukan. Nanti gue panggil kalau udah selesai."

Untungnya sekali ini, Eren langsung setuju tanpa banyak protes. Jean pun melanjutkan langkahnya mengikuti keramaian, sedangkan Eren diam-diam berbelok ke toilet pria terdekat.

Dan di sepanjang apel, Jean Kirschtein cuma berdiri saja dengan pikiran kosong. Masih belum sepenuhnya percaya kalau dia baru saja lolos dari momen paling menegangkan di sepanjang hidupnya. Ngomong-ngomong, kalau diingat-ingat lagi, sekarang ia baru sadar kalau barangkali pesawatnya bermasalah di bagian sayap kanan—karena ketika mendarat tadi, ia merasa getarannya abnormal dan kokpit selalu terasa agak miring dari sumbu vertikal.

Tapi ya sudahlah. Biar itu jadi urusan teknisi. Paling tidak, pesawatnya (dan kedua pilotnya, tentu saja) masih utuh sampai di hanggar.

Seusai apel yang terasa berjam-jam lamanya, Jean menyeret langkahnya ke arah ia tadi pertama kali datang. Toilet pria jadi tujuan utama. Sewaktu ia masuk, seluruh bilik penuh. Jean menunggu sambil buang air di urinal, menggerutu kenapa Eren lama sekali.

Satu persatu orang keluar. Tapi bahkan ketika bilik terakhir dikosongkan, si pemuda berambut cokelat sama sekali tidak kelihatan batang hidungnya. Khawatir terjadi apa-apa, Jean langsung menyisir seluruh sudut kamar mandi. Eren tetap tidak ada di mana-mana. Ampun, bocah ini tidak tahu apa artinya 'tunggu sebentar', ya!?

"Jean!"

Sebuah suara yang familiar memanggilnya dari belakang, dan untuk sesaat Jean dilema apa dia harus merasa lega atau marah.

"Oi, lo ke mana aja, sih!?" Well, rasanya 'marah' lebih tepat. "Kenapa malah ngilang! Kan gue bilang tunggu di sini!" Masih bersungut-sungut, pemuda itu menjitak Eren—yang kemudian malah dijitak balik dengan kekuatan yang menurutnya tidak adil.

"Gue nyariin elo lah! Apelnya udah selesai dari tadi! Gue kira lo bakal ninggalin gue di sini!"

Jean terdiam. Kata-kata Eren barusan entah kenapa membuatnya jadi merasa bersalah. Dan juga menyesal… karena benar juga, ia sudah melewatkan kesempatan emas untuk melepaskan diri dari si benalu ini. Lagipula, mencari satu orang di tengah pangkalan sebesar ini bisa dibilang seperti mencari jarum di tengah tumpukan jerami… dan Jean masih orang baru yang tidak banyak dikenal… jadi seandainya saja tadi ia langsung kabur, kemungkinan besar Eren tidak akan pernah bisa menemukannya lagi. Ah, kenapa tidak terpikir dari tadi, sih!?

"Muka lo kucel gitu. Nyesel ya ketemu gue."

Jean memutar mata, sambil memindah selempang tas ranselnya dari bahu kanan ke kiri. "Pake nanya lagi."

"Terserah. Pokoknya lo masih punya tanggung jawab memastikan keselamatan gue sampai di Melbourne. Titik. Jangan lupa."

"Bisa diem nggak sih. Gue lagi nggak mood." Kalau mau ngajak berantem besok aja, sampe magrib juga gue ladenin.

"Terus kita ke mana sekarang?"

"Istirahat. Mandi. Habis itu tunggu panggilan makan malam."

"Kalau pesawat yang terbang ke Australia, di mana? Ada nggak yang berangkat besok pagi? Perlu beli tiket nggak? Terima kartu kredit nggak?" Eren terus mendesak. Lama-lama Jean jengah juga.

"Mana gue tahu," jawabnya cuek, sebelum teringat bahwa kebohongannya-lah yang membawa bocah itu begini jauh dari rumah (oke, secara teknis ini salah Eren sendiri, sih, tapi tetap saja). Dan sekarang jelas bukan waktu yang tepat untuk pengakuan dosa, jadi Jean buru-buru menambahkan, "Besok aja lah nyarinya. Gue capek."

Kemudian Eren diam. Mengekori langkah Jean tidak lebih dari setengah meter di belakangnya, sementara yang diikuti berusaha mengingat-ingat jalur peta yang tadi dilihatnya di salah satu koridor. Harusnya ada semacam mess di sekitar situ. Semoga saja bukan salah satu yang hancur karena serangan Titan barusan.

Sesampainya di tempat yang dituju, untungnya, doa Jean terkabul. Di sana pandangan mereka langsung disambut dengan deretan kamar-kamar beranjang susun, padat tapi setidaknya lebih baik daripada tidur di lantai berlapis matras. Tanpa berpikir panjang, Jean pun langsung mengklaim satu tempat kosong terdekat dan melempar tasnya ke kolong.

"Lo diatas, gue disini."

Dahi Eren berkerut, melihat sang rekan yang langsung saja rebahan di ranjang kecil yang kelihatannya keras dan tidak terlalu nyaman itu. "Gue mau yang one room suite aja ada nggak? Nanti gue bayar deh."

"Lo pikir kita lagi di hotel?" Lemparan selembar handuk gulung mendarat telak di wajah Eren. "Sana mandi duluan. Nanti gantian."

"Dih. Baru balok dua aja udah songong. Awas aja kalo nanti naik jadi bintang, pasti diem-diem disumpahin cepet mati deh sama bawahan-bawahan lo."

"Berisik."

Selanjutnya, gerutuan Eren teredam oleh bantal yang ditutupkan ke kedua telinga Jean. Masa bodoh dengan bocah itu. Ia punya hidup sendiri, urusan sendiri. Lagipula, Jean juga tidak bisa lebih lama lagi dibuntuti—Base Edna cuma tempat transit sementara; dan menurut jadwal, dua hari lagi skuadnya akan dikirim ke India untuk misi. Hah, seandainya saja ada di sini ada lokasi penampungan anak hilang seperti di supermarket-supermarket, mungkin segalanya akan jadi jauh lebih mudah.

Jean membuka matanya sedikit, melirik ke samping. Eren sudah pergi.

Ah, dia harus memikirkan rencana besok pagi.

.

.

.

.

.

TBC

.

.

.

P.S. : Sorry Jean, I made you a jerk. Btw line yang ada di bawah judul chapter, nyomot dari instagramnya 9gag.