WORK!

© Masashi Kishimoto

.

WARNING : TYPO(S), MATURE CONTENT, OOC, AU, ETC

.

.

.

Hinata hampir saja tak berhenti mengatai Naruto dengan sumpah serapah, jika tidak mengingat bahwa Naruto adalah suaminya sendiri. Mata perak yang memancarkan kelembutan itu berkilat penuh amarah bagaikan api yang menyalang. Baru sekitar tak lebih dari satu jam mereka berbaikan, Naruto sudah harus kembali mengingkari janjinya sendiri.

Seusainya menyelesaikan kegiatan ranjang mereka, Naruto tak sengaja menangkap suara dering ponselnya. Membaca contact penelpon lalu mengangkatnya secara terburu-buru. Entah apa yang Naruto bicarakan, namun Hinata dapat menangkap sosok Naruto dengan gelagat yang akan pergi. Ia menatap tubuh kekar suaminya itu berjalan memasuki kamar mandi dan membersihkan tubuhnya secara terburu-buru.

"Mau kemana?"selidik Hinata penuh tanda tanya saat Naruto keluar dari kamar mandi dengan berbalutkan handuk yang melingkari pinggangnya.

"Ke kantor."

"Kau berjanji akan menemaniku hari ini, Naruto-kun."

Naruto menatap istrinya dengan tatapan penuh penyesalan. Ia menghela nafasnya berat, seakan ada sebuah batu yang membebani lidahnya untuk bicara.

"Ada urusan mendadak, Hime."

"Jijik,"Hinata mengacuhkan alasan Naruto. Seharusnya memang ia tidak langsung percaya begitu saja dengan ucapan Naruto tadi. "Lelaki memang benar-benar memiliki lidah yang lihai untuk membuat wanita percaya, ya,"lanjutnya sembari menyamankan posisi tidurnya, membelakangi Naruto yang sedang memilah-milah pakaian sembari berusaha menutup matanya.

"Aku akan menyelesaikannya dengan cepat. Aku berjanji akan langsung pulang saat sudah selesai."

"Tak percaya."

Naruto menghela nafasnya pasrah. "Aku akan lakukan apapun agar kau bisa mengizinkanku pergi, Hinata,"ucapnya berat.

"Pergi saja!"Teriak Hinata. "Aku tak membutuhkanmu."

Dengan langkah berat dan sedikit gontai, Naruto menghampiri Hinata yang menutup hampir seluruh tubuhnya dengan selimut. Berusaha menyentuh rambut indigo istrinya, namun ditepis. Membuatnya kembali berdiri tegak dan melangkah menuju pintu kamarnya.

"Aku pergi."

.

.

"Wah, kau cepat sekali, Naru-kun."

Naruto duduk dengan nyamannya di sofa yang ada di ruang kerjanya. Menyeruput kopi yang tersedia di atas meja datar sambil menatap wanita cantik berambut pirang panjang di depannya. "Ada apa, Shion? Kau tadi menelpon seakan memiliki berita yang benar-benar penting."

"Tentu! Aku rasa kau harus segera mengetahuinya, Naru-kun,"ucap Shion disertai sedikit jeda. "Kemarin, aku datang ke rumahmu, namun kau tak ada. Yang ada hanya asisten rumah tanggamu,"keluhnya menatap Naruto.

Dahi Naruto mengernyit. Asisten rumah tangga?

"Asisten?"Tanyanya.

"Iya, asisten rumah tanggamu,"ulang Shion.

"Tapi aku tak memiliki asisten rumah tangga,"bidik Naruto yang membuat Shion terperangah.

"Lalu? Kemarin siapa yang aku temui?"

"Bagaimana ciri-cirinya?"tanya Naruto penasaran. Shion hanya melirik matanya ke atas sembari mengetuk-ngetuk dagunya untuk mengingat sosok mungil yang ia temui di rumah Naruto kemarin.

"Berambut gelap sebahu, lumayan cantik? Apalagi ya? Ah! Matanya hampir mirip dengan mataku!"

"Astaga Shion, wanita secantik itu kau katakan asisten rumah tangga?! Dia istriku!"Naruto berteriak dan berdiri tak percaya jika Shion bisa menyebut wanita secantik Hinata adalah asisten rumah tangganya. Sinting!

"Kau tak mengatakannya kalau dia istrimu."

"Aku tak tahu kalau kau akan datang!"

"Aku hanya ingin membuat kejutan, kok!"

Sejenak tak ada suara yang menghiasi mereka. Naruto kembali duduk dengan memejamkan matanya gusar. "Apa saja yang kau katakan pada Hinata kemarin?"Tanyanya to the poin.

"Tidak banyak, aku hanya berkata mempunyai urusan penting denganmu, namun malah berakhir dengan dia yang membanting pintu. Membuatku ketakutan sejenak, bahkan aku bisa merasakan bayiku ikut ketakutan,"terangnya.

Naruto menyipitkan matanya saat mendengar sesuatu yang langka untuk Shion bicarakan. Bayi katanya?

"Apa maksudmu dengan 'bayiku'?"

"Astaga aku lupa. Aku belum memberi tahumu, Naru,"Shion tersadar dengan cepat, ia menampilkan senyum manisnya di depan Naruto. "Aku hamil, Naru! Sudah tiga minggu!"Teriaknya kegirangan yang membuat Naruto melotot tak percaya.

"Ha-hamil?"Gaguknya.

"Iya! Aku tak menyangka akan mendapatkannya secepat ini. Yang jelas, aku bahagia sekali."

Naruto meneguk ludahnya kasar dan menatap Shion yang betul-betul berbahagia. "Selamat,"ucapnya. "Bahkan kau yang baru menikah empat bulan mendahuluiku yang sudah berumah tangga selama dua tahun,"kekehnya yang membuat Shion berhenti menampilkan wajah bahagianya.

"Kalian belum memiliki anak?"

"Belum."

"Ya ampun.."Shion menggigit kukunya gemas. "Kau yakin tak menemui tanda-tanda dari istrimu, Naru?"

"Tidak,"jawab Naruto cepat. Ia mengusap wajahnya dengan kasar. "Aku tak mengerti, Shion. Kami sudah berusaha. Bahkan aku dan Hinata sempat memeriksakan diri. Dan tak ada yang salah dengan kami berdua. Demi Tuhan, aku ingin segera memiliki anak."

Shion menatap Naruto dengan iba. Ia menatap prihatin kepada sahabat yang sudah bersamanya sejak kecil dulu. Lalu dengan pelan ia menepuk bahu Naruto. "Mungkin belum waktunya,"hiburnya.

"Tapi sampai kapan?"Naruto bertanya dengan putus asa.

"Entahlah, Naru-kun. Mungkin belum waktunya kalian cepat memiliki momongan,"Ucap Shion dengan nada sedikit berpikir. "Mungkin di antara kalian masih ada keraguan? Atau, Hinata masih belum menginginkannya?"

"Tidak mungkin. Ia begitu menyukai anak kecil,"terang Naruto.

"Aku juga tidak bisa begitu menghiburmu lebih banyak. Yang aku ingat Ibuku selalu berpesan agar aku dan Shino nantinya ketika menikah jangan sampai putus komunikasi. Mungkin itu kuncinya? Kau harus lebih sering berkomunikasi dengan Hinata. Aku rasa, kalian kurang saling memahami."

"Aku tak mengerti."

"Baka no Naruto!"Shion memukul kepala Naruto agak kuat yang membuat Naruto meringis.

"Kenapa kau menjadi kuat seperti ini? Apa ini kekuatan dari ibu hamil?"Ringisnya pelan sambil mengelus kepalanya. "Aku jadi tidak bisa membayangkan bagaimana Hinata hamil nanti. Sekarang saja, kekuatannya sudah bisa melemparku dari jendela rasanya,"Naruto terkekeh.

"Aku mengenalmu lebih lama dari istrimu, Naru, bahkan rasanya aku memahamimu lebih rinci dibanding aku memahami suamiku sendiri,"nada bicara Shion terdengar mulai serius. "Kau seorang pekerja keras, dan begitu maniak dengan semua pekerjaan yang ada di depanmu. Aku tak melupakannya, yang jelas, aku ingat kalau kau lebih suka menyimpan semuanya sendiri hingga kau bisa menyelesaikannya sendiri pula,"Shion mengunci tatapan mata biru itu dengan serius.

"Lalu?"

"Lalu apanya bodoh?! Akupun masih sangat yakin sekarang kau masih maniak dengan kerjamu, dan masih suka menyimpan semua masalahmu sendiri. Tidakkah pernah kau memikirkannya?"

"Apa?"

Naruto mengedarkan pandangannya dari mata bulat Shion. Wanita itu sedang berada dalam mode pendakwah. Yang membuat Naruto tak sanggup menatapnnya lama-lama, nanti yang ada seluruh kupingnya ini terpekak karena terlalu serius menanggapi wanita itu.

"Benar-benar bodoh!"Geram Shion. "Kau pernah memikirkannya sedetik saja? Tentang istrimu. Apa yang istrimu inginkan? Pernahkah kau memahaminya?"

Naruto tertegun, ia kembali menatap Shion. Memahami Hinata?

"Sudah kuduga."

"A-apanya?"

"Kau tak pernah memikirkannya! Itulah kuncinya! Kau harus lebih berusaha memahami istrimu, apa yang diinginkannya, kalian harus berkomunikasi untuk itu. Jangan egois, jangan memikirkan dirimu sendiri, pikirkan juga kepuasan istrimu!"

Naruto mengernyit, saat mendapati topik yang Shion bahas ternyata berbeda dari pemikirannya.

"Apa maksudmu? Kepuasan apa?"

"Kepuasan seksual istrimu!"

"Sinting!"

Kali ini giliran Naruto yang memukul kepala Shion. Ia kira Shion akan berbicara mengenai sesuatu yang lain. Motivasi yang bisa membuatnya menjadi sedikit lebih baik. Malah membahas sesuatu yang menurutnya tentu pribadi.

"Aaak! Sakit, tahu!"Shion meringis. "Ku pikir kalian mengalami masalah dalam prosesnya."

"Kau yang bodoh. Itu privasi. Tapi kalau kau penasaran, aku dan Hinata selalu mendapatkan kepuasan. Stop omong kosongmu."

"Benarkah? Kalau begitu mau melakukannya denganku sembilan bulan lagi?"Tawar Shion yang diakhiri dengan pendaratan bantal empuk tepat di depan wajah ayunya.

"Dasar ibu gila!"

Naruto mengacak rambutnya frustasi. Memikirkan waktunya yang terbuang percuma. Ia kembali teringat pada sosok Hinata yang tengah merajuk di rumah karena ia tinggalkan. Naruto kembali teringat kata-kata Shion yang sedikit ia resapi di dalam otaknya, selain pembicaraan tak berguna lainnya.

Memahami Hinata?

Memikirkan apa yang ia inginkan?

Yang Naruto tahu, Hinata tak pernah menginginkan apapun darinya. Selain, menginginkan Naruto agar tetap di sisinya.

Naruto tertegun, ia kembali dipusingkan.

Memahami, katanya?

Pernahkah?

.

.

Part II ― Acorn Understanding

.

.

"Kau masih belum memberitahunya, Hinata?"

Iris emerald itu kian menajam disertai alisnya yang menukik ketika Hinata menggelengkan kepalanya pelan.

"Kau cukup jika dikata tidak waras. Apa ada masalah dengannya? Sehingga mengatakannya saja kau tidak bisa?"Sakura makin mengintimidasi pasien sekaligus sahabatnya itu.

"Ti-tidak."

"Lalu kenapa? Jelaskan padaku apa alasannya,"tuntut Sakura meminta penjelasan.

Hinata menundukkan kepalanya dalam diam sambil menaut-nautkan jemarinya dengan gugup. "Aku akan mengatakannya, kalau dia sudah tidak sibuk."

"Lalu kapan?"

Hinata menggigit bibir bawahnya. Entah mengapa berhadapan dengan gadis pink ini membuatnya begitu gagu. Padahal biasanya, ia bisa berbicara hingga kecepatan 500 kilo meter per jam.

"Hinata.."Sakura meremas pelan lengan putihnya. "Kandunganmu masih dalam posisi yang rawan. Dan kau masih belum mengatakannya. Katakan pada Naruto, biar dia bisa menjagamu. Aku yakin dia senang, dan perlahan mengurangi pekerjaannya,"saran Sakura.

"Kau bahkan meminum alkohol, dan berhubungan badan dengannya. Apa yang kau pikirkan, sih?"Sakura mencubit lengan itu geram.

"S-sakura-chan.."Hinata mengeluarkan suaranya yang lembut. "Anakku, baik-baik saja kan?"Tanyanya hati-hati.

"Untungnya. Aku heran bayimu masih mampu bertahan di perut ibunya yang begitu keras kepala."

Hinata terhenyak, ia mengulum bibirnya kuat-kuat. "Kalau saja mengatakannya semudah dirimu yang menyatakan cinta pada Sasuke-kun, aku akan mengatakannya dari awal."

"Tapi?"

"Kau tak tahu bagaimana rasanya saat menghadapi Naruto. Aku kini bahkan begitu sensitif ketika menghadapi orang-orang yang menyangkut Naruto-kun,"terang Hinata. Sakura diam menatapnya lalu mengangguk mengerti. "Aku juga kian kesal padanya. Akhir-akhir ini dia sering melanggar janjinya sendiri. Sebenarnya hari ini dia berjanji akan menemaniku, tapi belum genap satu jam ia berjanji, ia sudah mengingkarinya lagi,"keluhnya.

"Itu hanya perasaanmu. Memang perasaan seorang ibu hamisl akan lebih sensitif dari biasanya. Tapi yang jauh lebih penting dari itu, kau harus segera memberi tahunya sesibuk apapun dia utamakan itu terlebih dahulu, aku khawatir Naruto terus-terusan tak bisa mengendalikan nafsunya saat bersamamu,"Sakura berucap diselingi nada khawatir yang begitu menonjol.

"Sebenarya lebih sering aku yang memulai."

"Sinting kau!"Sakura terhenyak saat mendapat akuan jujur dari Hinata. Ia menjambak rambutnya sendiri frustasi.

"Entahlah, Sakura-chan. Aku merasa terus mendambakan sentuhannya di antara rasa jengkelku,"Hinata berucap lebih tenang dari yang sebelumnya. Sepertinya, kegaguannya sudah hilang.

"Terserah."

Tak ada lagi suara yang menghiasi keduanya, hingga Sakura mendesah pelan, dan membuka suaranya.

" Hilangkan kebiasaan itu, atur pola makanmu. Dan usahakan jangan terlalu letih. Oh, ya, kau juga harus mengonsumsi banyak sayur dan buah. Apa kau sudah mulai meminum susu?"Sakura berucap sambil menuliskan sebuah resep untuk diberikannya pada Hinata.

"Aku tiduk suka, rasanya begitu aneh."

"Kau harus."

Sakura tak berkata apa-apa lagi setelah menyerahkan resepnya. Namun Hinata enggan keluar dari ruang kerjanya yang membuatnya kembali bersuara.

"Kau tak keluar?"

"Aku nyaman disini."

"Aku harus bekerja. Banyak pasien yang mengantre."

Hinata menatap Sakura dengan tatapan memohon, ia benar-benar nyaman berada di dalam ruangan kontrol ini.

"Aku akan mengizinkan kau tinggal. Asalkan kau berjanji akan mengakui kehamilanmu secepatnya pada Naruto,"tawar Sakura. Dengan cepat tanpa berpikir, Hinata mengangguk setuju.

"Aku janji."

.

.

.

"Darimana?"

Naruto menatap heran istrinya yang memasuki rumah tak lama ketika ia memasukinya. Langkahnya yang besar ia minimkan untuk menunggu jalan sang istri. Agar mereka dapat berjalan beriringan.

"Dari tempat Sakura-chan,"jawab Hinata jujur. Ia mengambil alih tas kerja Naruto untuk dibawanya.

"Oh,"jawabnya singkat. "Eh? Kau sakit?"Naruto bertanya cemas saat tersadar siapa yang Hinata kunjungi.

"Tidak,"Naruto bernafas lega saat mendengar jawaban Hinata. "Tidak lembur?"Hinata membuka kenop pintu kamarnya dan hanya mendapat gelengan dari Naruto.

"Aku sudah berjanji akan pulang cepat."

"Hm."

Tak ada suara lagi yang terdengar. Suasana dingin menyelimuti keduanya. Hinata melepaskan jas kerja Naruto dan melemparnya ke keranjang pakaian kotor. Ia merasa bimbang, antara ingin mengatakan atau tidak.

"Hinata."

"Naruto-kun."

Keduanya saling memandang satu sama lain saat menyadari mereka berucap secara serempak.

"Kau duluan, Hinata,"izin Naruto.

"Tidak. Kau saja Naruto-kun,"tolak Hinata.

"Ladies first."

"A-aku tidak tau harus mulai darimana."

Naruto menghela nafasnya kasar. Ia menatap lekat-lekat sang istri sebelum duduk di sofa dan melepaskan sepatunya.

"Apa ada sesuatu yang sedang kau inginkan?"

Pertanyaan Naruto membuat mata Hinata terbelalak. Yang ia inginkan? Ngidam kah maksudnya? Tidak, Naruto tidak mungkin tau, kan? Apa Sakura memberi tau Naruto? Tidak mungkin Sakura melakukannya tanpa izinnya. Lantas, apa yang dimaksud pria ini?

"Ma-maksudnya?"Hinata bertanya balik dengan gugup, ia masih berada di tempatnya yang semula.

"Maksudku, mungkin kau ingin jalan-jalan? Atau apa? Kita bisa melakukannya malam ini. Aku akan menebus kesalahanku, aku juga sudah menjanjikan kencan denganmu, ya, kan?"terang Naruto.

"Oh, begitu."

"Jadi?"

"Bagaimana kalau makan malam?"Usul Hinata sembari mendudukkan diri di samping Naruto.

"Ide yang bagus. Aku akan booking tempat,"setuju Naruto sembari mengangguk-anggukkan kepalanya. "Kau sendiri, ingin bicara apa tadi?"

Hinata menatap Naruto dengan gelagapan. Ia benar-benar bingung harus memulai darimana. "Eum.. et-etto.."

"Apa? Tumben kau agak pendiam. Biasanya kau cerewet sekali."

Hinata menggaruk-garuk pipinya yang tidak gatal, "bagaimana kalau saat makan malam saja? Mungkin akan tepat waktunya,"usul Hinata yang lagi-lagi mendapat anggukan dari Naruto.

"Baiklah, aku akan mandi dulu."

Hinata menatap punggung sang suami sembari menggigit bibirnya geram.

"Padahal rencana awal aku ingin menghindarinya.."Lirih Hinata sembari mengusap perutnya yang datar. "Anakku nakal sekali, ya, bisa merubah mood ibunya dalam sekejap mata.."

Hinata duduk di atas sofa dan melirik ke arah kripik yang ada di meja. "Kripik kesukaan Naruto,"gumamnya.

Ia memutuskan untuk membuka dan mencicipinya. "Oh! Enak sekali,"soraknya riang. Hinata membawa satu toples kripik itu ke balkon untuk dinikmatinya.

"Akh! Pedas sekali.."

.

Naruto tak dapat menahan ekspresi kagetnya saat keluar dari kamar mandi. Ia gusar melihat keadaan Hinata. Hinata berbaring di atas tempat tidur sembari memegangi perutnya dan merintih sakit.

"Hinata, kau kenapa?"Tanyanya panik.

"Na-naruto-kun.. sa-kit,"ringisnya.

"Apa yang kau makan? Oh― astaga!"Naruto memekik saat mendapati ternyata Hinata baru saja memakan kripik pedas kesukaannya. "Hinata? Kau tau kau tidak tahan pedas. Tapi kenapa masih memakanya?"Naruto berlari ke dapur untuk mengambil air putih agar dapat diminum Hinata.

"Aku tak tau kalau akan sepedas ini,"rintih Hinata sembari mencoba duduk di pinggiran tempat tidur, sambil terus memegang perutnya yang pedih. Wajahnya memerah menahan pedas, hidungnya mulai mengeluarkan cairan dan mulutnya tak henti-hentinya membuka untuk mencoba menghilangkan rasa pedas.

Naruto kembali dari dapur dengan ekspresi yang tak kalah kagetnya dari ia yang keluar kamar mandi. Pasalnya, ia melihat cairan kental merah yang mengaliri kaki mulus istrinya. Dengan setengah terkejut, ia melepaskan gelasnya hingga terpecah. Tubuhnya menegang mendekati Hinata dengan sedikit berlari.

"Astaga, Hime! Apa yang terjadi?!"

.

.

Kegusaran Naruto tak hanya sampai di sana saja. Ia kian panik ketika Sakura menatapnya dengan tatapan tajam sembari menyuruhnya untuk ikut keruangannya.

"Sakura-chan? Apa yang terjadi?!"

Naruto tak henti-hentinya memaksa Sakura bicara di tengah jalan menuju ruangan si gadis musim semi itu. Ia begitu khawatir

"Berisik bocah pirang, duduklah dulu,"Sakura mengizinkan Naruto duduk di depannya dan dengan segera, Naruto duduk di depannya.

"Tante pink, jelaskan!"Naruto menuntut penjelasan.

"Berhenti memanggilku dengan sebutan itu!"

"Makanya jelaskan!"

Sakura menghela nafasnya, mencoba meredam emosi kepada sahabatnya yang akan segera menjadi sosok ayah itu.

"Apa yang dia makan sehingga kesakitan begitu? Kau memberi racun?"Sakura berbicara dengan penuh selidik.

"Demi Tuhan, Sakura! Aku tak meracuninya! Mana tega aku meracuni istriku sendiri. Dan, kau seorang dokter, harusnya kau tau!"

"Ya, aku tau. Tenanglah,"Sakura menghela nafasnya sekali lagi. "Jadi, apa yang dia makan?"Tanyanya sekali lagi.

"Kripik pedas. Ia tak tahan pedas, sedangkan dia memakannya,"terang Naruto yang membuat Sakura mengangguk paham.

"Padahal ia belum sejam ia kembali dari rumah sakit, dan sudah kembali lagi. Dasar ibu keras kepala,"gumam Sakura geram. "Untungnya anakmu baik-baik saja, Naruto."

"A-anak?"Serunya kaget.

"Sudah kuduga ia juga belum memberi taumu,"Sakura menyandarkan dirinya ke kursi empuknya. "Hinata hamil Naruto, beranjak dua bulan,"jelasnya yang berhasil membuat Naruto kaget setengah mati.

"A-apa?!"Naruto refleks berdiri karena terkejut.

"Ia sudah tau sejak tiga minggu lalu, saat merasa tamu bulanannya tak kunjung datang. Aku sudah mencoba memaksanya memberi taumu, tapi dia bersikeras untuk memberi taumu kalau kau sudah tak sibuk. Suami macam apa kau, baka? Mengutamakan pekerjaan dibanding istrimu sendiri."

"Sakura-chan. Kau serius?"Tanya Naruto tak percaya.

"Apa aku terlihat sedang bercanda?"

Naruto dapat merasakan jantungnya berpacu lebih cepat dari yang biasanya. Antara senang, gelisah, takut, dan agak kecewa.

"Apa dia baik-baik saja?"

"Ya, Hinata baik-baik saja."

"Bukan, tapi anakku!"

Naruto bertanya dengan gelisah yang membuncah. Dua bulan? Kenapa ia tak menyadarinya? Jantungnya kian cepat berpacu saat menyadari selama dua bulan itu beberapa kali ia melakukan hubungan badan dengan Hinata. Ia takut anaknya menderita cacat atau apalah itu seperti yang orang-orang sering bilang, resiko melakukan hubungan badan ketika hamil. Anehnya, mengapa Hinata tak menolak?! Batinnya dalam hati.

"Kalau untuk menanyakan anakmu berpasal dari apa yang telah kalian lakukan selama ini. Kau sebaiknya harus bersyukur, dia baik-baik saja,"Sakura menepuk pundak sahabat pirangnya itu untuk menenangkannya. "Syukurnya lagi, Hinata rajin mengonsumsi suplemen vitamin dariku. Tapi sayang, ia jarang makan sayur, yang ia perbanyak lebih ke buah-buahan. Kau nanti harus bisa mengontrolnya agar seimbang, pola makannya juga harus teratur,"Sakura memberi arahan pada Naruto yang menyimak dengan serius.

"Apa ada lagi? Katakan semuanya!"Naruto berucap dengan nada yang lebih tenang dibanding tadi.

"Kau tau? Aku dari dulu sudah bertanya kapan akan mengatakan ini semua padamu, Hinata keras kepala sekali,"keluh Sakura. "Paksa Hinata untuk mulai meminum susu ibu hamil untuk daya tahannya,"lanjutnya.

"Hanya itu saja?"

"Kalau dari aku pribadi, Naruto. Kau harus mengurangi rasa gila kerjamu itu, Hinata selalu mengelu-elukan kau yang lebih sering di kantor di banding di rumah setiap kali ia datang."

Naruto termenung sejenak, ia menatap Sakura sembari menarik dua garis bibirnya tipis. "Of course, aunty."

.

Hinata mendesah pelan saat cahaya memaksa masuk ke dalam retinanya. Ia merasakan pusing yang teramat sangat, ketika mencium bau obat-obatan di sekelilingnya. Matanya menangkap ruangan yang begitu asing baginya, dan tak sengaja menangkap sosok bersurai kuning yang baru masuk ke dalam ruangan. Yang ia yakini adalah suaminya sendiri.

"Naruto-kun apa yang terjadi?"Tanyanya.

"Kau tau apa yang terjadi, Hime."

Hinata tertegun. Ia menyadari jika ia tengah berada di rumah sakit. Apa Naruto menyadarinya?"

"Ma-maafkan aku, Naruto-kun. Ma-maafkan aku.."Hinata bergetar kecil sembari terisak.

"Kau tak perlu menangis. Aku yang salah. Aku tak pernah memikirkanmu, dan selalu memprioritaskan pekerjaanku, aku tau sulit bagimu untuk terbuka padaku, sedangkan aku sendiri tak memahamimu,"Naruto merengkuh tubuh istrinya, membawanya ke dalam dekapan hangatnya.

"Tidak. Kau salah, Naruto-kun, justru aku yang tidak memahamimu.."isak Hinata pelan. Naruto melepaskan dekapannya, dan mengecup puncak kepala istrinya penuh kasih.

"Mulai sekarang, ayo mencoba untuk saling memahami, dan terbukalah satu sama lain, Hime."

Di tengah isakannya, Hinata hanya mengangguk pelan dan kembali memeluk pemuda itu erat.

.

,

Hinata mendapati dirinya yang tengah berdua dengan Naruto. Ia menatap Naruto yang sedang mengupas dan memotong apel untuk diberikan kepadanya. Dengan senyum simpul yang tak pernah lepas dari paras jelitanya.

"Apa kau sudah memberi tau tou-kun?"

Hinata menghentikan kunyahannya saat teringat dengan sang ayah. Apa ayahnya sudah tau perihal kehamilannya?

"Sudah. Tou-kun sedang berlibur ke Osaka bersama Hanabi untuk mengunjungi makan Neji. Mereka akan kembali besok, dan menginap di rumah kita,"terang Naruto yang membuat Hinata sedikit terguncang.

"Aku juga ingin.."lirihnya. Naruto berhenti mengupas buahnya, dan menatap Hinata sedikit menyesal mengatakannya.

"Kita akan ke sana ketika kau sudah diperbolehkan untuk berpergian jauh, untuk saat ini, istirahatlah. Kau tak boleh terlalu lelah,"Naruto mengelus lengan kecil Hinata dan mengecup punggung tangan wanita itu.

"Bagaimana dengan makam ayah dan ibumu? Aku juga ingin.."Hinata melirik ekspresi Naruto yang mendadak tegang karena ia mengatakannya.

Naruto menadak menegang karena mendengar Hinata ingin mengunjungi makam kedua orang tuanya yang telah meninggal sejak ia kecil. Dengan sedikit tersenyum tipis, ia berusaha menenangkan dirinya. "Kita akan mengunjungi mereka setelah kau keluar dari rumah sakit. Sekarang, istirahatlah,"ucapnya sembari membaringkan Hinata di atas ranjang rumah sakit.

"Tapi aku belum mengantuk."

"Paksa."

"Tidak bisa."

Tepat setelah Hinata mengucapkannya, pintu ruangan mendadak terbuka yang membua keduanya menoleh dan agak kaget mendapati dua insan berlawanan jenis masuk ke ruangan.

Hinata sendiri bukan kaget karena pria berkulit pucat yang berjalan mendekati Naruto, melainkan kaget pada sosok wanita pirang yang mengekorinya.

"Yamanaka-san?"Panggil Hinata menyebut nama wanita itu, yang membuat sang pemilik nama terkejut.

"Hinata-sama?"Ino tak kalah kagetnya saat mendapati Hinata yang terbaring di ranjang rumah sakit. Kalau Hinata ada di sini artinya...

"Ino?"

Yak! Sudah Ino duga, ia menatap hormat pada sang boss yang menatapnya agak kaget. "Na-naruto-sama,"ucapnya sambil membungkuk hormat.

"Wah, wah, kalian saling mengenal? Aku baru saja ingin mengenalkan kalian,"sang pria pucat menepuk tangannya karena tak kalah kaget mendapati sang kekasih mengenal sahabat dan istri sahabatnya.

"Dia sekretarisku, Sai,"Naruto berujar.

"Hah? Kebetulan macam apa ini,"Sai duduk dengan santai di sofa yang tak jauh dari tempat awalnya berdiri. "Kau tak bercerita kalau boss yang selama ini suka memarahimu adalah si kuning sialan ini, sayang. Kalau tau begitu, akan ku balas sedari dulu,"Sai merangkul Ino yang sudah duduk di sebelahnya.

"Kau mengatakan aku sering memarahimu, Ino? Apa hubungan kalian?"Naruto bertanya penuh selidik.

"Dia calon istriku."

"Hah?"

Tak ada suara lagi yang menyudahi keterkejutan Naruto. Ia tak menyangka kalau kekasih yang selama ini sahabatnya itu ceritakan adalah sekretaris pribadinya sendiri. Kebetulan yang menarik, kan?

"Yamanaka-san."

Semua orang yang berada di ruangan menoleh pada satu tuju. Menengok Hinata yang entah sejak kapan sudah berdiri sembari memegangi gagang infusnya. Menatap ketiga orang lain yang ada di sana, namun tujunya tetap pada Ino.

"Ya, Hinata-sama?"Ino menjawabnya dengan sedikit anggukan.

"Maafkan aku,"Hinata berucap sembari membungkuku, yang membuat Ino sendiri terkejut.

"Un-untuk apa?"

"Kemarin malam..."Hinata berbicara dengan sedikit menunduk.

"Ah!"Ino berdiri mendekati Hinata secara refleks,"tak apa, Hinata-sama. Aku juga sudah melupakannya,"Ino memegangi kedua bahu wanita hamil itu sembari tersenyum.

"Benarkah?"

"Ya!"

Ino membimbing Hinata untuk duduk di samping Naruto, lalu berjongkok di hadapan istri bossnya itu, mengelus perut datarnya. "Selamat ya, Hinata-sama. Doakan aku juga akan menyusulmu secepatnya!"

.

.

.

Sakura membuka jas putihnya dan meletakkannya di gantungan yang ada di ruang kerjanya, lalu beranjak menghampiri seorang lelaki tampan yang sudah menunggunya sedari tadi.

"Aku pikir kau takkan jemput, sudah mendengar kabar dari Naruto?"Sakura berjalan mendahului pria itu keluar ruangan.

"Itu sebabnya aku datang,"Pria itu menyamai langkah Sakura menuju ruang rawat yang memang sudah menjadi tujuan awalnya. "Aku takut tak punya waktu lagi menjenguknya. Sekalian saja menjemputmu."

"Sasuke-kun.. apa kau tak pernah berpikir untuk segera menyusul?"Sakura menggandeng lengan kekar pemuda yang resmi mengubah marganya menjadi Uchiha enam bulan yang lalu.

"Maksudmu?"

"Yah, itu.. Hinata kan Hamil, apa kau tak berniat untuk―"

"Apa maksudmu? Itu akan begitu aneh bagiku,"Sasuke memotong ucapan Sakura cepat. Yang membuat Sakura menghentikan langkah dan melepaskan gandengannya.

"Apa maksudmu aneh? Kau tak ingin memiliki anak? Jadi untuk apa kita menikah?"Sakura menatap tajam pria itu, menatap tajam yang sebenarnya menyimpan penuh kekecewaan dan keterkejutan.

"Memiliki anak? Tentu saja, aku ingin,"Sasuke mendekati Sakura dan memegang kedua pundak wanita bersurai pink mencolok itu. "Hanya saja, itu terdengar... aneh."

"Apanya yang aneh?"

"Hinata hamil. Dan kau bertanya apakah aku ingin menyusulnya? Aku ini laki-laki, mana mungkin menyusul Hinata untuk segera hamil. Makanya itu terdengar aneh bagiku."

"EEH?!"

.

.

Part II Acorn Understanding

END

.

Story by Riyui WORK!

FIN

.

.

[A/N]

Terima kasih untuk yang sudah memfollow, favorite, dan mereview fanfict ini ^o^)/ Semoga terhibur dengan kisah ringan dan singkat ini. Sampai jumpa di karyaku selanjutnya!

Wassalam,

Riyui