By: Xylia Park
New Home
LAST CHAPTER
.
Mereka bertiga terdiam. Sama sekali tidak berniat untuk beranjak meninggalkan rumah mereka yang sudah hangus dimakan api. Hasil jerih payah kakak Yoongi selama lima tahun, yang baru saja mereka tempati selama beberapa bulan kini hanya tersisa puing-puing abu dan kayu gosong. Yoongi tidak tega hanya untuk membayangkan apa yang sedang dirasakan kakaknya saat ini. Pasti tidak jauh dari sedih dan kecewa.
Lalu Park Jimin. Anak itu hanya diam membisu di luar kamar Yoongi. Berdiri bersandar pada dinding yang menghitam dengan kepala tertunduk. Yoongi tahu di dalam diamnya, Park Jimin pasti sedang menyalahkan dirinya atas apa yang terjadi. Terlihat dari bagaimana caranya berbicara tanpa menatap mata Yoongi dan kakaknya.
Dan di sini, Yoongi sedang menatapi tongkat baseballnya yang hanya tersisa bagian ujung pegangannya saja. Juga karpet bulu kesayangannya sudah lenyap tak bersisa. Dia menghela nafas. Terselip rasa sesal karena telah menantang paman Park Jimin yang bernotabene memiliki kekuasaan untuk melakukan ini-itu dengan satu jentikan saja. Namun rasa marah jelas mendominasinya. Yoongi semakin mengutuk pria itu setelah dengan lancang dia menghancurkan rumah mereka. Yoongi bersumpah pria itu akan membayar semua perbuatannya dengan atau tanpa tangan Yoongi sendiri.
Yoongi menghela nafas, membuang asal tongkat baseball kesayangannya dan berdiri untuk menghampiri rak buku-portal menuju kamar rahasia Park Jimin. Mungkin benda itu terbuat dari kayu berkualitas sangat baik atau mungkin juga petugas pemadam kebakaran, memadamkan api yang membakar benda itu lebih dulu. Karena rak buku itu masih berdiri kokoh di tempatnya(kecuali buku-bukunya. Mereka hangus tak bersisa).
Yoongi mendorong benda itu untuk memeriksa keadaan ruangan di baliknya. Agak susah dibuka, mungkin karena kebakaran, namun Yoongi mengerahkan seluruh tenaganya hingga dia berhasil membuka lebar ruangan itu.
Dia terperangah. Ruangan itu baik-baik saja, bahkan tidak tersentuh api sedikit pun. Hanya bau asap saja. Masih sama seperti sebelumnya, Yoongi menganggap ruangan itu ajaib. Setidaknya masih ada yang bisa membuat Yoongi tersenyum. Memikirkan bahwa CEO Park memang sengaja membuat ruangan ini untuk tempat anaknya berlindung. Itu baru namanya kasih sayang yang sesungguhnya.
"Jimin-ah. Kemarilah!", panggil Yoongi dengan suara penuh semangat. Dia ingin menunjukkan keadaan ruangan itu pada Park Jimin. Namun sepertinya Park Jimin tidak berniat untuk datang.
Cukup lama Yoongi menunggu respon dari anak itu. Yoongi yakin dia masih disana. Park Jimin tidak mungkin pergi dalam situasi seperti ini. Yoongi sangat mengenalnya. Karena Yoongi sangat mengenalnya, jadi Yoongi tahu benar bagaimana caranya untuk membuat Park Jimin datang padanya dengan cepat.
Yoongi merendahkan tubuhnya dan duduk di lantai ruangan itu sebelum dia sengaja memekik, "Akh! Aduh!", dengan suara kesakitan yang meyakinkan.
Tak lama kemudian suara langkah kaki terdengar menghampirinya, saat itulah Yoongi mengubah ekspresi biasanya menjadi ekspresi kesakitan sambil memijit pergelangan kakinya yang(sebenarnya) baik-baik saja.
"Kenapa? Ada apa? Kau baik-baik saja?", Park Jimin dengan wajah panik menghampirinya.
Yoongi mengangguk lemah-masih bersandiwara. "Aku menginjak sesuatu dan terjatuh. Sekarang kakiku terkilir", rengeknya.
Park Jimin berlutut dihadapannya dan membuka sepatu Yoongi. "Makanya hati-hati", kata anak itu. Lalu mulai memijit pergelangan kaki Yoongi.
Yoongi tersenyum manis sambil menatapi Park Jimin. "Apa kau sedih?", tanya Yoongi. Tapi anak itu hanya diam. Tentu saja dia sedih. Bodohnya Yoongi menanyakan hal seperti itu.
Yoongi menghela nafasnya. "Bukankah ini ajaib? Ruang rahasiamu bahkan tidak tersentuh api". lanjut Yoongi namun dia harus mengecap kecewa saat Park Jimin hanya diam tidak menanggapinya.
"Apakah kita boleh tidur di sini malam ini?", tanya Yoongi dengan hati-hati. "Kau punya kasur, selimut dan bantal di sini. Kita suit saja, siapa yang menang akan dapat kasurnya", lanjutnya. Park Jimin masih tidak bersuara.
"Oh, iya! Dan ada jendela! Tidak perlu takut bau asap", Yoongi bangkit dan berjalan cepat untuk membuka jendela kecil di pojok ruangan itu. "Lihat! Aahhh~ Segarnya~~", lanjutnya dan melupakan bahwa saat ini seharusnya dia sedang bersandiwara seolah kakinya sakit karena terkilir.
"Oh?". Untungnya dia ingat dengan cepat- "Akh! sakit sekaliiii!"-dan melanjutkan sandiwaranya walaupun tidak se-meyakinkan sebelumnya.
Park Jimin berdiri. Berjalan menghampiri dan mencubit kedua pipi Yoongi sambil tersenyum samar. "Kau pura-pura, ya?", tanyanya.
Yoongi menelan ludahnya, berpikir jika Park Jimin akan marah padanya dan akan kabur darinya. Namun tidak. Dia justru berkata, "Terima kasih", dengan senyuman. Dan untuk kesekian kalinya, Yoongi melihat Park Jimin meneteskan air mata.
"Cengeng!", ejek Yoongi dan Park Jimin mencubit pipinya semakin keras hingga Yoongi mengaduh kesakitan. Lalu mereka tergelak kecil.
"Yoongi? Jimin?", Kakak Yoongi datang dengan wajah basah karena air mata dan ekspresi kebingungan. "Astaga! Ruangan ini baik-baik saja?", katanya. Dia menatapi sekeliling ruangan itu dengan takjub.
Park Jimin langsung menunduk untuk menyembunyikan wajahnya dari kakak Yoongi saat wanita itu mendekati mereka. Dan kakaknya menyadari itu. Dia terkekeh dan mengangkat tangannya untuk mengacak rambut orange itu.
"Apa kita boleh tidur disini untuk malam ini?", tanya kakaknya.
Park Jimin mengangguk dengan wajah tertunduk. "Apa tidak apa-apa? Disini gelap dan sempit", katanya dengan suara lirih.
"Selama kita bersama-sama, itu tidak masalah. Ah! Kenapa kau bersikap seperti ini?! Ini canggung sekali!", jawab kakak Yoongi, lantas dia memukul pundak Park Jimin dan mulai meledek anak yang terus menundukkan kepalanya itu.
Yoongi pernah khawatir jika kakaknya akan menyalahkan Park Jimin atas apa yang sudah terjadi pada mereka, tapi apa yang dia lihat justru sebaliknya.
"Sudahlah! Nanti aku belikan es krim supaya kau tidak sedih lagi"
"Noona!"
"Iih! Kau cengeng sekali! Lagi pula, kita ini kan keluarga. Kita akan selalu bersama, apapun yang terjadi."
.
New Home
.
Seoul sangat sempit. Berita terbakarnya rumah mereka menyebar dengan cepat, terlebih karena rumah itu adalah rumah CEO Park yang sebelumnya sudah pernah terbakar dan sekarang menjadi milik pembaca berita cantik kesayangan negeri.
Kakaknya bersikeras tetap pergi ke kantornya untuk mengurus beberapa hal, walaupun dia diberikan ijin untuk cuti. Park Jimin juga, walaupun toko serba ada itu masih dalam perbaikan dan belum aktif kembali. Padahal Paman pemilik toserba juga mengijinkannya untuk cuti, tapi dia tetap pergi ke sana. Dan Yoongi, dia tetap pergi kesekolahnya, walaupun pihak sekolah juga mengijinkannya cuti-untungnya seragam sekolahnya selamat jadi dia masih bisa pergi ke sekolah(karena saat kebakaran terjadi, Yoongi masih memakai seragam sekolahnya). Itu karena mereka tidak tahu harus berbuat apa lagi. Mereka adalah orang-orang yang tidak suka berdiam diri, kecuali Yoongi.
Yoongi tetap pergi kesekolahnya karena dia tidak ingin terlihat lemah. Karena Yoongi tahu, pria itu masih akan terus mengawasi mereka.
Kakaknya meminta Yoongi dan Park Jimin untuk tenang, karena dia sudah mendaftar asuransi untuk rumahnya sejak pertama kali membeli rumah itu. Jadi setidaknya mereka tidak seratus persen rugi. Itu sedikit melegakan untuk Yoongi.
Teman-teman Yoongi bersimpati dengan musibah yang menimpanya. Ada juga yang mengaitkan kebakaran itu dengan kemarahan arwah anak CEO Park. Hahaha.. Mereka tidak tahu saja kebenarannya. Ya, apapun itu. Yoongi hanya bisa waspada dengan apa yang akan terjadi selanjutnya. Semoga mereka tidak menyentuh teman-teman sekolah Yoongi juga.
.
Yoongi berlari dari lantai atas di mana kelasnya berada hingga dia sampai pada mobil merah muda yang sedang berhenti di depan gerbang sekolahnya. Kakaknya datang ingin bertemu, dia bilang ada sesuatu yang ingin dibicarakan dengan Yoongi.
"Noona, ada apa?", tanya Yoongi begitu dia masuk ke dalam mobil kakaknya.
Kakaknya mengambil sebuah map yang ada di kursi belakang mobil dan menyerahkannya pada Yoongi. Tanpa bertanya Yoongi langsung membuka dan mengeluarkan isinya. Berkas-berkas dengan kop nama kantor kakaknya dan dihiasi coretan di sana-sini. Yoongi bingung bagaimana cara dan darimana dia harus mulai membacanya.
"Semalam aku tidak bisa tidur. Tiba-tiba aku teringat berita yang aku bacakan lima tahun yang lalu", kata kakaknya.
"Paman Park Jimin. Park Jungmin tersandung kasus penggelapan investasi saham untuk memperkaya diri sendiri. Dia hampir masuk penjara, tapi karena saat itu ada berita yang lebih besar akhirnya publik melupakan kasusnya dan dengan mudahnya pria itu menyuap pengadilan untuk menutup kasusnya dan berhasil bebas. Kalau aku buka kembali kasus ini, dia pasti kena!"
Yoongi diam menatapi kakaknya yang berapi-api untuk balas dendam itu. "Tapi, apa tidak aneh kalau kasus lima tahun yang lalu dibuka kembali? Memang ada yang peduli?"
"Akan sempurna jika Jimin mau bersaksi bahwa pamannya memaksa dan mengancamnya untuk memberikan pemindahan kuasa atas perusahaan CEO Park padanya"
Yoongi menggeleng tidak setuju, "Jimin tidak akan mau. Kau tahu sendiri, kan. Dia mendatangi pamannya dan dengan suka rela akan tanda tangan surat kuasa supaya pamannya tidak mengganggu hidup kita. Dia ingin perdamaian, Noona. Tidak seperti kita. Lagi pula dia tidak menginginkan perusahaan itu. Dia hanya ingin kita dan orang-orang di sekelilingnya baik-baik saja"
Kakaknya mendengus, "Lalu bagaimana, dong? Aku tidak tidur sejak semalam hanya untuk menemukan berkas ini di gudang kantor! Ah! Park Jimin payah!".
Yoongi mengedikkan bahunya. Sebenarnya itu adalah rencana sempurna untuk membalas dendam. Tapi lagi-lagi Yoongi harus memikirkan tentang Park Jimin. Anak itu hanya tidak ingin mereka terluka.
.
New Home
.
Perasaan tengah diikuti itu semakin lama semakin menghantui Yoongi. Kali ini tidak hanya sekedar feeling saja, tapi Yoongi bahkan bisa mendengar langkah sepatu di balik punggungnya. Melangkah perlahan, 'tap. tap. tap' dan menakutinya. Namun setiap dia menoleh ke belakang, dia tetap tidak mendapati siapapun ada disana.
Hal yang bisa Yoongi lakukan hanyalah berlari semakin cepat menuju tempat ramai, setidaknya akan ada banyak saksi jika terjadi sesuatu yang buruk padanya atau jika sudah dekat, Yoongi akan segera masuk kedalam toserba paman Kim untuk berlindung, seperti sekarang.
Karena berjalan terburu-buru, Yoongi tidak melihat ada kotak peralatan milik pekerja bangunan di sana. Dia tersandung dan akhirnya jatuh di atas undakan.
Sebuah tepukan di pundak mengejutkan Yoongi sampai dia tidak sadar dia baru saja menjerit seperti seorang gadis.
"Ada apa? Kenapa kau terlihat ketakutan?", ternyata Park Jimin yang bertanya. Dia terkekeh melihat Yoongi.
Yoongi membuka mulutnya, tapi tidak bersuara. Pikirannya berkelana. Jika dia mengatakan apa yang terjadi, sudah pasti Park Jimin akan melarangnya pergi ke sekolah sendirian atau mungkin dia malah menawarkan diri untuk jadi pengawal pribadi Yoongi. Itu tidak bisa dibiarkan.
"A? A, apa?"
"A-anjing. Ya. Aku dikejar anjing", jawab Yoongi sambil menunjuk keluar dan berusaha meyakinkan si surai orange.
"Kau ini. Membuatku khawatir saja", ujar Park Jimin sambil menggeleng. Dia melangkah meninggalkan Yoongi sambil berteriak, "Paman! Yoongi datang untuk membantu!", lalu tertawa jahil.
Yoongi mendengus dengan sisa tenaga yang ada. "Hey! Kenapa aku harus selalu membantu pekerjaanmu?!".
.
Yoongi berakhir dengan ogah-ogahan membantu menata barang-barang di gudang. Tujuannya ke sini kan hanya untuk berkunjung dan menunggu Park Jimin selesai kerja. Kenapa dia harus selalu membantu anak itu setiap hari sedangkan dia sendiri tidak dapat gaji juga? Itu tidak adil!
Dia melirik Park Jimin yang masih tidak bisa tutup mulut untuk berhenti mentertawainya. Sungguh ironis.
"Apa? Marah?", tanya si surai orange.
Yoongi menjawabnya dengan dengusan malas dan lirikan benci. Namun dia malah dihadiahi sebuah ciuman gemas di pipinya. Yoongi seharusnya sudah terbiasa dengan kemesuman Park Jimin yang tidak tahu tempat itu, tapi pipinya masih saja memerah malu.
"Oh? Astaga! Maaf, aku tidak tahu kalian sedang sibuk"
Yoongi terkejut mendapati paman Kim memergoki mereka. Tidak disangka kejutan itu justru berubah menjadi cegukan untuknya.
"Ti-hik!-dak paman! Ini tidak sesibuk yang kau pikirkan!".
Park Jimin dan paman Kim kompak terheran dan menatap Yoongi. "Maksudmu, kalian pernah lebih sibuk dari ini?", tanya Paman Kim.
"Tentu saja", jawab Park Jimin dan Yoongi langsung memelototinya sambil cegukan.
Paman Kim tertawa geli. Dia memukul pelan bahu Park Jimin lalu mereka berdua tertawa bersama. Sedangkan Yoongi hanya bisa diam saja ditertawai, membiarkan guratan merah menjalar di pipinya karena malu dan cegukan yang tiada henti ini.
"Sudah. Sudah. Ya ampun. Kau ini lucu sekali, Yoongi", kata Paman Kim. Dia mendekati Yoongi dan duduk di sampingnya.
"Ada yang ingin aku tanyakan pada kalian", tambah Paman Kim. Kali ini wajahnya lebih serius dari sebelumnya walau senyum tawa itu masih ada.
"Ada apa paman? Apa ada yang tidak beres?", tanya Park Jimin.
Pria tua berkacamata itu diam sejenak sebelum bertanya. Sedangkan Yoongi berusaha mati-matian untuk menahan cegukannya agak tidak merusak suasana.
"Tidak. Aku hanya...masih penasaran. Pria dengan setelan hitam yang membiayai perbaikan toserba ini. Siapa dia? Dia keluargamu, kan?".
Yoongi dan Park Jimin saling menatap. Mereka tidak tahu harus menjawab seperti apa. Karena memberitahu yang sebenarnya pun tidak akan membuat semuanya menjadi lebih baik karena mereka tahu paman Park Jimin adalah orang yang kejam.
"Uhm, paman. Pertanyaan itu terlalu sulit untuk dijawab. Jujur saja, aku juga tidak tahu siapa dia", jawab Park Jimin lalu kembali melirik pada Yoongi yang mengangguk setuju.
Paman Kim menatap mereka menelisik, "Ada apa? Apa sesuatu terjadi?".
Belum sempat dijawab, telepon tokonya berdering. Sambil mendesah kecewa Paman Kim segera bangun dari duduknya dan berpamitan untuk menerima telepon dulu sebelum melanjutkan pembicaraan mereka.
Yoongi segera menghadapkan Park Jimin ke arahnya. "Dengar-hik!. Jangan katakan apapun tentang pamanmu pada paman Kim. Kau mengerti?", katanya segera setelah paman Kim keluar dari gudang penyimpanan. Park Jimin mengangguk cepat seperti anak kecil. Ah, Yoongi terenyuh. Dia jadi semakin ingin melindungi anak itu.
"Hik!"
Melindunginya dengan cegukan itu maksudmu?
.
Malam itu kakak Yoongi mengajak mereka makan malam di sebuah rumah makan langganan kakak Yoongi, mengingat dapur mereka sudah hangus tak bersisa.
Yoongi dan kakaknya setuju untuk tidak membahas soal kasus Park Jungmin lima tahun yang lalu dan memutuskan untuk melupakan rencana balas dendam mereka. Melihat Park Jimin yang sudah mulai tersenyum kembali membuat mereka tidak tega.
"Makan yang banyak, kalau perlu pesan lagi. Aku akan bayar semuanya", kata kakak Yoongi sambil melahap potongan daging panggang yang paling besar.
"Baik!", Yoongi dan Park Jimin berseru senang lalu mereka melakukan high five.
"Aku juga akan makan banyak. Masa bodoh dengan diet. Bibi! Tambah dagingnya!", teriak kakak Yoongi pada pramusaji.
Makan besar mereka malam itu seolah menjadi pelampiasan emosi mereka atas apa yang telah terjadi pada hidup mereka akhir-akhir ini. Mereka ingin melupakan apa yang sudah terjadi kemarin, mengunyahnya dan menelannya tanpa penyesalan, tak bersisa.
Yoongi yang paling lahap. Selain karena dia yang paling dendam pada Park Jungmin, masakan yang disajikan sungguh menggugah seleranya. Sudah lama Yoongi tidak makan daging panggang sebanyak itu.
"Pelan-pelan saja. Kau ini seperti wanita hamil saja, makannya banyak", komentar kakaknya.
"Dia memang sedang hamil", sahut Park Jimin, seperti sebuah kata kunci yang otomatis menggerakkan tangan Yoongi untuk menjitak kepalanya. "Akh! Hanya bercanda, sayang", ujarnya sambil mengusap belakang kepalanya yang sakit.
"Masa bodoh, aku lapar dan aku marah! Rrrraaawwwrr!", Yoongi bertingkah seperti monster dan berhasil membuat kakaknya dan Park Jimin tertawa.
Ditengah kesenangan mereka menghabiskan hidangan, tiba-tiba ponsel milik kakaknya berdering.
"Siapa?", tanya Yoongi yang ingin tahu karena melihat ekspresi kakaknya yang keheranan.
"Nyonya Lee Shijin, tetangga sebelah. Tumben sekali menelepon. Aku sudah bayar iuran, kok.", kata kakaknya. Lalu dia menerima teleponnya. "Yeoboseyo? -Kami berada tidak jauh dari rumah, Nyonya Lee, Ada apa?".
Kakak Yoongi tiba-tiba tersedak makanan yang masih ada di mulutnya. "Huh?! Apa? Siapa?".
Yoongi dan Park Jimin berhenti mengunyah. Mereka berdua beralih mengawasi kakak Yoongi dengan wajah penasaran.
"Baiklah. Kami akan segera pulang", kata kakaknya. Mengakhiri sambungan telepon.
"Ada apa, Noona?"
"Cepat habiskan makanan kalian. Kita harus segera pulang"
.
Mereka menghabiskan makan malam dengan cepat dan bergegas pulang. Dan saat tiba di rumah, mereka disambut oleh keramaian para pekerja bangunan yang sedang keluar masuk halaman rumah mereka dengan berbagai bahan dan benda berat. Kakaknya memang memberitahu apa yang tetangga mereka katakan di telepon. Mereka diminta untuk segera pulang karena para pekerja yang akan memperbaiki rumah mereka sudah datang.
Masalahnya adalah, kakaknya sama sekali belum merencanakan apapun tentang perbaikan rumah . Selain karena kakaknya memang tidak siap dengan biaya perbaikan rumahnya, uang asuransi juga masih belum bisa dicairkan dalam waktu dekat. Jadi siapa yang mengirim mereka semua ke sini?
"Yoona-ssi. Yoona-ssi, akhirnya kalian datang", Nyonya tetangga sebelah rumah mereka yang menelepon datang menghampiri mereka. Seorang wanita paruh baya yang masih terlihat muda dan lincah serta menjabat sebagai ketua Ibu-ibu arisan di sekitar rumah mereka.
"Nyonya Lee, ada apa ini?".
Yoongi memasrahkan kakaknya untuk mengambil alih. Dia sedang sibuk berpikir. Kejadiannya sama persis seperti toserba Paman Kim yang dihancurkan lalu diperbaiki lagi. Yoongi semakin curiga bahwa paman Park Jimin juga lah yang melakukan semua ini. Tapi apa tujuannya? Jika dia ingin mengambil simpati mereka supaya Park Jimin bersedia memberikan tanda tangannya maka dia salah besar. Lagi pula, Yoongi tidak akan membiarkannya mendapatkan apapun yang dia inginkan.
"Oh, astaga! Bukankah kau Jiminie?!"
Yoongi keluar dari pikirannya dan menatap Nyonya tetangga mereka yang memekik kaget dengan menyebut nama Park Jimin.
"Apa kau Jiminie kecil CEO Park? Bukannya kau sudah...?"
Mereka bertiga kaget mendengar Nyonya tetangga mereka itu mengenali Park Jimin. Yoongi menyarankan kakaknya untuk tidak membahas hal ini di keramaian karena jika ada yang dengar kalau Park Jimin masih hidup, maka seluruh negeri akan gempar.
"Ah, Nyonya. Sebaiknya kita bicarakan ini di tempat lain. Banyak yang mendengar di sini", kata kakak Yoongi.
.
New Home
.
Akhirnya mereka masuk kedalam rumah Nyonya Lee. Rumah yang sama besarnya dengan rumah mereka yang sudah hangus. Hanya saja suasananya sangat sepi. Ada banyak guci disana. Hampir semua perabotan bermotif bunga dan berwarna pastel. Benar-benar rumah seorang wanita.
Nyonya Lee bercerita bahwa dia bercerai dengan suaminya dan pindah kesini, di rumah Ibunya. Dia menyuguhi Yoongi dan Park Jimin dengan teh hangat dan kue buatannya. Entah mengapa, hal itu membuat Yoongi teringat pada Ibu panti asuhannya di Daegu.
"Kau mungkin tidak mengenalku. Tapi aku ingat betul dengan wajah itu", kata Nyonya Lee pada Park Jimin. Mereka duduk bertiga di ruang tengah rumah itu, sedangkan kakak Yoongi sedang keluar untuk mencari tahu soal para pekerja yang akan memperbaiki rumah mereka.
Yoongi dan Park Jimin sudah menceritakan kebenarannya pada Nyonya Lee, kecuali tentang paman Park Jimin yang jahat. Hal itu tetap hanya menjadi rahasia Park Jimin, Yoongi dan kakaknya saja.
"Dulu kau sering main di rumah ini. Menemani Ibuku yang sendirian. Saat itu aku adalah wanita kantoran yang sibuk. Aku pergi pagi-pagi sekali dan pulang larut malam, itu sebabnya kau tidak pernah melihatku", Nyonya Lee bercerita. Dia menatap mereka berdua sepeti menatap anaknya sendiri. Yoongi suka dengan orang yang penuh kasih sayang seperti itu. Persis seperti Ibu panti asuhannya dulu.
"Kau tahu, Ibuku sedih sekali saat mengira kau meninggal dalam kebakaran itu. Tidak ada hari tanpa dia mengenang tingkahmu yang lucu"
"Ya, aku ingat pada nenek", sahut Park Jimin pada akhirnya. Sejak tadi dia hanya diam saja. Yoongi pikir perutnya sakit karena makan terburu-buru tadi.
"Dimana nenek sekarang?", lanjutnya.
Nyonya Lee tersenyum pahit dan berkata, "Ibuku meninggal setahun setelah kejadian kebakaran itu karena serangan jantung"
Park Jimin menundukkan kepalanya. Yoongi tahu, dia pasti teringat pada ayahnya yang juga terkena serangan jantung.
"Kami turut berduka cita, Nyonya", ujar Yoongi mengambil alih. Nyonya Lee tersenyum hangat kembali dan mengangguk-angguk mengerti.
Suasana mendadak hening karena pembicaraan mereka. Hanya terdengar suara keributan alat berat diluar sana. Park Jimin terdiam dan menunduk lagi. Yoongi tidak tahu harus berbuat apa untuk membuat anak itu tidak bersedih lagi.
"Ah! Iya. Aku baru ingat. Tunggu sebentar ya..", ujar Nyonya Lee, memecah keheningan. Dia beranjak dari duduknya dan pergi meninggalkan mereka.
Yoongi menggunakan kesempatan itu untuk menggenggam tangan Park Jimin, memberikannya senyuman agar dia tidak sedih lagi. Dan segera melepaskannya saat Nyonya Lee kembali dengan sebuah robot mainan di tangannya.
"Ini milikmu, kan? Ibuku memperbaikinya karena lengannya patah. Dia ingin mengembalikkannya padamu, tapi kau tidak pernah datang lagi. Sekarang aku kembalikan padamu"
Park Jimin menerima robot mainan itu dan dia berlinang air mata lagi. Ugh! Hatinya terlalu lembut. Yoongi bersumpah akan terus melindunginya.
"Terima kasih, Nyonya", ujar Park Jimin. Masa bodoh dengan Nyonya Lee yang menyaksikan. Yoongi tidak bisa menahan tangannya untuk tidak mengacak surai orange itu dengan gemas.
Bertepatan dengan itu, kakak Yoongi masuk kedalam dan menghampiri mereka dengan langkah cepat.
"Bagaimana, noona?", tanya Yoongi.
Kakaknya menatap cemas pada mereka semua. "Mereka bilang, perbaikan rumah akan dibiayai oleh keluarga Park Jimin", katanya tanpa basa-basi. Dan itu cukup untuk membuat Yoongi semakin merinding.
.
New Home
.
Nyonya Lee Shijin sangat baik. Dia mengijinkan mereka bertiga untuk tinggal di rumahnya sementara rumah mereka diperbaiki. Para pekerja akan merobohkan beberapa bagian rumah untuk dibangun ulang. Katanya ada beberapa tembok yang rusak akibat terbakar. Tapi tidak perlu khawatir soal kamar rahasianya. Mereka akan memastikan ruangan itu baik-baik saja.
Yoongi dan Park Jimin tidur dalam satu kamar sedangkan kakak Yoongi tidur di kamar lainnya. Saat ini mereka sedang tidur di atas matras yang sama, saling menatap dan saling menggenggam tangan. Menurut Yoongi, hal itu membuatnya nyaman dan dapat membuat hubungan mereka semakin dekat.
"Maafkan aku, Yoongi", ujar Park Jimin. Satu tangannya yang hangat membelai pipi Yoongi.
"Jika aku mendengar kau minta maaf lagi. Kau tidak akan pernah bisa tidur di sampingku lagi, kau mengerti tuan Park Jimin?"
Park Jimin tergelak geli lalu dia mengangguk. "Aku mengerti", katanya.
Lalu Park Jimin mendekat, mempersempit jarak di antara mereka. Yoongi tahu apa yang ingin dilakukannya dan dia sudah terbiasa dengan itu. Park Jimin menciumnya tanpa mengingat tempat. Ini bukan kamar mereka. Tapi Yoongi juga terhanyut dalam suasana. Lalu tertawa malu saat ciuman terlepas dan berlanjut dengan belaian halus lainnya dan gombalan-gombalan yang diucapkan Park Jimin padanya. Sudah lama mereka tidak melakukannya dan jujur saja Yoongi juga rindu rasanya.
"Jimin. Yoongi. Kalian sudah tidur?", terdengar suara dari luar disusul dengan suara ketukan pintu.
Yoongi segera menjauhkan Park Jimin darinya lalu berguling menuju matrasnya sendiri, menggulung tubuhnya dengan selimut dan pura-pura tidur untuk cari aman. Dia membiarkan Park Jimin yang membuka pintunya dan memilih untuk mendengarkannya dan Nyonya Lee bercakap-cakap soal handuk dan peralatan mandi dan berbasa-basi sebentar sebelum akhirmya pintu digeser kembali.
Yoongi menyembulkan kepalanya dari gulungan selimut untuk mengintip. Yang dia lihat hanyalah Park Jimin yang sedang membawa handuk di tangannya dengan senyum lega.
"Hampir saja", kata Park Jimin.
Dia meletakkan handuk itu di atas meja lalu berjalan menghampiri Yoongi dengan seringai mengancam. Park Jimin merendahkan tubuhnya dan naik ke atas tubuh Yoongi yang digulung selimut itu dan berbisik, "Aku sudah kunci pintunya. Tidak akan ada yang mengganggu lagi".
Yoongi membulatkan matanya karena dia tahu apa arti dari kalimat ambigu itu namun dia pura-pura tidak tahu karena dia malu, "A-apa maksudmu? Hey! Ini dirumah orang!".
"Makanya, aku harap kau tidak berteriak, Yoongi sayang", bisik Park Jimin dan menambahkan kekehan gemas di akhir.
Jantung Yoongi melompat-lompat tak karuan. Yoongi tahu, Park Jimin tidak serius dengan kata-katanya. Tapi di dalam otaknya sudah terputar sebuah drama kotor khusus orang dewasa. Yoongi tidak siap untuk hal seperti itu. Hal selanjutnya yang bisa dia lakukan hanyalah melawan dan menjauhkan Park Jimin dari dirinya sendiri tanpa berteriak histeris.
.
New Home
.
"Ada apa dengan wajahmu?", tanya kakak Yoongi dari pantry rumah Nyonya Lee. Mereka sedang membantu pemilik rumah menyiapkan makan siang, tapi kakaknya yang bermata tajam itu bisa dengan cepat menyadari lebam samar di sudut bibir Park Jimin.
"Jangan bilang, Yoongi memukulmu karena kau ingin macam-macam dengannya?. Hahahaha! Kau seperti punya tompel!", kakanya tergelak puas.
Itu memang benar. Yoongi memang memukulnya untuk menyelamatkan diri dari kemesumannya yang berada atas rata-rata. Yoongi mungkin suka padanya, tapi dia tidak semudah itu untuk disentuh. Setidaknya nikahi Yoongi dulu jika memang mau. Eh?
Nyonya Lee tersenyum melihat tingkah mereka. "Jangan meledeknya terus. Lihat, wajahnya jadi merah", ujarnya.
"Walaupun kau bukan anak kandung CEO Park, tapi kau mirip sekali dengannya", lanjut Nyonya Lee.
Yoongi melirik sekilas, Park Jimin tersenyum mendengar hal itu.
"Minjoon juga", Nyonya Lee menerawang kedepan.
"Minjoon?", Yoongi berbisik pada Park Jimin. Sepertinya Yoongi familiar dengan nama itu.
Anak itu terkekeh jahil dan mendekat pada Yoongi. "Minjoon itu nama ayahku", bisiknya cengengesan.
Yoongi menghela nafas. Dia jadi teringat pertemuan pertama mereka di toserba. Saat itu Park Jimin kepergok mencuri dan dia memanggil Yoongi dengan nama 'Minjoon'. Pantas dia bisa dengan mudah memanggil Yoongi dengan nama itu, rupanya itu adalah nama ayahnya.
"Dasar anak nakal", desis Yoongi dan Park Jimin hanya tertawa malu.
"Park Minjoon. Walaupun dia hanya anak angkat tapi dia sangat mirip dengan kakekmu"
"Apa?!", Park Jimin, Yoongi dan kakaknya memekik hampir bersamaan membuat Nyonya Lee terkejut dan hampir menjatuhkan lobak ditangannya.
"Apa maksudmu Nyonya? M-maksudmu ayah bukan anak kandung kakek?"
"K-kau tidak tahu tentang itu?"
Park Jimin menggeleng lalu Nyonya Lee menghela nafas. "Aku tidak tahu, apakah aku boleh mengatakan ini atau tidak", katanya. Dia mengawasi ketiga tamunya dengan ragu.
"Minjoon adalah sahabatku sejak lama sekali. Dia memberitahuku tentang statusnya sejak kami pertama kali bermain bersama. Dia memang tidak memberitahu teman-teman yang lain tapi ku pikir setidaknya dia akan memberitahu anaknya tentang silsilah keluarga"
Nyonya Lee memandangi mereka bertiga dan mendesah. Dia meletakkan spatulanya lalu mematikan kompornya. Dia mendekati Yoongi dan Park Jimin yang duduk dimeja makannya. Dia menyentuh bahu Park Jimin sebelum dia duduk bersama mereka.
"Seseorang meninggalkan Minjoon bayi di depan rumah ibuku. Di rumah ini. Ibuku tidak bisa merawatnya karena saat itu aku juga masih bayi. Sementara itu kakek dan nenekmu yang sudah lama menikah masih belum mempunyai keturunan. Saat mereka tahu ada bayi ditinggalkan disini, mereka sangat senang dan akhirnya memutuskan untuk merawatnya".
"Lima tahun setelah merawat Minjoon, ternyata nenekmu melahirkan dua orang anak lagi. Meskipun begitu, kakekmu tetap menyayangi ayahmu bahkan lebih dan membuat pamanmu, Jungmin, merasa iri. Dia selalu berusaha mencelakai Minjoon. Aku ingat sekali, saat itu liburan sekolah. Jungmin berusaha menenggelamkan Minjoon di sungai. Minjoon dan aku sama-sama tidak bisa berenang, tapi aku harus terjun dan menyelamatkan sahabatku atau dia akan mati. Untung saja dia selamat. Aku sangat kesal karena aku juga hampir mati saat itu. Aku ingin melaporkannya pada kakekmu, tapi Minjoon melarangku"
Park Jimin, Yoongi dan kakaknya menganga tidak percaya.
"Minjoon tidak menyukai Jungmin. Tapi ia tidak berusaha melawan atau membalas walau Jungmin selalu ingin berbuat jahat padanya. Bukan untuk melindungi Jungmin dari hukuman ayahnya, tapi karena dia menghormati ayahnya. Ayahnya pasti akan sangat murka jika tahu anak kandungnya berusaha melukai anak angkatnya. Itu tindakan tidak terhormat"
"Jungmin marah saat rumah itu diwariskan pada Minjoon. Dia memang selalu tidak suka melihat Minjoon bahagia. Terlebih saat Minjoon mengadopsi Jimin. Dia sangat-sangat tidak setuju. Dia selalu mengatakan bahwa pewaris sebaiknya berasal dari keturunan asli bukan orang lain. Tapi dia justru memenangkan sifat serakahnya dan menggelapkan investasi hingga perusahaan mereka hampir kehilangan investor-investor mereka. Itulah sebabnya kakekmu mewariskan perusaannya pada ayahmu. Dia tidak percaya pada anaknya sendiri. Dan itu semakin membuat Jungmin marah. Aku tidak mengerti apa yang merasukinya, tapi dia selalu berusaha mencelakai ayahmu. Karena jika Minjoon mati otomatis perusahaan akan jatuh ke tanganmu. Itulah sebabnya dia membakar rumah kalian dulu. Dia ingin melenyapkanmu juga, Jimin. Jika ahli waris tidak ada, maka perusahaan akan diberikan padanya"
Nyonya Lee menggenggam tangan Park Jimin. "Aku bersyukur kau selamat. Dengarkan aku. Dia sangat berbahaya. Aku harap kau tidak bertemu dengannya, Jimin"
Park Jimin, Yoongi dan kakaknya saling melirik. Sudah terlambat. Mereka tidak hanya bertemu, tapi mereka bahkan sudah berurusan dengannya. Itu fakta yang sangat mengejutkan. Seandainya mereka tidak bertemu dengan Nyonya Lee, mungkin selamanya mereka tidak akan tahu tentang kebenarannya.
.
Pagi itu mobil kakak Yoongi sunyi. Cerita keluarga CEO Park rupanya membuat mereka tidak bisa berkata-kata. Semenjak mendengar cerita itu, mereka bertiga jadi lebih sering diam dan bergelut dengan pikiran masing-masing.
Setelah menurunkan Park Jimin di ujung gang tempat kerjanya, mereka kembali melanjutkan perjalanan menuju sekolah Yoongi. Mereka terus diam, hingga kakaknya itu buka suara pada detik-detik akhir mereka tiba di sekolah Yoongi.
"Semua pikiran tentang Park Jungmin benar-benar menggangguku! Huh! Rasanya ingin sekali kulenyapkan makhluk jahat itu", ujarnya.
Dia menghadap Yoongi, hendak mengatakan sesuatu tapi tidak jadi dan malah berganti memindaitubuh Yoongi dari atas ke bawah.
"Kau jangan lupa makan siang. Kau terlibat kurus sekali".
Yoongi berkerut tidak percaya dengan ucapan kakaknya barusan. Tumben sekali dia memikirkan tubuh Yoongi.
"Hey! Kau dengar aku tidak?"
"Dengar. Dan itu membuat telingaku terasa aneh, tau!", jawab Yoongi sambil menggosok-gosok kedua telinganya yang terasa geli. "Tumben sekali kau bicara seperti itu. Mencurigakan-Ah! Jangan-jangan kau menyembunyikan mainanku, ya?"
"Mainan yang mana? Kau kan sudah tidak punya mainan lagi. Sudah turun sana! Dasar menyebalkan!", gerutu kakaknya yang perhatiaanya ditolak begitu saja.
Yoongi menjulurkan lidah, mengejek kakaknya sebelum dia turun dari mobil. Saat mobil kakaknya melaju meninggalkannya begitu saja, saat itulah Yoongi merasa hampa.
"Ah! Ada apa denganku! Nanti juga kita akan bertemu lagi", gumamnya.
Dia mengedikkan bahunya dan berjalan memasuki sekolahnya. Namun perasaan tengah diawasi itu muncul lagi, membuat Yoongi menghentikan langkahnya. Dia menengok kebelakang dan hanya mendapati murid-murid yang sedang berjalan masuk kedalam sekolah. Tidak ada yang mencurigakan.
"Min Yoongi?", sebuah suara dan tepukan di bahu membuatnya menjerit.
"Aaaaaaa!"
Yoongi terkejut saat mendapati dua orang lelaki berpakaian serba hitam dan bertubuh lima kali ukuran tubuhnya, sudah berdiri di hadapannya.
"Kau Min Yoongi?"
Yoongi yang masih terkejut menganggukan kepalanya beberapa kali tanpa berpikir untuk mencurigai mereka sebagai orang-orang berbahaya. Seseorang dari mereka mendekat dan memegangi Yoongi dengan erat sedangkan yang lainnya menempelkan sapu tangan putih dengan aroma menusuk tepat di hidung Yoongi. Pikirannya langsung mengarah pada adegan penculikan yang ada di drama televisi. Yoongi meronta-ronta. Akan tetapi tubuhnya semakin lama semakin terasa lemas, seolah tenaganya dihisap sampai habis. Dia bahkan tidak bisa berdiri dengan tegap. Kemudian segalanya berubah menjadi gelap. Yoongi tidak sadarkan diri.
.
New Home
.
Saat tersadar, kepalanya terasa pening. Yoongi mendapati dirinya sudah terikat di sebuah kursi dengan mulut yang ditutup lakban hingga dia tidak bisa menggerakkan bibirnya. Ruangan itu hanya diterangi oleh lampu yang temaram yang menyala tepat di atas kepala Yoongi. Udaranya pengap dan berdebu. Yoongi tidak tahu dia sedang ada di mana sekarang. Mungkin sebuah gudang tua atau semacamnya. Ingatannya melayang pada dua orang pria yang menemuinya di sekolah tadi, pasti mereka yang melakukan semua ini padanya.
Yoongi bergerak-gerak, berusaha melepaskan ikatannya walaupun dia tahu dia diikat dengan sangat kuat. Dia panik saat memikirkan satu orang yang paling memungkinkan untuk melakukan penculikan seperti ini. Park Jungmin.
Yoongi hanya anak SMA biasa yang tidak penakut tapi juga bukan pemberani. Diikat di dalam ruang gelap seperti itu membuat Yoongi ingin menangis juga. Tidak munafik, Yoongi masih belum mau mati. Masa depannya masih panjang.
"Kau sudah sadar?"
Jantung Yoongi berdetak semakin cepat. Dia panik saat dia benar-benar mendengar suara Paman Park Jimin dari balik punggungnya. Sebuah tangan besar memegangi bahu bergetar Yoongi. Dia semakin kuat berusaha melepaskan diri hingga lengannya terasa perih karena tergores oleh tali pengikat.
"Ya ampun, apa yang kalian lakukan padanya? Kenapa kalian tutup mulutnya, nanti dia bisa kesulitan bernafas", kata Paman Park Jimin. Terdengar suara tawa mengerikan dari arah belakang Yoongi.
Oh, bagus! Aku dikepung. Siapa saja, tolong!
Paman Park Jimin mendekati dan mengulurkan tangannya pada Yoongi, lalu dengan perlahan membuka penutup mulut Yoongi hingga Yoongi bisa merasakan kulit sekitar bibirnya tertarik dengan kuat dan terasa perih.
"Yoongi, kau baik-naik saja? Mereka memang suka bermain-main. Maafkan mereka, ya", ujar Paman Park Jimin dengan senyum prihatin dan mengusap kepalanya.
Yoongi menyingkirkan kepalanya. Dia tidak ingin disentuh oleh orang jahat itu. Tubuhnya menggigil ketakutan tapi sorot matanya penuh kebencian. Yoongi benar-benar mengutuk orang ini.
"Maaf jika aku pakai cara ini. Jika tidak ku ambil kesayanganya, maka Jimin tidak akan mau memberiku tanda tangannya. Ya. Hanya itu yang kuminta. Tanda tangannya. Jika aku sudah mendapatkannya, maka aku tidak akan menyentuh kalian lagi. Aku janji", katanya dengan perlahan-lahan namun terdengar penuh ancaman.
Yoongi menggeram marah. "Kau tidak akan mendapat apapun darinya!".
Mereka beradu dua tatapan berbeda, yang satu tatapan marah sedangkan yang satunya lagi menatap datar. Suasana senyap untuk sesaat hingga suara getar ponsel terdengar. Sebuah layar ponsel menyala di depan kaki Yoongi menunjukkan nama 'Park Jimin'. Yoongi mendelik mengetahuinya. Dia menatap bergantian Pria di hadapannya dan ponselnya.
"Kalau begitu mari kita buktikan", kata Paman Park Jimin. Dia bangkit berdiri dan memungut ponsel Yoongi.
"Mau apa kau?", tanya Yoongi ketakutan. Jangan sampai pria gila ini bicara dengan Park Jimin. Jika itu terjadi, maka semua akan berantakan.
"Kita akan lihat, apakah Jimin akan memberikan apa yang aku mau atau tidak. Setidaknya hargai dia yang mengkhawatirkanmu", kata paman Park Jimin sambil menekan pengeras suara dan menerima panggilan Park Jimin.
"Akhirnya kau menerima teleponku. Kau kemana saja? Sudah malam. Jangan membuat kami khawatir. Katakan di mana kau sekarang, biar aku jemput"
Yoongi diam. Serasa ingin menangis saat mendengar suara Park Jimin. Tapi lidahnya kelu. Dia tidak bisa memberitahu bagaimana keadaannya sekarang atau mereka berdua akan berada dalam bahaya.
"Ayo, beritahu padanya apa yang terjadi padamu, anak pemberani", tukas paman Park Jimin sambil mengangkat wajah Yoongi dengan tangannya yang kuat hingga Yoongi mau tidak mau harus melihat wajahnya.
"Siapa itu, Yoongi?"
"Hai, keponakanku sayang. Bagaimana kabarmu? Yoongi dan aku baru saja membicarakan dirimu", sapa Paman Park Jimin sok riang yang membuat Yoongi mual.
Park Jimin terdiam di sana. Dia pasti bingung dan terkejut sekali saat tahu Yoongi sedang bersama pamannya sekarang.
"P-paman?"
"Aku bisa menghadapinya sendiri. Kau jangan khawatir. Tutup teleponnya!", ujar Yoongi. Suaranya bergetar antara keraguan atas keselamatan nyawanya sendiri, namun dia tidak ingin sesuatu juga terjadi pada Park Jimin.
"Yoongi-"
"Aku bilang tutup teleponnya!", tukasnya lebih keras. Namun sebuah tangan besar menghantam bagian belakang kepalanya hingga peningnya terasa lagi. Paman Park Jimin beranjak dan berdecak mengejek
"Buang-buang waktu!"
Dia berjalan menjauh dan bicara kepada keponakannya di sambungan, "Kita saling mengerti saja. Ku kirim alamatnya dan kau datang. Aku dapatkan yang aku mau dan kau dapatkan dia kembali."
"Jika sesuatu terjadi padanya-!"
"Aku berjanji tidak akan menyentuh bahkan ujung rambutnya selama kau bisa bekerja sama"
"Baiklah"
"Tidak! Jimin! Jangan datang! JANGAN!"
Sambungan terputus. Pria itu menatap Yoongi dan terkekeh seram. Dia menatap Yoongi dengan tatapan meremehkan.
"Ayo, tuan-tuan. Kita sudah berjanji untuk tidak menyentuhnya"
Dia pergi meninggalkan Yoongi diikuti oleh pria-pria besar yang berjalan dari arah punggung Yoongi. Mereka semua tertawa senang tapi terdengar sangat jahat.
Yoongi menggeram marah. "Kalian manusia tercela! Aku bersumpah kalian akan menyesal telah melakukan semua ini!", dan akhirnya dia menangis. Dia tahu meneriaki mereka hanyalah sia-sia, mereka tidak akan melepaskan ikatannya. Sekarang pikirkan saja, bagaimana jika Park Jimin datang dan benar-benar menandatangani surat yang diinginkan lalu akhirnya mereka berdua ternyata tidak bisa selamat?
.
Kejadiannya sangat cepat. Seharusnya Yoongi melarikan diri sejak awal dia ditanyai nama oleh kedua pria asing itu. Menyesal pun tidak berguna sekarang. Yang harus dia lakukan adalah menghentikan Park Jimin agar tidak memberikan apa yang pamannya inginkan, bagaimana pun caranya. Karena jika Park Jimin memberikannya dengan mudah, maka semua perjuangan mereka selama ini akan sia-sia dan mungkin CEO Park juga kecewa melihat anaknya memberikan peninggalannya pada orang jahat seperti pamannya. Yoongi mendesah. Dia merasa tidak berguna sekarang.
Yoongi terkesiap karena pintu gudang itu tiba-tiba terbuka. Mereka kembali, kali ini bersama Park Jimin yang berdiri didepan mereka. Yoongi merasa ada secerca harapan untuk bebas saat melihat wajahnya, namun dia sadar bukan dia yang harus diselamatkan di sini, melainkan Park Jimin sendiri.
"Kenapa kau kesini? Sudah kubilang jangan datang!"
Park Jimin menghampirinya dengan cepat dan berlutut dihadapan Yoongi. Memeriksa tubuh Yoongi dari atas hingga bawah, memastikan bahwa Yoongi baik-baik saja.
"Jangan khawatir. Semua akan baik-baik saja", ujar Park Jimin sambil menangkup sebelah pipi Yoongi. Mungkin dia pikir dia bisa menenangkan Yoongi. Tapi tidak sama sekali.
Yoongi menggelengkan kepalanya. "Jika kau berikan tanda tanganmu padanya maka akan kupastikan kau tidak akan pernah bisa bertemu denganku lagi untuk selamanya", ancam Yoongi. Biasanya ancaman seperti itu mempan pada Park Jimin. Namun kali ini, anak itu justru tersenyum getir dan mencubit hidung Yoongi.
"Maafkan aku, Yoongi", katanya.
Yoongi menatapnya tidak percaya. Hatinya terasa perih saat Park Jimin lebih memilih untuk mendengarkan pamannya yang jahat ketimbang Yoongi. Di balik punggung Park Jimin, senyum kemenangan pamannya mengembang.
"Pilihan yang tepat, Jiminie", begitu katanya.
Dia menyodorkan map lengkap dengan pena nya kepada Park Jimin yang masih berlutut dihadapan Yoongi.
"Lepaskan Yoongi lebih dulu", kata Park Jimin tanpa menyentuh map itu.
"Tidak sebelum kau tanda tangani suratnya"
"Jimin!", Yoongi menggelengkan kepalanya kuat-kuat dan menatap ke dalam mata Park Jimin. Memperingatkan melalui sorot matanya bahwa pria itu hanya akan menipu mereka. Namun si surai orange tidak mau mendengarkan. Dia malah menerima surat itu dan mulai menekan penanya.
Mereka mungkin mengikat kedua tangannya, tapi tidak dengan kedua kakinya. Tak ingin membiarkan hal bodoh itu terjadi. Yoongi menendangkan salah satu kakinya pada map itu hingga map itu melayang tinggi di atas kepala mereka dan terjatuh di lantai.
"Dasar anak bodoh!", umpat paman Park Jimin namun Yoongi tidak ingin menggubrisnya. Dia kembali menatap Park Jimin lekat-lekat dengan matanya yang mulai memerah dan berair.
"Ku peringatkan sekali lagi. Jika kau tanda tangani surat itu maka hubungan apapun yang kita jalani akan berakhir saat itu juga!"
"Cepat tanda tangani!", ujar Paman Park Jimin dan kembali menyodorkan surat itu di tangan keponakannya yang sialnya masih saja diterima dengan mudah.
"Jimin!", Yoongi menekan suaranya. Dia sedang tidak main-main saat ini. Sumpah, Yoongi tidak menginginkan harta itu. Dia hanya tidak suka jika orang jahat yang menang.
Namun lagi-lagi Park Jimin tidak mau mendengarnya. Dia sudah memposisikan penanya di atas surat itu dan bersiap untuk menorehkan tintanya.
"Park Jimin!", Yoongi menendang lagi, kali ini tidak sengaja tendangannya mengenai tangan Park Jimin hingga penanya juga ikut terlepas dari tangannya.
"Dasar tidak berguna!", pria itu menggeram marah sekali lagi dan menghampiri Yoongi. Dia menampar Yoongi dengan tangannya yang besar dan kuat hingga pipi Yoongi terasa panas.
"Paman! Paman sudah berjanji untuk tidak menyakitinya!"
"Tidak, jika dia menghambat kesepakatan kita", jawab Paman Park Jimin dengan nafas memburu karena kesal pada Yoongi. Dia mendekat dan mencengkeram rahang Yoongi kuat-kuat. "Sekali lagi kau berulah, maka akan kupastikan kau akan mendapatkan lebih dari sekedar tamparan".
Yoongi nenatapnya lekat-lekat. Matanya berair karena panas dipipinya dan amarah dalam dadanya. "Aku tidak takut!"
Paman Park Jimin berdecak sekali. Ekspresinya berubah menjadi lebih tenang dari sebelumnya. Dia memanggil anak buahnya hanya dengan satu jari saja dan mereka langsung patuh.
"Bawa dia pergi. Jauhkan dia sebelum urusanku dengan keponakanku selesai", katanya.
"Tidak! Jangan sakiti dia!", pekik Park Jimin seraya bangkit untuk menyusul Yoongi. Namun tangannya ditahan oleh pamannya hingga dia hanya bisa menatap Yoongi dari tempatnya berdiri.
Kedua anak buah Park Jungmin menyeret kursi Yoongi menuju ruangan lain disana. Yoongi tentu tidak akan menurut begitu saja. Dia terus memberontak, berteriak, menggerak-gerakkan tubuhnya hingga membuat kedua pria besar itu kewalahan saat menyeret kursinya dan secara tidak sengaja membuat Yoongi terhempas jatuh kelantai dengan kepala yang membentur keras lantai berdebu itu. Kepala Yoongi kembali terasa pening, hal terakhir yang dia lihat adalah Park Jimin yang berlari ke arahnya dan meneriakkan namanya. Setelah itu, semua kembali gelap seperti sebelumnya. Yoongi kembali tidak sadarkan diri.
.
"Aku harap semua itu hanya mimpi"
.
Disini terang, putih dan hangat. Menurut komik yang sering dia baca, suatu tempat yang serba putih itu menandakan jika karakternya sudah pergi ke surga. Tapi aroma ini, Yoongi seperti mengenalnya. Apa ini benar di surga? Yoongi pikir dia tidak sesuci itu.
"Apa aku sudah mati?"
Satu pertanyaan itu terasa sulit untuk dikatakan karena tenggorokkannya terasa kering. Namun Yoongi yakin ada respon untuk pertanyaannya itu.
"Yoongi!"
"Yoongi kau sudah sadar?"
Yoongi melirik ke sampingnya. Ada seorang anak laki-laki dengan rambut berwarna orange dan seorang wanita cantik di sana menatapnya penuh kekhawatiran. Yoongi juga melirik tangannya yang sedang diinfus. Ahh, pantas Yoongi mengenali aromanya. Sepertinya dia sedang berada di rumah sakit sekarang.
"Yoongi, apa kau ingat siapa aku?"
"Yoongi, aku kakakmu. Apa kau ingat?"
Yoongi menatap mereka dengan datar. Mengawasi wajah mereka satu per satu. Bertanya-tanya, mengapa mereka memasang ekspresi menyedihkan seperti itu padanya.
"Yoongi, katakan sesuatu. Apa kau ingat pada kami?", tanya si wanita dengan suara bergetar seperti ingin menangis.
Yoongi mendesah malas dan memejamkan matanya. "Aku tidak mengerti apa maksud kalian. Kenapa kalian suka sekali mengganggu tidurku. Pergi sana!", kata Yoongi. Tentu saja Yoongi ingat mereka. Kakaknya yang cerewet dan Park Jimin kekasihnya itu yang suka sekali menjahilinya dan mengganggu hobi tidurnya.
"Oh, Yoongi! Syukurlah kau ingat kami!", kakaknya memeluknya dengan erat.
"Noona, nanti aku bisa mati", kata Yoongi kesusahan. Rasanya seperti terjepit di antara lemari dan dinding. Sesak sekali. "Tentu saja aku ingat. Kenapa kalain pikir aku akan lupa pada kalian berdua?"
"Kepalamu terbentur cukup keras. Kami takut kau insomnia-"
"-Amnesia", koreksi Park Jimin.
"Ya. Amnesia. Syukurlah kau baik-baik saja".
Bicara soal kepala Yoongi yang terbentur, sekarang dia ingat apa yang telah terjadi. Dia menatap Park Jimin dengan bingung. "Jadi itu bukan mimpi? Bagaimana bisa kita keluar dari sana?", tanyanya.
Belum sempat terjawab pertanyaannya, seorang pria dan wanita masuk kedalam ruang perawatan Yoongi.
"Ah, Yoongi. Kenalkan Itu bibiku dan sekertaris ayahku, Tuan Kang"
Yoongi menatapi mereka. Seorang wanita yang terlihat sederhana itu tersenyum ramah pada Yoongi.
"Annyeong, Yoongi. Senang melihatmu baik-baik saja", sapanya.
Haha, Yoongi jadi semakin bingung dengan reuni keluarga Park Jimin ini.
.
Pertemuan dengan bibi Park Jimin berlanjut pada perbincangan yang lebih serius. Wanita itu lah yang ternyata membawa Yoongi dan Park Jimin keluar dari gudang itu. Dia membawa serta satuan polisi untuk menangkap kakaknya sendiri-Park Jungmin-atas tuduhan penculikan, pemaksaan dan semua kejahatan yang dia perbuat di masa lalu. Yoongi lega. Dia senang karena pada akhirnya kejadian ini menemukan titik terang. Park Jimin tidak perlu kehilangan warisannya dan mereka tidak perlu berurusan lagi dengan pria jahat itu.
"Aku sebagai adiknya benar-benar minta maaf", kata bibi Park Jimin.
"Tapi...bagaimana bibi tahu kami ada di sana?"
Ekspresi wanita itu berubah seperti dia baru saja ketahuan telah melakukan sesuatu. Dia berdehem dan tersenyum canggung sambil menggosok tengkuknya. "Uhm.. Begini Yoongi. Aku minta maaf sebelumnya", katanya.
Yoongi berkerut bingung menatapi wanita itu. Apa yang terjadi sehingga dia harus minta maaf pada Yoongi di hari pertama mereka bertemu.
"Mungkin kau merasa tidak nyaman selama beberapa hari-mungkin minggu, karena aku mengikutimu kemana pun kau pergi"
Yoongi melebarkan matanya seolah ia baru mendapatkan pencerahan. Jadi dia yang mengikuti dan menakuti Yoongi selama ini.
"Ah, ya. Aku merasa sedikit keakutan", jawab Yoongi dengan wajah santai. Setidaknya dia lega karena yang mengikutinya adalah seorang wanita baik.
"Aku juga heran, kenapa aku diperintahkan untuk mengikuti Yoongi? Kenapa bukan Jimin yang jelas-jelas adalah anaknya? Tapi sekarang aku mengerti. Yoongi lah yang butuh pengawalan. Karena mereka memang berniat untuk menculikmu dan menjadikanmu sebagai alat untuk-"
"Tunggu dulu!", tiba-tiba kakak Yoongi menyela ucapan wanita itu. Semua orang di sana menatap padanya termasuk Yoongi.
"Tadi kau bilang apa? 'Anaknya'?", tanya kakak Yoongi dengan dahi berkerut bingung. "Siapa yang memberimu perintah untuk mengikuti Yoongi?".
Mereka semua beralih menatap bibi Park Jimin. Yoongi bahkan tidak memperhatikan kata-kata wanita itu dengan baik. Yoongi baru menyadari jika kakaknya benar-benar wartawan sejati. Haha..
Wanita itu menatapi Park Jimin dan menghela nafas.
"Kakakku Park Minjoon. Itulah sebabnya aku bisa menemukan kalian di gudang tua itu. Dan juga memperbaiki tempat kerja Jimin dan rumah kalian. Semua itu atas perintahnya"
Mereka bertiga membulatkan mata. Terkejut, tentu saja. Sekali lagi Yoongi salah sangka. Bukan paman Park Jimin yang memperbaikinya, tapi justru CEO Park.
"A-ayah?"
"Ya, Jimin. Aku datang untuk memberitahukan bahwa Ayahmu masih hidup. Setahun yang lalu dia sadar dari koma. Kau adalah orang pertama yang dia cari.", katanya sambil tersenyum.
"Jadi Pria dengan setelan hitam yang mendatangi toserba paman Kim adalah tuan Park?"
"Oh, bukan. Itu adalah tuan Kang", jawab wanita itu sambil mengerling pada sekertaris mereka.
"Lalu, di mana ayah sekarang?", Park Jimin menyela.
"Kami memindahkannya ke Singapura untuk perawatan. Kondisinya masih lemah. Apa kau ingin menemuinya?"
Yoongi menatapi Park Jimin yang mengangguk semangat. Tapi kenapa Yoongi justru merasakan ada sesuatu yang berat didalam dadanya.
.
Yoongi duduk diam termenung di atas ranjang rumah sakit. Kakaknya dan Bibi Park Jimin memberi mereka kesempatan untuk bicara berdua saja mengenai keputusan Park Jimin untuk pergi menemui ayahnya.
Tidak seperti biasanya dia yang saling menatap pandang dengan Park Jimin. Kali ini dia lebih suka menunduk. Ada perasaan kesal, sedih, dan tidak rela di dalam hatinya saat ini.
Park Jimin akan pergi untuk menemui ayahnya hari ini juga. Dia nampak sangat bahagia. Seharusnya Yoongi juga ikut bahagia, bukannya malah bersikap manja dengan melarangnya pergi. Tapi memang itulah yang dia rasakan. Dia tidak ingin Park Jimin pergi.
"Yoongi"
Sebuah sentuhan lembut di atas kepalanya membuat Yoongi menghela nafas pasrah.
"Kau marah karena aku membuat tanganmu sakit", lebih terdengar seperti sebuah pertanyaan dari pada sebuah pernyataan. Yoongi menatap tangan kanan Park Jimin yang dibalut oleh perban elastis. Itu hasil dari tendangannya.
"Kau tidak sengaja. Sudah, jangan dibahas lagi", kata Park Jimin. Dia mengambil duduk samping Yoongi. Dia menatapi Yoongi yang masih betah menyembunyikan wajahnya.
"Yoongi-"
"-ya sudah kalau begitu, pergi saja. Tidak apa-apa", Yoongi berusaha membuat suaranya tidak terdengar ketus, namun dia gagal. Suaranya masih terdengar tidak terima hingga membuat Park Jimin terdiam.
Yoongi menggigit bibirnya. Agaknya dia menyesal telah berkata seperti itu. Lalu dia menangis. Ini pertama kalinya dia menangis di depan Park Jimin. Lebih parah lagi, dia menangis seperti anak kecil yang kehilangan bonekanya dan tidak mau diganti dengan boneka yang baru. Yoongi baru sadar jika suara tangisnya jelek sekali.
"Yoongi, aku hanya pergi sebentar saja", ujar Park Jimin setengah tertawa. Dia segera membawa Yoongi kedalam pelukannya dan memeluknya erat-erat.
"Kau tahu aku tidak punya teman lagi selain dirimu, bocah tengik!"
Park Jimin tertawa dan mengusap rambutnya, "tentu saja. Kau kan setia padaku. Maka dari itu aku akan menelponmu. Oke?" katanya.
"Kau janji?", tanya Yoongi dengan terisak.
"Aku janji. Apapun untukmu, Min Yoongi"
Yoongi tersenyum dan menghapus air matanya. "Baiklah. Sampaikan salamku pada ayahmu. Kau jaga dirimu baik-baik. Aku.. Aku akan sangat merindukanmu".
Park Jimin tersenyum dan mengangguk. Sepasang tangannya menangkup wajah Yoongi dan membuatnya saling berhadapan. Yoongi menatap matanya dan lagi-lagi dia merasa bersalah. Anak itu terlihat sangat bahagia sekarang. Yoongi merasa jahat karena telah berberat hati untuk membiarkannya pergi.
"Yoongi. Kau akan menungguku kembali, kan?", Park Jimin menatap matanya penuh tuntutan.
"Tentu saja", Yoongi menyibak selimutnya dan mengalungkan lengannya pada leher Park Jimin dan untuk pertama kalinya dialah orang yang memulai ciuman diantara mereka. Ciuman yang dalam dan panjang. Supaya Yoongi bisa mengingatnya sampai Park Jimin kembali ke pelukannya lagi.
"Oh! Astaga!"
Ciuman mereka terlepas dan mereka menatap malas pada perawat yang berdiri kikuk didepan pintu. Kenapa orang-orang suka sekali mengganggu kemesraan mereka. Menyebalkan. Sementara itu, dibalik punggung si perawat, kakak Yoongi mengintip sambil tertawa geli.
"Pasti noona yang menyuruhnya masuk"
Park Jimin terkekeh dan mencubit pipinya. Yoongi suka melihat senyumannya. Tidak bisa dibayangkan Yoongi hanya akan bisa melihat senyuman itu dari foto di layar ponselnya untuk beberapa bulan kedepan. Tapi di atas semua itu, Yoongi bersyukur, masalah mereka sudah selesai dan mereka bisa menjalani hidup mereka dengan tenang seperti semula.
.
New Home
.
Tidak ada surat, tidak ada pesan, tidak ada telepon atau video call yang dia janjikan. Park Jimin tidak menghubunginya selama lebih dari satu tahun. Baiklah, Yoongi anggap Park Jimin lebih suka tinggal bersama ayahnya. Tentu saja. Siapa yang tidak suka tinggal bersama orang tuanya. Yoongi juga mau jika dia punya.
Tapi yang tidak bisa dimaafkan adalah Park Jimin yang tidak menepati janji untuk menghubunginya. Apa dia tidak tahu jika Yoongi setengah mati menahan rindunya? Yoongi bahkan tidak berani menelepon karena dia tidak ingin mengganggu apapun yang sedang Park Jimin lakukan bersama ayahnya disana.
Kakaknya bilang Yoongi menyedihkan. Ternyata cintanya bertepuk sebelah tangan. "Kalau saja bukan karena ayahnya yang membiayai perbaikan rumah kita, sudah pasti akan kuhajar dia", begitu katanya. Kakaknya bahkan berencana untuk membawanya menyusul Park Jimin ke Singapura. Tapi tentu saja Yoongi menolak. Itu memalukan. Yoongi bukan anak perempuan.
"Yoongi, jangan murung begitu. Kau harus semangat. Kalau sampai kau tidak bisa lulus, namamu akan kuhapus dari kartu keluarga!", kata kakaknya begitu mobilnya berhenti tepat di depan gerbang sekolah Yoongi. Yoongi mengedikkan bahu dan melambai malas pada kakaknya setelah itu dia melangkah masuk kedalam sekolah tanpa semangat.
Kakinya baru sampai di koridor pertama dan dia langsung dibuat kebingungan oleh para siswa yang bergerombol dan menghalangi jalannya. Dua orang siswa perempuan bahkan baru saja menabrak bahunya dari belakang dan berlari menghampiri gerombolan itu. Karena penasaran dan tentu saja tidak mau ketinggalan berita terbaru di sekolah, akhirnya Yoongi ikut menghampiri. Yoongi tidak bisa melihat apapun selain kepala-kepala manusia remaja disana, sepertinya dia berdiri terlalu jauh dari objek yang ingin dia lihat. Koridor yang awalnya berisik dengan decak dan bisikan kagum itu tiba-tiba sunyi dalam sekejap. Yoongi kembali bingung dibuatnya. Huh, nasib bertubuh pendek. Yoongi menyesal selalu melewatkan jam minum susu saat dia masih kecil dulu.
Yoongi sebenarnya ingin menyerah saja dan berniat untuk bertanya pada teman sekelasnya saja nanti. Namun saat gerombolan itu tiba-tiba terbelah menjadi dua dan mata sipitnya bisa melihat dengan jelas sesosok anak laki-laki berambut hitam bertubuh kurus itu berjalan diantara mereka dengan gaya yang dibuat-buat. Yoongi kenal senyuman mesum itu.
"Park Jimin?!"
Tentu saja dia terkejut, Park Jimin tidak memberitahu jika dia sudah kembali. Bunyi sepatunya terdengar semakin jelas seiring langkahnya mendekati Yoongi. Yoongi kelabakan, dia biasa melihat surai orange, baju dekil dan juga kulit yang kecoklatan. Akan tetapi saat ini Park Jimin terlihat berbeda. Memakai seragam yang sama dengan milik Yoongi dan ransel serta sepatu hitam mengkilatnya. Wajahnya juga nampak bersinar, tapi senyumnya masih sama mesumnya seperti dulu.
Park Jimin atau entah siapa itu berjalan angkuh kearahnya. "Sekolah ini panas sekali. Aku akan pasang pendingin di setiap sudutnya. Aku tidak suka berkeringat", katanya saat dia melewati Yoongi begitu saja bahkan tanpa melirik Yoongi sedetikpun.
Detik berikutnya para siswa-terutama yang perempuan-berebut mengikutinya dan tanpa ragu menabrak tubuh Yoongi hingga dia terpelanting kesana-kemari. Yoongi mendengus tidak percaya sambil melihat gerombolan itu yang semakin menghilang dari pandangan.
.
Saat makan siang, Yoongi menghampiri anak itu karena rasa penasaran dalam dirinya. Benarkah itu Park Jimin? Atau hanya seseorang yang mirip saja?
Sambil membawa nampan berisi makanan, Yoongi menghampiri anak itu yang sedang duduk seperti pangeran, seorang diri di cafetaria sekolahnya(walaupun duduk sendirian, tapi meja di kanan-kiri-depan-belakangnya penuh dengan siswa yang menatapinya. Yoongi risih. Park Jimin itu miliknya!).
Yoongi meletakan nampannya dengan agak sedikit kasar. Itu karena dia menahan diri untuk tidak menjambak rambut hitam baru itu.
"Hey manis~", sapanya. Seketika Yoongi meleleh dan mata kesal itu berubah gugup. Yoongi melirik nama dadanya dan disana tertulis jelas dengan hangeul bahwa namanya adalah Park Jimin.
"Park-"
"Min Yoongi, huh? Nama yang manis", katanya lalu menyedot jus di dalam gelasnya sambil melirik arah yang lain.
Yoongi menelan kata-kata yang ingin diucapkannya dan memilih untuk menutup mulutnya rapat-rapat. Dia menatap Park Jimin-atau bukan-dengan dahi berkerut. Apa dia lupa pada Yoongi? Atau pura-pura lupa?
.
Saat pulang sekolah, gerombolan itu masih saja menghalangi jalan Yoongi. Dia mengerti kalau Park Jimin memang setampan pangeran Disney. Tapi tidak perlu bergerombol setiap saat, kan?
"Aku mau lewat! Bergerombol ditempat lain saja!", jeritnya frustasi dan berhasil menakuti gadis-gadis sampai mereka menyingkir dari jalan Yoongi.
Yoongi melangkah dengan kesal melewati mereka tapi salah satu dari mereka mengatakan sesuatu yang membuatnya semakin kesal.
"Kau marah karena mantan pacarmu sekolah disini juga?"
Yoongi mendengus. "Dengar ya, dia bukan mantan pacarku. Aku bahkan tidak kenal dengannya".
"Lalu kenapa kau menjadi satu-satunya orang yang makan siang dengannya?"
"I-itu...", Yoongi berpikir keras. "Itu karena kalian semua bergerombol memenuhi meja. Berhentilah bergerombol, kalian membuatku kesal!", tidak mau berlama-lama, Yoongi melangkah pergi dari hadapan mereka. Tidak ada gunanya melawan gadis-gadis. Mereka ditakdirkan untuk selalu benar yang ada nanti Yoongi dikeroyok oleh mereka.
Alih-alih berjalan pulang, Yoongi malah mengerem kakinya saat melihat Park Jimin berada tak jauh didepannya, masuk kedalam sebuah mobil hitam mewah. Dia melirik Yoongi dan tersenyum tipis, itu saja, setelah itu pintu mobil ditutup lalu mobil itu segera melaju membawa Park Jimin pergi.
"HUH!-
.
"-MENYEBALKAN SEKALI!"
Paman Kim mendesah, "Yoongi, kau menakuti pelanggan", katanya. Apa yang bisa Yoongi lakukan hanyalah minta maaf lagi. Dia benar-benar sedang kesal sekarang.
"Ini sudah yang kelima belas kalinya kau berteriak hari ini. Ada apa?"
Yoongi mencebik. "Park Jimin! Dia sombong sekali! Setelah lama menghilang, dia tiba-tiba muncul menjadi siswa baru di sekolahku", katanya.
"Jimin? Dia sudah kembali?", pekik paman Kim.
Dia melirik pria yang sekarang menjadi bosnya itu. Rupanya bukan cuma dirinya saja yang merindukan Park Jimin. Apa boleh buat. Yoongi menghela nafas dan mulai menceritakan segala yang terjadi padanya hari ini. Bagaimana dia merasa kesal karena menunggu sekian lama namun saat waktunya tiba, mereka justru bertemu dengan cara yang tidak diinginkan.
"Kau yakin itu Jimin? Aku rasa itu bukan dia", komentar paman Kim.
Yoongi menghela nafasnya. "Ya.. Aku pikir itu juga bukan dia. Aku harap aku salah membaca namanya", gumam Yoongi. Dia benar-benar kesal, kesal, kesal, dan sedih. Yoongi yang malang, dia kecewa kekasihnya lupa padanya.
.
"Aku pulang...", Yoongi masuk kedalam rumahnya dan disambut dengan kakaknya yang tersenyum sumringah, mata berbinar, pipi merona, mencurigakan.
"Apa?", tanya Yoongi.
Kakaknya menggeleng dan tidak mau menjawab. Yoongi memutar matanya malas. Sungguh. Dia benar-benar sedang tidak ingin berdebat, mengejek atau apapun bersama kakaknya. Kejadian disekolah hari ini ditambah dengan kerja sampingan di toko paman Kim hingga malam sudah cukup menguras tenaganya.
"Terserah", kata Yoongi sambil mengibas-ngibaskan tangannya tidak peduli.
"Aku pergi dulu", sahut kakaknya.
Yoongi menoleh dan melihat kakaknya memegang mantel birunya dan sebuah tas tangan keberuntungannya(katanya sih). Mungkin dia mau kencan.
"Hati-hati dijalan", Yoongi melambaikan tangannya lalu menguap. Setelah kakaknya sudah keluar dari pintu, Yoongi melanjutkan langkahnya menuju kamarnya dilantai atas.
Lima bulan adalah waktu yang cukup untuk menyelesaikan perbaikan rumah mereka. Terima kasih pada ayah 'Park Jimin'(Yoongi malas mengingatnya sekarang), akhirnya mereka sudah tidak perlu menumpang dirumah tetangga lagi.
Yoongi menjatuhkan tubuhnya, tengkurap diatas tempat tidur. Wajahnya terasa berat karena belum cuci muka dan punggungya terasa berat karena dia masih memakai ransel verisi dua kamus. Kamus Bahasa Korea dan Korea-Inggris di dalamnya. Tapi dia tidak peduli. Dia ingin segera tidur saja sekarang. Menyelam ke alam mimpi dan melupakan apa yang sudah terjadi hari ini. Namun baru sebentar dia terlelap, Yoongi tersentak bangun karena terkejut.
"Ah! Aku belum mengerjakan tugas!" keluhnya. Dengan berat hati, akhirnya dia bangkit dan memutuskan untuk mandi terlebih dahulu.
.
Mengerjakan tugas bukan hal yang mudah untuk Yoongi saat pikirannya sedang kacau. Beberapa kali Yoongi membuang dan memungut pensilnya karena dia tidak ingin mengerjakan tugasnya tapi dia harus mengerjakannya. Sedangkan didalam kepalanya masih terbayang-bayang sosok Park Jimin yang baru. Yang baginya jauh lebih seksi dari Park Jimin yang dulu.
"GRRAAAHH! Park Jimin. Awas saja kalau sampai dia muncul di hadapanku lagi, aku akan-"
"Akan apa?"
Yoongi berjingkat. Dia terkejut mendengar sebuah suara di balik punggungnya.
"GYAAAA!", Yoongi terjatuh dari kursinya saat dia melihat Park Jimin lah orang yang sedang berdiri di depan pintu kamarnya yang menghadap ke halaman belakang.
Park Jimin yang bersurai hitam itu melangkahkan kakinya mendekati Yoongi dengan wajah datar namun bisa membuat Yoongi gugup setengah mati. Dia merendahkan tubuhnya dan menatap lekat-lekat pada Yoongi yang masih bersimpuh di lantai.
"Jawab aku Min Yoongi, kau mau apa kalau bertemu denganku lagi?"
Yoongi diam menatapi Park Jimin yang masih memakai seragam sekolahnya. Seketika dia teringat pada bagaimana Park Jimin tidak menghubunginya selama setahun lebih dan bagaimana dia muncul secara tiba-tiba disekolahnya dan bersikap sombong padanya.
Yoongi menggeram seperti seekor anjing yang sedang marah.
"Aku akan menghajarmu!", teriak Yoongi. Lalu tangannya melayang meraih rambut hitam Park Jimin dan menariknya kuat-kuat.
"AAAAAAA! Sakit! Lepaskan!", jerit Park Jimin.
"Dasar anak menyebalkan! Akan kubuat kau menyesal karena sudah mengingkari janji!", Yoongi menghempaskan Park Jimin hingga tersungkur di lantai kamarnya.
Yoongi mengambil kamus Koreanya dan memukulkannya pada tubuh Park Jimin.
"Kenapa kau tidak meneleponku?!", satu pukulan ditangkis oleh Park Jimin.
"Tiga bulan pantat ayam! Ini sudah setahun lebih! Kau berbohong!"
"Aww! Yoongi, hentikan!", Kamus Korea hard cover Yoongi mengenai jari Park Jimin hingga dia mengaduh kesakitan.
"Bersekolah di sekokahku! Pura-pura tidak mengenalku! Bersikap menyebalkan! Sepatumu mahal! Kulitmu semakin cerah!"
"Tunggu-a-apa?!"
"Kenapa rambutmu hitam?!", tanya Yoongi dengan mata melotot marah. Sebenarnya apa sih yang membuatnya marah?
"I-Itu karena ayahku tidak mengijinkan aku mewarnai rambutku"
"Kenapa kau lakukan ini padaku? Kau menyebalkan! Menyebalkan! MENYEBALKAN!", Yoongi membuang kamusnya setelah dia puas memukuli tubuh kurus anak itu.
"Kau sudah selasai?", tanyanya was-was.
Kesalahan besar. Pertanyaannya justru memancing emosi Yoongi yang sudah reda. Yoongi mengulurkan tangannya dan menarik lagi surai hitam yang sudah acak-acakan itu.
"Aku belum selesai!', geramnya.
Dan kembali Park Jimin harus berusaha melindungi dirinya dari amukan singa bernama Min Yoongi.
.
Kejadian seperti ini terulang lagi. Park Jimin yang duduk disudut kamar melirik takut pada Yoongi. Keadaannya mengenaskan. Rambutnya berantakan, jahitan seragamnya rusak dan ada lebam tipis dipipinya. Itu semua adalah ulah Yoongi. Sudah terlihat kan siapa yang berkuasa di antara mereka.
"Aku minta maaf", Park Jimin bersuara sambil mengusap lebam dipipinya.
"Kau pikir minta maaf saja sudah cukup? Kau seharusnya dihukum seberat-beratnya karena sudah melanggar janji!"
"Aku benar-benar menyesal"
Yoongi menghela nafasnya. Disatu sisi dia kesal, disisi lainnya dia juga ingin memeluk Park Jimin karena dia merindukan lelaki itu.
"Kenapa kau tidak menelponku? Kau bilang kau hanya pergi sebentar saja. Kau tahu, aku tidak bermain dengan siapapun semenjak kau pergi"
Mendengar Yoongi yang merajuk rupanya membuat Park Jimin sedikit memberanikan diri untuk mendekat. Dia duduk disamping Yoongi. Karena tidak ada perlawanan dari Yoongi, anak itu memberanikan diri untuk merangkulnya.
"Aku minta maaf. Aku tidak akan membela diri, kau juga boleh memukuliku dengan kamusmu lagi tapi tolong maafkan aku, ya?"
Yoongi menggerutu pelan. Dia tidak bisa terima semua itu. Tapi dia tidak sanggup untuk tidak memaafkannya, Yoongi sangat menyayangi Park Jimin.
"Baiklah. Aku tidak akan tanya lagi. Yang penting kau sudah kembali", kata Yoongi.
"Terima kasih"
Mereka duduk diam berdampingan dalam sunyi. Mereka berdua bergelut dengan pikiran masing-masing. Ada perasaan canggung yang membuat Yoongi tidak berani menatap mata Park Jimin. Karena sudah lama tidak bertemu, Yoongi merasa agak malu. Tapi sebenarnya dia sangat sangat ingin hubungan mereka baik seperti sedia kala.
"Hey, apa kau tidak ingin memelukku? Kita biasa berpelukan setiap hari, kan?", Park Jimin buka suara.
"Aku malu", jawaban Yoongi seketika membuat Park Jimin meledak tertawa. Dia bahkan mendorong Yoongi hingga Yoongi hampir terjatuh dari aras tempat tidurnya.
"Kau ini apa-apaan?! Sejak kapan kau jadi malu-malu padaku? Bukankah sebelumnya kita-Ups, maaf", Park Jimin berhenti karena Yoongi memberinya tatapan tajam.
Mereka terdiam lagi. Sebenarnya Yoongi benci situasi seperti ini karena sebelumnya mereka sangat dekat, namun mendadak mereka seperti baru pertama kali berkenalan. Tapi semua ini salah bocah tengik itu. Dia yang mulai duluan!
"Ya sudah lah", ujar Yoongi sambil bangkit berdiri dari duduknya. Lalu dia berbalik menghadap Park Jimin dan tanpa aba-aba dia menerjang Park Jimin hingga berbaring di atas tempat tidur dan memeluknya erat-erat. Menghirup aroma kekasihnya yang masih sama seperti dulu.
Tanpa sadar setitik air mata lolos dari mata Yoongi. Lalu dia mulai terisak tepat di dekat telinga Park Jimin.
"Y-Yoongi-"
"Aku sangat merindukanmu. Kau puas?!", ujar Yoongi seraya mengeratkan pelukan. Dia juga bisa merasakan Park Jimin tersenyum dan mengeratkan pelukan di punggungya.
"Aku juga sangat sangat merindukanmu", Yoongi tersenyum mendengarnya.
Kau tahu, jantung Yoongi sedang berdebar-debar bahagia. Saat ini dia hanya ingin berdua saja bersama Park Jimin, melepas rindu karena mereka sudah lama tidak bertemu. Jadi tolong jangan mengintip!
.
New Home
.
"Selamat pagi, manis~"
Yoongi tersenyum begitu dia mendengar suara itu. Lembut dan merdu, menggelitik telinganya. Matanya terbuka dan mendapati Park Jimin sedang menyangga kepalanya dengan tangan sambil menatapi Yoongi.
"Hei, kau", balas Yoongi. Dia sudah menyibak selimutnya dan berniat untuk bersiap pergi ke sekolah namun sepasang tangan menarik pinggangnya kembali naik ke atas tempat tidur.
"Jimin, aku harus pergi ke sekolah", lanjutnya dengan sedikit memaksa karena anak itu mulai memeluknya erat dari belakang. Wajahnya menempel di punggung Yoongi dan itu terasa geli.
"Libur satu hari. Aku mohon~", kata Park Jimin.
Yoongi memutar mata malas. "Ayolah anak baru. Aku sudah kelas tiga. Sudah dekat ujian", katanya. Namun bukannya melepaskan, Park Jimin malah semakin mengusap-usapkan wajahnya di punggung Yoongi.
"Park Jimin, Noona bisa membunuhku kalau-"
"Tenang saja. Noona tidak akan tahu. Dia sedang liburan di Jepang bersama bibiku sampai hari Sabtu".
Yoongi menganga tidak percaya. "Kau luar biasa", gumamnya.
Jujur saja dia akan lebih suka pergi ke Jepang bersama kakaknya dari pada harus bolos sekolah dan tinggal di rumah berduaan dengan Park Jimin.
"Tapi tetap sa-"
"-Ah! Aku punya hadiah untukmu"
Yoongi menelan kata-katanya dan lebih tertarik dengan 'hadiah' yang dimaksud oleh Park Jimin.
"Hadiah?", tanyanya. Pura-pura merasa biasa saja padahal di dalam hatinya dia melonjak senang. Mendapat hadiah dari kekasih kaya raya, tidak mungkin Yoongi tidak senang. Apa kira-kira hadiahnya? Rumah? Mobil? Ah! Yoongi terlalu muda untuk semua itu.
"Hadiahmu ada di dalam kamar rahasia kita", jawab Park Jimin.
Mata dan senyum Yoongi melebar. Dia segera meloloskan diri dari pelukan Park Jimin dengan perasaan senang dan segera berlari menghampiri rak buku mereka. Dia menggeser portal-rak buku-dan segera masuk kedalam. Di sana sudah ada bertumpuk-tumpuk kotak hadiah yang sudah menunggunya.
"Apa ini mimpi? Apa ini hari ulang tahunku?", pekiknya.
Park Jimin terkekeh di belakangnya dan mengusap rambutnya. "Ayo buka hadiahmu, sayang". Dia mendorong tubuh Yoongi masuk untuk mendekati kotak-kotak hadiah itu.
Yoongi duduk bersila di lantai, menatapi semua hadiah itu seperti anak kecil yang kebingungan karena mendapat banyak hadiah. Dia menarik sebuah kotak persegi panjang yang ada di dekatnya. Kotak yang panjang dan ramping. Yoongi membuka dan mengintip isinya lalu seketika matanya membulat gembira.
"Tongkat baseballku! Wah! Sama persis!", dia menatap Park Jimin tidak percaya. Dia mengendusnya dan dari aromanya saja Yoongi tahu benda itu asli, bukan tiruan.
"Bagaimana bisa kau mendapatkannya?", tanyanya. Karena benda itu adalah koleksi keluaran lama dan jumlahnya terbatas. Akan sulit menemukan yang sama.
"Aku harus menjual satu ginjalku untuk membelinya"
"Oh-APA?!"
Park Jimin tertawa. "Aku bercanda sayang. Aku kaya sekarang. Itu mudah saja", katanya bangga.
"Ya, terserah", jawab Yoongi tidak peduli. Dia lebih peduli untuk membuka kotak hadiah yang berikutnya. Sebuah kado yang digulung. Rasanya empuk saat Yoongi menekannya. Dan saat dia membukanya, dia tertawa senang.
"Karpet bulu, terima kasih", ujarnya. Yoongi pikir dia akan mendapat hadiah yang bisa membuatnya senang walaupun dia tidak ikut liburan bersama kakaknya. Ini sedikit mengecewakan tapi dia sangat berterima kasih.
Yoongi menatap Park Jimin dan melipat tangannya. "Kau berniat mengganti semua benda yang hangus? Jangan bilang isi kotak ini koleksi komikku", kata Yoongi sambil menepuk sebuah kardus paling besar di sana hingga membuat Park Jimin mencebik seketika.
"Bagaimana kau tahu? Ah! Kau tidak seru!"
"Aku terlalu jenius untuk kejutan-Nah kan, benar. Hahaha", Yoongi tertawa saat dia benar-benar melihat setumpuk komik di dalam kardus itu. Park Jimin sangat mudah ditebak karena sebenarnya dia hanyalah seorang anak kecil polos yang berlagak keren.
"Aku punya satu lagi dan aku yakin kau tidak akan bisa menebaknya", kata Park Jimin seraya berjalan semangat menuju lemarinya dan berdiri membelakangi Yoongi untuk beberapa saat.
"Tadah! Ini hadiahmu!", seru Park Jimin sambil melebarkan kedua tangannya.
Yoongi hanya bisa memasang wajah malas saat melihat Park Jimin dengan lilitan pita merah di lehernya. Jika dia ingin menjadikan dirinya sebagai hadiah untuk Yoongi, lebih baik lupakan saja.
Park Jimin tertawa garing. "Tidak suka ya? Baiklah. Aku hanya bercanda", ujarnya lalu dengan mudah dia menunjukkan sesuatu dari balik punggungnya. Tidak terbungkus kertas kado dan tidak berpita, hingga Yoongi bisa lihat dengan jelas benda apa itu.
"Laptopku!", tidak ada yang bisa membuat Yoongi berseru begitu gembira, Yoongi sangat-sangat merindukan benda kesayangannya itu. Yoongi mendekapnya erat-erat. "Aku tidak akan melepaskanmu lagi", katanya dengan tangan yang mengelus permukaan laptopnya.
"Kau juga tidak akan melepaskan aku lagi, kan?"
Yoongi tidak mempedulikan pertanyaan Park Jimin. Dia malah sibuk menyalakan laptopnya untuk memeriksa isinya.
"Wah! Isinya masih lengkap. Bagus sekali!", serunya gembira.
"Hei, kau lebih memilih benda itu dari pada aku? Kau tahu tidak, aku harus mencarinya susah payah. Pergi ke semua tempat di Seoul. Tapi ternyata dia berada di pegadaian yang letaknya hanya dua blok dari sini. Dan aku harus bayar mahal agar pria pegadaian cerewet itu mau menyerahkan pengisi dayanya juga padaku. Mana rasa terima kasihmu?", protes Park Jimin panjang lebar.
"Terima kasih", sahut Yoongi acuh namun mata dan jarinya masih asik bermain pada laptop kesayangannya.
"Begitu saja? Kau-! Blah, blah, blah!", Park Jimin mengomel tanpa jeda dengan suaranya yang cempreng sedangkan Yoongi tetap asyik membuka situs komik online favoritnya tanpa ambil pusing untuk mendengarkan omelan kekasihnya itu.
Ya, apapun itu yang penting kita tahu. Hari ini, besok, bahkan selamanya mereka tidak akan meninggalkan satu sama lain. Mereka akan selalu bersama bagaimana pun situasinya. Bukan karena Park Jimin sudah memiliki banyak uang. Tapi karena kita tahu bagaimana mereka saling melindungi bahkan saat Park Jimin tidak punya uang sepeser pun. Mereka akan hidup bahagia bersama dirumah baru mereka.
.
END
Terima kasih untuk pembaca setia 'New Home'. Penulis membuatnya dengan sungguh-sungguh. Mohon maaf kalau endingnya membuat kalian kecewa.
I Love You Guys ~^^
