Second Times
(I Want to be Brave and Break Up's Sequel)
.
Aerolee
.
Warning!
(Typo everywhere, EYD Failed)
.
BoyxBoy | Yaoi | Angst, Tragedy, Hurt, Romance, Drama | PG-15
.
Yoongi, Jimin, Jungkook, Taehyung, and other.
.
Don't Like?
.
Don't Read!
.
Don't Plagiarize
.
Semua cast milik agensi masing-masing, orang tua masing-masing, dan juga milik Tuhan.
Tapi Fanfic ini asli milik saya, jika ada kesamaan alur, kata-kata, cast atau sebagainya, itu hanya unsur ketidak sengajaan.
.
Happy Reading!
.
.
.
"Hidupmu takkan berarti bila kau terus menerus menyalahkan takdir kelahiranmu di dunia."
.
.
.
.
.
Jungkook tertawa meremehkan, "Maaf? Apa sebuah kata maaf dapat mengembalikan semuanya seperti sediakala? Membuat Jimin kembali hidup? Sesederhana itu kau meminta maaf? Hidupmu benar-benar menyedihkan Min Yoongi."
"Aku tidak tau harus berbuat apa, dan aku hanya bi—"
"Ya! Kau memang tidak bisa berbuat apa-apa, kau terlalu munafik! Egois! Kau hanya ingin kebahagiaan untuk dirimu sendiri saja! Ternyata ini adalah wujud asli seorang Min Yoongi di balik wajah lugu penuh dosa miliknya, tidak heran kedua orang tuamu meninggalkanmu dan membiarkanmu menjadi seorang sebatang kara yang menyedihk—"
Suara tamparan keras menghentikan perkataan Jungkook, lelaki bersurai kelam itu memegangi pipinya, mendongak menatap nyalang pelaku yang sudah menampar pipi mulusnya. "Bajingan kau Kim Taehyung!"
Yoongi memandang tak percaya, Taehyung berdiri membelakanginya dan menampar Jungkook tepat di hadapannya. Sorot matanya tak kalah tajam, lelaki dengan surai dark brown itu mengepalkan kedua tangannya kuat, siap melayangkan tamparannya jika Jungkook masih meneruskan perkataan hinanya.
"Aku tidak percaya kau akan mengatakan kata-kata murahan seperti itu." Taehyung berbicara pelan, namun terdengar sangat menusuk.
Jungkook berdecih, membalas tatapan menantang Kim Taehyung. "Oh ya? Kau juga munafik sepertinya, kau tahu Kim Taehyung? Kau sedang membela orang yang salah saat ini."
"Demi Tuhan Jeon Jungkook! Tidak bisakah kau melupakan itu dan kembali menjalin hubungan persahabatan seperti enam tahun yang lalu?" pandangan Taehyung mulai melembut, "Kau sudah melihat Yoongi menderita, dan kau masih menuntut untuk melihatnya musnah? Sadarlah, bahkan Tuhan sudah mengampuni semua dosa kalian."
"Kau tidak mengerti! Kau tidak akan pernah mengerti posisiku karena kau belum merasakan kehilangan sama sekali!"
Aku mengerti, sangat mengerti, Taehyung membatin. "Aku hanya ingin ikatan kita kembali seperti sediakala."
"Hah? Dalam mimpimu!" Jungkook berucap final lalu melangkah meninggalkan Taehyung dan Yoongi yang masih bediri terpaku.
Yoongi hanya diam, semua yang dikatakan Jungkook adalah kebenaran. Hidupnya terlalu menyedihkan sejak awal, mereka semua ada hanya karena kasihan melihatnya yang sebatang kara. "Maafkan aku, Tae."
Taehyung berbalik, menangkup kedua pipi Yoongi dalam tangannya yang besar. Menghapus bercak air mata dari pipi mulus hyung yang diam-diam dicintainya itu, sekali lagi hatinya terasa tercubit melihat Yoongi seperti ini. Yoongi yang rapuh, Taehyung benar-benar tidak menginginkan Yoongi yang seperti ini. Yoongi yang dikenalnya adalah Yoongi yang kuat, judes, cuek, dan dingin, hal itu yang membuatnya jatuh dalam pesona Min Yoongi.
"Jangan terlalu dipikirkan, lupakan semuanya hyung. Hidupmu masih bisa dirubah. Kebahagiaan sudah menunggumu di ujung jalan sana," Taehyung berucap lembut.
"Terima kasih, Kim Taehyung."
.
.
Yoongi duduk bertopang dagu, menerawang keadaan di luar cafe melalui kaca jendela. Ia termenung cukup lama hingga kopi di hadapannya sudah tidak mengepulkan uap. Laki-laki putih pucat itu masih memikirkan kejadian beberapa hari lalu. Masih sangat jelas bagaimana Jungkook menghinanya di antara kerumunan orang yang berlalu lalang.
Dan bagaimana Taehyung bisa dengan tiba-tiba datang di hadapannya lalu menampar Jungkook cukup keras. Bahkan Yoongi sempat meringis ketika Jungkook memegang pipinya yang memerah. Kejadiaan itu terjadi begitu cepat, namun dapat membuat Yoongi hampir tidak bisa tidur semalaman.
"Lagi-lagi kau membiarkan kopi buatanku mendingin." Hoseok muncul dari balik pintu tirai, menggeser sebuah kursi, dan mendudukkan dirinya di seberang Yoongi, "Asal kau tahu, aku membuatnya dengan penuh cinta."
Mendengar nada tersakiti yang dibuat-buat oleh Hoseok, membuat Yoongi terkekeh, dan mulai menyesap kopinya yang mendingin. "Tidak peduli itu panas atau dingin. Kopimu memang yang terbaik."
"Pencitraan," Hoseok berdesis.
Siang hari yang cukup cerah itu mereka habiskan untuk sekedar bercanda, mengobrol, dan mendiskusikan project yang akan mereka buat.
Cafe yang terletak di sebuah persimpangan Gwanghwamun ini adalah milik Hoseok. Setiap hari dari pagi hari hingga sore hari Hoseok akan menghabiskan waktunya di cafe, melayani tamu-tamunya dengan ceria. Dan di malam harinya lelaki penuh harapan itu akan bekerja di studio milik Namjoon bersama dengan Yoongi.
Jujur saja Yoongi sedikit iri dengan teman-temannya, mereka semua sudah memiliki pekerjaan dan tempat kerja mereka sendiri. Di bandingkan dengan Yoongi, dia hanya seorang laki-laki tuna karya yang sekarang hanya bisa mengandalkan Namjoon memberinya sedikit pekerjaan di studio miliknya. Walaupun begitu Yoongi tetap harus menemukan pekerjaan tetapnya, ia tidak bisa terus menerus merepotkan teman-temannya.
"Aku sudah menemukan beberapa tempat yang mungkin dapat kau datangi, Yoongi." Hoseok memberikan sebuah koran yang telah ia lingkari di beberapa sisi itu kepada Yoongi.
"Perusahaan?"
Hoseok mengangguk, "Tapi sebelumnya aku memiliki dua kabar sekarang." Hoseok berucap dengan nada misterius.
"Apa?"
"Pertama, aku sudah menemukan perusahaan lain yang menerima karyawan lulusan sekolah menengah atas. Dan tentang surat lamaranmu kemarin..." Hoseok sengaja berhenti, menunggu reaksi tidak sabaran Yoongi, "Kau diterima!"
"Benarkah?" Yoongi memekik senang, mengguncang-guncangkan tubuh Hoseok, dan dijawab anggukan mantap dari pemilik cafe itu.
"Tentu, mana tega aku membohongimu tentang hal ini?"
Yoongi menatap Hoseok dengan mata yang masih berkilat senang, dia beranjak memeluk Hoseok. "Terima kasih Jung Hoseok~ aku berhutang banyak padamu!"
Hoseok yang mendapat serangan mendadak itu terkekeh, mencoba melepaskan pelukan Yoongi yang entah sejak kapan sangat kuat sekarang.
"Ya.. ya, sekarang cepat persiapkan dirimu."
"Tentu!"
.
.
Seperti biasa, malam itu masih terasa dingin dan kaku. Seolah-olah membekukan benda apapun yang sengaja berada di bawah sinar rembulan, dan menguapkan segala beban pikiran yang di tanggung oleh beberapa orang.
Seperti seorang lelaki bersurai silver dengan perawakan maskulin yang tengah menyandarkan tubuhnya pada kusein jendela. Membiarkan jendela putih besar itu terbuka lebar, sehingga tirai-tirai dalam ruangan bernuansa blue-dark itu terkibas-kibas akibat angin yang berhembus.
Bulan purnama.
Lelaki itu tersenyum, mengingat bahwa apa yang selama ini dia inginkan akan segera dia dapatkan. Kekasihnya— Cintanya— Nyawanya— dan Permatanya—
Dengan hanya membayangkan saja dapat membuat lelaki itu semakin mengembangkan senyumnya. Bagaimana tidak? Menunggu selama bertahun-tahun hanya demi bertemu dengan dia— benar, dia. Seseorang yang berhasil membuatnya kuat selama ini.
Seseorang yang... telah memberinya sebuah harapan baru dan— status baru.
Mengikuti beberapa rintangan berat sepanjang hidupnya, menekan gejolak rindu dalam hatinya. Siapa yang tidak akan tersiksa jika beberapa tahun belakangan ini hanya hidup sebagai arwah tanpa jasad? Hidup tanpa tujuan, dan bekerja dalam kekangan.
Semuanya akan berakhir sebentar lagi...
"Segera, dalam hitungan jam. Kita akan bertemu lagi..."
.
.
Kira-kira sudah hampir sepuluh kali, seorang Min Yoongi hanya berputar-putar dan membuang pakaiannya ke segala arah. Merasa tidak cocok dengan setelan pakaian-pakaian yang sudah dicobanya. Ini adalah hari pertamanya untuk interview dan ia harus berpenampilan bagus dan juga rapi hari ini.
Karena Yoongi percaya, kesan pertama akan berdampak ke depannya. Jadi, berikan kesan sebaik mungkin untuk suatu hal yang baik juga dikemudian hari. Sekiranya itu adalah motto seorang Min Yoongi.
Yoongi mendengus, melempar kemeja toscanya ke arah kasur lalu duduk bertopang dagu. Memandang pakaian-pakaian yang berserakan di penjuru apartemennya, "Ini benar-benar mengganggu." Sungutnya sebelum kembali mengambil beberapa setelan kemeja dan mematut diri.
"Kenapa warna ini juga tidak cocok," Yoongi kembali bermonolog, mengabaikan keadaan sekitarnya. Bahkan lelaki itu sampai tidak tahu jika Hoseok sudah datang dan memerhatikannya sejak sepuluh menit yang lalu.
Melihat sahabatnya yang benar-benar sangat gugup, tak ayal membuat Hoseok menggeleng-gelengkan kepalanya. Merasa maklum dengan kelakuan Yoongi yang sangat mengantisipasi hari pertama interviewnya. Hoseok tahu Yoongi tidak akan repot-repot seperti ini jika hanya untuk pergi kemanapun, tapi kali ini kasusnya berbeda— sahabatnya itu benar-benar bersemangat dalam interview kali ini.
"Hyung, sudahlah. Kau cocok menggunakan warna apapun," Hoseok bersuara, dan berhasil menghentikan kegiatan Yoongi sejenak. Mengambil salah satu kemeja berwarna biru navy lalu memberikannya pada Yoongi, "Pakai ini saja. Interviewmu akan dimulai dua puluh menit lagi, kita harus segera ke sana, hyung."
Yoongi menyambar kemeja itu dari tangan Hoseok dengan segera, kemudian berlalu menuju kamar mandi. Melihat itu Hoseok hanya bisa tersenyum melihat kelakuan rekan kerjanya sekaligus teman baiknya itu.
Tepat lima menit kemudian Yoongi sudah siap dengan menenteng dokumen-dokumennya dan berjalan menyusul Hoseok ke lobi apartemen.
Harinya akan dimulai dari sekarang—
.
.
Seorang wanita berparas eksotis memasuki ruangan bernuansa dark metalic itu dengan menenteng beberapa dokumen di tangannya. Sedikit membungkuk ketika dirinya sampai di hadapan sang petinggi, kemudian menyerahkan beberapa berkas kepada pria bersurai silver yang tengah sibuk dengan laptopnya.
"Ini beberapa CV yang anda minta kemarin, Mr. Claw."
Pria itu mendongak sekilas, hanya menunjukkan smirk khasnya lalu kembali menatap layar laptopnya, "Kau tahu benar hanya satu yang aku minta bukan?" Terdengar nada dingin namun menusuk dari ucapannya.
"Tapi Mr.—"
"Buang semuanya, aku hanya memerlukan dia."
Dengan terpaksa wanita itu mengangguk, "Baiklah, Mr."
Tepat setelah pintu ruangan itu tertutup kembali pria itu menegakkan tubuhnya, menutup laptop yang sudah berjam-jam terus ia pandangi.
Mengetahui kenyataan bahwa seseorang yang selama beberapa tahun terakhir ini sudah di rindukannya, sekaligus seseorang yang berdiri dibalik berdirinya seorang yang disebut-sebut dengan Mr. Claw itu.
Sebentar lagi—ya, sebentar lagi...
Permatanya akan kembali dalam genggamannya.
Dan tanpa sadar sebuah smirk mengerikan tercetak jelas pada wajah tampan itu.
.
.
Gloria Miccaelist berjalan anggun menuju ruang interview, melirik sekilas beberapa calon karyawan dan karyawati yang akan menjalankan interviewnya hari ini. Ya, sebuah interview sebelum Mr. Claw memutuskan untuk menerima karyawan yang telah di pilihnya.
Jadi, apa gunanya ia melakukan interview saat ini, dan berujung hanya untuk formalitas saja?
Gloria menempati salah satu kursi, mengedarkan pandangannya hendak mencari sosok yang dimaksud oleh bosnya itu. Seorang laki-laki berkulit putih pucat, bersurai hitam legam, dan memiliki tubuh mungil. "Min Yoongi."
Merasa namanya di panggil, pemuda pemilik nama Min Yoongi itu mendongak. Menatap Gloria dengan penuh antisipasi, merasa was-was jika wanita itu akan mengatakan hal yang tidak diinginkannya. Oh ayolah, Yoongi benar-benar membutuhkan pekerjaan.
"Ya, itu saya," Sahut Yoongi ragu-ragu.
Gloria menatap Yoongi cukup lama, membuat Yoongi merasa tak nyaman dalam posisinya. Sebelum berdeham kecil dan tersenyum tipis, "Ikut denganku, kau diterima. Dan— Mr. Claw ingin bertemu denganmu."
Kau dapat menebak bagaimana ekspresi seorang MinYoongi? Pria itu tertegun cukup lama, memandang sebuah amplop berwarna platina di tangannya dengan perasaan bahagia bercampur dengan ketidak percayaan tiada tara. Bagaimana bisa ia diterima semudah itu? Bahkan ia baru saja menyerahkan CV dan berkas-berkas lainnya tidak kurang dari satu jam.
Bolehkah Yoongi menyebut ini sebuah keberuntungan?
Tidak—bahkan ini lebih dari sebuah keberuntungan.
Gloria tersenyum kecil melihat kilat binar penuh dengan kebahagiaan yang terpancar dari mata hazel milik Yoongi, namun ia tidak bisa menepis rasa penasarannya tentang apa yang terjadi di antara Mr. Claw dengan pemuda bernama Min Yoongi ini.
Bukankah Yoongi baru saja pindah ke Seoul beberapa waktu lalu?
Apa Mr. Claw mengenal Yoongi jauh sebelum pemuda itu datang kemari?
Well, cepat atau lambat ia pasti akan mengetahui jawaban dari seluruh pertanyaan yang berkecamuk dalam pikirannya.
"Gloria, apa kau lupa jika aku hanya memberimu waktu selama lima belas menit?"
Sebuah suara berat berhasil membuat Gloria dan Yoongi tersontak dari lamunan masing-masing, dan dengan spontan Yoongi mengikuti arah pandang Gloria yang tengah menunduk—mungkin merasa bersalah—kepada seseorang yang tengah berdiri di ambang pintu ruang interview.
Tunggu dulu—bukankah dia...
"Jimin..."
.
.
To be Continued
