Who Are You? I Am You
by baketheyolk
Pair(s): Chanbaek, GTop
Cast(s): Park Chanyeol, Byun Baekhyun, Oh Sehun, Kwon Jiyong, Choi Seunghyun
Rated: M
Genre: Romance, Fantasy, Slight! Hurt
Warning! Dunno how to say this but it's a body swap fanfiction with my 2 otps from different fandom are staring in it.
-o-O-o-
Bunyi dentingan peralatan makan terdengar sangat jelas pada meja makan yang ditempati oleh dua orang laki-laki di restoran bintang lima di pusat kota Seoul. Pisau yang beradu dengan piring mengisi keheningan antara mereka yang sejak kedatangan di restoran tersebut masih enggan untuk saling membuka suara. Musik jazz yang dimainkan oleh sekelompok orkestra kecil di pojok ruangan juga turut serta dalam memusnahkan kecanggungan antar dua insan yang notabene merupakan sepasang kekasih itu.
"Liburan semester ini aku ingin pulang ke rumah orang tuaku di Bucheon." Lelaki yang lebih mungil pun akhirnya memutuskan rantai kesenyapan yang telah berlangsung selama tiga puluh menit itu. Lalu pemuda jangkung yang ada di hadapannya mengalihkan fokus perhatiannya dari chicken steak yang lezat pada wajah kekasihnya yang cantik.
"Lalu?" Tanyanya setelah mengusap sekitar area bibir menggunakan serbet di pangkuannya, takut-takut jika ada remahan sisa makanan di sana yang akan mengurangi kadar ketampanan yang dimiliki penampilan pemuda tersebut.
Baekhyun, pemuda mungil itu kembali menundukkan kepalanya saat mendengar pertanyaan kekasih yang telah menjalin hubungan dengannya hampir selama empat tahun terakhir. Ia dapat menangkap nada acuh yang tersirat dari kalimat pertanyaan yang hanya terdiri dari satu kata. Masih dengan kepala yang menatap ke makanannya di piring, Baekhyun memberanikan diri untuk bertanya lagi, "Apa kau ada waktu luang untuk menemaniku ke sana, Yeol?"
Chanyeol menggeser layar ponselnya dan langsung membuka aplikasi kalender di perangkat pintar yang tengah ia genggam. Libur semester akan diadakan enam belas hari dari sekarang, namun yang ia lihat dari kalendernya ialah tanggalan yang sudah diberi warna biru sebagai tanda dirinya telah ada yang membooking untuk menghabiskan waktu liburan bersama. Sebenarnya bukan liburan, tetapi lebih kepada tuntutan pekerjaan yang mewajibkannya untuk melakukan serangkaian kegiatan tersebut.
Chanyeol menaruh ponselnya ke tempatnya semula di sebelah gelas bening yang berisi wine putih. Dalam dirinya kini ia sedang mempertimbangkan kalimat yang tepat untuk memberitahukan Baekhyun kalau ternyata jadwalnya sudah sangat padat dan tidak memungkinkan untuk menemani pemuda bersurai abu-abu itu pulang ke kampung halamannya.
"Maaf Baek, tapi aku—"
Belum sempat Chanyeol menyelesaikan kalimatnya, Baekhyun justru segera menginterupsi pernyataan pemuda tinggi yang duduk di depannya. Karena Baekhyun tahu kalimat apa yang akan Chanyeol keluarkan lewat bibir tebalnya yang seksi itu.
"Tidak perlu dilanjutkan. Aku mengerti." Kata Baekhyun menanggapi. Ia mengulas senyum sekilas untuk disuguhkan pada kekasihnya yang tengah menatap dirinya dengan sorot pandang penuh penyesalan. Sedetik kemudian Chanyeol membalas senyuman Baekhyun dengan usakan sayang di rambutnya yang mengakibatkan helaiannya berantakan.
Mereka melanjutkan sesi makan malam yang diberi label kencan itu dengan dikelilingi atmosfer yang tidak mengenakkan. Kecanggungannya terasa sangat tidak nyaman. Gerakan mengiris dari tangan Baekhyun pada daging dari steak ayamnya menjadi lesu sementara matanya berusaha dengan amat keras untuk tidak menjatuhkan bulir-bulir air mata yang rasanya sudah menumpuk di pelupuknya. Sedangkan Chanyeol, ia telah mengabaikan makanannya, menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi yang empuk dan lebih asyik menenggelamkan diri pada ponselnya untuk membalas beberapa pesan yang masuk.
Harusnya Baekhyun tahu betul tentang kesibukan kekasihnya yang satu itu. Harusnya ia tidak perlu menaruh banyak harapan dengan permintaannya yang terdengar konyol untuk diajukan kepada pemuda yang menjabat sebagai kekasihnya. Dan seharusnya Baekhyun tersadar kalau ia tidak boleh kecewa setelah mendengar penolakan yang dilontarkan oleh Chanyeol.
Karena memang ini sudah menjadi suatu hal yang biasa bagi Baekhyun. Namun lain di mulut lain di hati, sebab agaknya kini Baekhyun telah lelah untuk menjadi pihak yang harus selalu mengerti.
Baekhyun yang tak tahan dengan keheningan yang melingkupi mereka pun berinisiatif untuk menyudahi kencannya yang hambar. Ia mendorong kursinya dengan menumpukan tangan pada meja, berdiri tegak dengan kedua kaki dan berkata, "Ini sudah sangat larut, aku ingin pulang."
"Oh, maaf sekali, Bee. Aku tidak bisa mengantarkanmu ke rumah, Jiyong-hyung memanggilku untuk datang ke bar."
Baekhyun yang mendengar penjelasan kekasihnya hanya mampu meringis merasakan hatinya yang berdenyut sakit. Jiyong-hyung ini, Jiyong-hyung itu, selalu saja Jiyong. Baekhyun sebenarnya tidak tahu siapa itu Jiyong yang kerap dielu-elukan kekasihnya ini.
Bahkan untuk mengantarkan Baekhyun pulang pun Chanyeol tidak dapat meluangkan waktunya lagi. Pemuda mungil itu mengangguk dan meninggalkan Chanyeol yang tetap larut dengan ponsel pintarnya. Ia tidak menduga bahwa kekasihnya akan setega itu hingga tidak melepas kepergiannya. Menemaninya sampai lobi saja tidak ia lakukan.
Baekhyun menyeret kakinya di trotoar yang sepi. Beberapa orang yang berlalu lalang memperhatikan penampilannya yang berantakan. Vest abu-abu ia lepas dan disampirkan di bahunya yang kecil. Dua kancing teratas kemeja putihnya ia buka agar nafasnya yang sesak bisa terbantu. Sepatu baru yang ia kenakan khusus untuk kencannya malam ini bersama Chanyeol, ia injak bagian belakang sebab luka lecet yang ditimbulkan pada mata kakinya. Ia pulang dengan berjalan kaki karena jarak restoran mewah yang ia kunjungi tidak terlalu jauh dengan apartemen yang ia huni.
Seolah ingin mendramitisir keadaan, seketika hujan turun dengan amat lebat mengguyur ibukota. Padahal ini sudah mendekati musim panas. Kala ia menyeberang jalan guna mencapai gedung apartemennya, Baekhyun berhenti di tengah garis putih zebra cross. Ia mendongakkan kepalanya dan membiarkan tetes hujan langsung menerpa wajahnya yang telah dialiri oleh air mata. Klakson dari kendaraan roda empat yang lewat dan lampu pejalan kaki yang berwarna merah tidak lagi ia pedulikan. Matanya semakin memanas ketika ingatannya berputar pada kenangan pahit selama sepuluh bulan terakhir.
Ia rindu menghabiskan waktu senggang bersama Chanyeol, tapi apakah pemuda itu juga merasakan hal yang serupa?
-o-O-o-
"Hyung, ayo ikut aku ke Beijing!" Ucap Jiyong disertai dengan antusiasme yang tinggi. Senyuman manis tak pernah meninggalkan wajahnya yang cantik. Bantal sofa berbentuk bulat ia dekap erat untuk menahan rasa antusias yang membuncah dalam dirinya. Sebisa mungkin ia menahan diri agar tidak memeluk kekasihnya dari belakang dan mengusik pemuda jangkung itu dari aktivitasnya yang amat krusial.
"Dalam rangka apa?" Balas pemuda yang tengah menggoreskan kuasnya di atas kanvas putih yang sudah dipenuhi berbagai macam warna. Lukisan itu tidak membentuk pola yang rapi dan cenderung mendekati abstrak, namun justru di situlah yang menjadikannya memiliki nilai seni tinggi. Tetapi pemuda tinggi itu tetap tidak mengganti fokus perhatiannya pada orang yang sedang mengajaknya berbicara.
"Aku dan timku diundang untuk mengisi acara after party yang diadakan oleh perusahaan ternama, hyung!"
Seunghyun mengangukkan kepalanya beberapa kali, "Kapan itu, Ji?"
Jiyong mengeluarkan ponselnya dari saku celana dan mengecek tanggal digital dari kalender yang ada di perangkat komunikasinya yang canggih, "Enam belas hari dari sekarang. Kau pasti bisa ikut, 'kan?"
Jiyong menggulingkan tubuhnya agar menghadap kekasih yang masih setia duduk di kursi kayunya yang kecil di tengah ruangannya, seraya menatap punggung lebar lelaki yang telah menemaninya semenjak awal masuk kuliah hingga mereka sekarang berhasil meraih cita-cita yang diidamkan masing-masing.
Ketika Jiyong melihat punggung Seunghyun yang tiba-tiba menegang, nampaknya ia sudah mampu menebak jawaban apa yang akan ia beri padanya. Maka itu, sebelum ia mendengar penolakan yang menyakitkan, lebih baik ia saja yang mendahuluinya, "Aku tahu apa yang akan kau katakan dan aku mengerti." Aku harap aku bisa mengerti lagi, tambahnya dalam hati.
"Kau tahu Jiyong, di hari itu aku harus hadir dalam pameran guna menemui konsumen yang punya potensi untuk membeli hasil karyaku." Tandasnya dengan mengungkapkan alasan yang sesungguhnya pada kekasih yang terpaut satu tahun lebih muda darinya itu.
Saat ia tidak mendapatkan sahutan dari Jiyong yang tengah berbaring di sofa di belakangnya, ia pun memutuskan untuk memutar tubuh sehingga bisa memandang kekasihnya yang kini malah memberikan punggung ke arahnya. Seunghyun tahu Jiyong merajuk, untuk itu ia memilih untuk mengakui kesalahannya, "Jiyong? Maaf."
"Kita sudah sangat jarang menghabiskan waktu berdua dan bahkan kencan di luar rumahmu pun bisa ku hitung menggunakan jariku, Seunghyun." Maksud Jiyong adalah untuk bergumam, namun ia tidak menyangka jika Seunghyun yang berada di seberang ruangan justru mendengarnya dengan amat jelas.
Dengan langkahnya yang panjang, ia menghampiri Jiyong dan berjongkok di sampingnya. Tangannya yang bersih dari cat ia bawa untuk membelai surai abu-abu cantik milik kekasihnya, "Seingatku dua bulan lalu kita berlibur bersama ke Hokkaido dan dalam kurun waktu yang cukup lama pula. Apa itu belum cukup bagimu, Ji?" Tanyanya lewat suara beratnya yang lembut.
Sontak Jiyong membalik tubuhnya agar berhadapan dengan Seunghyun dan melayangkan tatapan sinisnya pada kekasih jangkungnya itu. Ia berdecak kesal sebelum akhirnya bangkit dari sofa dan meninggalkan rumah Seunghyun dengan bantingan pintu yang sangat keras sampai membuat pemilik rumahnya terkejut.
Sepanjang perjalanannya pulang, di dalam mobil Jiyong tak henti-hentinya menggerutu kesal dan mengutuk kekasihnya itu. Sungguh Jiyong tidak membutuhkan makan malam romantis di restoran mewah, ia juga tidak perlu liburan ke tempat yang jauh hanya untuk berdua dengan Seunghyun. Yang saat ini sangat ia butuhkan ialah kehadiran sosok Seunghyun di sisinya dan menghabiskan waktu berkualitas bersama yang tercinta. Karena jujur saja, ia telah kehilangan kehangatan –bukan makna literal- dari Seunghyun yang disebabkan oleh jadwal sibuk mereka berdua yang seolah tidak pernah bisa untuk disatukan waktunya.
Jiyong rindu Seunghyun yang mau meluangkan waktu hanya untuk kencan bersamanya di taman kota menjelang matahari terbenam. Rasanya sudah lama sekali mereka tidak bercengkerama di bangku panjang yang telah Jiyong beri hak paten miliknya dengan menuliskan inisial namanya dan Seunghyun.
Rinai hujan yang turun bersamaan menghantarkan Jiyong untuk ke sebuah bar tempatnya biasa berkumpul dengan kawan-kawannya. Awalnya ia memang meminta izin untuk absen dari pertemuan kali ini karena hendak menemani Seunghyun di studio lukisnya. Tapi ia membatalkan izin tersebut dan menampakkan diri di bar punya Seungri yang kemudian disambut oleh rekan-rekannya yang telah menanti.
-o-O-o-
"Aku ingin mengakhiri hubunganku dengan Chanyeol, Hun."
Baekhyun mungkin tak melihat reaksi lawan bicaranya karena masih sibuk menata pakaian ke dalam koper, namun kalau ia bisa menyaksikan mata Sehun yang sipit membola kaget, pasti ia akan menjadi orang pertama yang menertawakan ekspresi menggelikan yang ditampilkan sahabatnya itu.
Baekhyun sudah meneguhkan hatinya. Pilihannya telah mantap dan sukses membawanya ke keputusan final yakni dengan mengakhiri hubungan percintaannya yang terjalin selama bertahun-tahun. Kendati ia masih teramat mencintai Chanyeol, sayangnya Baekhyun tidak bisa menaruh harapan apapun lagi pada kekasihnya dan hubungan mereka.
Permulaan yang membuat hubungan mereka merenggang ialah ketika Chanyeol berhasil diterima masuk ke dalam tim perkumpulan yang berisi DJ, rapper dan produser musik yang terkenal di dunia malam. Awalnya Baekhyun memang sangat mendukung Chanyeol untuk bisa satu langkah lebih dekat menuju mimpinya, namun seiring berjalannya waktu, kekasihnya yang jangkung itu lebih memprioritaskan pekerjaan sambilannya di atas hal-hal lain yang penting dalam hidupnya. Perkuliahan Chanyeol menjadi terbengkalai akibat jadwal Chanyeol yang mengharuskannya untuk tampil di banyak bar pada malam hari. Ia melupakan teman-teman musisi di kegiatan ekstrakurikuler kampusnya hanya karena ia sudah memperoleh rekan yang lebih hebat dalam bidang tersebut. Bahkan Baekhyun turut menjadi korban dari perubahan Chanyeol yang begitu kentara.
Baekhyun sangat tahu bakat yang kekasihnya miliki. Ia amat mengagumi kemampuan Chanyeol yang dapat memainkan alat musik apapun walau dalam sekali sentuh. Ditambah keahliannya di bidang rapping, nilai sempurna dari Baekhyun telah Chanyeol kantungi sejak lama. Oleh sebab itu, saat Chanyeol meminta saran dan dukungan darinya untuk mendaftar menjadi salah satu bagian dari perkumpulan itu, Baekhyun tak segan-segan mengerahkan seluruh hatinya untuk mendoakan hasil yang terbaik bagi Chanyeol.
Namun, bila imbalan yang ia dapatkan setelah siang dan malam tak hentinya memanjatkan pengharapan adalah diabaikan seperti ini, tak bisa dipungkiri kalau hatinya merasa kecewa dan menyesal.
Acap kali Chanyeol mengajaknya kencan, baik itu makan malam atau menonton film keluaran terbaru di bioskop, Baekhyun sangat bahagia hingga ia memerlukan waktu berjam-jam hanya untuk menentukan pakaian yang akan ia kenakan. Wajah Chanyeol yang sangat tampan terkadang membuatnya kehilangan kepercayaan diri dan memandang kalau ia tidak pantas untuk bersanding di sisi pemuda jangkung itu. Saat mereka pertama pacaran, Chanyeol memang sering kali memberi pujian pada Baekhyun sebagai bentuk apresiasi kesiapannya. Akan tetapi semenjak karir Chanyeol melejit, jangankan mendapat pujian, Chanyeol bahkan enggan untuk melirik busana yang dipakai Baekhyun ketika kencan bersamanya di luar rumah.
Suatu hari saat ia menginap di apartemen Baekhyun ia pernah berkata, "Penampilanmu ketika di rumah dan di luar tidak ada bedanya, Bee." Dan Baekhyun pun akhirnya berhenti untuk mempedulikan selera pakaiannya kala berkencan dengan Chanyeol setelah hari itu.
Lamunan Baekhyun tersadar saat mendengar langkah kaki pelan yang menghampirinya. Sehun berjalan mendekat ke Baekhyun yang tengah duduk di lantai depan lemari pakaiannya. Ia ikut meletakkan bokongnya di samping pemuda yang lebih kecil dan menatapnya dengan pandangan yang tulus. Dengan hati-hati, ia bertanya, "Kau yakin, Bee? Apa pilihanmu tidak akan membuatmu menyesal di kemudian hari?"
"Jangan bicara seperti itu. Harusnya kau mengharapkan yang terbaik untukku, Sehun-ah." Baekhyun memukul punggung tangan Sehun yang berada di atas tumpukan pakaiannya. Tidak terlalu kencang, tapi ruam kemerahan tetap tercetak jelas di kulit putih Oh Sehun.
Saat kedua pasang manik dua orang itu bersua, Sehun paham bahwa sahabatnya tidak baik-baik saja. Kemudian ia merentangkan tangannya pada Baekhyun dan menawarkan, "Butuh pelukan untuk meluapkan perasaan?" Ketika itu pula lah Baekhyun menubrukkan tubuh kecilnya ke dada bidang Sehun dan menumpahkan air matanya yang masih tersisa di sana.
Sehun tidak mengucapkan kata-kata yang bermakna menenangkan pada Baekhyun. Sebab ia tahu itu justru akan memberi dampak yang berkebalikan dari yang seharusnya. Makanya Sehun sekedar menawarkan pelukan hangat khas seorang sahabat, seraya tangannya mengusap lembut puncak kepala orang yang ada di dekapannya.
Sebelum Chanyeol dan Baekhyun resmi berpacaran, mereka berdua merupakan teman dekat bersama dengan Sehun. Baekhyun bertemu dengan dua pemuda jangkung itu pada pendaftaran kegiatan ekstrakurikuler musik di kampus. Baekhyun adalah mahasiswa fakultas pendidikan sementara Sehun dan Chanyeol terdaftar di fakultas seni. Anggaplah sebagai cinta pada pandangan pertama, karena seminggu setelahnya kedua pemuda berbeda marga itu menyatakan perasaan yang dipendamnya pada Baekhyun dalam waktu yang berbarengan.
Baekhyun bingung.
Tapi kebingungannya bukan disebabkan oleh siapa orang yang akan ia pilih. Tanpa ragu Baekhyun memilih Chanyeol karena pemuda jangkung itu telah berhasil menarik perhatiannya dengan permainan gitar yang memukau sewaktu sesi perkenalan di kegiatan hari pertama. Yang membuatnya mempertimbangkan pernyataan tersebut ada pada alasan kalau mereka bertiga adalah teman dekat. Bee merupakan nama panggilan yang mereka berdua berikan untuk Baekhyun saat hari pernyataan cinta itu terjadi.
Chanyeol dan Sehun memberi waktu bagi Baekhyun untuk memikirkan pengakuan cinta mereka yang terlalu tiba-tiba. Sampai pada akhirnya, Sehun mundur dari kompetisi memenangkan hati Baekhyun dan mengakui kekalahannya dari Chanyeol. Sehun sering kali menangkap orang yang dikasihinya mencuri-curi pandang pada Chanyeol di tiap pertemuan kegiatan mereka. Dengan senyuman yang terpatri di wajahnya yang tampan, Sehun mendeklarasikan dirinya mundur dari pertarungan dan menobatkan diri sendiri sebagai sahabat Baekhyun yang akan melindunginya kapan saja.
"Kalau aku memintamu untuk berhenti menangis, maukah kau menurutinya, Bee?"
Bahu Baekhyun yang berguncang di pelukannya dan gelengan kepala halus yang samar terasa di dadanya, menjadi petunjuk jika ia tidak akan mengabulkan permintaan Sehun.
Entahlah.
Sehun hanya tidak ingin mendengar suara tangisan Baekhyun yang menyaratkan akan kepedihan yang tak bertepi. Di dalam lubuk hatinya pun sejujurnya ia sedang menahan rasa sakit mendapati orang yang ia cintai dengan kondisi yang mengerikan karena ditinggalkan lelaki yang amat ia sayangi.
Baekhyun menggenggam kain kemeja Sehun yang telah basah dan kusut akibat linangan air matanya dengan kedua tangan, "Aku masih sangat mencintai Chanyeol, Hun."
"Lalu mengapa kau berniat menyudahi hubungan kalian?" Lengan Sehun yang kekar semakin mengeratkan rengkuhannya pada tubuh Baekhyun yang kecil. Iblis kecil dalam dirinya mensyukuri karena bisa merasakan hangatnya dekapan Baekhyun yang jarang ia dapatkan.
"Saat Chanyeol bahkan sudah tidak bisa meluangkan waktunya untuk dihabiskan bersamaku karena jadwalnya yang padat dan saat Jongin mengabarkan kalau ia kerap melihat Chanyeol merangkul orang lain usai penampilannya di tiap bar," Sehun menghapus bulir air mata yang baru terjatuh di pipi gembil Baekhyun dengan ibu jarinya. Baekhyun sempat terenyuh dengan sikap Sehun yang sangat perhatian padanya, tapi ia kembali melanjutkan curahan hatinya yang tertunda, "apa aku masih harus memainkan peranku sebagai kekasih yang pengertian di hubungan ini?"
Sehun tidak menjawab. Giginya saling bergemeletuk hingga menimbulkan bunyi yang memilukan. Tangannya yang melingkar di pinggul ramping Baekhyun secara refleks mengepal sebagai upaya membendung kegeraman yang tengah ia rasakan.
Brengsek adalah umpatan yang pas untuk mewakili seorang Park Chanyeol yang telah menyiakan pemuda cantik nan baik bak malaikat seperti Baekhyun.
Persetan!
Hampir empat tahun yang lalu, Sehun bahkan rela mengorbankan perasaannya agar Chanyeol dan Baekhyun bisa bersatu menjadi sepasang kekasih. Ia telah membuang egonya yang memerintahkan untuk merebut Baekhyun dari Chanyeol ketika pemuda bersurai abu-abu itu pertama kali menjatuhkan air matanya saat hubungannya dengan Chanyeol memasuki bulan ketiga. Ia bahkan memberikan keringanan pada Chanyeol dengan hanya memberi satu bogeman yang keras di rahang kanannya karena telah membuat Baekhyun menangis.
"Aku akan pulang ke rumah orang tuaku, Sehun," Baekhyun menambahkan kalimatnya lagi ketika Sehun tidak kunjung memberikannya tanggapan, "dan sepertinya aku akan bekerja di sana."
Sehun menjauhkan tubuh Baekhyun supaya dapat menatap manik hazel Baekhyun yang indah, "Perkuliahanmu? Apa kau akan meninggalkannya begitu saja hanya karena bajingan itu?"
"Aku sedang menunggu waktu sidangku beberapa minggu lagi. Dan Sehun, Chanyeol bukan sekedar alasan sepele aku memilih jalan ini untuk aku tempuh, tapi ia adalah alasan utama mengapa aku akan pergi."
Sehun mengusap mukanya yang merah karena geram menahan amarah dengan tangan kanannya, "Aku akan membuat perhitungan pada Chanyeol nanti. Kau tinggal tunggu laporan dariku, Bee!"
Kekehan Baekhyun yang lembut seketika menjadi obat peredam kegeramannya terhadap Chanyeol. Bibir tipisnya yang terangkat ke atas, lengkungan matanya yang menyerupai bulan sabit dan hidung bangirnya yang merengut lucu, merupakan pemandangan paling indah yang pernah Sehun lihat langsung dalam hidupnya. Ia benar-benar tidak salah telah jatuh cinta dengan Baekhyun, sekalipun cintanya tak terbalaskan, ia sungguh tidak akan menyesal hingga akhir hayatnya.
"Tidak perlu. Aku tidak ingin wajah tampannya jadi babak belur. Aku tahu betul kepalan tanganmu itu cukup menyakitkan untuk digunakan sebagai tinjuan."
Sehun tersenyum pada Baekhyun dan menuturkan, "Kau tahu, kau bisa hubungi aku kapanpun yang kau mau karena aku akan selalu siap meminjamkan telingaku untuk mendengarkan semua keluh kesahmu."
"Ya. Aku tahu kau orang yang sangat bisa kuandalkan, Sehun. Terima kasih banyak." Baekhyun melingkarkan tangannya lagi pada leher Sehun, membenamkan wajahnya di ceruk leher sahabatnya yang albino itu.
Dalam situasi berpelukan seperti inipun Baekhyun masih teringat Chanyeol. Karena kencan impiannya bersama orang yang sangat ia kasihi ialah berbaring di sofa apartemennya seraya memeluk tubuh masing-masing dan dilanjutkan dengan kegiatan lain yang hanya bisa dilakukan di dalam rumah. Selain mereka dapat menghabiskan seluruh waktu hanya dengan eksistensi masing-masing pasangan, realitanya Baekhyun tidak terlalu suka dengan tempat yang ramai.
Sayang sekali impian Baekhyun harus terkubur dalam-dalam sebab Chanyeol yang begitu aktif dengan dunia luar tidak memiliki peluang untuk melakukan hal-hal bersifat domestik dengannya di kamar apartemennya.
-o-O-o-
Lampu kristal berbentuk bola memancarkan cahaya yang berkelap-kelip dan menghiasi ruangan dengan pencahayaan temaram. Chanyeol telah selesai melaksanakan pekerjaannya malam ini dan timbal balik berupa sorakan dari pengunjung bar For Victory sangat meriah ia dapatkan.
Musik dengan dentuman bass yang sangat keras menjadi alunan pengiring muda-mudi yang tengah meliukkan tubuhnya di lantai dansa. Meski ada yang sungguh-sungguh melakukan tarian sesuai irama musik, justru sebenarnya yang paling banyak adalah para individu yang saling menggesekkan tubuhnya satu sama lain untuk melampiaskan hasrat mereka yang bangkit akibat alkohol.
Ditemani dengan segelas martini dan seorang hyung terdekatnya di ranah musik, Chanyeol duduk di atas bar stool dengan meja bar setinggi dadanya ketika duduk. Seorang wanita cantik dengan lekuk tubuh yang menarik datang menuju kursi yang menjadi pemisah antara Chanyeol dan Jiyong di bar. Naluri kelakiannya seketika tergiur dengan belahan payudara yang disuguhkan dalam balutan kaus crop tee tanpa lengan yang sangat ketat menempel di tubuh. Kemudian Chanyeol melingkarkan tangannya di pinggul wanita tersebut tanpa pikir panjang.
Ia sedikit berdecih dan menggumamkan sesuatu yang hanya dimengerti olehnya dan Jiyong, "Pinggul Baekhyun jauh lebih seksi dari yang ini, hyung!" Ujarnya cukup keras agar dapat didengar Jiyong.
Tawa Jiyong meledak usai mendengar sindiran DJ yang bekerja di bawah naungannya. Ia menggelengkan kepalanya ke kanan dan kiri karena tak mengerti jalan pikiran dongsaengnya yang tersayang itu, "Kau gila, Yeol! Kau sudah punya Baekhyun yang selalu kau puji amat cantik dan seksi itu, tapi tiap setelah tampil di balik meja, kau pasti berciuman panas dengan wanita-wanita yang mendekatimu!"
Chanyeol membalas ucapan Jiyong dengan gelak tawa juga. Lalu tiba-tiba saja lehernya ditarik oleh wanita di sebelahnya untuk memulai sebuah sesi ciuman yang panas. Tapi Chanyeol melengos dan mendaratkan kecupan singkat di leher jenjang wanita tersebut, "Walaupun begitu hatiku tetap hanya untuk Baekhyun. Aku serius, hyung. Aku terlalu mencintainya."
"Dia belum memberi kabar padamu?"
Saat wanita itu membawa telapak tangan Chanyeol untuk menjelajahi area dadanya yang kenyal, Chanyeol dengan sigap menarik tangannya dari wanita itu. Ia sedang tidak dalam keadaan yang bisa mendorongnya untuk bermain dengan yang lain.
"Belum. Sudah dua minggu terhitung hari ini. Aku telah mengirimkannya jutaan pesan dan menelpon nomornya ribuan kali tapi hasilnya tetap nihil. Besok aku berangkat ke Beijing pun ia tidak menghubungiku sama sekali," Chanyeol meminum cairan di gelasnya dalam sekali tegukan dan meminta bartender untuk menambahkan isinya lagi, "sungguh kekasih yang sangat baik."
Jiyong menyunggingkan senyuman miring mendengar sarkasme yang tersirat dari kalimat hiperbolis yang baru saja Chanyeol tuturkan, "Mungkin ponsel Baekhyun rusak. Kau harus menanggapinya dengan pikiran yang positif, Yeol!" Ia menyudahi perkataannya dengan memberikan tepukan keras di punggung yang membuat Chanyeol meringis sakit. Kendati tubuh Jiyong lebih mungil dari Baekhyun, tenaga yang ia hasilkan menunjukkan bahwa ia juga seorang pria.
"Bagaimana dengan Seunghyun-hyung? Apa dia akan ikut bersama kita?"
Jiyong mendengus geli ketika Chanyeol mengingatkannya kembali kepada kekasihnya yang ia abaikan selama dua minggu terakhir. Baik Jiyong ataupun Seunghyun, keduanya tidak ada upaya memperbaiki hubungan mereka untuk saat ini. Jiyong yang notabene seorang produser, sangat sibuk mengaransemen ulang lagu yang akan digunakan Chanyeol dan anak buahnya yang lain dalam pertunjukan besar nanti. Sedangkan Seunghyun harus mempersiapkan lukisannya untuk dipamerkan di galeri pameran.
"Lupakan kekasihku yang idiot itu. Sepercik harapan baginya agar ikut ke Beijing pun nampaknya tidak ada."
Bartender dengan name tag Jongin memberikan minuman yang sama seperti sebelumnya pada Chanyeol. Gelas di tangannya ia goyangkan sehingga airnya menimbulkan riak yang besar, sementara benaknya ia biarkan untuk melayang memikirkan pengandaian tentang kekasihnya yang tak ada kabar, "Terkadang aku berharap Baekhyun bisa menyambutku setiap aku selesai tampil."
"Hei! Aku dan Seungri sudah memberikanmu izin untuk mengajaknya ke sini. Lantas kenapa kau tidak melakukannya?"
Chanyeol menghela nafas berat membayangkan kekasihnya yang sangat polos dan buta akan gemerlapnya dunia malam yang ia tekuni sebagai profesi andalannya kini. Ia tidak setega itu untuk membiarkan Baekhyun ternodai oleh kotornya tempat yang menjadi rumah keduanya setelah apartemen Baekhyun. Terlebih Baekhyun adalah calon guru taman kanak-kanak dengan latar belakang orang tua yang begitu melindunginya agar tetap berada di jalur yang tepat.
Kondisi tersebut amat berlawanan dengan Chanyeol. Pemuda bertelinga lebar itu merupakan anak yatim piatu yang dibuang orang tuanya di panti asuhan pinggiran kota Seoul ketika usianya beranjak menuju sembilan tahun. Sejak kecil ia berjuang mati-matian untuk tetap melanjutkan pendidikannya dan mengejar prestasi akademis serta non-akademis sebanyak-banyaknya hanya agar orang tuanya bersedia mengangkatnya kembali menjadi anak kandung mereka. Namun saat Chanyeol mulai remaja, ia tahu keinginannya tidak akan pernah terwujud. Ia sempat kehilangan arah dan tujuan hingga suatu ketika ia bertemu Baekhyun di kampus yang kemudian menjadi satu-satunya alasan mengapa ia masih bertahan untuk tidak mengakhiri hidupnya sampai sekarang.
"Bukan bermaksud menyinggung perasaanmu, hyung. Tapi pemikiran Baekhyunku masih sangat murni dan suci. Untuk itu aku berniat untuk menjaga kesucian itu hingga akhir." Ungkapnya yang dihadiahi toyoran di kepala oleh Jiyong.
Jiyong yang tak dapat menahan tawanya pun tergelak lagi karena apa yang Chanyeol ucapkan ada benarnya. Meski ia belum pernah bertemu langsung dengan Baekhyun, sekedar mendengar cerita-cerita Chanyeol tentang kekasihnya itu membuat Jiyong ikut tersadar kalau Baekhyun memang pemuda berhati malaikat.
"Bocah sialan."
"Kau sendiri kenapa tidak pernah mengajak Seunghyun-hyung ke sini? Selama aku bekerja denganmu, aku rasa aku baru bertemu dengannya sebanyak tiga kali."
Jiyong terhenyak sebentar. Ia menggigit bibir bagian bawahnya untuk membendung kelebatan ingatan tentang masa lalu mereka yang lebih berwarna. Untuk itu, dengan berat hati Jiyong menjawab, "Sejak lukisan pertamanya terjual laris, dibandingkan meminum vodka murah di bar seperti ini, dia lebih memilih untuk menikmati wine mewah di studionya yang sunyi."
Seunghyun pernah selalu ada untuk Jiyong setiap saat. Ia tidak akan menolak ajakan Jiyong untuk pergi ke bar punya temannya dan sekedar menyicipi satu atau dua gelas minuman yang tersedia di rak mereka. Liburan di luar kota rutin mereka kerjakan tiap bulannya, mereka bilang untuk melepas penat maka mereka butuh waktu berkualitas yang hanya dihabiskan berdua.
Namun setelah lulus kuliah, Seunghyun sangat berubah dan lebih memilih untuk berdiam di rumahnya yang besar. Ketika itu ia mengatakan kalau ia sedang ada di tahap introspeksi diri karena belum mengetahui pekerjaan seperti apa yang akan ia lakoni untuk menyambung hidup. Sebagai lulusan mahasiswa seni lukis, kunjungannya ke galeri lukisan dan barang antik bukan lagi hal yang langka untuk dilakukan. Kemudian Seunghyun bertemu dengan seniornya di kampus dahulu yang kebetulan akan membuka galerinya sendiri. Ia menawarkan dua slot pada Seunghyun agar mengisi tempat kosongnya dan dengan senang hati ia menerima penawaran tersebut. Seunghyun mulai menutup diri dari komunitas sosial lain selain yang berhubungan dengan seni dan galerinya, termasuk menjaga jarak dengan Jiyong. Ia jadi lebih suka mengurung diri sambil memikirkan inspirasi untuk lukisan selanjutnya. Alhasil kencan-kencan yang mereka biasa lakukan tergantikan oleh kencan di dalam rumah Seunghyun karena pemuda jangkung itu enggan untuk mendatangi rumah Jiyong.
Mata Jiyong mulai berkaca-kaca mengingat itu semua. Chanyeol menggeser tempat duduknya menjadi tepat di sisi Jiyong yang kini telah menangkup wajahnya dengan kedua telapak tangan. Ia menggosokkan punggung kecilnya dengan lembut, berusaha meredakan tangisan tanpa suara yang menurut Chanyeol jauh lebih menyedihkan ketimbang isak tangis pada umumnya.
"Aku merindukan Seunghyun, Yeol."
Chanyeol membalasnya dengan gumaman karena sejujurnya ia tidak tahu cara menghibur seseorang yang sedih. Jika Jiyong adalah Baekhyun, yang akan ia lakukan hanyalah memberikannya pelukan hangat dan telinga untuk mendengarkan cerita yang menjadi alasan mengapa ia menangis. Akan tetapi Chanyeol tidak tahu apakah cara itu juga ampuh untuk digunakan pada Jiyong.
"Aku hanya berharap bisa kencan di luar rumah dengan kekasihku," ucapannya terpotong untuk mengambil nafas dan menggantikan helaannya yang sesenggukan, "memberitahu pada dunia kalau orang inilah yang berhasil menguasai hatiku," Jiyong mengusap air matanya dan menambahkan, "dan bukan sekedar kencan di dalam rumah dengan wine dan cemilan ringan yang selalu menemani malam kita."
Sejenak terlintas dalam pikiran Chanyeol kalau situasi yang Jiyong rasakan sebenarnya nyaris mirip dengan keadaannya dengan Baekhyun. Baekhyun yang selalu pulang pada jam sepuluh malam acap kali mereka kencan di luar, Baekhyun yang mengenakan pakaian yang selalu membuat ia terpana akan kecantikannya tiap mereka jalan, dan Baekhyun yang sering berdiri di balik punggungnya yang lebar seolah ia ingin bersembunyi dari tatapan orang lain setiap ia mengenalkannya sebagai kekasihnya kepada teman-teman. Otaknya kian bekerja mencerna kalimat-kalimat yang Jiyong tuturkan.
Apa selama ini Baekhyun merasakan apa yang Seunghyun-hyung rasakan?
-o-O-o-
Baekhyun menggeliat di atas kasurnya saat alarm digital di nakas yang berada di samping tempat tidurnya berbunyi dengan nyaring. Masih dengan mata yang terpejam, ia meraba keberadaan nakasnya yang seharusnya ada di sisi kiri tempat tidur. Karena tidak kunjung menemukan benda yang dicari dan tidak tahan dengan bunyi alarmnya yang berisik tadi, Baekhyun terduduk di atas ranjang queen sizenya yang dilapisi sprei maroon. Ia menggosokkan kelopak matanya sejenak dan membuka bola matanya. Lalu ia menekan tombol alarm digital dengan tangannya yang terdapat tato bentuk ikon tersenyum. Ia membawa tangan yang lain untuk menggaruk pahanya yang mendadak gatal seperti digigit nyamuk akibat celana tidurnya yang ia kenakan sangat pendek.
Tunggu dulu.
Nakas di kanan?
Ranjang queen size?
Sprei maroon?
Tato di tangan?
Dan yang terpenting, sejak kapan ia suka memakai celana sependek ini ketika tidur?
Demi Tuhan Baekhyun tidak pernah kuat dengan suhu yang dingin.
Baekhyun memperhatikan sekujur bagian tubuhnya yang terlihat dan dipenuhi oleh berbagai macam tato dengan gambar yang berbeda. Ia tergesa-gesa mencoba mencari cermin yang bahkan ia tidak ketahui di mana letaknya. Saat berlari di koridor rumah besar, ia dapat merasakan kalau tubuhnya lebih ringan dari biasanya. Sampai ia menjumpai pintu yang mengantarkannya ke sebuah kamar mandi mewah dengan Jacuzzi besar di pojok ruangannya. Buru-buru ia menghampiri cermin besar di depan wastafel dan kemudian berteriak sekencang yang ia bisa.
"AAAHHHHH! KAU SIAPAA?!"
-o-O-o-
Suara bel di pagi hari menjadi pengingat bagi Jiyong yang tidak berhasil dibangunkan oleh jam weker di meja kecil di samping tempat tidurnya. Frekuensi bunyi bel tersebut semakin menjadi ketika pemilik apartemennya tidak juga keluar dari sangkarnya.
Jiyong mengacak-acak surai abu-abunya yang sudah berantakan dengan kesal. Kulitnya yang putih terlihat berkilau karena memantulkan cahaya matahari pagi yang menyembul malu dari balik tirai kamarnya yang bercat hijau pastel. Ia sedikit menurunkan celana piyamanya yang panjang sehingga bagian bawahnya kini ikut terinjak oleh tumit kakinya.
Siapa orang yang berani mengusik waktu tidurnya sebelum keberangkatannya ke Beijing siang nanti?
Dengan gontai, Jiyong melangkahkan kaki menuju pintu apartemennya. Matanya masih tertutup rapat, tapi ia mampu berjalan tanpa menabrak apapun di ruang tamunya. Saat ia melewati sebuah televisi berukuran jumbo di ruang tamu, ia memundurkan langkahnya kembali untuk melihat siluet yang terpantul di layar hitam besar itu dan memutuskan berhenti untuk mengamati.
Wajah seperti bayi dengan kulit yang putih mulus.
Rambut abu-abunya lebih panjang dari rambut miliknya yang asli.
Bagian dadanya agak sedikit berisi dibandingkan tubuhnya yang seharusnya.
Teriakannya yang melengking di pagi hari tidak dapat terelakkan lagi akibat dari rasa keterkejutannya.
"AAHHH! SIAPA KAU?!"
TBC
a/n: ini short ff gitu yang isinya cuma 3/4 chapters.
mumpung ada reading days pas ujian heheheh(?)
kenapa harus gtop? karena mereka yang ngebawa saya ke dunia perkpopan, sementara chanbaek yang bikin saya betah banget jadi fujoshi._.
i know that i still have 3 unfinished stories, but yeah. forgive me and ma brain cuz it can't be used and decided to block my inspirations to continue those stories Q-Q
.
.
.
read and review juseyong~
