Sixth Sense
Summary:: Andai saja Mingyu tidak bertemu Wonwoo, ia pasti tidak akan terlibat ke dalam kehidupan aneh namja itu, namja yang selalu berbicara sendirian dan mengaku dapat melihat hantu. "Aku tidak gila!"/ "Kalau kau tidak gila, kenapa kau berbicara sendirian?"/ "Aku tidak berbicara sendirian, aku berbicara dengan anak kecil yang baru saja meninggal. Dia ada di sampingmu."
Couple:: Mingyu x Wonwoo
Rate:: T
Genre:: Humor, Romance, supernatural
.
.
Hiwatari's Present
Enjoy~
.
~#~#~#~#~#~#~#~#~#~#~#~#~#~
.
Hoshi tengah duduk di belakang counter dengan kedua tangan menopang dagunya. Malam ini lumayan banyak pelanggan sebenarnya dibandingkan dengan yang semalam. Tapi sama saja, sama-sama masih sepi dibandingkan suasana dulu yang selalu ramai walaupun telah malam. Bagaimana Hoshi tahu padahal dia baru saja bekerja di sini? Itu karena dulu dia selalu berkunjung di tempat ini pada malam hari.
Cling! Cling!
Bell pintu berbunyi, Hoshi membuka matanya yang sempat ia pejamkan sejenak itu. Ia dapat melihat seorang namja tampan dengan kemeja biru tuanya berjalan mendekatinya. Ah, dia kenal namja itu.
"Ah, Dokyeom-ssi, apa yang ingin anda pesan?" tanya Hoshi yang telah siap dengan buku kecil dan pennya.
"Seperti biasa satu cup. Ah, tambah satu lagi, aku ingin pesan satu pegawai untuk duduk minum bersamaku." Dokyeom menunjukkan senyum khasnya sebelum akhirnya duduk di meja yang paling dekat dengan meja counter.
"Satu pegawai untuk duduk bersamanya? Ta-tapi, di sini 'kan hanya ada satu pegawai," gumam Hoshi seraya berkedip ragu-ragu. Ia kemudian bergerak untuk membuat pesanan Dokyeom.
Setelah selesai membuatnya, Hoshi dengan segera mengantarkannya ke meja Dokyeom.
"Ini minuman anda," Hoshi meletakkan pesanan Dokyeom di meja. Ia tampak ragu-ragu sejenak sebelum akhirnya menarik kursi yang ada di depan Dokyeom dan berujar,
"Dan satu pegawai yang anda pesan," gumamnya pelan seraya mendudukkan dirinya di kursi itu. Dokyeom dapat mendengarnya, ia tertawa kecil. Baginya, namja di depannya sangatlah lucu, seperti anak anjing. Menggemaskan.
"Apa kau suka meminum ini?" tanya Dokyeom mengangkat Caffe Mochanya. Hoshi menggelengkan kepalanya. "Biasanya aku hanya minum cappuccino atau coklat panas."
Dokyeom tersenyum. "Kau harus mencoba ini, ini sangat enak." Dokyeom mengarahkannya mendekati mulut Hoshi. Hoshi dengan ragu-ragu meminumnya. Apakah ini benar? Apakah pegawai diperbolehkan untuk meminum pesanan pelanggan?
"Bagaimana?" tanya Dokyeom setelah menjauhkan cangkirnya. Hoshi menatap Dokyeom dengan tatapan kagumnya.
"Ini enak sekali," ucapnya. Entah itu pujian untuk dirinya sendiri yang membuatnya atau pujian untuk Wonwoo yang meracik resepnya.
Dokyeom tertawa kecil saat melihat whipped cream yang menempel di bibir atas Hoshi.
"Bibirmu," ujar Dokyeom seraya menunjuk bibirnya sendiri. Hoshi tersadar lalu dengan segera menjilat bibirnya sendiri. Ia lupa kalau kopi yang satu itu ada whipped creamnya.
"Apa kau sengaja membiarkan itu agar aku membersihkannya untukmu seperti di drama-drama?" tanya Dokyeom dengan senyumnya hingga membuat smile eyesnya terlihat jelas.
Hoshi menggelengkan kepalanya. "Tidak, aku tidak sengaja melakukannya."
Dokyeom mendekatkan tangan kirinya dengan perlahan ke bibir tipis Hoshi. Hoshi melihat tangan itu dengan tatapan bingung hingga akhirnya ia tertegun saat jari panjang Dokyeom menyentuh bibirnya dengan lembut meskipun di bibir itu sudah tidak ada whipped cream lagi.
"Bibirmu sangat lembut, lebih lembut daripada whipped cream ini," ujar Dokyeom pelan lalu menjauhkan tangannya. Hoshi terdiam sejenak sebelum akhirnya tersenyum tipis seraya menunduk.
.
.
.
.
.
.
.
Mingyu dan Tzuyu sontak menoleh ke arah Wonwoo yang hanya berdiri mematung tanpa mempedulikan Mingyu, Tzuyu, maupun suster yang tengah kerepotan membereskan peralatannya.
Namja itu saat ini dapat melihat Sohyun tengah berdiri di belakang Tzuyu, dengan pergelangan tangan kiri yang patah dan mengalirkan darah, gaun putih yang penuh dengan darah, leher yang patah, dan wajah pucat di mana darah tengah mengalir di sudut matanya yang tengah menatap Tzuyu dengan tajam.
Mingyu mengernyit bingung melihat Wonwoo dengan penampilan yang aneh itu. Wonwoo tersadar saat Mingyu mulai berjalan mendekatinya, diikuti oleh Tzuyu di belakang Mingyu. Hal itu sontak membuat Wonwoo gelagapan dan langsung berlari keluar rumah sakit. Ia dengan segera berlari ke cafénya dan masuk dengan terburu-buru. Hoshi yang tengah bersiap-siap untuk menutup café pun menatap Wonwoo dengan bingung.
"Oh, hyung. Dari mana saja? Kenapa lari-lari seperti itu?" tanya Hoshi. Wonwoo sibuk mengatur napasnya. Ia berjalan mendekati Hoshi seraya masih mengambil napasnya.
"Hoshi," panggilnya.
"Ya?"
"Tampar aku." Wonwoo menunjuk pipi kirinya.
"Hah?" Hoshi memasang wajah bingungnya.
"Iya, tampar aku!" Wonwoo menepuk-nepuk pipi kirinya.
"Tap-"
"Cepat!"
"Ah, ne! Ne!"
PLAKKK!
Hoshi menutup matanya dengan erat, begitupula dengan Wonwoo. Hoshi membuka sebelah matanya saat mendengar suara helaan napas Wonwoo.
"Memangnya ada apa, Wonwoo-ya?" tanya Hoshi khawatir.
"Setidaknya itu membuatku kesadaranku kembali." Wonwoo kembali menghela napasnya. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya seraya membuka jas hujannya dan meletakkannya di belakang counter.
Setidaknya tamparan itu membuatnya sedikit tersadar dari shock dan ketakutannya setelah melihat berbagai macam hantu yang mengerikan. Untungnya tamparan Hoshi dapat dibilang menyakitkan, sehingga kejadian buruk tadi teralihkan oleh rasa panas di pipi kirinya yang sekarang sudah memerah membentuk telapak tangan seseorang.
"Maafkan aku, pasti rasanya sakit. Bagaimana kalau kau tampar aku kembali?" Hoshi menatap Wonwoo dengan khawatir. Meskipun sahabat, ia tidak pernah sekalipun memukul Wonwoo, sekalipun hanya untuk bercanda.
Wonwoo tertawa kecil. "Untuk apa? Kau ingin jadikan tempat ini arena tampar-tamparan?"
"Tidak apa-apa. Terima kasih, kau cukup membantuku." Wonwoo menarik napas kemudian membuang napasnya seraya menepuk-nepuk pelan pipi kirinya.
Setelah selesai beres-beres, kedua namja itu akhirnya menutup café dan pulang ke rumah masing-masing dengan arah yang berbeda.
Wonwoo biasanya cukup berjalan kaki selama 10 menit untuk sampai ke rumahnya. Ia selalu jalan kaki pulang ke rumah. Ia mendesis bingung sekaligus kesal. Kenapa semalam kakaknya tidak mengantarnya pulang? Menggunakan Junghan sebagai alasan? Padahal hanya butuh 5 menit dengan menaiki mobil, bukankah hyungnya dapat singgah sebentar ke rumahnya sebelum mengantar Junghan pulang?
Wonwoo mengerutkan keningnya dengan bibir yang merapat kesal. Ia tahu kalau hyungnya itu tidak suka ia tinggal sendirian di rumah kecil itu. Tapi tidur dan kerasukan di rumah Mingyu? Bukankah itu sangat memalukan?
Wonwoo memperlambat langkahnya saat merasakan angin sepoi-sepoi menghembus tengkuknya. Ia dengan gerakan tiba-tiba menoleh ke belakang dan tidak menemukan apa-apa. Hanya ada jalanan sepi dan remang-remang saja.
Semakin berjalan, ia semakin merasa diikuti oleh sesuatu. Saat ia kembali berbalik, ia menangkap siluet putih lewat dengan sangat cepat.
Wonwoo menggigit bibirnya. Ia dengan segera berlari ke rumahnya yang sudah tidak jauh lagi. Ia menoleh ke belakang dan mendapati sebuah siluet putih terbang mengikutinya. Namja bermata tajam itu mempercepat larinya. Mencari kuncinya yang ada di sakunya dan dengan terburu-buru membuka pintunya.
Cklek! Blamm!
Ggrrrtt! Grrttt!
Wonwoo memegang erat pintunya yang bergetar. Tangan kanannya berusaha menarik pintunya agar tidak terbuka dan tangan kirinya memutar kunci pintunya. Pintunya bergetar dengan hebat.
'Sial! Apa bawang putih dan salib di depan pintu tidak dapat menghalangi hantu itu?' batin Wonwoo. Ia menahan napasnya saat pintu itu tidak bergetar lagi. Sedetik kemudian ia menghela napasnya dan terduduk di lantai. Sepertinya seikat bawang putih dan tanda salib di depan pintu cukup ampuh menghalangi hantu itu untuk masuk ke rumahnya.
Namja berwajah manis itu memutuskan untuk melepaskan sepatunya dan ingin segera tidur. Saat ia berbalik, ia tersontak kaget melihat seorang nenek berambut putih dan berwajah putih tengah duduk di sana.
Ternyata bawang putih dan tanda salib itu tidak bisa menahannya, dan lagi, di dalam rumahnya ini banyak sekali patung Buddha, tanda salib, dupa, dan berbagai macam benda religius dari bermacam agama ada di dalam rumah itu, dan hantu itu tetap bisa masuk ke rumahnya? Selama ini benda-benda itu selalu ampuh melindunginya.
"Kau nenek restoran ramen yang selalu aku kunjungi itu, 'kan? Halmeoni sudah meninggal?!" tanya Wonwoo memasang wajah horornya. Ahh, pantas saja hantu itu bisa masuk, karena nenek itu adalah hantu yang baik, jadi ia tidak akan terpengaruh oleh benda-benda seperti itu.
"Halmeoni, apa yang kau inginkan?" tanya Wonwoo dengan suara pelan, ia tidak menyangka nenek yang sangat baik dan selalu memberinya porsi jumbo itu sudah meninggal. Ia sudah lama tidak makan di restoran kecil itu karena kesibukannya. Sebuah suara di kepalanya menjawab pertanyaannya.
"Apa? Kau ingin aku temani karena kau kesepian? Tidak bisa, halmeoni. Aku sangat takut padamu, biasanya aku melihatmu dalam wujud manusia. Ani! Ani! Jangan ganggu aku, halmeoni. Lebih baik kau kembali ke alammu dengan tenang." Wonwoo berjalan kea rah kamarnya dengan langkah mundur. Nenek itu terus mengikuti Wonwoo.
Wonwoo dengan segera berlari masuk ke kamarnya dan duduk di sudut kamarnya, di samping kasurnya. Ia menarik selimutnya dan menutupinya hingga kepala. Ia menunduk dan menyembunyikan wajahnya di kedua lututnya yang ditekuk.
DUK! DUK! DUK!
Wonwoo mengangkat kepalanya. Ia tersentak saat nenek itu tengah duduk di depannya. "Oh, halmeoniii," rengek Wonwoo pada nenek yang hanya tertawa mengejek itu.
DUK! DUK! DUK!
Oh, sepertinya itu suara dari pintu rumahnya. Wonwoo mengernyit. Siapa lagi itu? Apa ada hantu lain yang mau masuk ke rumahnya?
"Anak muda, apa kau sudah tidur?" tanya seseorang dari luar sana. Wonwoo dengan segera berdiri dan berlari kecil untuk membuka pintu rumahnya. Itu adalah suara pemilik rumah-rumah kecil yang ada di gang kecil ini. Kenapa malam-malam datang? Sepertinya uang sewanya sudah ia bayar beberapa hari yang lalu.
"Ahjussi, ada apa?" tanya Wonwoo. Paman itu menghela napasnya malas saat mengintip ke dalam rumahnya.
"Begini, anak muda. Seseorang dari luar negeri ingin membeli rumah ini, dia tidak ingin rumah lain. Jadi, sepertinya malam ini kau boleh membereskan barangmu dan segera pergi. Maafkan aku kalau tiba-tiba seperti ini, dia juga membelinya dengan tiba-tiba," jelas paman itu.
Wonwoo membelalakkan matanya. Dia diusir tengah malam begini? Harus pergi ke mana dia?
"Omaya! Paman! Kenapa tiba-tiba seperti ini? Aku harus pergi ke mana malam-malam begini? Dan orang luar negeri mana yang dengan tidak sopannya membeli rumah yang sedang disewakan oleh orang lain?" protes Wonwoo.
Paman itu berdecak tidak senang. "Haishh! Sudah! Pokoknya kau harus pergi malam ini! Bawa pergi semua barang-barang anehmu itu, itu sangat mengganggu tetangga! Dan lagi, ini uang sewamu, aku kembalikan. Carilah tempat yang lebih nyaman." Paman itu berdecak seraya menggeleng-geleng sebelum akhirnya beranjak dari tempat itu.
Wonwoo mengernyit dengan bibir mengerucut kesal. Ia berbalik lalu menutup pintunya dengan membantingnya sekeras mungkin.
"Halmeoni, kau sudah melihatnya sendiri. Aku sibuk sekarang, aku harus mengemaskan barang-barangku, jadi tolong jangan ganggu aku," ucap Wonwoo. Ia mengeluarkan kopernya dan tasnya. Memasukkan semua barang-barangnya ke dalam.
Setengah jam kemudian…
BLAMMM!
"Aish!" kesal Wonwoo kembali membanting pintu rumahnya. Ia tidak peduli apakah pintu itu akan lepas dari tempatnya atau tidak. Itu sudah bukan rumahnya lagi.
Ia menarik dua koper besar di kedua tangannya dengan kesal. Barangnya sangat banyak, dan ini sudah malam, apa dia harus tinggal di hotel untuk sementara waktu? Tapi ia tidak suka hotel, di sana ada banyak hantu. Ia tidak menghubungi hyungnya, karena ia tahu kalau itu hanya akan membuatnya hyungnya khawatir.
'Cih! Dia pikir aku bodoh? Aku tahu kalau dia berbohong soal pembeli dari luar negeri itu. Mana ada pembeli dari luar negeri yang mau membeli rumah sejelek itu! Dia sengaja mengusirku karena menganggapku gila dengan barang-barang spiritual ini.' Wonwoo menghempas-hempaskan sekarung jimat yang ia letakkan di atas kopernya. Beberapa ikat bawang putih ia gantung di lehernya, ia jadikan kalung agar mudah dibawa.
Ia sudah tahu kalau selama ini tetangga selalu mengeluhnya yang terkadang berbicara sendiri dan berteriak ketakutan di dalam rumah karena munculnya hantu-hantu itu dengan tiba-tiba dan beberapa barang aneh yang ia gantung di depan pintu rumahnya, seperti kertas jimat, bawang putih, kacang merah, mangkuk abu, tanda salib dan lain sebagainya. Dan paman pemilik itu memang sudah beberapa kali mencoba menawarinya rumah-rumah yang lain.
"Aish, halmeoni! Kau masih berniat mengikutiku? Aku sudah tidak punya tempat tinggal, kau akan kelelahan kalau mengikutiku berjalan terus." Hantu nenek itu terus mengikuti Wonwoo.
Wonwoo memperlambat jalannya saat ia terpikirkan sesuatu. Mingyu mengatakan kalau dia kerasukan hingga 5 hantu? Bagaimana bisa? Biasanya ia hanya akan dimasuki oleh satu hantu, karena mereka akan menyelesaikan masalah mereka dengan tubuhnya dan akan keluar setelah maslah mereka selesai ataupun saat waktu mereka sudah habis. Maka dari itu Wonwoo sangat takut jika ia mabuk ataupun pingsan, karena di saat seperti itulah ia bisa kerasukan.
"Hmmm," gumam Wonwoo. Lima hantu sekaligus, itu artinya ada sesuatu yang bisa membuat hantu itu menghilang di rumah Mingyu, atau di tubuh Mingyu?
Ckiiit!
Wonwoo melirik sejenak mobil yang berhenti di sampingnya. Ia kemudian melanjutkan jalannya.
"Hyung!"
Wonwoo menoleh mendengar suara yang tidak asing memanggilnya dari belakang. Ia membulatkan matanya.
"Oh? Kim Mingyu?" tanyanya. Cih, melihat Mingyu, ia kembali teringat sosok Sohyun yang mengerikan tadi.
"Aku baru saja akan ke rumahmu. Kau tahu? Aku bisa gila!" Mingyu berjalan mendekati Wonwoo.
"Aku baru saja sampai di rumah dan akan mandi, tapi suara-suara aneh muncul dari arah dapur. Suara pisau diasah, suara kompor menyala, suara pantulan bola, tapi saat aku melihatnya tidak ada apa-apa. Hah! Hah! Aku bisa gila!" Mingyu mengacak rambutnya.
Wonwoo memicingkan matanya, menatap Mingyu dengan tatapan mengejek.
"Kau takut, ya?" tanya Wonwoo.
Mingyu mengernyit. Ia melirik ke kiri dan kanan. "Tidak, aku- aku tidak takut. Aku hanya terkejut sa- Uwah!" Mingyu tersentak saat seekor kucing berjalan di sampingnya.
Wonwoo mendengus. "Lalu? Untuk apa kau mencariku? Aku bukan pemburu tikus, jangan panggil aku hanya untuk menangkap tikus di rumahmu itu." Wonwoo berbalik dan kembali menarik kopernya menjauh dari Mingyu.
"Tunggu! Aku tidak mengatakan itu adalah tikus. Maksudku, aku jadi teringat ucapanmu tadi pagi. Kau bilang ada hantu yang berbahaya di rumahku."
Wonwoo terdiam menatap Mingyu, Mingyu juga terdiam menunggu respon Wonwoo.
"Jadi?" tanya Wonwoo pelan.
"Bisa kau usir hantu itu?" tanya Mingyu.
Wonwoo dengan segera berbalik dan beranjak. "Sudah kubilang aku bukan pengusir hantu! Kenapa kau terus menganggapku bisa mengusir mereka sedangkan aku di sini sering ketakutan saat mereka mengejarku terus."
Mingyu berjalan di belakang Wonwoo. "Setidaknya kau bisa menyuruh mereka jangan menggangguku. Kau- Apa yang kau bawa itu? Kenapa kau membawa banyak barang?" tanya Mingyu. Wonwoo berbalik dan menatap Mingyu kesal. Mingyu mengamati semua barang bawaan Wonwoo yang sangat banyak. Ia mendelik aneh saat melihat kalung bawang putih yang menggantung di leher namja aneh itu.
"Aku baru saja diusir," jawab Wonwoo malas.
"Apa? Apa pemilik café terkenal tidak bisa membayar rumah sewa seperti itu?" Wonwoo memejamkan matanya dengan malas.
"Kau… Dari mana kau tahu alamatku?" tanya Wonwoo.
"Seungcheol hyung,"
"Baiklah, selamat malam." Wonwoo berbalik, namun ditahan oleh Mingyu.
Wonwoo berbalik dan menghempas tangan Mingyu. "Sudah kubilang aku bukan parano-" Ucapannya terhenti saat melihat tangan Mingyu yang ia hempas tadi terayun ke arah nenek yang sedari tadi berdiri di samping mereka. Nenek itu seketika menghilang.
Wonwoo mengernyit, biasanya hantu kalau tersentuh oleh manusia, mereka akan tembus, tapi kenapa ini malah menghilang?
"Hello?" tanya Mingyu. Wonwoo menatap Mingyu. "Saat aku kerasukan semalam, apa yang kau lakukan padaku?" tanyanya.
"Hah?" beo Mingyu.
"Apa yang kau lakukan padaku sehingga hantu itu bisa keluar dari tubuhku?"
Mingyu tampak memikirkan kejadian semalam. "Aku menendangmu, menghempasmu, mendorong-"
"Ya! Itu namanya kekerasan! Bagaimana bisa kau melakukan itu pada orang yang sedang tidak sadarkan diri?" Wonwoo menatap Mingyu tidak percaya.
"Kau sadar! Hanya saja sedang kerasukan," ucapnya dengan nada kecil di akhir kalimatnya. Wonwoo mendengus. Jadi Mingyu bisa menghilangkan hantu dengan cara seperti itu? Aneh.
"Ah, ada lagi. Saat kau dirasuki hantu patah hati, aku memelukmu. Aku terpaksa memelukmu, karena kau sangat ribut," ucap Mingyu ragu-ragu.
'Peluk?' batin Wonwoo. Apa itu masuk akal? Ia menoleh ke kiri dan kanan. Di sana ada ada hantu wanita yang tengah duduk di ayunan taman yang ada di seberang jalan. Wonwoo dengan segera melepaskan kopernya dan memeluk Mingyu. Ia kemudian melirik ke arah ayunan itu. Hantu itu telah menghilang.
'Woahh…' kagum Wonwoo dalam hati.
"Ya! Semalam aku memelukmu karena terpaksa, bukan berarti sekarang kau bisa memelukku seenaknya." Mingyu mendorong Wonwoo.
"Kasar sekali," gumam Wonwoo kesal.
"Karena aku malas mencari rumah sewaan lagi, aku akan tinggal di rumahmu. Call!" Wonwoo dengan segera masuk ke dalam mobil Mingyu. Mingyu menatap tidak percaya.
"Aku menyuruhmu untuk mengusir hantu, bukan untuk tinggal di rumahku."
Wonwoo mengeluarkan kepalanya dari jendela mobil. "Mengurus masalah hantu yeoja yang mengikutimu itu lebih menyusahkan daripada menyediakan kamar tamu untukku."
Mingyu memiijat keningnya. Ia baru ingat kalau Wonwoo mengurus masalah Sohyun untuknya.
"Tolong masukkan dua koperku itu," ucap Wonwoo sebelum akhirnya menutup jendela mobilnya. Mingyu mendengus kesal. Ada rasa sesal mencari Wonwoo hanya karena suara-suara aneh di dapur itu.
Wonwoo yang tengah duduk di dalam mobil, menatap ke arah kaca spion, melihat Mingyu melalui kaca itu.
'Namja itu… Dia memiliki aura positif yang besar. Jika aku terus bersamanya, mungkin kemampuan sixth senseku bisa berkurang.'
.
.
.
.
.
.
.
"Sampai kapan kau ingin tidur di sini?" tanya Mingyu saat mereka telah memasuki rumah Mingyu yang elegan dan ukurannya tidak kecil dan juga terlalu besar itu.
"Hmm, entahlah." Wonwoo menaikkan kedua bahunya.
"Seminggu," ucap Mingyu.
"Aku membantumu dalam kasus besar, mengusir hantu yeoja itu sangat sulit dari yang kau bayangkan." Wonwoo mendengus mengingat kasus Sohyun yang sangat berbelit-belit itu, dan Mingyu belum mengetahuinya. Matanya tidak sengaja menangkap sesuatu yang tengah berdiri di sudut ruang tamu. Ia melebarkan matanya.
"Dan ada satu lagi, aku harus mengusir hantu anak kecil yang berdiri di sana." Wonwoo menunjuk sudut ruangan. Mingyu membatu, dia menatap sudut ruangan yang kosong itu dengan tatapan horror.
"Anak kecil yang tadi pagi," gumam Wonwoo. Anak kecil itu dengan segera berbalik dan menghilang menembus dinding.
"Di mana kamarku? Aku sangat mengantuk." Wonwoo menarik kedua kopernya menuju kamar yang ditunjuk oleh Mingyu, kamar yang ada tepat di seberang kamar Mingyu.
Mingyu mendengus, ia merutuki Wonwoo yang dengan gilanya mengatakan kalau ada anak kecil di sudut kamar lalu meninggalkannya sendirian begini? Tak apa, ia tidak percaya dengan hal-hal seperti itu, dan ia tidak takut. Iya, ia tidak takut.
Dengan malas, Mingyu melangkah masuk ke kamarnya dan segera tidur. Ia harus bangun pagi-pagi besok dan sialnya kedatangan Wonwoo ke rumahnya sama sekali tidak membantu.
Sedangkan Wonwoo di kamarnya, ia sedang meletakkan kopernya. Besok saja menyusun barang-barangnya, ia sudah sangat lelah.
"Hyung..."
Wonwoo membatu mendengar suara panggilan dari belakangnya. Suara anak kecil itu.
.
.
.
.
.
.
.
Pintu kamar Mingyu terbuka, menampilkan namja tampan tinggi dan berambut coklat yang tersisir dengan keren itu tengah memakai dasinya.
Pintu kamar di seberang juga terbuka, menampilkan seorang namja dengan piyama biru mudanya tengah menguap seraya merentangkan kedua tangannya. Jangan lupakan rambutnya yang berantakan itu. Mingyu menatapnya dengan tidak percaya.
"Ya! Kau baru bangun?" tanya Mingyu. Wonwoo menggaruk kepalanya seraya menatap Mingyu malas.
"Untuk apa aku bangun pagi-pagi? Aku memiliki pegawai." Ia menguap lebar seraya berjalan ke meja makan.
Mingyu menggelengkan kepalanya lalu berjalan ke dapur untuk membuat roti panggang. "Kau buat sendiri roti panggangmu."
Wonwoo menatap Mingyu dengan tatapan protes. "Kenapa begitu? Kenapa tidak sekalian buatkan untukku? Tampan-tampan tapi tidak sopan."
"Iya, iya." Mingyu meletakkan segelas susu untuk Wonwoo dan segelas lagi untuk dirinya sendiri. Ia kemudian kembali ke dapur untuk mengambil roti panggang yang baru saja siap.
"Kau belum sikat gigi dan cuci wajah?" tanya Mingyu yang duduk di depan Wonwoo.
"Sudah." Wonwoo menggigit rotinya.
"Berantakan sekali," gumam Mingyu. Tangannya ia ulurkan untuk merapikan rambut coklat Wonwoo. Wonwoo menghentikan kunyahannya dan menatap Mingyu. Mingyu yang tersadar pun dengan segera menjauhkan tangannya dan berdehem pelan.
"Ahh, ada yang ingin aku tanyakan," ucap Wonwoo meletakkan roti panggangnya. Mingyu hanya menganggukkan kepalanya.
"Apa kau memiliki adik?" Mingyu menghentikan kunyahannya saat mendengar pertanyaan Wonwoo. Ia menatap Wonwoo.
"Tidak."
"Kau bohong," ujar Wonwoo. Mingyu terdiam. Ia menundukkan kepalanya.
"Lima tahun lalu sebelum kami pindah ke Seoul, pada malam hari kami sekeluarga akan membeli bahan makanan sekaligus perabot baru di mall besar. Tapi adikku tiba-tiba sakit perut dan tidak bisa ikut, aku hendak tinggal bersamanya dan menjaganya, tapi ayah dan ibu menyuruhku ikut pergi agar dapat membantu mereka mengangkat perabot yang akan dibeli," Mingyu menjeda ceritanya. Ia meminum susunya.
"Saat kami sedang berbelanja, tiba-tiba ada panggilan polisi melaporkan kalau rumah kami baru saja dirampok dan terjadi sesuatu pada adikku. Saat kami sampai di rumah, kami melihat mayatnya tengah dibawa keluar dari rumah untuk masuk ke ambulans dengan sebilah pisau menancap di perutnya. Dia tidak selamat." Mingyu menghela napasnya. Ia melirik ke atas, menahan agar matanya tidak terasa panas.
"Ini semua salahku. Andai saja aku tetap tinggal bersamanya. Andai saja aku tetap bersikeras untuk menemaninya. Hahaha, bagaimana bisa aku meninggalkan anak kecil sepertinya di rumah sendirian? Aku memang bodoh." Mingyu menutup wajahnya.
Wonwoo terdiam. Ia mengulurkan tangannya untuk menyentuh pucuk kepala Mingyu.
"Dia bilang, itu bukan salahmu, juga bukan salah kedua orang tua kalian. Dia bilang, itu salahnya karena tidak mendengar pesan kalian agar tidak membuka pintu untuk orang asing. Ia membuka pintunya karena ia kira itu adalah pengantar paket yang biasanya mengantar pesananmu."
Mingyu menjauhkan tangannya saat mendengar penjelasan Wonwoo. "Apa kau mengarang cerita?" tanya Mingyu.
Wonwoo menggelengkan kepalanya. "Tidak, dia yang menceritakannya padaku semalam." Mingyu menatap Wonwoo tidak percaya.
"Dia bilang, andai saja dia menjadi anak yang baik, mungkin sekarang dia masih bisa bersama dengan kalian, meskipun kau hidup terpisah dengan kedua orang tuamu, tapi setidaknya dia bisa tinggal bersama dengan hyungnya yang sangat ia sayangi." Mingyu masih menatap Wonwoo tidak percaya.
"Masih tidak percaya? Yang baru aku sampaikan itu adikmu yang secara langsung menyuruhku menyampaikannya beberapa detik yang lalu." Mingyu masih terdiam.
"Dia ada di sini," ujar Wonwoo dengan senyum tipis di bibirnya seraya menunjuk ke arah sampingnya. Mata Mingyu mengikuti ke arah yang ditunjuk oleh Wonwoo. Matanya kini memerah tanpa ia sadari.
Wonwoo melirik hantu anak kecil itu. "Umm, dia ingin menyampaikan sesuatu, kau harus mendengarkannya baik-baik." Mingyu mengangguk.
"Dia bilang, dia sangat ingin kembali bermain denganmu, berbicara denganmu, bermain bola bersama, dan pergi membeli mainan bersama lagi. Dia tidak menyangka kalau waktunya sesingkat itu. Tapi dia tidak menyesal, meskipun waktunya sangat singkat di dunia ini, dia sangat senang memiliki orang-orang berharga yang sangat menyayanginya dan selalu memberinya kenangan yang indah." Mingyu memejamkan matanya seraya mendengus dengan senyum sendunya. Ia ingat, dulu ia selalu bermain bola bersamanya, selalu pergi membeli mainan baru bersamanya.
"Dia menyuruhmu untuk berhenti menyalahkan dirimu sendiri. Ini memang sudah ditakdirkan untuknya. Jika kau seperti ini terus, dia tidak bisa pergi dengan tenang, dia mengkhawatirkan kalian. Hiduplah dengan baik, hyung, ucap adikmu."
"Dia benar-benar mengatakannya?" tanya Mingyu. Wonwoo mengangguk. Mingyu menutup matanya dengan telapak tangannya. Sedetik kemudian, ia menjauhkan tangannya dan menghapus air mata yang menumpuk di pelupuk matanya.
"Saengi-ya, bagaimana keadaanmu sekarang? Apa kau sudah tumbuh besar?"
"Hantu tidak bisa bertumbuh lagi, Kim."
"Ah, begitukah?"
"Adikmu bilang kau masih saja bodoh," ucap Wonwoo. Mingyu tertawa kecil. Ia ingat dulu adiknya sering mengatainya bodoh karena selalu kalah saat bermain game.
"Kau harus hidup dengan baik di sana, kau bisa bermain sepuasnya di sana. Jadilah anak yang baik dan berbahagialah di sana. Hyung akan mengawasimu dari sini." Mingyu tersenyum sebelum akhirnya menundukkan kepalanya.
Wonwoo menatap anak kecil itu tengah tersenyum tipis melihat hyungnya tengah berusaha untuk menahan tangis. Anak kecil itu kemudian melambaikan tangannya pada Wonwoo dan membungkukkan badannya, mengucapkan terima kasih sebelum akhirnya anak kecil itu diselimuti oleh cahaya putih dan menghilang dengan perlahan.
"Saengi-ya, hyung-"
"Dia sudah pergi," potong Wonwoo. Mingyu menghela napasnya. "Begitukah?" Ia tertawa kecil.
'Hyung menyayangimu.' Batin Mingyu seraya menggigit rotinya pelan.
"Ahh, aku lega sekali. Aku pikir dia itu hantu yang berbahaya karena dia membawa pisau dan tatapannya sangat tajam. Selama lima tahun dia bergentayang selain ingin menyampaikan sesuatu pada kalian, dia juga sangat dendam pada pembunuhnya. Lalu semalam dia bilang dia sadar, kalaupun dia dendam, itu tidak bisa merubah apa-apa. Jadi dia memutuskan untuk menyampaikan perasaannya pada kalian dan pergi dengan tenang." Wonwoo menghela napasnya.
Selama hidupnya ia tidak pernah setakut itu pada anak kecil, dan untungnya anak kecil itu tidak memiliki niat jahat pada mereka. Anak kecil itu hanya memendam rasa dendam dan rasa bersalah hingga mengubah aura tubuhnya menjadi sangat mengerikan.
"Terima kasih, hyung," gumam Mingyu.
"Tidak masalah, asalkan kau bersedia membiarkan aku tidur di rumah ini tanpa batas waktu." Wonwoo meminum susunya.
Mingyu mendengus. "Kenapa kau tiba-tiba ingin tinggal di rumahku? Bukankah kau bilang kau tidak suka tinggal di rumah yang besar?" tanyanya.
Wonwoo hanya tertawa kecil. "Karena kau adalah tamengku."
"Hah?" beo Mingyu.
"Tidak ada apa-apa. Apa kau akan terus mengunyah dengan santai seperti itu?" tanya Wonwoo. Mingyu tersadar saat melihat jam tangannya dan dengan segera menelan semua rotinya dan menghabiskan susunya.
"Aku mau ikut denganmu," Wonwoo menarik tangan Mingyu.
"Aku tidak sempat lagi." Mingyu berusaha melepaskan tangan Wonwoo.
"Aku mau pergi juga. Jangan tinggalkan aku. Tunggu aku sebentar. Sebentarrrr saja, hanya untuk berganti baju." Wonwoo menarik Mingyu untuk masuk ke kamarnya, agar namja tampan itu tidak kabur dan meninggalkannya.
"Kau tidak mandi?! Jorok sekali!"
"Aku akan mandi di café nanti."
Tanpa mereka sadari, Sohyun tengah berdiri di dapur menatap mereka dengan tatapan sendunya yang biasanya.
.
.
.
.
.
.
.
"Aish, aku pasti terlambat. Ini semua karenamu." Mingyu dengan terburu-buru keluar dari mobilnya. Saat ini mereka sedang ada di parkiran.
"Kenapa gara-gara aku? Padahal saat dia berujar sok bijak dengan adiknya dan makan dengan santainya, itu memang sudah terlambat," gumam Wonwoo kesal.
"Ahh, Mingyu oppa~!" Mingyu sontak menghentikan langkahnya saat seorang yeoja tiba-tiba memeluk lengannya.
"Tzuyu-ya, aku sedang buru-buru, jangan menempel padaku seperti cecak begini." Mingyu melepaskan tangan Tzuyu. Tzuyu mengerucutkan bibirnya. Ia kembali memeluk lengan Mingyu. Mata cantik Tzuyu tidak sengaja menangkap Wonwoo yang tengah merapikan pakaiannya di samping mobil Mingyu.
Wonwoo balas menatap Tzuyu dengan senyum tipis yang kaku. Senyum Wonwoo langsung pudar saat Tzuyu menatapnya dengan tajam dan dingin sebelum akhirnya yeoja cantik itu berjalan mengikuti Mingyu.
Wonwoo menatap punggung Tzuyu yang tengah bermanja di lengan Mingyu.
'Tatapannya… Aku tidak salah lihat, 'kan?'
.
.
~TBC~
.
Halooo~ yesss! Author nepatin janji, 'kan? Ini updatenya cepet, 'kan? Yesss!
Author pengen bilang sesuatu nih, AUTHOR KANGEN WONUUU! AUTHOR KANGEN MEANIE MOMENT! AUTHOR HAUS MEANIIIEE! GIMME MEANIE, PLEASE! #plakkk
Kalau boleh jujur, pas bagian Seoksoon, autho ngefly sendiri #plakkk
Habisnya author ngetiknya sambil denger lagu 'Stay' yang dinyanyiin sama Ben. Rasanya adem ayem romantic sweet sweet gitu #apaseh
Author mau nanya, kalau misalnya author tambahin peran ChanBaek di ff ini gimana? Hanya untuk satu atau dua chap saja sebagai pemeran pembantu? Bagaimana menurut readers?
Terima kasih sebanyak-banyaknya buat readers dan reviewers author tercinta, terima kasih karena sudah mau membaca fanfic yang sebenarnya kurang sempurna ini. Terima kasih banyak *bow* :D
tfiy, zahra9697, Twelves, meaniecrt, kookies, BYDSSTYN, maharani.s, Firdha858, Aliciab.i, Baebypark, babymoonlight, lulu-shi, Lsww, kimbapchu, kimjeon, Andromeda, Dazzpicable, yang sedang malas login, wristband0, DevilPrince, chikicinta, fvcksoo, Rin SNL, Aozora140117, hnjasmine, Ara94, Zahra492, Tipo, Mirror, putrifitriana177, Karina, meaniem, hamipark76, equuleusblack, staryydoll21, Guest, Jeon Wonnie, Herlin790, hvyesung, 11234dong, hoshinugu, shinhy, Vioolyt, pink panda, btobae, tyneeee, exoinmylove,Bola Salju, dxxsy, Khasabat04, cha2000, Rie Cloudsomnia, Chan-min, Beanienim, restypw, wonrepwonuke, SheravinaRose, Zizisvt, Kim Hye Gun, kimxjeon, Herdikichan17, yehet94, NichanJung, Okta794, Mbee, Mrs. EvilGameGyu, Rin Kimryu, Itsmevv, jihokr, atsukarui, aprilbunny9
Makasih buat review kalian yang sangat mendukung, review kalian selalu menjadi kekuatan author buat perkembangan ff ini. *bow*
Jangan ada silent readers yah readers tercintah~ *tebar kecup basah* XD
Okedeh, akhir kata dari author untuk chap ini,
Review, please~? ^^
Gomawo *bow* m(_ _)
