Sixth Sense

Summary:: Andai saja Mingyu tidak bertemu Wonwoo, ia pasti tidak akan terlibat ke dalam kehidupan aneh namja itu, namja yang selalu berbicara sendirian dan mengaku dapat melihat hantu. "Aku tidak gila!"/ "Kalau kau tidak gila, kenapa kau berbicara sendirian?"/ "Aku tidak berbicara sendirian, aku berbicara dengan anak kecil yang baru saja meninggal. Dia ada di sampingmu."

Couple:: Mingyu x Wonwoo

Rate:: T

Genre:: Humor, Romance, supernatural

.

.

Hiwatari's Present

Enjoy~

.

~#~#~#~#~#~#~#~#~#~#~#~#~#~

.

"Ada apa? Kenapa tidak masuk? Dan kenapa mobilmu ada di sini?" tanya Wonwoo menunjuk mobil Mingyu yang sebenarnya dilarang berhenti di depan toko seperti ini.

Mingyu tidak mempedulikan soal mobilnya. Ia kemudian berucap,

"Ayo pulang bersama."

Wonwoo tampak berpikir sejenak. "Kenapa tumben sekali mengajak pulang bersama?"

Mingyu menghela napasnya.

"Seungcheol hyung menyuruhku untuk mengajakmu pulang sekalian, agar kau tidak repot pulang sendirian."

"Seungcheol hyung mengetahuinya? Dia tahu kalau aku tinggal di rumahmu?" tanya Wonwoo. Mingyu menganggukkan kepalanya.

"Aku menceritakan padanya. Bagaimana mungkin kau tidak memberitahu hyungmu sendiri kalau kau sudah pindah? Bagaimana kalau dia mencarimu ke sana dan tidak menemukanmu?" Mingyu menghela napasnya.

Wonwoo menganggukkan kepalanya. "Benar juga. Bahkan hari ini aku belum sempat menemuinya. Sepertinya dia juga sedang sibuk."

Mingyu menguap lebar lalu menggaruk belakang kepalanya.

"Ayo pulang, aku sudah sangat mengantuk. Jika kau lebih lama lagi di sini, aku akan meninggalkanmu." Ia kemudian kembali masuk ke dalam mobil dan mulai menyalakan mesinnya. Wonwoo tampak panik. Ia dengan segera membuka pintu depan namun sedetik kemudian menutupnya kembali.

"Ah! Tasku ada di ruanganku! Sebentar!" Ia dengan segera masuk ke dalam tokonya dan mengambil barang-barangnya. Ia berpamitan seadanya pada Hoshi dan memberikan beberapa petunjuk pada Hoshi yang kali ini untuk pertama kalinya namja bermata sipit itu akan menutup toko sendirian.

Hoshi hanya mengangguk-anggukkan kepalanya lalu memelihat kepergian bosnya yang terlihat terburu-buru itu.

"Mau ke mana bosmu itu dengan si Mingyu?" tanya Dokyeom dengan satu cup kopi panas di tangannya. Ia masih dengan setia berdiri di depan Hoshi.

Hoshi menaikkan kedua bahunya.

"Entahlah."

"Tunggu! Aku juga ikut!" Baekhyun berari-lari di belakang Wonwoo lalu menembus mobil dan duduk di jok belakang. Ia menghela napasnya saat ia sempat masuk ke dalam mobil. Ia malas untuk berlari mengejar mobil Mingyu. Ah, ngomong-ngomong mereka mau ke mana? Kenapa Mingyu dan Wonwoo pergi bersama? Baekhyun celigak-celinguk ke arah jendela mobil.

"Aihh! Chargerku ketinggalan! Ponselku juga hampir kehabisan baterai." Wonwoo mendengus. Ia menatap Mingyu kesal. "Kenapa kau buru-buru sekali? Aku bahkan tidak memberikan arahan yang benar pada Hoshi. Aku khawatir anak itu tidak terbiasa ditinggal sendirian."

Mingyu kembali menguap. "Aku sangat mengantuk dan ingin segera pulang dan tidur. Kalau kau membuatku menuggu lebih lama, aku pasti tanpa sadar akan meninggalkanmu dan berakhir kau akan naik bus pulang ke rumah."

Wonwoo mencibir kesal. "Dasar, sapi!" Matanya tidak sengaja melihat ke arah spion depan dan terkejut melihat Baekhyun duduk dengan manisnya di jok belakang. Ia dengan segera menoleh ke belakang.

Sedangkan Baekhyun, ia memiringkan kepalanya dan membulatkan matanya dengan lucu.

"Ada apa, manis?"

Wonwoo mendengus seraya menoleh kembali ke depan. Mingyu yang merasa aneh dengan Wonwoo pun mengernyitkan keningnya.

"Ada apa?" tanyanya. "Apa ada sesuatu di belakang?"

Wonwoo menggelengkan kepalanya. "Tidak, tidak ada apa-apa."

Tanpa mereka ketahui, Tzuyu yang berdiri di depan gedung rumah sakit tengah menatap mereka dengan tatapan tajam dan dinginnya. Matanya terus mengamati mobil yang telah menjauh itu. Mata cantiknya kembali beralih ke café yang ada di seberang sana. Tatapan dinginnya masih terus menghiasi wajahnya.

"Jadi kau kerja di sana?" gumamnya pelan. Sebuah seringai tipis terlihat di wajah cantiknya sebelum ia melenggang dengan santainya kembali masuk ke dalam rumah sakit.

.

.

.

.

Tzuyu berjalan di koridor yang sepi dan remang-remang. Tidak ada rasa takut di dirinya saat melewati koridor yang tidak digunakan lagi itu. Suara hak tingginya memenuhi gedung belakang yang telah dikosongkan itu. Dengan tangannya yang memegang setangkai bunga mawar, ia membuka sebuah pintu dan masuk ke dalam setelah sebelumnya menyalakan lampu kamar itu.

Ia berjalan ke sudut kamar dan seperti hari-hari sebelunya, ia mengganti mawar semalam dengan mawar yang baru. Ia terdiam sejenak mengamati bunga itu dengan wajah tenangnya.

"Maafkan aku, Sohyun-ah," gumamnya.

"Kau tahu rahasiaku, tapi kau malah mengkhianatiku. Seandainya kau tidak melakukan itu, kau pasti tidak akan seperti ini, sahabatku." Terlihat sebuah seringai kecil di bibir tipis yeoja cantik itu.

Ia kemudian berbalik dan beranjak, sebelumnya, saat ia melewati kursi yang terletak di bawah tali yang tengah di gantung itu, ia menendang kursi itu hingga menimbulkan suara rusuh. Ia kembali tersenyum tipis.

"Istirahatlah dengan tenang di sini, Kim Sohyun."

Sohyun yang berdiri di sudut kamar di samping vas bunga itu menatap Tzuyu yang menjauh dengan tatapan yang sulit diartikan. Antara sedih dan juga marah. Semuanya hanya dapat ia tahan dalam dirinya dan ia tunjukan melalui tatapannya setiap kali melihat kedatangan Tzuyu di kamarnya.

.

.

.

.

.

.

.

.

"Wahhh, besar sekali rumah ini!" Baekhyun memutar tubuhny untuk melihat seluruh bagian rumah Mingyu yang baru ia masuki ini.

"Omaya!" Namja mungil itu terlihat menyadari sesuatu. Ia mengikuti Wonwoo dari belakang yang tengah berjalan ke arah kamarnya.

"Kau serumah dengan si taring itu? Ini apa, ya Tuhan? Hubungan kalian sudah melebihi batas perkiraanku ternyata!" heboh Baekhyun. Wonwoo mendengus seraya mendudukkan dirinya di kasur empuknya.

"Hubungan kami lebih buruk dari perkiraanmu. Kenapa kau masih mengikutiku, sih? Setidaknya carilah tubuhmu."

Baekyun menghela napasnya kemudian duduk di samping Wonwoo. Ia mengayun-ayunkan kedua kakinya.

"Sebenarnya aku tidak berniat mencari tubuhku. Waktuku tidak lama lagi, aku tidak tahu harus cari di mana. Dan aku memiliki firasat kalau aku memang sudah ditakdirkan untuk meninggal. Aku memang sudah mempersiapkan diri untuk meninggal. Maka dari itu aku berusaha menikmati semua yang ada di dunia ini selama aku masih bisa." Baekhyun tersenyum tipis.

Wonwoo terdiam menatap Baekhyun. Beberapa detik kemudian ia baru merespon,

"Jadi kau sudah putus asa?" tanyanya.

Baekhyun tersenyum. "Sejak awal aku sudah putus asa. Dunia ini tidak sempit, Wonwoo-ya. Dengan ingatanku yang kosong ini, tidak mudah untuk mencari tubuhku."

Wonwoo menundukkan kepalanya. Kakinya ikut mengayun seperti Baekhyun. Benar juga, dunia ini tidak sempit seperti yang orang-orang katakan. Masih sangat banyak hal di luar sana yang belum kau ketahui, belum kau lihat dan alami. Selama masih bisa, berusahalah untuk menikmati dunia yang luas ini.

Wonwoo berdiri lalu meraih handuknya. "Membersihkan wajah dulu, setelah itu aku akan tidur. Kau juga sebaiknya istirahatlah." Namja itu lalu masuk ke dalam kamar mandi. Baekhyun mengamati pintu yang baru saja ditutup oleh Wonwoo.

"Kau beruntung, Wonwoo-ya, kau masih bisa melihat dan mengalami segalanya."

Mata cantik namja itu melihat ke sekililingnya. Banyak benda-benda religious di sana, patung-patung, bawang putih, pedang penangkal hantu, kertas jimat dan sebagainya. Ia mengangguk-anggukkan kepalanya.

"Kau benar-benar siap dengan hidupmu, Jeon Wonwoo."

Tidak berapa lama kemudian, Wonwoo pun keluar lalu dengan segera menutup lampu kamarnya.

"Ahh, aku sangat lelah hari ini. Selamat malam," ucap Wonwoo. Baekhyun hanya duduk di lantai tepat di samping tempat tidur Wonwoo. Ia mengamati Wonwoo yang mulai terlelap. Tiba-tiba sebersit pikiran melintas di kepalanya.

'Apa dia benar-benar dapat dirasuki?' batinnya. Ia kemudian mendekat lalu menyentuh Wonwoo perlahan. Ia menghela napasnya kecewa saat tangannya menembus bahu Wonwoo.

'Tidak bisa.' Ia kembali duduk di posisinya, duduk dengan kedua tangan memeluk kakinya yang ditekuk. Semakin lama mengamati Wonwoo, ia dapat melihat warna aura yang aneh pada Wonwoo. Ia kemudian kembali mendekati Wowoo dan mengamati wajah Wonwoo. Namja itu terlihat semakin lelap dalam tidurnya.

Baekhyun lagi-lagi mengulurkan tangannya menyentuh bahu Wonwoo. Matanya sedikit membulat saat tangannya berhasil masuk ke dalam tubuh Wonwoo.

'Benarkah?'

Selanjutnya, Baekhyun berdiri dan berbaring tepat di tubuh Wonwoo. Sedetik kemudian, mata Wonwoo terbuka. Ia mengerjap-ngerjap beberapa saat sebelum akhirnya mendudukkan dirinya.

"Benar-benar bisa," gumamnya pelan seraya mengamati tangannya.

"Sudahlah, aku hanya mencoba saja. Kasihan Wonwoo, sepertinya dia sangat lelah, aku tidak ingin membuat tubuhnya lebih lelah lagi." Baekhyun hendak kembali berbaring dan keluar dari tubuh namja itu, namun ia menghentikan gerakannya. Ia tampak memikirkan sesuatu.

"Kenapa tidak…" Senyum aneh muncul di wajahnya. Ia turun dari kasurnya dan keluar dari kamar. Berjalan mendekati pintu yang ada di seberang kamarnya dengan perlahan membuka pintu kamar itu.

"Aku sedang membantu hubungan kalian. Berterima kasihlah, Jeon," bisik Baekhyun. Ia kemudian masuk ke dalam kamar Mingyu yang remang-remang lalu menutup kembali pintu itu dengan sangat perlahan. Ia berjalan berjinjit mendekati Mingyu yang tengah berbaring membelakanginya. Ia mendekatkan wajahnya ke telinga Mingyu.

"Tampan~" bisiknya pelan. Mingyu tersentak dan dengan segera menoleh ke belakang. Ia mendapati Wonwoo tengah tersenyum manis padanya.

"Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Mingyu yang sudah mengubah posisinya menjadi duduk. Ia menatap Wonwoo aneh. Wonwoo malah duduk di pinggir kasur Mingyu masih dengan senyum manis di wajahnya.

"Malam ini sangat dingin, kenapa kau tidak menemaniku dan menghangatkanku?" tanya Wonwoo dengan bibirnya yang sedikit mengerucut. Ia menyentuh leher Mingyu dengan jari telunjuknya.

Mingyu memasang wajah horornya. "Kau kerasukan lagi?" tanyanya. Ia beranjak dari kasurnya dan berjalan mundur.

Wonwoo terlihat sedikit terkejut. "Kerasukan? Kerasukan apa? Aku tidak kerasukan." Ia berdiri dan mendekati Mingyu.

"Aku sangat dingin." Wonwoo terus mendekati pad Mingyu yang terus melangkah mundur. Dan benar saja, di luar sudah mulai turun hujan.

Mingyu menghela napasnya. Bagaimana cara mengatasi Wonwoo yang kerasukan lagi? Ia benar-benar sangat mengantuk untuk mengurus namja ini.

"Keluarlah dari tubuhnya. Aku sedang sangat malas mengurusnya." Mingyu menepis tangan Wonwoo yang terulur hendak menyentuh dadanya.

Wonwoo memajukan bibirnya dengan kesal. "Buhh!"

Saat ia hendak kembali melangkah maju, kakinya tidak sengaja menendang kaki kasur Mingyu dan terhuyung ke depan. Mingyu dengan spontan maju dan menangkap tubuh Wonwoo yang lebih kecil darinya ke dalam pelukannya.

"Kau ini-" kata-kata Mingyu terpotong karena melihat tubuh Wonwoo yang tiba-tiba lemas di dalam pelukannya. Sepertinya hantu yang merasuki Wonwoo telah pergi. Baekhyun yang berdiri di samping Wonwoo membuatkan bibirnya.

"Ohh, kenapa aku bisa keluar dengan sendirinya?"

Mingyu menghela napasnya. Ia lalu menggendong Wonwoo di punggungnya dan membawa namja itu kembali ke kamarnya. Dengan perlahan ia membaringkan Wonwoo yang terlihat sangat terlelap. Ia tidak lupa menyelimuti namja indigo itu mengingat di luar sedang hujan dan mematikan AC kamarnya.

Ia mendengus. "Jangan kerasukan lagi. Aku tidak akan mengurusmu lagi," katanya sebelum beranjak dari kamar Wonwoo.

Mingyu kembali ke kamarnya sendiri lalu melirik jam dinding yang ada kamarnya. Jam 12.45. Ternyata ia baru tertidur sebentar. Ia dengan segera membaringkan tubuhnya dan kembali memasuki alam mimpinya.

.

.

.

.

.

.

.

"Ah, aku harus kembali ke rumah sakit. Sudah sangat larut, aku harus pulang," pamit Dokyeom melihat jam tangannya. Sudah jam 1 lewat rupanya. Ia yang semula duduk di samping Hoshi di belakang counter pun akhirnya berdiri.

Hoshi yang tengah mengelap cangkir pun menganggukkan kepalanya.

"Pulanglah. Hati-hati di jalan." Dokyeom menganggukkan kepalanya dengan senyum lebarnya yang khas. Ia kemudian berbalik dan hendak beranjak.

"Ah!" Namja tapan itu berbalik. "Malam ini udaranya sangat dingin, lebih baik kau meminum sesuatu yang hangat untuk menghangatkan tubuhmu."

Hoshi tersenyum lalu menganggukkan kepalanya. Setelah itu, Dokyeom benar-benar beranjak dan kembali ke rumah sakit.

Hoshi menghela napasnya. Malam ini udaranya memang lebih dingin dari biasanya. Sepertinya akan turun hujan nanti. Ia mengamati sekelilingnya yang hanya tinggal beberapa pelanggan saja. Ia melirik jam dinding yang ada di café itu. Sudah jam 1.20 ternyata. Tanpa Wonwoo dan tanpa Dokyeom begini, rasanya sangat sepi. Ia sudah cukup bersyukur karena Dokyeom menemaninya cukup lama. Sepertinya sudah saatnya bersiap-siap untuk tutup.

Ia beranjak dari belakang counter dan membalikkan papan kecil yang tergantung di depan pintu. Papan yang semua bertuliskan 'OPEN' kini berganti menjadi tulisan 'CLOSE'. Sembari menunggu pelanggannya yang tersisa 3 orang itu, ia menyusun kembali semua cangkir-cangkirnya dan membereskan semua barang-barang café.

Tidak lama kemudian, pelanggannya satu demi satu beranjak dan tinggallah namja sipit itu sendirian di café itu. Memang ia pernah ditinggal sendiri oleh Wonwoo, tapi ia tidak pernah ditinggal sendirian saat hendak menutup toko seperti ini.

Saat Hoshi sibuk membersihkan mesin pembuat kopinya, ia membatu saat merasakan deru napas di tengkuknya. Ia melirik ke arah kanan sejenak sebelum akhirnya menoleh ke belakang. Tidak ada siapa-siapa di sana. Ia menggelengkan kepalanya pelan sebelum akhirnya kembali merapikan mesin pembuat kopinya.

Namja bermata sipit itu kembali membeku saat ia meras geli pada leher belakangnya. Ia mengelus leher belakangnya sejenak sebelum akhirnya ia membawa semua bahan kopinya ke dalam ruang penyimpanan yang berada tepat di samping ruangan pribadi Wonwoo.

Saat Hoshi selesai menyimpan semua bahannya, pintu ruang penyimpanan itu tertutup sendiri. Ia terkejut dan dengan segera menoleh ke arah pintu.

'Apa itu karena angin?' pikir Hoshi. Cuaca di luar sana memang sedang hujan dan berangin kencang. Ia lalu berjalan mendekati pintu.

Tap!

Hoshi mendengus saat lampu di ruangannya mati. Mati lampu? Aish! Ia paling benci lampu padam di saat hujan lebat seperti ini. Ia kembali melangkahkan kakinya dan memutar gagang pintunya.

Cklek!

Hoshi mengernyit. Kenapa pintunya tidak dapat dibuka? Ia kembali memutar gagang pintunya.

Cklek! Cklek!

'Kenapa tidak bisa?' Hoshi tertegun saat tidak sengaja melihat ke bawah pintu. Terdapat cahaya dari celah bawah pintu. Itu artinya, lampu di luar tidak padam, hanya lampu di ruangan ini saja yang padam. Kenapa bisa begitu?

Cklek! Cklek!

Dok! Dok! Dok!

Hoshi memukul-mukul pintunya.

"Apa ada orang di luar?" tanya Hoshi dengan setengah berteriak. Ia tahu itu sia-sia saja karena toko sudah tutup, sudah dipastikan tidak ada orang di luar.

Klangg!

Hoshi tersentak saat sesuatu terjatuh di belakang ruangan. Ia tidak dapat melihat apa-apa. Ah! Ponsel! Ia dengan segera merogoh sakunya dan menyalakan assistive light di ponselnya. Seketika ruangan itu diteringai oleh senter kecil pada smart phonenya. Di lantai, ia dapat melihat sekaleng susu kental terjatuh dan di sana tidak ada siapa-siapa ataupun binatang kecil. Lalu kenapa itu bisa terjatuh? Apa itu angin? Tapi di ruangan ini tidak memiliki jendela.

Hoshi terduduk ke lantai. Ia dengan segera menekan nomor Wonwoo dan memanggilnya.

'Sedang tidak aktif?!' Hoshi kembali menekan nomor Seungcheol. Untungnya ia menyimpan nomor kakak dari pemilik café ini.

"Ayolah, angkat," gumam Hoshi. Ia menyentuh ponselnya dengan kesal saat Seungcheol tidak mengangkat panggilannya. Mungkin Seungcheol sudah tidur. Jelas saja, ini sudah sangat larut. Ia tidak memiliki nomor siapa-siapa lagi yang berada di sekitar daerah ini. Dokyeom? Ia tidak pernah meminta nomor ponsel namja itu.

Hoshi memejamkan matanya seraya mengetuk-ngetuk pintunya.

Brakk!

"Aahhh!" Hoshi berteriak terkejut saat sesuatu kembali terjatuh di sudut ruangan. Ia dengan segera mengarahkan assistive lightnya ke asal suara. Hanya ada sebungkus besar kopi yang terjatuh. Siapa yang menjatuhkannya? Sebersit bayangan hitam lewat sekilas saat ia mengarahkan lampu ponselnya. Ia mematung sejenak mencerna apa yang baru saja ia lihat.

Hoshi kembali memejamkan matanya seraya menggigit bibir bawahnya dan terus mengetuk pintunya. Sesekali tangannya mencoba memutar gagang pintu, dan sialnya pintu itu masih belum bisa terbuka.

Ia memejamkan matanya dengan erat saat lagi-lagi ia merasakan deru napas tepat di sampingnya.

Sial! Ponselnya mati karena kehabisan baterai! Yang dapat ia lakukan hanya memejamkan matanya seerat mungkin seraya menutup telinganya.

.

.

.

.

.

"Ekhhm! Hmm!" Mingyu tampak berdehem sejenak sebelum akhirnya ia membuka kelopak matanya. Kerongkongannya terasa kering. Ia lalu beranjak dari kamarnya untuk mengambil minum.

Saat ia hendak ke dapur, ia mengernyit melihat pintu kamar Wonwoo yang terbuka setengah, dan lagi, lampu di kamar itu juga menyala.

'Apa lagi? Dia kerasukan lagi?' pikir Mingyu berjalan mendekati kamar Wonwoo. Dengan perlahan ia membuka kamar itu dan tambah mengernyit melihat Wonwoo tidak ada di kamar itu. Ia dengan segera masuk lalu memeriksa ke dalam kamar mandi. Tidak ada Wonwoo.

"Ke mana dia?" gumam Mingyu. Ia berlari kecil keluar dari kamar Wonwoo lalu menyalakan semua lampu yang ada di rumahnya. Ia mencari ke dapur, tidak ada. Mencari ke ruang tamu, tidak ada. Mencari ke kamar mandi luar, tidak ada.

"Jeon Wonwooo!" panggil Mingyu. Hening. Tidak ada sahutan dari Wonwoo. Mingyu dengan segera meraih ponsel yang ada di kamarnya dan berusaha menghubungi nomor Wonwoo. Untung saja ia menyimpan nomor Wonwoo yang diberi paksa oleh Seungcheol padanya.

Mingyu berdecak kesal. Ah! Ia baru ingat kalau Wonwoo tadi mengatakan ponselnya kehabisan baterai dan chargernya ketinggalan di café. Namja tampan itu lalu berjalan ke pintu depan dan terkejut melihat pintu rumahnya tidak dikunci.

'Jangan bilang dia kerasukan seperti yang pernah dia ceritkan dulu?' batin Mingyu mengingat cerita Wonwoo yang pernah terbangun di pinggir jalan tol dan lain sebagainya. Apalagi sekarang di luar sedang hujan lebat. Ke mana pula namja itu?

Dengan khawatir, Mingyu memegang knop pintunya namun ia menghentikan gerakannya.

"Kenapa aku sepanik ini? Biarkan saja dia." Mingyu menghela napasnya kemudian melepaskan knop pintunya. Ia berbalik dan hendak kembali ke kamarnya. Namun, baru selangkah ia melangkah, ia berdecak pelan.

"Aishh!"

Ia kembali berbalik lalu memutar knop pintunya. Berlari kecil mendekati mobilnya dan dengan segera mengendarainya entah ke mana.

"Aku harus mencarinya ke mana?" gumam Mingyu bingung. Namja yang hanya mengenakan kaos hitam dan celana training itu menunjuk ke jalan sebelah kiri dan sebelah kanan. Ia dengan terpaksa memutar stir mobilnya ke arah kanan. Ia tidak tahu harus mencari ke mana, terutama di kondisi hujan lebat begini, pasti akan sulit mencarinya.

Kota ini luas, dan ia tidak tahu Wonwoo sudah keluar berapa lama. Ia berdecak saat menyadari kalau ponselnya tertinggal di sofa ruang tamu saat ia hendak mencoba menelepon Wonwoo tadi. Padaha ia hendak menelepon Seuncheol dan memberitahu namja itu kalau adiknya menghilang.

Setelah sekitar 15 menit ia terus menyetir dan mengamati jalan, ia semakin berkeringat dingin karena semakin jauh ia mengemudi, daerahnya semain sepi dan jarang ada perumahan. Wonwoo tidak mungkin berjalan hingga ke daerah seperti ini, 'kan?

Ckiiitt!

Ia menyipitkan matanya saat melihat seseorang yang berada di sebuah lapangan hijau tengah berdiri di bawah pohon besar.

"Apa itu dia?" gumam Mingyu tidak yakin. Ia semakin menyipitkan matanya. Ah, sepertinya oa kenal dengan jas hujan yang tengah dikenakan namja itu. Ia dengan segera meraih payung yang ada di bawah jok belakangnya dan turun dari mobil. Ia berlari kecil mendekati namja aneh di bawah pohon itu. Semakin ia berjalan mendekati namja itu, ia semakin yakin kalau itu adalah Wonwoo.

Mingyu dengan segera berlari ke arah Wonwoo, tidak mempedulikan dirinya yang kini telah basah kuyup karena payungnya bahkan tidak bisa menghadang angin yang kencang dan hujan lebat.

"Ya! sedang apa kau di sini?" tanya Mingyu dengan berteriak. Ia bahkan tidak yakin Wonwoo dapat mendengar suaranya. Wonwoo yang tengah menggali tanah yang tepat berada di bawah pohon dengan sekop besar itu mengangkat kepalanya dan menatap Mingyu. Sedetik kemudian, ia kembali melanjutkan kegiatannya tanpa menjawab pertanyaan Mingyu.

Mingyu berdecak kesal.

'Apa dia kesurupan lagi?' batinnya. Ia dengan segera meraih tangan Wonwoo dan menariknya.

"Apa yang kau lakukan? Apa kau gila?! Ini sudah tengah malam dan hujannya sangat lebat, kau bisa sakit!"

Mingyu tercengang saat tangannya ditepis oleh Wonwoo.

"Aku sedang sibuk. Tunggu sebentar!" Ia kembali sibuk menggali tanah basah itu. Sebenarnya ia sangat kesulitan menggalinya karena tanah basah itu terus turun karena air dan lubang yang ia buat digenangi oleh air. Ia tampak kelelahan terus menggali seperti itu.

Sedangkan Mingyu, ia tidak tahu harus berbuat apa. Apa ia harus memayungi Wonwoo atau membantu menggali tanah.

"Hah! Hah! Dapat!" Wonwoo berjongkok dan menggali tanah itu dengan tangannya lalu mengangkat sebuah otak yang terkubur di dalamnya. Ia lalu terduduk dan memeluk kotak itu seraya mengatur napasnya yang sesak karena air hujan yang menghalangi pernapasannya. Ia mengangkat kepalanya dan menatap Mingyu.

Mingyu mendengus. Ia menatap Wonwoo tidak percaya.

"Hanya untuk itu? Kau memang bodoh."

Wonwoo menatap Mingyu dengan tatapan cemas. "Aku butuh bantuanmu," ucapnya.

Mingyu terdiam sejenak.

"Apa? Apa yang kau inginkan?" tanya Mingyu.

Wonwoo menunjukkan kotak berukuran 30cm x 30cm itu pada Mingyu. "Aku harus memberikan ini kepada pemiliknya."

"Sekarang?" tanya Mingyu. Wonwoo menganggukkan kepalanya. Mingyu menghela napasnya kemudian menarik tangan Wonwoo untuk berdiri. Ia lalu memayungi Wonwoo untuk masuk ke dalam mobilnya, tidak peduli apakah mobilnya akan kotor dan basah karena jas hujan Wonwoo.

Saat duduk di dalam mobil, Mingyu kembali mendengus kesal.

"Kau-" Ia menghentikan perkatannya saat melihat Wonwoo tengah menggigil dengan kotak yang berada di pelukannya itu. Rambut dan sekujur tubuh di dalam jas hujannya basah. Apalah gunanya jas hujan itu kalau seluruh tubuhnya masih tetap basah?

"Seberapa lama kau berada di luar basah kuyup seperti ini?" tanya Mingyu. Wonwoo tampak berpikir sejenak.

"Sepertinya aku keluar dari rumah sekitar jam 1, sekarang sudah jam berapa?" tanyanya lalu melirik jam digital yang terpampang di mobil Mingyu. "Ah, sudah jam 2.15 rupanya," gumamnya pelan seraya melirik Mingyu. Mingyu tampak tercengang. Ia dengan segera menyalakan mesin mobilnya.

"Kau mau ke mana sekarang?" tanyanya mulai menjalankan mobilnya.

"Ke distrik M jalan 29-17."

Mereka hening untuk beberapa saat hingga Mingyu kembali memecahkan suasana.

"Sebenarnya apa yang membuatmu mencari benda ini di tengah malam begini? Apa kau gila?"

Wonwoo menghela napasnya. "Ada hantu yang membangunkanku dan memohon padaku. Dia mengatakan kalau aku harus mencari sesuatu dan memberikan kotak ini pada orang yang dimaksud. Kalau aku tidak memberikannya, orang itu akan bunuh diri," Wonwoo terdiam sejenak.

"Aku tidak mengerti maksudnya, tapi sepertinya dia sungguh-sungguh dan aku tidak bisa membiarkannya. Dia sangat memohon padaku," gumam Wonwoo.

"Jika itu menyangkut nyawa seseorang, aku tidak bisa pura-pura menulikan telingaku, karena tu artinya nasib seseorang ada di tanganku." Suara Wonwoo semakin pelan dan bergetar.

Mingyu menghela napasnya. Ia tidak tahu Wonwoo itu sebenarnya bodoh atau hanya teralu baik hati. Ia melirik Wonwoo yang mengeratkan pelukannya pada kotak itu. Ia kemudian mematikan pendingin mobilnya. Ia tahu Wonwoo pasti sangat kedinginan, begitupula dengannya. Padahal ia hanya kehujanan beberapa menit saja, berbeda dengan Wonwoo yang kehujanan selama satu jam.

Wonwoo melirik ke spion depan. Ia dapat melihat hantu yeoja yang meminta bantuannya itu tengah duduk di jok belakang dengan tatapan sedihnya. Sedangkan Baekhyun yang duduk di samping hantu itu hanya merinding aneh ia tidak dapat melihat hantu itu. Dimensi hantu dan roh itu berbeda, tapi ia dapat merasakan keberadaan hantu itu.

'Aku menyesal mengikuti Wonwoo dengan hantu ini.' Baekhyun melirik ngeri ke arah kanannya. Ia sedikit menggeser posisi duduknya menjauhi hantu itu.

Di perjalanan, Wonwoo membuka peti itu, tentu saj dengan izin dari pemiliknya. Ia terdiam saat melhat isi di dalamnya. Itu adalah foto-foto yeoja hantu itu sewaktu hidup bersama ibunya. Kumpulan foto dari foto saat yeoja itu masih bayi hingga kelulusan sekolahnya bersama ibunya di sampingnya. Kemudian di sana terdapat surat. Ia lalu membukanya dan membacanya.

'Eomma, mungkin saat eomma membaca surat ini, aku sudah tidak ada lagi di dunia ini. Eomma, aku tahu eomma selama ini sibuk dan jarang pulang karena mencari uang untuk membiayai sekolah tinggiku. Aku tidak marah, Eomma. Kematianku bukanlah salah eomma. Aku sudah memiliki penyakit ini sejak dua tahun yang lalu dan aku tidak memberitahumu karena aku takut eomma akan sangat khawatir. Aku pikir aku bisa mengatasi penyakit ini sendirian dan berusaha untuk sembuh. Tapi ternyata aku tidak sekuat yang aku kira, eomma. Maafkan aku, ini semua salahku. Justru eommalah yang membuatku bersemangat dalam menghadapi penyakitku. Meski eomma sibuk, eomma selalu mengecup keningnya ketika aku telah terlelap dan pagi-pagi sekali eomma selalu memasak untukku sebelum pergi bekerja. Berbahagialah, eomma. Aku akan terus memberikan senyum hangatku dari atas sini. Hiduplah dengan baik, Eomma. Anakmu satu-satunya, Eunhyo.'

Wonwoo menahan napasnya. Sekarang ia mengerti kenapa hantu yeoja itu memaksanya untuk mencari kotak ini dan memberikannya pada ibu yeoja itu. Ibu hantu itu pasti sangat menyesal kehilangan anak satu-satunya dan berencana mengakhiri hidupnya dan menyusul anaknya.

"Ah, sepertinya aku membantu hantu yang tepat," gumam Wonwoo. Mingyu mengernyitkan keningnya.

"Maksudmu?"

"Hantu itu mengatakan kalau ia menulis surat ini dan menyimpannya di kotak ini lalu menguburnya. Dia akan menitipkan pada sahabatnya untuk diberikan pada ibunya saat ia sudah meninggal. Tapi ternyata dia tidak sempat menitipkan kotak ini pada temannya dan meninggal saat di perjalanan karena penyakitnya. Semalam ia melihat ibunya berencana untuk bunuh diri karena merasa menyesal, maka itu dia sangat panik."

Wonwoo kemudian terdiam. Mingyu ikut terdiam. Ia lalu menghentikan mobilnya saat menemukan rumah yang dimaksud. Wonwoo dengan segera turun, namun tangannya ditahan oleh Mingyu.

"Bawa payung," ucap Mingyu. Wonwoo menggelengkan kepalanya.

"Tidak perlu, lagian aku memang sudah terlanjut basah kuyup." Ia kemudian turun dari mobil dan meletakkan kotak itu di depan pintu lalu membunyikan bell rumah itu sebanyak lima kali. Ia tahu bunyi bell sebanyak itu pasti akan membuat pemilik rumah itu kesal.

Wonwoo lalu dengan segera masuk kembali ke dalam mobil. Mingyu menjalankan mobilnya sedikit menjauh dari rumah itu dan berhenti untuk mengawasi kotak itu. Tidak berapa lama kemudian, seorang yeoja paruh baya keluar dan dengan penasaran membuka kotak itu. Beberapa detik kemudian Wonwoo dapat melihat yeoja itu menangis seraya berjongkok dengan surat dari anaknya di tangannya.

Di mata Wonwoo, ia dapat melihat hantu yeoja itu tnegah berdiri di samping ibunya. Inilah kenapa Wonwoo tidak bisa lepas seutuhnya dari hantu-hantu itu, karena mereka yang tidak memiliki kehidupan lagi membutuhkannya. Dan ia tidak mungkin membuang hati nuraninya hanya karena yang meminta bantuan itu adalah hantu.

Mingyu melirik Wonwoo yang tengah menoleh ke belakang untuk mengamati gerak-gerik ibu dan anak itu.

"Kau memang bodoh, Jeon Wonwoo," ucap Mingyu. Wonwoo kembali membenarkan posisi duduknya menghadap depan lalu menoleh pada Mingyu dengan kening berkerut.

Mingyu tidak mempedulikan Wonwoo, ia menancapkan gas mobil dan segera pulang ke rumah. Udara sangat digin, ia tidak memakai jaket, tangannya kini tengah memegang stir mobil pun sedikit bergetar kedinginan.

Saat sampai dirumah, Wonwoo melepaskan jas hujannya yang basah. Ia mendengus saat sekujur tubuhnya benar-benar basah. Bahkan pakaian dalamnya pun basah. Ia mengusap-usapkan tangannya lalu menghembusnya.

Mingyu yang baru masuk ke rumah meraih jas hujan Wonwoo lalu membuangnya ke luar rumahnya.

"Jas hujanku!" protes Wonwoo. Mingyu berdecak kesal.

"Itu sudah sangat kotor terkena lumpur. Nanti akan kubelikan yang baru." Mingyu menarik tangan Wonwoo dan membawa namja itu masuk ke dalam kamar namja bermata tajam itu. Ia menarik Wonwoo masuk ke dalam kamar mandi.

"Mandilah dengan air hangat. Jangan lama-lama" Mingyu keluar dari kamar Wonwoo.

Wonwoo menghela napasnya. Saat ia hendak masuk ke dalam kamar mandi, Mingyu masuk ke dalam kamar Wonwoo dan melempar sebuah hoodie tebal dan celana training ke wajah Wonwoo.

Wonwoo berdecak lalu menurunkan pakaian itu dari wajahnya.

"Tidak bisakah kau mengetuk pintu kamar dulu? Dan tidak bisakan kau mendaratkan pakaian ini di tempat lain selain wajahku?" protes Wonwoo.

"Cepatlah mandi dan tidur, sudah malam." Mingyu keluar dan menutup pintu Wonwoo. Sedetik kemudian, dokter itu kembali membuka pintu kamar Wonwoo.
"Dan ingat pakai air yang hangat." Setelah mengatakan itu, ia kembali menutup pintunya dan meninggalkan Wonwoo yang hanya mendengus malas.

"Seperti ibuku saja," gumamnya. Namja itu kemudian berjalan masuk ke dalam kamar mandinya seraya bersin sebanyak tiga kali.

.

.

.

.

.

.

.

Dokyeom mengendarai mobilnya keluar dari parkiran bawah. Ia melewati café Wonwoo dan berhenti sejenak di seberang café itu.

'Sudah tutup, ya.' Ia mengernyit saat tidak melihat siapa-siapa di dalam café padahal lampu masih menyala. Biasanya kalau café suda bertuliskan 'Close', Hoshi akan sibuk di belakang counter untuk membereskan semua alat, mesin dan juga bahannya. Tapi kenapa ia sedari tadi tidak melihat Hoshi?

Beberapa menit menunggu, ia juga tak kunjung melihat Hoshi biasanya akan mondar-mandir di belakang counter. Dengan rasa penasaran, ia turun dari mobil dan masuk ke dalam café yang belum terkunci itu.

"Hoshi hyung?" panggil Dokyeom. Ia mengernyit. Tidak ada sahutan dari Hoshi. Ke mana namja sipit itu?

Duk! Duk! Duk!

"Ada orang di luar?"

Dokyeom melebarkan matanya saat mendengar suara Hoshi di ruangan yang tepat berada di samping counter itu. Ia dengan segera mendekati ruangan itu dan memutar gagang pintunya.

"Hoshi hyung?" Dokyeom mengetuk pintu yang terbuat dari kayu jati itu.

Duk! Duk! Duk! Duk!

"Dokyeom-ah! Aku di dalam sini! Tolong aku!" Dokyeo dapat mendengar suara Hoshi yang sedikit bergetar di dalam sana.

"Apa yang kau lakukan di dalam sana, hyung? Kenapa pintunya tidak bisa dibuka?" Dokyeom kembali mencoba memutar gagang pintunya. Tidak bisa.

"Pintunya terkunci sendiri. Aku sangat takut. Di dalam sini sangat gelap, lampunya mati." Hoshi kembali mengetuk pintunya.

"Hyung, pintunya tidak bisa dibuka. Bagaimana ini?" tanya Dokyeom.

Hoshi terdiam. Ia kembali terduduk dan memeluk lututnya yang ditekuk.

"Aku tidak memiliki kunci pintu ini. Hahh, tidak apa-apa, Dokyeom-ah, setelah kau ada di sini, setidaknya aku tidak terlalu takut lagi." Ia menggigit bibir bawahnya. Sebenarnya ia masih takut. Bagaimana jika Dokyeom memutuskan untuk pulang dan meninggalkannya sendirian di sini? Di sini sangat gelap, ia hanya bisa melihat sedikit cahaya yang masuk melalui celah bawah pintu. Ia sedikit berkeringat dan merasa tidak enak karena di ruangan ini tidak ada jendela.

"Kau tidak mencoba menelepon bossmu?" tanya Dokyeom.

"Ponselnya tidak aktif," jawab Hoshi.

Dokyeom mengacak rambutnya. Bagaimana Hoshi di dalam? Pasti akan sangat menakutkan terkunci sendirian di dalam dengan keadaan gelap. Ia kemudian mendudukkan dirinya di lantai dan bersandar pada pintu itu. Ia mengetuk pintu yang ada di belakangnya pelan.

Hoshi yang tengah menyembunyikan wajahnya di lipatan tangannya itu mengangkat kepalanya perlahan saat mendengar suara ketukkan pintu Dokyeom.

"Aku di sini, hyung. Jangan takut. Aku tidak akan ke mana-mana," kata Dokyeom. Hoshi terdiam sejenak sebelum akhirnya ia tersenyum lirih dan meletakkan dagunya di atas lipatan lengannya.

"Aku tahu kau lelah, kau pulang saja, Dokyeom-ah. Aku bisa mengurusnya. Lagian ini sudah akan pagi, beberapa jam lagi juga Wonwoo akan datang," ujar Hoshi.

"Tidak. Bagaimana bisa aku meninggalkan kau sendirian dalam keadaan seperti ini." Hoshi tersenyum tipis mendengar perkataan Dokyeom. Ia kembali mengalihkan perhatiannya pada orang yang berada di balik pintu yang tengah ia sandari ini saat ia kembali mendengar suara ketukan di pintu itu sebanyak tiga kali.

"Gutge dachin mun ape

Hancham seon itdaga

Balgeoreumeul dolligo georeogamnida

Ipseureumeul kkaemulmyeo myeotbeonigo dajimhajiman

Heureuneun nunmulkkajin japji motamnida

Geudael sarangharyeo haetdeon geosi jalmosimnida

Naneun naejujereul moreuneun baboramnida

Irinopeun byeoge dulleossain geudaee bihae

Nan amugeotdo gajin cheolbujimnida." –John Park - Childlike

Hoshi terdiam selama ia mendengar sebuah lagu yang sangat ballad yang keluar dari suara Dokyeom yang sangat merdu.

"Apa kau sudah tenang?" tanya Dokyeom. Hoshi meganggukkan kepalanya pelan meskipun ia tahu Dokyeom tidak akan melihat anggukannya.

"Suaramu sangat bagus. Aku menyukainya. Tapi… kenapa kau menyanyikan lagu itu? Liriknya sangat sedih."

Dokyeom tertawa kecil. "Aku hanya menyanyikannya karena aku suka. Kau mau mendengarnya lagi?" tanyanya.

"Lagu sedih lagi?" tanya Hoshi balik.

"Naneun neol geuryeo bonda

Jigeum I sungan deuri

Neoneun naege naneun neoege

Eotteon uiminji

Naneun neoege

Seulpeum eobtneun wiroga doelge

Gieoghae eonjena nan geogi itneungeol." –Hong Dae Kwang - You and I

Dokyeom tersenyum setelah menyelesaikan nyanyian lembutnya. Hoshi juga tersenyum tipis.

"Lagu yang bagus," gumam Hoshi.

"Apa itu juga lagu yang kau sukai?" tanya Hoshi.

"Itu adalah lagu yang ingin kunyanyikan untuk kau dengarkan," jawab Dokyeom. Hoshi tertawa kecil. Lirik di lagu itu sangatlah bagus, yang mengatakan kalau pertemuan mereka aneh dan tak terduga, tapi mereka akan ada untuk saling melengkapi.

"Kenapa kau menjadi dokter? Kenapa tidak menjadi penyanyi saja?" tanya Hoshi. Dokyeom menggelengkan kepalanya.

"Menjadi dokter, aku bisa mengobati mereka seraya bernyanyi. Tapi menjadi penyanyi, aku tidak bisa bernyanyi di panggung sambil mengoperasi fansku, bukan?"

Hoshi tertawa mendengar jawaban Dokyeom. Kalaupun Dokyeom menjadi penyany, ia yakin kalau ia tidak akan pernah bisa bertemu dan berbicara sepeti ini dengan namja tampan itu.

Tiba-tiba senyum Dokyeom pudar saat mengingat sesuatu. "Ah!" Ia merogoh sakunya dan mengeluarkan dompetnya. Dari dalam dompetnya, ia mengeluarkan sebuah penjepit rambut lidi.

"Bodohnya aku," gumamnya mengutuk dirinya sendiri. Ia dengan segera berbalik dan berjongkok di depan gagang pintu dan mulai memasukkan dan dengan konsentrasi membobol pintu itu.

Hoshi mengernyit. Kenapa Dokyeom tidak bersuara lagi? Apa namja itu sudah pergi meninggalkannya?

"Dok-"

Cklekk!

Hoshi terkejut saat pintu yang tengah ia sandari itu terbuka sedikit. Ia dengan segera berdiri dan membuka pintunya. Saat pintu itu terbuka yang pertama kali menyapanya tentu saja cahaya terang dari luar ruangan gelap ini. Setelahnya, yang kedua menyapanya adalah wajah lega Dokyeom yang tengah berdiri di depan pintu dengan senyum tipis.

Hoshi menatap Dokyeom tidak percaya. "Bagaimana kau bisa membukanya?" tanyanya. Dokyeom tidak menjawab, ia hanya semakin melebarkan senyumnya. Hoshi maju dua langkah dan berdiri tepat di depan Dokyeom. Ia meninju pelan dada Dokyeom dengan tangan kanannya.

"Terima kasih," gumamnya seraya menyandarkan keningnya di pundak Dokyeom. Dokyeom tertawa kecil melihat sikap Hosh. Ia melirik ke dalam ruangan dan mengernyit. Bagaimana bisa Hoshi terkunci di ruangan gelap dan tanpa jendela seperti ini? Ia mengangkat tangan kanannya dan menyentuh pucuk kepala Hoshi.

"Di dalam sana pasti sangat menakutkan," ujcap Dokyeom. Hoshi menganggukkan kepalanya. Tangan kirinya terangkat dan meremas kemeja biru muda Dokyeom.

"Terima kasih. Kalau tidak ada kau…" Hoshi menghentikan ucapannya.

"Sekarang sudah tidak apa-apa," gumam Dokyeom menepuk-nepuk pelan kepala Hoshi. Hoshi menganggukkan kepalanya. Ia kemudian menjauhkan dirinya dari Dokyeom dan menatap namja di depannya itu.

"Bagaimana bisa kau membuka pintu itu?" tanyanya. Dokyeom menunjukkan penjepit rambut yang ada di tangannya. Hoshi membulatkan mata sipitnya.

"Kenapa kau ada benda seperti itu bersamamu?" tanyanya lagi. Dokyeom menyengir tipis.

"Aku selalu memakai ini saat memeriksa dokumen-dokumenku dan juga sebelum operasi aku akan menjepit poniku lalu memakai penutup rambut."

Hoshi tertawa kecil melihat keunikan Dokyeom. Dokyeom menyimpan penjepit rambutnya .

"Ayo, aku akan mengantarmu pulang. Mulai sekarang, kau harus menyimpan nomor ponselku dan menjadikannya nomor darurat pertama." Tangan Dokyeom meraih tangan Hoshi dan menggenggamnya erat.

.

.

.

.

.

.

.

.

Mingyu yang baru selesai mandi, keluar dari kamar mandi seraya mengeringkan rambutnya. Ia menghela napas saat melirik jam dinding yang ada di kamarnya. Sudah hampir jam 3 pagi. Saat ia berjalan ke meja riasnya dan hendak meraih hairdryer, ia menghentikan gerakannya.

"Ah!" Namja tampan itu lalu meraih hairdryernya lalu keluar dari kamarnya dan kemudian masuk ke dalam kamar Wonwoo. Sudah ia duga, Wonwoo telah mematikan lampunya.

Wonwoo yang tengah berbaring mengernyit tidak suka saat lampu kamarnya tiba-tiba dihidupkan. Ia dengan segera mendudukkan dirinya dan menatap Mingyu dengan mata yang disipitkan. Cahaya lampu sangat menusuk matanya yang terasa sangat lelah itu.

"Ya! Bagaimana bisa kau tidur dengan rambut basah begitu? Kau bisa sakit. Kau bisa masuk angin dan kepalamu akan terasa sangat sakit besok." Mingyu berjalan mendekati Wonwoo lalu menarik tangan Wonwoo yang hendak kembali berbaring.

"Aku sangat lelah dan ngantuk, tidak bisakah kau biarkan aku tidur saja?" tanya Wonwoo memejamkan matanya.

"Tidak."

Wonwoo berdecih mendengar penolakan dari Mingyu.

Mingyu berdiri di samping kasur, tepat di samping Wonwoo yang tengah duduk seraya memejamkan matanya. Mingyu mencolokkan hairdryernya ke stop kontak dan menyalakannya. Ia mulai mengeringkan rambut Wonwoo, sedangkan rambutnya sendiri masih basah.

Wonwoo hanya duduk diam dan terangguk-angguk, ia tertidur. Beberapa detik kemudian, matanya terbuka dengan perlahan dan melirik ke arah samping dengan kesal saat mendengar sesuatu.

"Aww, manis sekali dia. Di mana lagi bisa kutemukan namja seperti dia?" Baekhyun duduk di samping Wonwoo seraya menggigit jari tangannya.

"Hatiku… Aku tak sanggup. Dia terlalu gentle! Aku rasanya seperti akan mati melihat setiap perlakuannya." Baekhyun memegang dada sebelah kirinya.

"Mati saja kau," bisik Wonwoo pelan, kesal dengan sikap Baekhyun yang dramatis sekaligus terkesan mengejeknya itu.

Baekhyun mendengus kesal. "Aku juga ingin mendapatkan perlakuan gentle itu, setidaknya sebelum aku meninggal," gumamnya.

Nguuuungg!

Hanya suara hairdryer itulah yang mengisi ruangan kamar milik Wonwoo itu. Beberapa detik kemudian, Mingyu mematikan pengering rambut itu dan mencabut kabelnya. Ia meghela napasnya lagi-lagi.

"Sudah, tidurlah," ucapnya seraya berjalan menjauh.

"Tapi rambutmu masih basah." Wonwoo menunjuk rambut Mingyu.

"Aku bisa mengurusnya sendiri." Mingyu meletakkan tanganya di sakelar lampu. Wonwoo hanya menganggukkan kepalanya kemudian berbaring dan menyelimuti dirinya.

"Selamat malam," ucap Wonwoo. Mingyu hanya bergumam sebelum akhirnya mematikan lampu kamar Wonwoo dan beranjak dari kamar namja itu. Baekhyun yang duduk di kasur Wonwoo dengan lutut yang ditekuk bergumam pelan,

"Jaljayo."

.

.

.

.

.

.

Mingyu membuka matanya dengan malas. Ia menguap lebar sebelum akhirnya mendudukkan dirinya dengan terpaksa. Sengantuk apapun ia, ia harus memaksa matanya untuk terbuka dan mulai bersiap untuk pergi kerja. Ia memejamkan matanya sejenak sebelum akhirnya kembali membukanya dengan malas. Ia beranjak dari ranjangnya dan berjalan ke kamar mandinya.

Namja tampan itu menghentikan langkahnya saat tidak sengaja melewati meja riasnya. Ia mendekati kaca yang ada di meja riasnya dan melebarkan matanya.

"Apa ini?!" Ia menyentuh bawah matanya yang terlihat sedikit hitam.

"Kenapa ada panda di kaca ini?" Ia menyentuh kacanya masih dengan mata setengah terbelalak. Ia mendengus malas kemudian melanjutkan jalannya ke kamar mandi.

"Aku bisa gila. Wajahku jadi jelek," gumamnya seraya menutup pintu kamar mandinya.

Setelah beberapa menit berada di dalam kamar mandi, untungnya Mingyu tidak tertidur di dalam dan berhasil keluar dengan wajah yang setidaknya tampak lebih cerah daripada beberapa menit yang lalu. Ia mencari kemeja yang ingin ia pakai hari ini. Karena hari ini adalah hari ngantuknya, ia ingin memakai warna yang soft dan yang setidaknya mampu membuat harinya sedikit cerah. Ia memilih warna soft pink.

"Hoammm!" Mingyu menguap lebar saat ia membuka pintu kamarnya. Ia berjalan ke arah dapur dan mulai mengambil sekotak besar susu di kulkas dan gelas kaca. Ia duduk di meja makan dan mengambil selembar roti tawar dan memilih selai strawberry.

Kunyah, kunyah dan kunyah, lalu meminum habis susunya. Ia melirik jam dinding di dapurnya. Sudah hampir jam 8, dan Wonwoo masih belum bangun? Yahh, namja itu pasti sangat lelah dan mengantuh hingga tidak bisa terbangun. Tapi setidaknya, ia harus tahu apakah namja itu ingin pergi ke café atau tidak, jika tidak, ia akan berangkat sendirian.

Dengan malas, Mingyu masuk ke dalam kamar Wonwoo setelah sebelumnya mengetuk pintu kamar namja itu. Setelah semalam beberapa kali lupa mengetuk pintu kamar Wonwoo, sekarang ia mulai membiasakan dirinya untuk mengetuk kamar yang seebelumnya kosong kini telah berpenghuni itu.

"Wonw-" Ia menghentikan panggilannya saat melihat Wonwoo menutup seluruh tubuhnya dengan selimut tebalnya. Ia mengernyit lalu melangkah mendekati Wonwoo. Ia menarik selimut itu dan menemukan wajah pucat Wonwoo yang bibirnya tengah bergetar pelan.

Mingyu tidak bodoh, ia adalah seorang dokter, ia tahu apa yang terjadi pada Wonwoo hanya melihat dari wajah pucat dan tubuh menggigil Wonwoo. Ia berdecak pelan saat melihat pendingin ruangan di kamar ini masil menyala sedangkan suhu di ruangan ini sudah sangat dingin. Ia dengan segera mematikan pendingin ruangan itu dan kembali menyelimuti Wonwoo sebatas leher.

"Ya! Badanmu sangat panas." Mingyu menyentuh kening dan leher Wonwoo. Ia kembali berdecak.

"Ini semua karena kebodohanmu menolong hantu," gumamnya. Ia dengan segera berlari keluar kamar untuk mengambil mangkuk besar dan handuk kecil , ia juga tidak lupa mengambil air minum dan fever cool pack. Setelahnya ia kembali ke dalam kamar Wonwoo.

"Wonwoo hyung?" panggil Mingyu. Ia dengan segera mengompres kening dan leher Wonwoo. Wonwoo melenguh. Namja itu hanya menolehkan kepalanya ke kiri dan kenan pelan, kepalanya terasa sangat sakit dan pusing. Ia bahkan tidak mempedulikan siapa yang tengah mengompresinya saat ini.

Setelah selesai mengompresi Wonwoo, Mingyu menempelkan fever pack ke kening namja itu. Memang kesannya seperti anak kecil, tapi setidaknya itu bisa membuat panasnya reda.

"Jeon Wonwoo," panggil Mingyu. Wonwoo membuka matanya dengan perlahan sejenak sebelum akhirnya kembali memejamkan matanya. Mingyu kembali menyentuh leher Wonwoo. Ia melirik jam dinding di kamar Wonwoo lalu menghela napasnya. Ia merogoh sakunya dan mengambil ponselnya.

"Halo, kepala Jang, ini aku Kim Mingyu. Hari ini aku tidak bisa ke rumah sakit. Ada hal penting yang harus aku urus. Ya, ya, semua pasienku alihkan saja kepada Seungcheol hyung. Dia sudah menyetujuinya. Ne, terima kasih." Mingyu mendengus pelan.

"Kau membuatku mengurus adikmu yang aneh ini, sepertinya membuatmu mengurus semua pasienku hari ini bukanlah masalah besar, Seungcheol hyung." Tampak senyum jahil di wajah tampan Mingyu sejenak sebelum akhirnya ia kembali mengalihkan perhatiannya pada Wonwoo.

"Kau harus minum obat, hyung." Mingyu mengamati wajah pucat Wonwoo sejenak lalu menyisir rambut Wonwoo yang sedikit menutupi keningnya. Sedetik kemudian, namja tampan dan tinggi itu berdiri dan beranjak ke dapur. Sebelum minum obat, setidaknya Wonwoo harus memakan sesuatu.

Beberapa puluh menit berkutat di dapur, Mingyu akhirnya membawa semangkuk bubur panas ke dalam kamar Wonwoo. Ia bahkan tidak sempat mengganti kemeja kerjanya. Ia meletakkan mangkuknya di meja nakas lalu memanggil Wonwoo,

"Hyung," Ia menggoyangkan lengan Wonwoo pelan. Wonwoo mengernyit lalu membuka matanya perlahan. Ia menoleh pada Mingyu dan menatap namja itu dengan tatapan sayunya. Lagi-lagi, sebuah suara cempreng menyapa telinga namja berwajah pucat itu.

"Jeon Wonwoo! Jangan mati dulu! Aku di sini bersamamu bukan untuk mencari teman mati bersama. Kau harus hidup, Jeon Wonwoo!" Baekhyun menatap Wonwoo khawatir. Namja itu semalaman sangat khawatir melihat Wonwoo yang tampak tidur dengan tidak nyaman itu.

Wonwoo tidak mampu mengernyit, tapi ia benar-benar pusing mendengar Baekhyun yang sebenarnya berniat mendukungnya, tapi sebenarnya juga dukungan namja roh itu tidak terlalu menyenangkan di telinganya. Ia juga tidak ingin meninggal hanya karena kehujanan dan demam.

"Aku sudah membuatkanmu bubur, aku baik, 'kan?" tanya Mingyu. Ia lalu menggelengkan kepalanya.

"Ah, tidak. Bukan itu masalahnya sekarang. Kau harus makan sedikit sebelum minum obat. Ayo duduk." Mingyu membantu Wonwoo yang berusaha untuk duduk.

Mingyu duduk di tepi ranjang menghadap Wonwoo yang telah berhasil duduk bersandar pada kepala ranjang. Baru sedetik Wonwoo duduk, namja itu terhuyung ke arah kanan. Mingyu dengan segera menangkap tubuh Wonwoo dan menegakkannya kembali. Wonwoo menatap Mingyu dengan mata sayunya. Sedetik kemudian, ia kembali terhuyung ke arah kiri. Lagi-lagi Mingyu menangkap tubuh kurusnya.

"Kau ini apa? Seperti tidak bertulang saja," ucap Mingyu. Wonwoo berdecak.

"Aku pusing sekali, kepalaku sakit. Lihatlah, bahkan kau saja terlihat seperti memiliki dua kepala," jawab Wonwoo pelan. Mingyu menghela napasnya. Ia mengambil gelas Wonwoo dan mengarahkan sedotannya ke bibir kering Wonwoo untuk diminum.

Setelahnya, Mingyu mengambil mangkuk berisi bubur itu dan hendak menyuapkan bubur itu ke mulut Wonwoo. Belum sampai sendok itu di bibir Wonwoo, Wonwoo kembali terhuyung ke samping. Mingyu menangkap tubuh Wonwoo dengan tangan kirinya. Ia menghela napasnya dan meletakkan mangkuknya kembali ke meja nakas.

"Tidak ada pilihan lain," gumamnya. Ia lalu menarik Wonwoo untuk sedikit memajukan duduknya. Ia lalu berpindah dan duduk di belakang Wonwoo. Kedua kakinya terbuka dan berada di samping kiri dan kanan Wonwoo. Setelahnya, ia membiarkan Wonwoo bersandar di dadanya. Dengan posisi begini, Wonwoo tidak akan terhuyung lagi. Tapi… Posisi seperti ini sedikit aneh bagi Mingyu, tapi ia tepis rasa awkwardnya dan mulai menyuapi bubur panasnya pada Wonwoo.

"Ah!" Wonwoo menjauhkan kepalanya sedikit saat bibirnya menyentuh bubur panas itu.

"Tidak bisakah kau meniupnya?" tanyanya lirih.

"Ah, maaf." Mingyu meniup bubur yang ada di sendoknya pelan sebelum kembali menyuapkan bubur itu kepada Wonwoo. Setelah beberapa suap Wonwoo makan, tersenyum tipis lalu ia berucap pelan,

"Buburmu enak."

Saat ini kepala Wonwoo bersandar di pundaknya. Peran Mingyu di sini seperti kursi hidup untuk Wonwoo, sayangnya tidak terlalu empuk namun rasanya sangat hangat.

Mingyu tersenyum tipis.

"Kau merepotkan."

.

.

~TBC~

.

Hello hello, kesayangan~! Puas gak sama chapter ini? Chapter ini khusus untuk meanie moment. Dan bersamaan dengan comebacknya Wonwoo di Shining Diamond Concert yang penuh dengan Meanie moment, hari ini adalah harinya Meanie Shipper~ #tebarkolorDino

Maaf kalau chap ini belum ada konflik Sohyun, ini udah chap berapa?! Dan masalah Sohyun masih belum kelar?! Ya amplop! Alur author lambat banget #pingsan

Dan ini chapter terpanjang di Sixth Sense hihihihi dan maaf kalau ada typos #bow

Ohya, lagu yang dinyanyiin DK, Childlike itu lagu kesukaan author hehehe dan lagunya ballad banget sumpah, mellow banget, cocok buat lullaby. Yang pengen tau arti dari lagu yang dinyanyiin DK, ini untuk kalian

Childlike –John Park

After I standing in front of a tightly shut door for a long time

I turned my footsteps around and walked away

I bit my lips and promised myself several times but I couldn't hold ini my flowing tears too

Trying to love ypu was wrong

I am a fool, who didn't know my place

Compared to you, who is surrounded by high walls

I'm a senseless person, who doesn't have anything

You and I –Hong Dae Kwang

It's so strange, living life

It's like an unsolvable problem

You and I, just like how we met

Sometimes, it is unknown

I'm drawing you out

These moments right now

What do they mean to you for me and to me for you?

I will become a comfort without a sadness for you

Remember, I'm always here

Terima kasih sebanyak-banyaknya buat readers dan reviewers author tercinta, terima kasih karena sudah mau membaca fanfic yang sebenarnya kurang sempurna ini. Terima kasih banyak *bow* :D

Byunki, utree, Arlequeen Kim, exoinmylove, synnn, BumBumJin, monwii jeonwii, Kkamjongmin, equuleusblack, tfiy, wanUKISS, AlbinoHun, XiayuweLiu, hamipark76, byeons, Karuhi Hatsune, Beanienim, Maharani.s, fvcksoo, mingyu, shinhy, zahra9697, tyneeee, Rie Cloudsomnia, Gyurievil, Firdha858, aprilbunny9, itsathenazi, Jeon220, Itsmevv, lulu-shi, Siti254, Khasabat04,boobeepboo, Mbee, restypw, kimbapchu, Ara94, Gigi onta, putrifitriana177, 11234dong, Zizisvt, aestas7, kookies, PeriWortel13, KimAnita, SheravinaRose, jihokr, hysesar17, Yamada Kim Naho-chan, Mra. EvilGameGyu, A'yun BabyMeanie, chanieyeo, Jiminnie Dongsaeng, yehet94,

Makasih buat review kalian yang sangat mendukung, review kalian selalu menjadi kekuatan author buat perkembangan ff ini. *bow*

Jangan ada silent readers yah readers tercintah~ *tebar kecup basah* XD

Okedeh, akhir kata dari author untuk chap ini,

Review, please~? ^^

Gomawo *bow* m(_ _)