A/N: agak panjang. Tapi akhirnya kita tahu rencana Gakushuu. enjoy!

Pukul delapan pagi lebih sedikit, Karma terbangun dengan pipi menempel pada keyboard laptop. Melodi lagu ending web series yang ia tonton kemarin malam masih terngiang di telinga.

Kamar tidurnya terasa seperti lemari es, dan hal itu membuat Karma semakin malas beringsut lepas dari lilitan selimut yang membungkus tubuh. Kemungkinan besar ia akan terus meresapi peran sebagai Buritto Hidup sampai pukul duabelas, seandainya ia tidak teringat Asano beserta simmered au lait yang dijanjikannya.

Tangan kanan Karma meraba nakas, mencari ponsel. Alarm-nya sudah mati sejak sejam yang lalu, dan sekarang berada dalam mode snooze. Karma tersenyum kecil. Panel notifikasi menunjukkan berbagai pesan selamat ulang tahun dari Nagisa, Nakamura, dan beberapa anak kelas 3-E lainnya. Yang paling tepat waktu tentu saja Ritsu—terkirim 00:00 dan akurat sampai ke satuan milisekon—sesuai ekspektasi sih, dia itu kan Automaton. (Ucapan Ritsu disertai catatan bahwa sebagai hadiah, ia sudah memanipulasi jaringan internet Karma dan selama seminggu ia bebas menjelajah web dengan kecepatan 7 Gbps.)

Sementara dalam pesan Nagisa, terlampir sebuah foto menampilkan Nagisa sendiri, ibu, dan ayahnya, yang tampak sedang berlibur. Keluarga kecil itu tampak begitu bahagia.

Satu jam kemudian Karma telah mengirim pesan balik kepada semua orang, dengan struktur kalimat sama persis dan perbedaan satu-dua kata. Ia beranjak menuju kamar mandi, dilatarbelakangi suara televisi yang sengaja dibiarkan hidup. Rambut merah menyala miliknya masih lembap selama ia berpakaian, mematikan listrik, lalu melintasi ruang tamu. Akan tetapi, ketika tangannya hendak memutar kenop pintu, segala sikap santainya dalam menjalani pagi ini mendadak menjelma jadi ragu-ragu.

(Di beranda rumah—

nihil.)

Terpaan angin Desember langsung menusuk kulit begitu ia menjejakkan kaki ke luar rumah. Sesuatu terasa mengganjal di tenggorokan dan sesaat dada Karma sesak. Ia merapatkan jaket.

Butuh waktu sepuluh menit jalan kaki untuk mencapai stasiun. Begitu tiba di sana, pandangan Karma langsung jatuh kepada seorang lelaki bersyal kotak-kotak dengan seringai penuh kemenangan menghiasi raut angkuhnya.

"Tampaknya aku tiba lebih dulu, Akabane," tandas Gakushuu puas, lagaknya seperti baru memenangkan lomba marathon. Pasti si kampret ini miskomunikasi. Padahal pada pertemuan mereka hari ini jelas-jelas tidak ada unsur kompetisi, apalagi yang kategori marathon.

"Selamat ya, aku yakin kau juga akan tiba di Neraka lebih dulu."

Gakushuu cemberut. Ia tertawa kering. "Ha-ha. Well, ini iblisnya memang sudah di depan mata."

Karma menyeringai menanggapi sarkasme Gakushuu. Baru hendak membalas, tanpa aba-aba cowok pirang itu tertawa tertahan sampai bahunya bergetar hebat.

Karma mengerutkan dahi. "Kenapa tertawa?"

"Pfft, ulang tahunmu hari ini. Kau, iblis ini. Bertepatan dengan kelahiran tokoh religius yang dianggap suci bagi sebagian orang." Gakushuu kesulitan merangkai kata di antara gelak tawa. "Dunia ini ironis!"

Kerutan di dahi Karma yang tadinya sedalam Grand Canyon, melesak makin dalam menjadi Palung Mariana. "Ingatkan aku lain kali kalau ada gadis yang bertanya, Asano-senpai itu yang 'tampan dan punya selera humor buruk'." Ia menarik ujung syal Gakushuu. "Yuk. Simmered au lait, ingat. Aku kedinginan."

Lehernya dicekik pelan, tawa Gakushuu langsung berhenti. Siapa suruh pakai baju tipis, batinnya jengkel sambil merenggut syalnya kembali dengan kasar. "Ngomong-ngomong, jaga jarak, Akabane. Jangan terlalu dekat. Nanti orang menganggap kita kencan."

Pesanan mereka tiba tidak lama setelah mereka memasuki kafe yang dilengkapi pemanas. Karma mengerling cangkir Gakushuu sinis. Si pirang itu sok macho dan bersikeras memesan espresso pekat. Ia menyesap sekali dan hidungnya otomatis mengerut janggal.

Karma tertawa. "Lihat, sepahit dirimu. Cocok sekali."

"Diam kau, Akabane." Gakushuu menyesap lagi, kali ini ekspresinya lebih netral. "Anyway. Orangtuamu tidak keberatan kau pergi begini? Maksudku, ini hari Natal dan ulang tahunmu…"

"Nggak. Mereka lebih sering bepergian daripada berada di rumah, lagipula." Entah mengapa matanya menolak menatap langsung netra violet itu. Karma segera mengganti topik, tidak menyia-nyiakan waktu. "Bagaimana dengan Asano-san?" Seulas seringai nakal. "Atau aku baru saja menyentuh topik sensitif?"

"Bukan sensitif. Tapi tidak layak dibicarakan."

Nada Gakushuu lebih tajam dari perkiraan Karma. Keduanya terjebak senyap selama beberapa saat—hingga akhirnya Gakushuu, yang menyadari perbuatannya, dengan canggung meraih sesuatu dari kantung dalam jaket. "Oh ya, hadiahmu."

Rupanya hadiah itu kaset video game, sekuel dari seri populer yang baru keluar bulan ini. Keren juga seleranya, pikir Karma. Visualisasi Gakushuu, memasuki toko game dengan tampang tidak tertarik dan langsung meminta barang paling mahal yang dijual sana, otomatis menginvasi benaknya.

"Wow, trims."

"Bukan apa-apa. Kuharap kau asyik main game, lupa belajar, dan turun ke peringkat lima."

Karma mendengus geli. "Tetap, trims." Dicermatinya kaset itu, kemudian ia tersentak menyadari sesuatu. "Ehm, ini bukan balas budi karena kue yang kuberikan padamu tahun lalu itu, kan?"

Januari tahun lalu, begitu tahu bahwa Gakushuu berulang tahun, Karma mencuri cupcake dari Klub Memasak. Cupcake itu sebenarnya produk gagal, gosong sana-sini, dan dihias dengan icing sedemikian rupa. Niatnya membuat sebal Gakushuu, tetapi kalau ternyata ia menghargai itu, itu sepenuhnya di luar kuasa Karma.

"Ya. Tidak. Tak ada bedanya." Jika Karma tidak salah lihat, telinga Gakushuu memerah. "Terima saja, oke?"

Karma tersenyum, menyimpan pemberiannya hati-hati, kemudian melirik Gakushuu riang. "Kau ingin kubelikan apa satu Januari nanti?"

"Tak usah. Aku punya rencana yang lebih menarik." Gakushuu tampak menimbang-nimbang sejenak. Lalu ia memelankan suara, sembari memperkecil ruang di antara mereka. "Kuberi tahu sebuah rahasia: di hari ulang tahunku, aku mau menggugat Asano Gakuhou ke pengadilan."

Sebentar.

Otak cemerlang Karma macet. Tahun baru. Satu Januari. Ini kan? Hal yang dicari Gakuhou? Tidak disangkanya akan semudah ini membuat Gakushuu membeberkan rencananya. Ya ampun.

Susah payah Karma mempertahankan poker face. "Bukannya sudah kau lakukan waktu kelas satu? Kau kalah."

Ekspresi Gakushuu berubah kecut. "Itu berbeda. Tuntutannya penganiayaan anak. Akabane, tahun depan umurku delapan belas. Legal untuk bekerja sendiri. Rencanaku sempurna, tapi tidak mudah. Aku akan melepas hak kepengurusannya atas aku, bekerja di perusahaan lawan untuk menjatuhkan semua asetnya—aku tahu banyak rahasia—dan bebas." Matanya berkilat.

Siapapun yang berada di tahun yang sama dengan Gakushuu akan tahu betapa kentalnya keretakan di antara pasangan bapak-anak itu. Memang kedua lipan itu sama buruknya, menurut Karma. Namun, kali ini sikap Gakushuu berbeda. (Terlalu matang. Terlalu serius. Terlalu menginginkan hal itu terjadi.)

"Kukira kau mau dia jadi penghangat sandalmu?"

Sikap ini menganggu.

Derai tawa Gakushuu pecah. "Itu impian lama yang dangkal."

Tidak—

Karma mengangkat bahu se-kasual mungkin. "Kalian lebih mirip daripada yang kau kira. Dia tetap ayah kandungmu, lho?"

Seperti—

"Aku bukan pria itu," saat Gakushuu berkata begitu, ekspresinya keras dan sukar dibaca. "Satu hal lagi: dia bukan ayahku."

ini.


"Selamat sore, Akabane-kun."

Sekejap cuaca bersalju di luar seolah pindah ke dalam peron. Intonasi itu, mana mungkin ia lupa. Kalian pun, misalkan pernah, juga tidak akan bisa melupakan suara seseorang yang menodai kalian dengan cara menyekap lalu membuat kontrak sepihak. Karma menoleh kanan-kiri. Gakushuu sudah naik kereta dengan arah berlawanan hampir sepuluh menit yang lalu.

Harusnya ketika menerima panggilan dari nomor tak dikenal tadi, Karma mengabaikannya saja.

"Asano-san. Berapa peraturan yang Anda langgar untuk mendapatkan nomor saya?"

"Semua nomor dalam jaringan tercatat di database operator telepon."

"Dan saya yakin ada peraturan yang menegaskan bahwa nomor-nomor itu privasi masing-masing pelanggan yang dilindungi hukum."

"Toh privasi adalah ilusi semata," balas Gakuhou tak acuh. Karma dapat membayangkan sang Asano senior menyentak ringan pergelangan tangan, memamerkan Rolex seri terbaru. "Yang lebih penting, progress-mu."

Kalimatnya membuat Karma naik pitam. Pertama, Gakuhou bersikap seolah Karma ini budaknya, atau minimal Gakushuu (budak dengan hubungan darah). Kedua, fakta bahwa status eksklusif Gakushuu tak lama lagi bisa tinggal "budak" saja, tanpa embel "hubungan darah", tak lain tak bukan akibat perlakuan seperti ini.

Karma harap Gakushuu diberi penghargaan—itu anaknya yang hendak menuntut dia, tetapi malah Karma yang gusar.

"Saya kira jika Anda cukup tangguh untuk menemukan nomor saya, Anda tidak butuh saya dalam mencari tahu urusan remeh putra Anda sendiri," cemooh Karma.

"Kau tidak punya hak ataupun kemampuan untuk memutuskan, sadar tidak?"

"Saya bukan pesuruh Anda."

Gakuhou mendesah. "Jadilah anak baik dan laporkan saja, Akabane-kun. Aku tahu kau cukup licik untuk menyelesaikan hal ini dalam dua hari."

Mestinya ini gampang: berikan informasi, lalu putuskan semua relasi. Jadi entah apa yang merasuki Karma, sebab kalimat yang keluar dari mulutnya justru;

"Hei Asano-san. Anda benar ayah kandung Asano-kun, kan?"

Hening. Barangkali Gakuhou menyangka ia gila, atau malah jadi curiga, tetapi tiba-tiba pria itu kembali berbicara.

"Aku suami ibunya. Membesarkan dia. Gurunya." Jeda sesaat. "Tapi 'ayahnya'... itu konsep yang kelewat kabur. Kami tidak pakai kosakata itu."


Pada malam hari, Karma sedang berbaring dengan console di tangan dan baru saja berhasil memasuki level boss battle saat ponselnya bergetar. Ia bernapas lega karena datangnya bukan dari raja lipan tertentu—meskipun hal itu hanya berlangsung sedetik.

From: tousan

Subject: janam din mubarak

Attachment(s): 2

Sudah lihat hadiahnya? Kau suka?

Gakuhou bukan tipe pria pemberi ancaman kosong, Karma tahu. Sebelum ia benar-benar melaporkan rencana Gakushuu kepada sang kepala keluarga Asano, semua kiriman kedua orangtua Karma tidak akan pernah jatuh ke tangannya sampai batas waktu tak ditentukan.

Namun biar bagaimanapun, Karma bukan anjing pelacak pribadi Gakuhou. Ia mampu membuat keputusan tanpa campur tangan orang lain. Dan apabila taruhannya cuma hadiah ulang tahun semata, Karma sudi menunggu, sebab sekalipun ia enggan dan jelas dirugikan, pilihan si lipan itu—kedua lipan itu—tetap saja agak…

"Dia bukan ayahku." "Kami tidak pakai kosakata itu."

Karma menampar diri sendiri. Komatta na! Kenapa aku jadi sentimental? Jangan-jangan Gakuhou bukan cuma menculik, tapi sekaligus menghipnotisnya.

To: tousan

Subject: re: janam din mubarak

Sudah. Terima kasih! Semoga perjalanannya menyenangkan.

Kursor caret navigation berkedip berulang kali, timbul tenggelam menuntut supaya "white lie"-nya segera diselesaikan.

nb. kalian pulang ke Jepang nggak tahun de

Ibu jarinya membeku, tertahan setengah senti dari layar sentuh.

Undo typing?

(Yes)

Karena merasa pertanyaan tersebut sebenarnya punya respons mutlak (persis seperti tahun lalu, juga tahun sebelumnya lagi), Karma buru-buru memencet tombol "kirim" sebelum tergiur untuk berubah pikiran.

to be continued...