A/N: Setelah sekian lama...

Dibesarkan dalam sebuah manor berukuran masif membuat Gakushuu kehilangan rasa tertarik kepada film horor sejak dini. Padahal, kediaman raksasa keluarga Asano tersusun atas serangkaian lantai marmer dingin, cermin di setiap sudut, serta kamar tamu yang tidak ditempati selama bertahun lamanya. Saking luasnya, misalkan seseorang dibunuh di perpustakaan pribadi, niscaya seluruh penghuni rumah tak akan menyadari kematiannya sampai tercium bau anyir khas cairan tubuh yang membusuk.

Tidak satu pun hal di atas menggoyahkan nyali Gakushuu—tetapi ironisnya, justru sepatah kata yang menyambutnya saat ia memasuki ruang tamu membuat pemuda itu berjengit dan hampir kena serangan jantung.

"Okaeri."

Pada salah satu (ya, ada lebih dari satu) sofa kulit, Gakuhou duduk dengan kaki bertumpu di atas meja kopi kayu eboni. Ekspresinya terjaga, pria itu memindai Gakushuu teliti dengan senyum yang ia tahu persis akan membuat putranya tidak nyaman.

Gakushuu mengangkat dagu perlahan. Sorot matanya tenang walau hatinya belum tentu sama situasinya. "Kupikir Anda rapat bersama para pemegang saham malam ini?"

"Tadinya begitu," terang Gakuhou sembari melipat koran berbahasa Inggris yang sebelumnya sedang dibaca, "tapi rupanya cuaca sedang sangat buruk di Utara. Penerbangannya delayed."

Pemegang saham yang bekerjasama dengan sang multi-millionaire berasal dari berbagai penjuru Jepang—bahkan dunia. Apabila satu dari segelintir petinggi itu tidak mampu hadir, rapat tidak boleh diselenggarakan, kecuali pada keadaan darurat.

Lelaki yang lebih muda tak sungkan membiarkan intonasi mencemooh mengambil alih. "Pasti berat bagimu bahwa di semesta ini masih ada hal yang tidak mampu Anda kontrol sesuka hati, ya. Meskipun hal itu adalah kejadian natural semisal cuaca."

"Masih banyak yang perlu kau pelajari, Asano-kun. Walaupun dunia tidak bisa aku kendalikan seratus persen, ada banyak hal lain yang bisa—dan hasil akhirnya sama saja. Kalau aku mau, semua penerbangan akan tetap dilakukan biar bagaimana pun cuacanya. Tapi tidak. Karena aku lebih bijak daripada itu." Gakuhou melempar kerlingan culas. "Tentu saja kau tidak mengerti."

"Kalau saya mengerti, tentunya saya sudah menjadi entreprenur hebat seperti Anda dan sudah mengambil alih seluruh kekayaan Anda, ya?" Gakushuu menyindir.

Gakuhou menanggapi ucapan putranya dengan seulas senyuman dingin. "Kalau kau kira semudah itu, maka kau benar-benar masih harus menunggu seratus tahun lagi untuk merealisasikan impian dangkalmu."

"Jaga kesehatan Anda selalu. Saya sungguh tak sabar untuk segera melihat wajah Anda di bawah sepatu saya."

"Terima kasih," balas Gakuhou tenang, "aku juga begitu bersemangat menunggu saat kau menyerah dan tertunduk depresi, fufu."

"Ahahaha…"

Pasangan bapak-anak itu tergelak halus berbarengan dalam ruangan yang sebaliknya hening. Cara mereka tertawa santun, beretika, dan penuh perhitungan, walau tak akan luput bahwa nyatanya berdiri sebuah dinding kaca tak kasat yang memisahkan keduanya.

Tawa mereka berangsur reda. Gakushuu belum bergerak sesenti pun dari posisinya semula, Gakuhou masih duduk dengan tungkai bersilangan. Pria yang lebih tua itu mengangkat tangannya untuk menopang dagu, dan tepat bertanya ketika Gakushuu hendak berbalik pergi.

"Dengan siapa kau pergi barusan?"

Gakushuu mengerutkan hidung. Ia tahu, semakin lama ia tak menjawab, semakin lebar pula seringai mencemooh sang ayah.

"Bukan urusan Anda," tuturnya pedas.

"Oh, jadi kau punya seorang kekasih sekarang."

Si Asano muda spontan mendesis. Pipinya memerah meskipun ia tak akan sudi mengakui hal itu. "Tidak, aku—" ia kembali menghadapi Gakushuu, yang tengah menatapnya lekat-lekat penuh ekspektasi. "Akabane. Aku keluar bareng Akabane."

"Hm, itu siapa ya."

Gakushuu makin kesal. Bohong besar. Mana mungkin Asano Gakuhou yang "maha sempurna" melupakan nama begitu saja. Perbuatannya itu jelas disengaja.

"Kau tahu," rahang Gakushuu mengeras, "siswa yang katanya jenius, tapi berada di kelas E waktu SMP dulu."

Dengan gaya berlebihan Gakuhou memiringkan kepalanya main-main. "Aa, tentu saja. Mana mungkin aku lupa. Si peringkat pertama."

"Ya. Sekarang, permisi, Pak Direktur."

Gakushuu melesat menaiki tangga menuju kamarnya di lantai atas, dan selama perjalanan itu pula ia mampu merasakan mata Gakuhou mengikuti pergerakannya. Napas pemuda itu berderu, jantungnya berdegup kencang karena jengkel. Sayang sekali, padahal kalau ia tidak terlalu terbakar emosi dan lebih jeli, Gakushuu akan sadar bahwa tadi sang ayah sengaja meletakkan koran untuk menutupi ponsel yang baru ia pakai untuk menghubungi Karma.


Menurut Karma, raut yang dipakai Gakushuu saat menerima tamu bisa membuat bahkan kuchisake onna yang mampir ke kediamannya lari ketakutan.

Karma mengernyit. "Bisa nggak kau berhenti menatapku seakan aku ini salesman wajan teflon?"

Si lipan junior bahkan tidak tersenyum. "Tidak. Aku menatapmu seakan kau baru kuinjak lalu kutemukan menempel di bawah sol sepatu."

"Duh. Melodramatis."

Lelaki berambut merah itu menepis Gakushuu ke samping tanpa aba-aba, dan sementara sang Asano muda terhuyung mencari keseimbangan, ia melangkah masuk, bergaya seolah itu rumahnya sendiri. Dengan sengaja tidak melepas sepatu terlebih dahulu sesuai etika.

Gakushuu menggeleng pasrah, dibiarkannya Karma melenggang tak tentu arah. "Aku akan lebih senang kalau kau menelepon sebelum berdiri tepat di depan gerbang, kau tahu. Bagaimana jika dia ternyata masih berada di sini?"

Sebagaimana seharusnya seorang tamu yang memegang teguh norma, Karma membiasakan diri untuk selalu menghubungi pemilik rumah yang hendak ia kunjungi. Akan tetapi, Karma cerdik. Guna meminimalisasi kemungkinan ditolak mentah-mentah oleh si empu rumah, ia menelepon Gakushuu tepat di hadapan CCTV yang terpasang di pagar manor Asano. Sudah begitu pun, tadinya Gakushuu menolak, hingga akhirnya tunduk setelah Karma mengancam akan mempereteli gembok.

"Aku belum pernah ke sini," Karma berkomentar sambil berkeliling menginspeksi ruang tamu. "Rumahmu besar, ya."

Gakushuu tak acuh. "Mm."

"Kau enggak ngeri ditinggal sendirian begini? Kalau tiba-tiba keluar hantu, bagaimana? Hantu yang suka makan anak kecil."

Si strawberry-blond mengangkat sebelah alis. "Aku kan bukan anak kecil, Akabane."

"Makin besar justru hantunya makin kenyang."

Langkah Karma berhenti dekat sofa empuk, lalu pemuda itu menjatuhkan tubuhnya di sana. Kedua kaki ia silangkan di atas meja. Melihat hal tersebut, Gakushuu menggelengkan kepalanya sebal. "Dasar tamu tak diundang. Jangan harap aku bersedia menawarimu minum atau apa."

Karma berkedip santai. "Tidak apa-apa, nanti aku ambil sendiri dari kulkas."

Lawan bicaranya tambah sewot. "Bukan itu maksud—hah! Lupakan saja!"

Gakushuu berderap menuju tangga. Di belakangnya, Karma mengikuti dengan langkah ringan, dan segera berada di samping si Asano muda. "Jangan sungkan melanjutkan pekerjaanmu hanya karena keberadaanku, lho. Anggap saja aku udara kosong," ujarnya sungguh-sungguh.

Gakushuu menyeringai. "Oke, 'udara kosong' enggak butuh disuguhi minuman, setuju?" Melirik Karma yang otomatis merengut, ia terkekeh kecil.

Lantai dua sedikit lebih sempit dari lantai satu. Dari sana mereka masih mampu melongok ke ruang tamu. Gakushuu melewati rak-rak buku dan grand piano berwarna ivory sebelum sampai di lorong yang menuju kamar tidur. Di ruangan tempat piano tadi berada, sebuah pigura foto keluarga tergantung pada dinding.

Melihatnya membuat Karma dilanda perasaan tak nyaman. Selain dalam foto tadi, ia belum pernah melihat sosok ibu kandung Gakushuu.

"Ngomong-ngomong, pergi ke mana ayahmu?" Karma berceletuk tepat saat Gakushuu menutup kembali pintu kamar pribadinya. Si Asano muda mengernyit tak suka pada kata 'ayah'.

"Entah. Suatu rapat bisnis barangkali." Gakushuu mencermati ekspresi Karma, lalu mengimbuhkan, "dan seandainya kau mulai berasumsi aneh-aneh, ibuku masih hidup, Akabane. Sehat, bahagia, dan bahkan kalau tidak salah sedang menggelar fashion show di New York."

"Oh."

Pastilah Nyonya Asano merupakan seorang wanita yang menawan, apabila putranya saja punya wajah tampan seperti Asano… hush, kenapa pikiranku malah ke mana-mana.

Gakushuu menyalakan laptop. Begitu hidup, layarnya langsung menampakkan browser dengan puluhan tab terbuka berisikan artikel atau video. Penasaran, Karma mendekati lelaki itu.

"Kau sedang apa?"

"Kau tahu," terang Asano dengan nada yang anehnya terdengar bangga, "aku telah menelusuri ratusan persidangan di mana anak mengajukan tuntutan kepada orang tua. Terserah katamu durhaka atau bagaimana, semua kasus kekerasan dan tekanan terhadap anak dimenangkan pihak penuntut!"

Karma meringis. "Uh, ingatlah kalau ayahmu itu tidak seperti ayah pada umumnya."

"Aku juga bukan 'anak pada umumnya'."

"Kau benar-benar serius dalam melakukan hal ini, ya…?"

Gakushuu berbalik badan. Matanya menatap lekat milik Karma dan bibirnya tersungging naik. "Aku selalu serius dalam melakukan apa pun, kau tahu itu, bukan?" Kemudian ia memutar kursi melanjutkan entah apa pada laptopnya.

Sampai pada titik ini Karma rasanya ingin memiting Gakushuu. Ia menangkan diri dalam hati, mengulang kembali alasan-alasan mulianya untuk mencegah pasangan bapak-anak lipan paling keras kepala sedunia ini berseteru. Jangan salah, Karma sebenarnya sangat memihak Gakushuu. Namun, membiarkan Gakushuu menuntut sang Asano senior sama saja artinya dengan membiarkan ia masuk mulut buaya dan dilumat sejadinya.

Setinggi apa pun ego Gakushuu, Karma tahu ia sama sekali bukan lawan Gakuhou. Perseteruan mereka tidak akan menghasilkan apa pun bagi siapa pun.

Lagipula, sebenarnya ada satu hal yang sejak awal Karma curigai dan senantiasa mendongkol dalam benaknya. Hanya saja, agaknya kemungkinan ini selalu tertahan dari lidah Karma tanpa mampu diungkapkan.

Karma memancing lagi. "Menurutmu… ibumu akan oke-oke saja dengan rencanamu—pada dasarnya menistakan hak mereka sebagai orangtua biologis?"

"Menuntut Pak Direktur tidak ada sangkut pautnya dengan ibuku."

"Yeah, tapi dia kan suami ibumu."

"Bukan berarti ayahku."

"Jelas-jelas kalian mirip, duh. Tes DNA sana."

"Aku tidak sudi disamakan dengan dia."

Akhirnya Karma kehilangan kesabaran. "Kalian berdua sama saja, tahu enggak? Manipulatif, senang menyusahkan orang demi kelancaran skenario yang kalian inginkan!"

"Aku enggak—" kalimat Gakushuu menggantung. Lelaki itu mengerutkan kening seraya memandang Karma penuh selidik. "Sebentar. Apa itu barusan?"

Toh sudah basah begini, ya mengapa tidak sekalian saja, pikir Karma sambil merutuk, sementara Gakushuu terus mengawasi. Si chuunihan menarik napas dalam-dalam. "Begini, si 'bukan ayah'-mu itu punya pikiran yang sama gilanya dengan kau, kan."

"Lantas."

"Uh, tapi jangan berprasangka buruk padaku nanti, oke," tutur Karma hati-hati. "Asano-san… bertemu denganku belum lama ini. Dia tahu kau tengah merencanakan sesuatu. Jadi, dia menyuruh aku mencari tahu apa tepatnya plot yang kau buat."

Gakushuu menggertakkan gigi. "Oh, jadi kau resmi jadi anjing baru pria itu?"

"Hei, aku enggak serendah itu. Kalau dipikir-pikir, aku ini ada di pihakmu, Asano-kun. Jadi kalau aku menyarankan, tolong didengar," tolak Karma segera. "Kau tahu segala penuntutan blah blah ini cuma cabang dari ego raksasamu. Ayahmu juga. Simpelnya, kalian konyol."

Pandangan Gakushuu setelah itu lebih dingin dan sinis daripada yang pernah Karma terima sebelumnya. "Rupanya kau belum sungguhan mengenal aku, Akabane. Atau Pak Direktur."

"Kalian bisa bicara baik-baik, dan tada, masalah selesai!"

"Aku," Gakushuu berkata tegas putus-putus, "sudah menunggu untuk 'bicara' selama delapan belas tahun. Setidaknya, di tahun ke delapan belas, kita bisa bicara di pengadilan."

Hening.

Setelah jeda cukup lama, Karma memecah kesunyian dengan nada bosan.

"Akui itu, ayolah."

"Akui apa?!"

Karma mengangkat bahu. "Dalam hati kecilmu, kau enggak benar-benar ingin rencanamu berjalan mulus. Kau mau ia menguak rencanamu. Memvalidasi perbuatanmu…"

Bruk!

Punggung Karma menghantam tembok di belakangnya. Seketika Gakushuu telah berdiri menanungi si lelaki berambut merah, pada matanya tidak ada lagi kepura-puraan yang kerap muncul kala mereka "berseteru". Sebagai mantan petarung handal, sebenarnya Karma bisa saja menyingkirkan Gakushuu dalam satu gerakan—kalau mau. Akan tetapi, entah mengapa tubuhnya tak bergeming. Ia justru memandang balik dengan keras kepala.

"Cukup." Raut Gakushuu kaku.

Kali ini Karma bahkan kehilangan seringai jahil khasnya. "Membuatku diam atau mengusirku bukan cara bijak untuk menyelesaikan masalah."

Pandangan mereka saling beradu selama beberapa saat penuh ketegangan. Tepat sebelum Karma menyerah dan beralih ke alternatif yang lebih condong kepada kekerasan, Asano berbisik.

"Berhenti mengurusi hubungan di antara kami," bisiknya, masih memegang kerah pakaian Karma, "sebab kau tidak mengerti."

"Aku—"

"Ini memang permainan kami. Kami berdua sama-sama tahu bahwa akan ada yang menang dan yang kalah."

Karma berdecak. "Itu bukan hubungan yang sehat, bodoh. Kenapa bersikap begitu kalau kalian punya tujuan serupa?"

"Kau bahkan tidak mengerti apa itu hubungan sehat, Akabane Karma. Hubunganmu dengan orangtuamu sendiri renggang. Mereka jarang berada di rumah. Kau ditelantarkan. Dan oh, sudah lama aku curiga bahwa perilaku burukmu itu hanya karena kau putus asa mencari perhatian," Gakushuu berujar panas. "Jangan berusaha menashihatiku hanya karena ayahku seolah masih di sini, sementara kau tidak pernah memiliki—"

Ucapan Gakushuu disela oleh buku jari Karma yang membentur rahangnya.


"Asano di sini."

"Asano Gakuhou-san, maaf menganggu pekerjaan Anda. Kami dari Rumah Sakit Umum Jinyu—"

Aktivitas Gakuhou terhenti seketika. Tangannya bergerak pada layar ponsel, mengalihkan mode speaker menjadi mode biasa, lalu mengangkat gawai tersebut mendekati telinga.

"Ya," ia menjaga agar intonasinya tetap datar, "apa yang terjadi?"

Sambungan seberang bergemerisik dengan sayup-sayup pertengkaran seru. "Unit Gawat Darurat kami baru saja menerima putra Anda tiga puluh menit yang lalu, akibat kecelakaan ringan. Pertolongan pertama sudah diberikan, tapi untuk prosedur lebih lanjut dan penjemputan pasien kami butuh konfirmasi Anda."

"Tidak mungkin, putraku ada di rumah sekarang."

Si penelepon berdecak pelan. "Nama anak Anda Asano Gakushuu, betul? Tujuh belas tahun, tinggi badan seratus tujuh puluh sentimeter?" Ia berhenti sejenak, seolah menunggu tanggapan Gakuhou. Mendengar bungkamnya sang Asano senior, ia segera meneruskan, "jadi jika Anda berniat segera datang, atau menjemput dengan wali, kami bisa meletakkan Asano-kun di ruang tunggu—atau perlukah Anda waktu lebih lama…?"

"Tak usah. Saya di sana dalam dua puluh menit."

to be continued...