Dalam dunia yang semakin kompetitif seiring dengan berkembangnya teknologi dan merajalelanya bisnis multinasional, sudah sewajarnya para elit penguasa perekonomian senantiasa berhati-hati dalam menjaga keluarga serta kerabat mereka. Motif klasik yang dilakukan para pesaing bisnis sudah dikenal sejak era mafia—menculik, bahkan menyakiti orang terdekat sebagai bentuk ancaman—merupakan risiko yang selalu mengintai. Ditambah lagi apabila si eksekutif elit memiliki kekayaan melimpah. Jika salah langkah sedikit, bisa berekor jadi korban modus penculikan dengan uang ransum sebagai jaminan.
Asano Gakuhou paham benar bahwa dirinya yang tampan, brilian, dan kaya ini pasti memiliki tak sedikit musuh. Surat kaleng berisi ancaman rutin ia terima paling tidak setiap dua minggu. Isi ancamannya beragam, tetapi tak pernah sekali pun usaha busuk oknum pengirim tersebut membuahkan hasil. Seringkali, justru Gakuhou berhasil mengerahkan polisi untuk menginvestigasi dan menangkap mereka untuk dimasukkan penjara.
Walaupun ia tak pernah bosan mengbengkengi sang putra semata wayang, sejujurnya Gakuhou tahu betapa bisa diandalkannya Gakushuu. Tanpa intervensi Gakuhou juga sebenarnya pasti menculik bocah itu butuh usaha keras. Jadi apabila sampai kepadanya berita bahwa Gakushuu mengalami "kecelakaan kecil" sampai "masuk rumah sakit", tak heran jika ia merasa ada yang tidak beres.
Mata Gakuhou terfokus pada jalanan tempat ia berkendara sementara pikirannya berpacu. Kecelakaan apa yang dimaksud si suster tadi? Gakuhou menyesal tidak bertanya. Putranya jauh dari kata ceroboh apalagi sembrono.
Roda mobil berdecit nyaring ketika Gakuhou memarkir mobilnya secepat kilat di lapangan rumah sakit. Melewati koridor putih pualam, menuju ruangan berpintu kaca buram dengan papan merah besar bertuliskan "Emergency Room".
Ikeda…
Gakuhou mulai kesulitan mengatur detak jantung. Deja vu, ia sudah pernah begini. Tergopoh-gopoh mendatangi suatu tempat akibat informasi tak enak. Namun, kala itu yang ia temui hanyalah mayat dingin Ikeda, mantan muridnya dulu.
Kau meninggalkannya sendirian di rumah pagi ini, bisik suara dalam benaknya. Gakuhou menggeleng. Mustahil. Paling tidak, Gakushuu itu memang anaknya, jadi ia tak lemah. Benar Gakushuu tengah merencanakan sesuatu hal yang konyol, tetapi jika sesuatu yang sungguhan berbahaya terjadi, Gakuhou yakin Karma akan bertindak. Berandal itu telah resmi jadi bidak caturnya. Bukankah selama ini perkiraannya tak pernah salah?
Biar begitu, tetap saja ia mempercepat langkah.
Sesampainya di meja ruang IGD, ekspresi Gakuhou tenang tanpa cela. Disapanya suster jaga dengan seulas senyum tipis. "Saya Asano," ia berkata santun.
Hanya butuh sepersekian detik bagi si suster untuk otomatis melonjak bangun kemudian mengulurkan lengan. "Ah! Anda sangat tepat waktu, Asano-san. Biar saya tunjukkan tempat putra Anda…" Wanita itu memberi isyarat kepada Gakuhou untuk mengikuti dia. "Ngomong-ngomong, anak Anda sungguh seorang pemuda yang manis!"
Mereka melewati beberapa ranjang kosong ketika melintasi ruang IGD. Bau antiseptik yang mengambang di udara semakin kencang. Mau tak mau hal itu membuat Gakuhou gugup.
"Kalau boleh tahu, sebenarnya apa persisnya kecelakaan yang menimpa putra saya?" tanya Gakuhou memecah keheningan.
Si suster menoleh. Dahinya berkerut. "Kami mencatatnya dalam kategori 'kecelakaan berkendara'. Namun Asano-kun bersikeras bahwa apa yang ia alami tidak pantas disebut begitu, sebab secara teknis ia belum sempat mengendarai apa pun."
Minimal Gakushuu tidak bernasib seperti Ikeda. Gakuhou mengangkat sebelah alis. "Berkendara? Semisal, mobil?" Ia menebak yang mana dari dua sedan yang ia tinggalkan di rumah yang hancur di tangan putranya.
"Bukan mobil," si suster tertawa ringan, "sepeda."
Apabila Gakuhou semakin curiga, reaksi itu tidak tergambar pada rautnya. "Oh." Setahunya Gakushuu tidak senang menggunakan sepeda. Lagipula, kan cuma orang tolol yang mau bersepeda di awal musim dingin nan licin begini. "Lukanya parah?"
"Mm, enggak juga. Tapi lumayan dalam. Kurasa tadi butuh sekitar dua atau tiga jahitan…"
"Begitu."
Mereka telah tiba di ujung ruangan.
Suster membuka tirai dengan satu tarikan mantap. "Asano-kun, ayahmu sudah datang," ia memanggil halus. "Kau sudah boleh pulang."
Setelah tirai terbuka lebar, Gakuhou mampu melihat keadaan satu-satunya pasien di dalam. Spontan mantan kepala sekolah tersebut ikut menyapa anak lelaki itu, persis sebuah potret kehidupan keluarga bahagia.
"Kau siap untuk pulang, Asano-kun?" Gakuhou berujar kalem.
"Ya, Ayah."
Akabane Karma membalas dari posisinya di ranjang rumah sakit, matanya berkilau nakal, kentara benar mengolok Asano Gakuhou.
"Jadi kau menonjok Gakushuu, tapi begitu dia marah padamu, kau heboh mengejarnya sampai jatuh terluka, lalu mengelabui aku supaya membayar tagihan rumah sakitmu," Gakuhou menyimpulkan seraya terus mengendalikan roda setir. "Aku—bagaimana menyebutnya ya, aku sangat terkesan, Karma-kun. Tak heran Asano-kun menganggapmu rival sungguhan."
Mustahil Gakuhou berkata "maaf itu bukan anak saya, saya tidak mengenalnya" setelah melihat figur Karma di ranjang rumah sakit, yang ternyata memang mengalami luka dan dijahit. Pertama, akan terasa konyol bagi semua pihak yang terlibat bila itu terjadi. Kedua, toh rumah sakit akan dengan cepat menemukan nama keluarga Akabane dan mengetahui bahwa kedua orangtuanya tidak ada di Tokyo. Kemudian, Gakuhou akan tampak sangat tidak etis jika ia menolak membantu seorang anak sebatang kara yang tengah berada dalam kesulitan.
Di sampingnya Karma menyeringai. Jarinya iseng mengelus jahitan yang menyembul dekat pergelangan tangan berulang kali. "Senang mendengarnya."
"Beritahu aku," pinta sang Asano senior sambil mengernyit sedikit, "bagaimana caramu meyakinkan mereka akan identitas gadunganmu?"
Karma mengangkat bahu ringan. "Rupanya orang enggak akan banyak bertanya jika Anda memasuki IGD dengan darah membasahi sekujur pakaian Anda."
Menceritakan ini, Karma agak bergidik ngeri sendiri. Meskipun sobekannya tidak terlalu besar, tadi dokter sempat mengatakan bahwa ia beruntung, sebab seandainya gerigi sepedanya meleset sedikit saja dan mengenai arteri utama, belum tentu saat ini Karma masih sempat melihat hari esok.
Lampu lalu lintas menyala hijau. Sedan yang mereka tumpangi melaju mendahului mobil-mobil lain, meluncur masuk ke jalan utama yang dihiasi lampu neon di sepinggir jalan.
Karma tersadar dengan sentakan. "Tunggu. Anda mau ke mana?"
Seingat Karma, jalan ini sama sekali bukan mengarah ke rumahnya mau pun ke manor Asano. Jika Gakuhou berniat menculiknya lagi, dengan jahitan yang masih terasa nyeri, Karma mau pura-pura pingsan saja.
"Kau yang dengan sukarela menaiki mobilku, Karma-kun. Bahkan tanpa bertanya apakah aku masih punya urusan yang mau kuselesaikan atau tidak." Gakuhou mengerling keji. "Tagihanmu kubayar dan kau kuberikan tumpangan. Kau tidak punya suara di sini."
Si pemuda berambut merah menatap pria itu seolah dia gila. "Oi, Anda tidak dengar ucapan saya tadi? Tadi siang Asano-kun hendak memasukkan kasus ke pengadilan. Itu pun gagal saya cegah gara-gara sepeda sialan!"
"Tenangkan dirimu. Tahu tidak, mungkin lebih baik kita mengganti topik," tak mengacuhkan protes Karma, Gakuhou meneruskan tenang, "seperti—apa pendapatmu mengenai ulang tahun Gakushuu besok?"
Habis sudah kesabarannya. Karma naik pitam. "Dia anakmu, ya Dewa, apa sih yang mau Anda lakukan? Membiarkannya menang, selamanya terlepas dari Anda? Atau, mengalahkannya telak, supaya ia mendapat pelajaran bahwa dominasi Anda tak terkalahkan? Anda ini berlagak bodoh atau memang bodoh."
Bletak! Sentilan kuat mendarat tepat di pelipis Karma, efektif memotong argumennya. "Jaga intonasimu saat bicara padaku," desis Gakuhou. "Dan asal kau tahu, dapat kupastikan Asano-kun tidak akan memasukkan kasus apa pun dalam waktu dekat."
"Apa—" Karma memulai, lalu berhenti begitu menyadari keberadaan sebuah amplop putih besar yang terletak pada dashboard. Amplop yang sama yang dibawa Gakushuu pada hari mereka menyortir berkas, yang tak pernah disentuh Karma. Ditunjuknya benda tersebut ragu-ragu. "Itu milik anak Anda, kan?"
Gakuhou mendengus sinis, merendahkan dengan senyuman manis. "Oh, ya. Cermat sekali, Karma-kun. Foto barang bukti, berkas penuntutan, semua yang ia butuhkan ada di dalam sana."
Karma tercengang. "Berarti, sebenarnya Anda sudah tahu isi rencana itu," ia menggeleng tidak percaya.
Namun, lalu dengan begitu segalanya menjadi masuk akal. Sejak awal, memang sudah begitu irasional bahwasannya Gakuhou tidak mampu menggali informasi dari putranya sendiri. Mestinya Karma tahu, sejak awal tujuan utama Gakuhou menjebaknya adalah bukan untuk mencari tahu maksud Gakushuu. Sebaliknya, yang ia mau…
"Anda ingin saya menggagalkan rencana Asano-kun," tukas Karma. Tangannya mengepal dan bergetar, jalan pikirannya sudah tak keruan. "Ternyata Anda jauh lebih pengecut dari yang saya kira."
"Maaf?"
"Ralat, kalian berdua adalah dua manusia paling pengecut dan keras kepala yang ada di muka bumi."
Gakuhou meliriknya kesal. Karma memelototi pria itu balik. "For the record, aku sama sekali tidak peduli akan apa yang hendak dikerjakan anak bodoh itu. Berkasnya kuambil hanya untuk memastikan bahwa hidupku tenang."
"Oh, yeah? Saking tidak pedulinya, Anda melesat menuju rumah sakit bahkan tanpa berpikir dua kali begitu mendengar anak Anda cedera." Karma menyanggah sarkastik. "Bukankah begitu?"
Satu decakan. "Sudah kubilang, anak itu pasti mundur dan mengubah rencana kalau ketahuan aku."
"Sebab Anda cuma mengungkap rencananya dan merendahkan dia, bukan menanyakan masalahnya!"
Yang lebih tua, hanya mampu beroperasi dalam mode tiranikal dan tidak punya nyali untuk menunjukkan sisi "lembut"-nya. Yang lebih muda, kelewat gengsi dan terobsesi melihat kejatuhan monarki sang ayah. Dari sekian banyak keluarga disfungsional yang pernah ada—termasuk di dalamnya keluarga Karma sendiri—jelas rumah tangga Asano merupakan yang paling abnormal di antara mereka semua.
Gakuhou membalas tenang. "Kau tidak berhak memproyeksikan masalah keluargamu kepada aku dan Gakushuu, Karma-kun."
Ah, tentu sajaPerihal itu lagi. Karma mulai terbiasa sekarang. Benar-benar karakteristik "seorang Asano" yang licik dan tanpa belas kasih, menyerang secara personal dengan memanfaatkan poin-poin sensitif. Kini Karma telah muak. Menyerang Gakuhou menggunakan kekerasan saja ia sudah tak berselera, apalagi dengan kata-kata.
Jadi, dipilihnya hal terakhir yang bisa ia lakukan: Karma menyerah.
"Kalian berdua boleh mengejekku sesuka hati. Terserah! Sumpah, aku capek. Mungkin sebaiknya memang aku menyerah saja, berhenti mengikuti permainan kalian." Pemuda berambut merah itu menggeleng muram. "Tapi tidak. Sebab aku sangat iri. Berbicara itu sulit, menurut kalian begitu? Terkesan sentimental? Jika kalian terpisah benua dan samudera beribu kilometer jauhnya—barulah kalian mengerti apa itu 'sulit'."
Gakuhou tidak menanggapi. Karma bahkan tidak cukup peduli untuk memerhatikan wajahnya atau menentukan ekspresinya, ia hanya terus berbicara seperti orang melantur.
"Aku tidak mengerti. Mereka bilang mereka peduli, tapi mereka bepergian sepanjang tahun. Mereka tidak pernah mengajakku ikut, sebab katanya aku akan kesulitan mengatur jadwal sekolahku. Apakah hadiah yang mereka kirim adalah bukti kepedulian mereka? Atau e-mail dan foto dan uang yang dilampirkan bersamanya?"
Sesuatu seolah menyumbat tenggorokan Karma. Ia hampir tercekat, tetapi ia tidak mampu berhenti.
"Dan Anda, Asano-san. Bagaimana dengan Anda? Apakah mencegah Asano-kun bertindak gegabah secara diam-diam itu artinya Anda peduli? Memotivasinya dengan sindiran dan cibiran? Mengintainya sepanjang waktu? Menyuruh orang memata-matai dia?"
Baik ia mau pun Gakushuu sebenarnya sama-sama cerdas, siapa pun tahu itu. Mereka sanggup menangkap maksud tersirat hanya dengan melihat gerak-gerik dan detil kecil. Namun, apa yang tidak orangtuanya mengerti—yang tidak orangtuanya dan Gakuhou mengerti—adalah mereka membuat segalanya begitu rumit. Dan Karma, dan Gakushuu, sudah lelah menjadi "rumit".
(Oke, mungkin terlalu banyak hal berpusar dalam kepalanya sekarang, tapi ia mengantuk dan lapar dan haus dan bingung dan marah dan kesakitan dan ia ingin pulang dan ia lelah, lelah, l e l a h.
Karma ingin tergelak kencang (walau matanya perih sekali, entah kenapa). Betapa lucu, ironis, bagaimana mereka membangun jutaan lapisan perasaan untuk melampiaskan apa yang—seharusnya, sebaiknya, semestinya—diungkapkan dengan satu atau dua kata saja...
"Mendekatlah sedikit." Gakuhou tiba-tiba berceletuk. Karma tersentak, hewan liar yang khawatir diserang. Sebelumnya ia menempel bersandar pada bagian dalam kaca mobil yang berembun.
"Hah?"
"Lakukan saja."
Karma menurut, sambil mengerling ragu ke arah dashboard, bertanya-tanya dalam hati apa maksud instruksi Gakuhou. Ketika Karma akhirnya paham, pria yang lebih tua tersebut keburu bertutur dengan suara rendah.
"Asa—Gakushuu," kepala keluarga Asano itu dengan cepat meralat ucapannya. Jeda beberapa saat, lalu sembari masih memandang jauh ke depan, ia berkata, "aku menyayangimu. Selalu."
Di lokasi berbeda, pada earpiece yang tersambung dengan mic sabotase mini yang tersemat pada kerah pakaian Karma, genggaman Gakushuu mengeras. Ia menggigit bibirnya getir.
to be continued...
A/N: tinggal satu chapter lagi! Akankah keluarga lipan temu kangen, dan Karma-kun yang malang menemukan kebahagiaannya? *jeng jeng*
Terima kasih buat semua bookmark, fav, dan review-nya!
