Holy Knight

Naruto belongs to Masashi Kishimoto

Story belongs to V3 Yagami, and Summer Dash
AU, OOC

Rated M for a reason

Sakura mengemasi beberapa pakaian untuk bekal perjalanannya yang akan ia lakukan sore ini. Sebagai seorang pendeta, mau tak mau ia harus memikul tanggung jawab untuk mencari para Holy Knight. Ia tak ingin kejadian dua puluh tahun yang lalu kembali terulang. Manusia naga yang merasa lebih baik dibandingkan dengan yang lainnya menghabisi para klan-klan lain hanya untuk memperluas wilayah kekuasaan. Mereka terlalu kejam.

Sakura menghela nafas panjang. Ia harus berhasil mengumpulkan para Holy Knight agar manusia naga tidak kembali berulah. Berdasarkan perkataan Tsunade, para Holy Knight memiliki kekuatan yang hampir setara dengan manusia naga. Saat ini mungkin saja sang manusia naga belum beraksi karena kekuatannya belum terbangkitkan, tapi jika suatu saat nanti kekuatannya bangkit…. Sakura menggelengkan kepalanya. Ia tak ingin itu terjadi lagi. Ia harus berhasil menemukan para Holy Knight. Harus.

"Kau tahu, jika kau terus-terusan memasang wajah seperti itu, sebelum berusia 20 tahun kau akan memiliki keriput dengan jumlah yang sama seperti Kagura baa-sama." Sakura menolehkan kepalanya ke arah suara dan mendapati Sai serta Sasuke yang tengah bersandar pada masing-masing sisi pintu kamarnya. Sakura memutar bola matanya saat melihat kedua orang yang paling berharga baginya itu tampil sok keren—menurutnya, seperti biasanya.

"Kau berlebihan, Sai. Kagura baa-sama sekarang sudah berusia 70 tahun. Itu artinya aku tidak akan memiliki keriput seperti itu hingga... erm..." Sakura menghitung selisih umurnya dengan Kagura baa-sama, teman minum Tsunade saat mendengar suara dengusan dari dua orang teman masa kecilnya itu. Secara otomatis Sakura memelototkan matanya ke arah mereka. "Apa?" tanyanya sengit.

"Bodoh seperti biasanya."

"Sai! Sasuke-kun, lagi-lagi Sai menggodaku!" Adu Sakura pada tunangannya.

Sasuke tersenyum tipis saat melihat Sakura yang kini tengah mengerucutkan bibirnya. Pemuda berambut eboni itu melangkah ke arah Sakura dan membelai lembut pipi sang gadis, berusaha untuk mengalihkan pembicaraan, dan membuat mood gadis berambut merah muda itu membaik.

"Kau pergi hari ini." Gadis berambut merah muda itu menganggukkan kepalanya dan tersenyum lembut ke arah Sasuke.

"Uhm."

"Aku akan pergi denganmu." Mata Sakura terbelalak saat mendengar ucapan Sasuke.

"Kami akan pergi denganmu." Ucap Sai dengan penuh penekanan, meralat ucapan Sasuke sebelumnya. Pangeran Uchiha itu menaikkan sebelah alisnya saat mendengar ucapan Sai.

"Apa? jangan pikir aku akan membiarkan kalian pergi tanpaku." Ucap Sai sambil mengedikkan bahunya santai.

"Tidak. Kalian tidak akan ikut denganku. Aku akan pergi sendiri." Kedua pria yang ada di dalam kamar Sakura menatap skeptis ke arahnya.

"Idiot."

"Bodoh."

Ucap kedua pemuda itu secara bersamaan. Sakura menghela nafasnya. Kedua pemuda itu memang terlalu kompak. Terutama saat mereka mengatainya. Mereka pasti selalu memiliki pendapat yang sama. Jika saja saat ini ia sedang tidak berusaha membujuk kedua pemuda itu untuk mengijinkannya pergi sendirian, ia pasti sudah memukul kedua pemuda itu, tepat di kepala mereka seperti biasanya.

"Dengar, aku tidak mungkin membahayakan kalian. Perjalanan mencari para Holy Knight bukanlah perjalanan yang nyaman untuk para pangeran keluarga Uchiha—"

"—kau tunanganku." Potong Sasuke. Sakura melirik ke arah Sasuke. Gadis itu menggigit bibirnya saat melihat Sasuke menatap tajam ke arahnya. Tak luput dari perhatiannya, bahwa baru kali ini Sasuke memotong ucapannya. Ia sadar jika Sasuke benar-benar tidak menyukai apa yang baru saja diucapkannya. Pemuda itu memang selalu tidak menyukai jika Sakura menyebutkan statusnya sebagai pangeran di keluarga Uchiha, tidak seperti Sai yang tak ambil pusing dengan hal itu.

Sai menghela nafasnya saat merasakan suasana tegang antara Sasuke dan Sakura. Sangat tidak nyaman berada di tengah-tengah pasangan yang sedang atau akan bertengkar. Terutama jika mereka berdua adalah sahabatmu. Pemuda itu pun berdeham, berusaha untuk mencairkan suasana.

"Kami tak 'kan membiarkanmu pergi sendirian. Lagipula kami tahu sifatmu. Kau tidak akan meminta adanya pengawalan. Kau pasti tidak ingin melibatkan siapapun dalam perjalananmu karena khawatir mereka akan terluka nanti." Sai menatap ke arah Sakura yang kini tengah menundukkan wajahnya, pertanda bahwa ucapannya tepat. Pemuda itu tersenyum lembut, meskipun Sakura terkadang bertingkah kasar—terutama padanya, gadis itu memiliki hati yang teramat baik. Oleh sebab itu ia tak ingin gadis itu terluka.

"Sama sepertimu yang tidak ingin melihat kami terlibat dalam bahaya, kami juga tak ingin melihatmu terlibat dalam bahaya." Sakura membuka mulutnya hendak memotong ucapan Sai, namun Sai kembali melanjutkan ucapannya "—Dan karena kami tahu bahwa perjalanan ini bahaya, kami akan menemanimu. Lagipula aku tidak mau mendengar rengekan Sasuke setiap hari, karena khawatir dengan kondisimu." Sai menyeringai saat melihat tatapan protes dari Sasuke.

"Aku tahu..., Aku hanya tidak ingin melibatkan kalian dalam tanggung jawabku. Ini tanggung jawabku sebagai seorang pendeta." Jelas Sakura.

"Kau tunanganku. Kau adalah tanggung jawabku." Pipi Sakura merona saat mendengar ucapan Sasuke.

"Lagipula kami tidak hisa membiarkan tanggung jawab sebesar itu berada di tangan seorang gadis bodoh sepertimu. Sendirian." tambah Sai penuh penekanan. Sedikit merusak suasana romantis yang terbangun antara Sasuke dan Sakura.

"A—"

"Dan ceroboh."

"Sering tersesat."

"Tidak bisa membela diri."

"Naif." Wajah Sakura semakin bertambah merah setiap mendengar perkataan yang terlontar dari bibir tunangan dan sahabatnya.

"Tidak bis—"

"Hentikan! Aku mengerti!" Potong Sakura emosi. "Kalian tidak perlu menyebutkan semua kejelekanku seperti itu. Lagipula aku tidak seburuk itu…." Sasuke dan Sai tersenyum tipis saat melihat wajah merajuk Sakura.

"Baiklah..., sebaiknya Sasuke dan aku juga mulai bersiap-siap." Sasuke dan Sai melangkah keluar kamar Sakura, akan tetapi langkah Sasuke terhenti saat merasakan tarikan di bajunya. Pemuda itu menolehkan kepalanya dan mendapati Sakura tengah menatapnya dengan sebuah senyuman menghiasi wajahnya.

"Arigatou." Ucap Sakura lirih. Sasuke tersenyum lembut ke arah tunangannya. Pemuda itu menundukkan wajahnya dan mengecup lembut pipi Sakura.

"Aaaa." Ucap pemuda itu sebelum melangkahkan kakinya menyusul Sai yang telah pergi terlebih dahulu, meninggalkan Sakura yang kini jatuh terduduk dengan wajah merona.

.

.

.

Mereka berangkat meninggalkan Istana Uchiha sebelum matahari tepat berada di atas kepala mereka dengan pertimbangan bahwa mereka akan tiba di tepi hutan saat matahari terbenam, sehingga mereka bisa beristirahat dan kembali melanjutkan perjalanan saat matahari kembali terbit di keesokan harinya.

Sakura memandang Sai yang tengah mengikat tali kuda mereka di dekat pohon maple. Rahang pemuda itu nampak mengeras. Berteman dengan Sai sejak kecil membuat Sakura tahu bahwa saat ini sang pemuda tengah menahan emosinya.

Sai, merupakan salah satu pangeran di keluarga Uchiha. Tapi tak seperti Sasuke, pemuda itu bukanlah keturunan asli sang raja. Bahkan Sai sama sekali bukan berasal dari klan dengan lambang kipas uchiwa itu. Fugaku, sang raja menemukan Sai saat ia kembali dari perang melawan para manusia naga. Keluarga Sai tewas dibantai seluruhnya oleh kaum manusia naga. Hanya pemuda itulah satu-satunya yang tersisa dari klannya. Hanya segelintir orang yang tahu mengenai hal ini. Termasuk Sasuke, Sakura, dan juga Sai sendiri. Itu sebabnya tak heran jika Sai tumbuh dengan menanamkan kebencian yg sangat dalam terhadap para manusia naga. Hal ini membuat Sakura khawatir, seperti kata Tsunade, dendam bisa mencelakai dirimu. Ia tak ingin dendam Sai mencelakai dirinya sendiri.

"Ada apa?" Sakura menoleh ke arah Sasuke yang berdiri di sebelahnya.

"Sasuke-kun..., apakah menurutmu tidak apa-apa jika kita mengajak Sai dalam perjalanan ini?" Sasuke menatap ke arah Sakura yang tengah memperhatikan Sai. "Aku... entah mengapa, firasatku tidak enak..."

"Kau mengkhawatirkannya?"

"Tentu saja Sasuke-kun..., aku tidak ingin dia terluka." Sakura melirik ke arah Sasuke. Gadis itu mengerutkan dahinya saat melihat kilatan aneh terpancar di mata tunangannya. Sakura segera menepis pemikiran itu, dan meyakinkan dirinya bahwa itu hanya khayalannya semata.

"Dia... kuat." Gadis itu melirik ke arah Sasuke tersenyum lembut saat mendengar ucapan sang pemuda.

"Umm…, aku tahu. Kita bersama sejak kecil, aku tahu Sai sangat kuat. Ia mahir sekali bermain pedang. Ah, bahkan ia lebih mahir dibandingkan dirimu." Rahang Sasuke sedikit mengeras saat mendengar ucapan Sakura, sayangnya saat sang gadis menatap ke arahnya, ia kembali bereksmenunjukkan ekspresi dinginnya. " Maksudku..., Sai membenci manusia naga."

"Kita semua membenci manusia naga, Sakura. Mereka iblis."

"Tapi Sai berbeda..., dia—"

"Kalian sebaiknya berhenti memadu kasih dan membantuku menyiapkan kemah untuk kita menginap malam ini." Ucap Sai sambil menunjukkan senyum menggodanya ke arah Sasuke dan Sakura. Wajah gadis itu merona, mendengar perkataan Sai.

"Kami tidak memadu kasih baka! Aku dan Sasuke-kun akan mencari kayu bakar. Ayo Sasuke-kun!" Ucap Sakura sambil menarik tangan Sasuke.

"Jangan terlalu lama bermesraan di dalam hutan nanti. Ingat kalian belum menikah. Aku rasa Fugaku-sama belum menginginkan cucu dalam waktu dekat ini."

"Sai idiot!" Sakura melepaskan genggamannya pada tangan Sasuke, tak ingin mendapatkan ejekan lagi dari sahabatnya.

Sai terkekeh melihat Sakura yang melangkah ke arah semak-semak dengan wajah sebal. Ia tersenyum saat melihat Sasuke mengikuti tunangannya tepat satu langkah di belakangnya. Protektif seperti biasa.

"Tapi aku tidak keberatan untuk memiliki keponakan secepat mungkin." Tambah sang pemuda lirih, tapi cukup untuk didengar Sasuke hingga membuat pemuda berambut eboni itu tersenyum tipis.

Mungkin..., mungkin itu semua hanya perasaannya..., tidak ada alasan untuknya merasa cemburu terhadap Sai. Meskipun Sakura sepertinya memiliki perhatian yang sama untuk mereka berdua. Meskipun Sakura lebih mengenal Sai dibandingkan pemuda itu mengenal saudara angkatnya. Meskipun Sakura nampak lebih lepas saat berada di samping Sai dibandingkan saat bersama dengannya. Dan meskipun terkadang Sasuke merasakan detak jantung Sakura berdetak dengan kencang saat berada di samping Sai.

.

.

.

Gadis itu menatap sekitarnya dengan tatapan bosan. Kini ia sedang berada di sebuah ruangan tertutup berukuran 5x5 meter dengan sejumlah wanita muda yang tidak ia kenal. Setelah mengamati ruangan tempat ia berada, ia mendapati bahwa selain pintu besi tempat dia bersandar, tidak ada jalan keluar lain dari ruangan pengap ini. Gadis yang memiliki rambut berwarna merah menyala itu melirik ke arah para wanita lain yang berada pada posisi yang sama dengannya— terikat dan mulut yang tertutup oleh secarik kain kumal. Ia bisa melihat raut wajah ketakutan para gadis.

Gadis itu mendengus. Memang mungkin hanya ia satu-satunya gadis yang tetap berada dalam kondisi tenang setelah mengalami penculikan di tengah hutan. Mungkin itu ada kaitannya dengan kenyataan bahwa ia adalah satu-satunya gadis yang dengan sengaja pergi ke arah hutan sendirian dan memancing para perampok untuk menculiknya.

"Hiks... hiks…." Gadis berambut merah itu melirik ke arah gadis yang ada di sebelahnya. Ia dengan jelas bisa melihat mata yang sembab dan membengkak karena terlalu lama menangis.

Oh..., kuso. Ia selalu merasa tidak tega dengan tangisan dari para gadis.

Ia memang sengaja pergi ke hutan untuk diculik oleh sekawanan perampok yang menghuni hutan, tapi ia tidak menyangka bahwa itu artinya ia harus berkumpul dengan para korban penculikan lain.

"Huh!" Gadis itu mendengus kesal. Mau tak mau ia jadi kepikiran dengan para korban penculikan yang lain. Ia menggemeretakkan giginya dengan kesal, saat suara isak tangis semakin terdengar nyata.

Cih. Padahal mulut mereka sudah dibekap. Tapi tetap saja ia bisa mendengar suara tangisan mereka dengan jelas. Tak tahan, ia pun menutup matanya dan berkonsentrasi.

Aku disini...

.

.

.

Para penculik sedang menikmati minuman keras dan berbagai makanan yang melimpah di atas meja kayu berwarna hitam saat sepasukan penuh pengawal dengan seragam berlambang kerajaan Uzumaki menyergap mereka tanpa perlawananan yang begitu berarti. Sebagian pengawal segera menuju ke ruangan tempat para perampok itu menawan para gadis, setelah berhasil memaksa salah seorang perampok untuk berbicara.

Gadis berambut merah itu sedang memikirkan cara untuk kabur lagi saat tiba-tiba tubuhnya terdorong ke depan akibat pintu yang dibuka dengan tiba-tiba.

"Karin-sama!" Seorang pengawal terkejut saat mendapati sosok gadis berambut merah itu tersungkur ke depan. "Maafkan saya!"

Gadis berambut merah itu segera bangkit setelah sang pengawal membebaskan ikatan di tangannya dan membuka ikatan kain kumal di mulutnya.

"Hm, tidak apa. Bantu mereka melepaskan diri," ucap sang gadis sambil menolehkan kepalanya ke arah para gadis yang kini sedang memasang raut wajah lega bercampur bingung. Ia melangkah keluar ruangan dan menyuruh setiap para pengawal yang ia temui di jalan untuk pergi ke ruangan tempat para tawanan disekap dan membantu pengawal lain untuk membebaskan mereka.

Ia melongok ke arah kiri dan kanan, memastikan bahwa tidak ada pengawal yang memperhatikannya sebelum melangkah keluar dari bangunan tempat ia dan sekumpulan wanita lainnya ditawan. Gadis itu berencana untuk kembali menyelusup masuk kembali ke arah hutan saat merasakan tangannya ditahan oleh seseorang sehingga ia tidak bisa kembali melangkah. Gadis itu hendak menghardik orang yang dengan beraninya menahan tangannya, akan tetapi mulutnya kembali tertutup saat mendapati sepasang mata berwarna biru menatap tajam kearahnya.

"Kau pikir kau mau kemana lagi, hah? berhenti bersikap menyebalkan!" Hardik pemuda itu. Sang gadis kembali menatap tajam ke arah sang pemuda, dan kemudian menyentakkan tangan sang pemuda dengan kasar. "Berhenti bersikap kekanak-kanakan dan selalu kabur dari istana! Pikirkan betapa repotnya kami saat sadar bahwa lagi-lagi kau pergi dari istana! Lagipula apa sih alasanmu selalu kabur dari istana?" Oceh pemuda itu tanpa mempedulikan tingkah Karin sebelumnya.

"Kau pikir kau siapa, hah?"

"Aku tunanganmu, baka!" Gadis itu bergidik saat mendengar ucapan sang pemuda.

"Dan kau masih mempertanyakan alasanku kabur dari istana?!" Tanya gadis itu sengit. Pemuda itu terpaku saat mendengar ucapan Karin. Ia memang tahu bahwa sejak awal Karin tidak menyukai ide perjodohan mereka. Tapi ia tidak menyangka bahwa itu yang menjadi alasan mengapa sepupunya selalu berusaha kabur dari istana. Apakah menikah dengannya seburuk itu?

Pemuda itu sedang berpikir keras sehingga tidak menyadari bahwa sosok Karin kini telah menghilang masuk kembali ke dalam hutan.

"Eh?! Karin!"

.

.

.

Sakura berjalan di belakang sosok Sasuke dan Sai yang tengah berjalan terlebih dahulu sambil menuntun kuda-kuda mereka. Mereka memutuskan untuk berjalan melewati hutan dengan cara menyusuri tepian sungai agar tidak tersesat. Gadis itu melirik curiga ke arah Sai dan Sasuke yang sejak tadi berbicara dengan sangat amat teramat pelan mengenai entah apa, saat telinganya menangkap bunyi gemeresak dari arah balik semak-semak. Sakura terkejut saat tiba-tiba saja sosok Sai dan Sasuke telah berdiri di depannya, berusaha melindunginya dari entah apapun atau siapapun itu yang menghasilkan suara gemeresak.

Dari balik tubuh Sai dan Sasuke, Sakura melihat sesosok gadis dengan rambut panjang berwarna merah menyala muncul dari balik semak-semak dan menatap mereka dengan heran. Merasa tak lagi berada dalam bahaya, Sakura maju ke depan dan berdiri di antara Sai dan Sasuke. Sakura memperhatikan bahwa baju gadis itu nampak kotor, meskipun tak bisa disangkal bahwa pakaian yang ia kenakan bukanlah pakaian yang biasa dipakai oleh rakyat kecil.

"Erm…, Hai?" Sakura tersentak saat melihat gadis itu tiba-tiba menatap tajam ke arahnya.

"Karin!" Pandangan mereka semua beralih ke arah pemuda bermata biru yang baru saja muncul dari arah semak-semak tempat gadis berambut merah itu muncul sebelumnya. Sakura bisa melihat bahwa kini gadis itu berbalik menatap sang pemuda bermata biru dengan sengit.

"Maumu apa sih? Jangan ikuti aku!"

"Kau—eh? Teme? Sai?" Fokus sang pemuda beralih saat melihat sosok Sasuke dan Sai.

"Dickless."

"Dobe."

Dengus Sasuke dan Sai secara bersamaan.

"Eh? Kalian saling mengenal?" Tanya Sakura sambil memandang Sasuke dan Sai secara bergantian.

"Tidak." Jawab Sai dan Sasuke kompak.

"Hei-heiii!" Pemuda itu menatap tidak senang ke arah Sasuke dan Sai. Mata pemuda itu terbelalak saat menyadari sosok Sakura yang sempat tak terlihat karena tertutup sosok Karin sebelumnya. Pemuda itu menyeringai saat menyadari rambut berwarna merah muda sang gadis.

"Kau pasti Sakura-chan. Kudengar dari Tou-san bahwa kalian sudah bertunangan." Ucap pemuda asing itu sambil melirik ke arah Sasuke dan Sakura secara bergantian.

Sakura menarik pelan baju Sasuke. "Siapa?" Sasuke mendengus kesal. Ia benar-benar tidak menyukai sosok pemuda yang ada di depannya. Tapi saat melihat raut wajah ingin tahu Sakura, ia tahu bahwa gadis itu akan terus menanyainya tentang identitas pemuda itu hingga ia menjawabnya.

"Sakura, perkenalkan. Dia Uzumaki Naruto. Pangeran kerajaan Uzumaki." Jawab Sasuke dengan nada enggan. Mata Sakura terbelalak. Mustahil pemuda yang ada di depannya itu seorang pangeran sama seperti Sasuke dan Sai. Pemuda bernama Naruto itu menunjukkan cengiran lebarnya. Tidak mungkin. Bukannya apa, pemuda yang ada di depannya itu memang tampan, tapi ia tidak memiliki tampang berwibawa khas pangeran seperti Sasuke dan Sai!

Karin menyeringai saat melihat perhatian Naruto terpecah. Dengan perlahan—karena tak ingin mendapatkan perhatian, gadis itu kembali melangkahkan kakinya, berusaha kabur dari Naruto.

"Karin, berhentilah. Aku tak akan membiarkanmu kabur!" Karin mendecih sebal saat Naruto menyadari gerak-geriknya.

"Siapa dia?" tanya Sai sambil menatap ke arah Karin.

"Tunanganku." jawab Naruto tanpa melepaskan pandangannya dari Karin sedetikpun.

"Ha! Tidak lagi, aku akan kabur dari istana dan pertumangan kita akan dibatalkan."

"Berhentilah bersikap kekanak-kanakan! Kau tahu itu tidak mungkin. Keluarga kerajaan hanya diperbolehkan menikah dengan orang yang memiliki darah Uzumaki. Sejak dulu sudah diputuskan bahwa kita akan menikah. Salahkan dirimu yang terlahir di keluarga Uzumaki!"

"kalau begitu menikah saja kau dengan ibumu!" Karin menutup mulutnya dan menyesal dengan ucapan yang baru saja terlontar dari bibirnya, tapi terlambat. Rahang pemuda itu mengeras, ia menarik tangan Karin sehingga gadis itu kini berbalik menatapnya. "Sakit! Lepaskan tanganku!" Erang Karin.

"Kau akan kembali ke kerajaan denganku." Ucap Naruto dingin.

"Aku tak akan menikah denganmu meskipun kau satu-satunya laki-laki yang tersisa di bumi ini. Tidak akan jika itu membuat Hinata patah—" Ucapan Karin tiba-tiba terhenti.

"Apa maksudmu? Hinata? Maksudmu Hinata dari kerajaan Hyuuga? Setahuku ini tidak ada hubungannya dengannya."

"Kau memang idiot. Lepaskan aku!" Naruto semakin mempererat genggaman tangannya di lengan Karin.

Sakura, Sasuke dan Sai menatap pertengkaran Karin dengan Naruto dalam diam. Di dalam hatinya Sakura mengakui bahwa saat ini, Naruto mengeluarkan aura putra mahkota seperti yang biasa dikeluarkan Itachi saat sang putra mahkota itu menginginkan sesuatu. Entah mengapa, saat ini ia merasa kasihan dengan Karin, karena ia tahu. Seperti Itachi, Naruto tak akan melepaskan Karin. Gadis itu melirik ke arah Sasuke dan Sai yang masih belum beranjak dari sampingnya.

"Ano..., Sasuke-kun…, Sai…, apakah tidak sebaiknya kita—"

"Tidak." Jawab kedua pemuda itu bersamaan. Memang sih, tidak baik bagi mereka untuk terlibat dengan urusan kerajaan lain, apalagi dengan masalah yang amat teramat pribadi. Sakura mendesah pelan. Ia juga tahu hal dasar seperti itu, mengingat Tsunade dulu pernah mengajarinya. Akan tetapi ia tidak tega melihat Karin. Tak tega, gadis itu pun mengalihkan pandangannya ke arah sungai, agar tak begitu memikirkan masalah yang sedang terjadi dihadapannya, akan tetapi Sakura justru terkejut saat melihat arus yang tidak biasa di sungai.

"Sasuke-kun, Sai..., sungainya…."

"Aku bilang LEPASKAN AKU!" Mata Sakura terbelalak saat air di sungai tiba-tiba surut dan membentuk sebuah gelombang besar yang kini menerjang ke arah mereka.

"SASUKE-KUN! SAI!"

-To Be Continue-

A.n: hai haii, dengan putri disini. Pasti pada sadar kalo di chapter ini yang nulis gue, soalnya tulisannya amburadul, dan feelnya aneh, ga kayak si pitri. Hehehe…
Oh ya, chapter ini lebih panjang kan ya? Seenggaknya lebih panjang dari punya si pit kemaren, hahahaha, soal feel dan typo pelis tolong dihiraukan, tapi kalo ada, tolong bilang ya, entar gue perbaiki lagi.

Buat cerita di chapt selanjutnya, bakalan balik ke pitri lagi. Dan kalian ga perlu nunggu lama berarti, soalnya… gila! Dia kalo nulis cepet amat! Gue aja ampe spisles. Dua jempol buat dia dan kecepatan nulisnya.

Last, but not least… Gimme your comment, critic or maybe a flame about this story. Really appreciate it.

Sign, Putri