The Haunted House

Chapter Three

"Jadi setelah dipikir-pikir… itu bukan sesi latihan yang kita harapkan, ya?"

Ochiai, Narumi, dan Kiri duduk santai di dalam restoran hamburger yang hangat. Ochiai mengunyah fish burger rendah lemak, Narumi melahap double cheese burger dengan saus tomat special, dan Kiri menyedot air soda perlahan-lahan sambil menunggu Kei yang sudah terlambat setengah jam.

"Kenapa kau harus mengingatkanku tentang bencana itu, Kazuhiko?" Narumi mengacungkan jari telunjuknya dengan dramatis ke arah Ochiai, matanya mendelik. "Selama seminggu ini aku sudah berhasil melupakannya!"

"Narunaru, saus tomatmu mengalir ke dagu."

"Tapi…" sela Ochiai muak, melihat Kiri mengelap saus tomat yang menetes ke baju Narumi dengan tisu, "yang penting kita sudah berhasil melaluinya, kan? Rumah itu menghilang, tapi kita tetap utuh."

"Untunglah," desis Narumi sinis, "untunglah! Semua barang-barang kita, semua peralatan SP kita, semua ikut menghilang bersama rumah sialan itu, tapi yang penting kepala kita tetap menempel di badan kan?"

"Yah, begitulah kira-kira."

"Naruuuuu! Occhiiiii! Ki-chaaaan!" Kei berlari ke arah mereka, nyaris menabrak seorang ibu dengan anaknya di pintu masuk, sementara kandang hamster berayun-ayun liar di tangannya.

"Kau terlambat setengah jam, Kei!" kata Narumi sebal.

"Tiga puluh tiga menit dan dua belas detik," tukas Ochiai cepat sambil melirik jam tangannya.

"Maaf, maaf!" kata Kei ceria. "Aku pesan… chocolate parfait dan kentang goreng ukuran big!"

"Kau tidak mau mencoba burger lemak berdarah?" Narumi menyodorkan cheese burgernya, saus tomat menetes-netes ke meja.

"Aku sudah kenyang, Narunaru! Tadi ayahmu…"

"Kau sudah kenyang dan tetap memesan makanan sebanyak itu?" sela Ochiai.

"Ayahku kenapa?"

"Tadi aku bertemu ayahmu di jalan, dan dia mentraktirku makan sushi! Sushi special! Itu yang membuatku terlambat."

"Apa yang dia inginkan?" Kiri menatap Kei dengan tajam.

"Tidak tahu," kata Kei riang sambil memakan chocolate parfait pesanannya. "Ayah Narunaru cuma bertanya padaku apa aku melihat sesuatu yang aneh di rumah tempat latihan ki… Ah! Aku lupa! Aku harusnya tidak boleh bercerita tentang hal ini pada kalian!"

"Jadi akhirnya dia percaya juga kalau kita menemukan rumah itu?" kata Narumi sinis. "Sudah berhari-hari dia menganggapku gila… mengoceh tentang rumah yang bisa menghilang…"

"Bodoh sekali," bisik Kiri. "Orang tua seperti mereka hanya bisa mengelak. Mereka mengira kita kerampokan, karena kita muncul di rumah lima hari lebih awal tanpa membawa barang-barang kita… Dan yang bisa mereka lakukan hanyalah menyalahkan kenapa gunting legendaris itu hilang."

"Gunting itu juga hilang?" Narumi terkejut. Kiri tidak menjawab.

"Tadi katamu ayah Narumi tidak ingin kau menceritakan pembicaraan kalian pada kami?"

"Hmm, ya…"

"Aneh. Semua kejadian ini terlalu aneh."

"Semua orang juga berpendapat sama, Osuchin." Kiri menguap.

"Yang paling membuatku heran adalah…" Ochiai menaikkan kacamatanya, "…kenapa rumah itu bisa menghilang."

"Dibawa UFO, mungkin?" usul Narumi. "Waktu kita memeriksa tanah bekas rumah itu ada bekas terbakar di sana, ingat?"

"Atau hantu," kata Kei, sekarang memakan kentang gorengnya, "Narunaru melihat sekelebat bayangan di rumah itu malam-malam kan?"

"Yang kupikirkan adalah sesuatu yang ilmiah." Ochiai membuka laptopnya, mengetik sesuatu dengan cepat, dan mengernyit. "Barangkali itu karena gas alam? Fatamorgana? Atau bom? Sebelum rumah itu menghilang kita mendengar suara ledakan. Tapi kenapa tidak ada bekasnya?"

"Hebat. Sekarang kita menemukan keajaiban dunia yang kedelapan."

"Dan entah kenapa…" Ochiai menekan tombol enter dengan bergaya, lalu menatap tajam ke arah mereka. "Aku merasa kalau ayah Narumi tahu sesuatu."

***

Tok. Tok. Tok.

"Masuk."

"Tuan presdir…" Seorang pegawai berseragam rapi dan berdasi masuk ke ruangan itu. "Ada seorang lelaki yang ingin bertemu dengan pemimpin Salon de Narumi."

"Baiklah. Biarkan dia masuk."

Sesosok bayangan hitam bergerak cepat memasuki ruangan. Wajahnya tertutup kerudung hitam. Bahkan, sebenarnya seluruh pakaiannya berwarna hitam. Sejenak orang itu diam saja, dan baru akan menyibak kerudungnya ketika Narumi Yujiro melarangnya.

"Tidak. Kau tidak perlu memerlihatkan wajahmu yang memuakkan itu, terima kasih."

Sosok itu terdiam sesaat, tapi akhirnya dia menurunkan tangannya yang pucat. Lalu dia berbicara dengan suara parau, "Bila Tuanku menghendakinya, hamba akan mematuhinya."

"Bagus… bagus…" Yujiro menatapnya dengan tajam. "Kau memang budak yang setia, dan aku puas dengan hasil kerja terakhirmu."

"Terima kasih, Tuanku."

"Alasan aku memintamu datang ke sini adalah…" Yujiro membuka laci mejanya, mengambil sebuah kotak, dan memandangnya dengan menyeringai. "Aku hanya ingin tahu, apa ada orang lain yang melihatmu saat kau bertugas? Aku sudah menanyakan hal ini pada orang paling tolol di antara mereka, tapi sepertinya dia tidak terlalu tolol juga. Dia mengelak menjawab dan terus menjejalkan sushi ke mulutnya."

"Ada, Tuanku. Hanya seorang."

"Malang sekali orang itu." Yujiro sekarang membuka tutup kotak itu dan mengeluarkan sebuah gunting berinisial K. Gunting legendaris milik Kiri. "Dia akan segera mati. Kau masih ingat wajahnya?"

"Seorang pemuda berambut cokelat yang yang mengenakan kemeja kotak-kotak, Tuanku."

"Shougo?" suara Yujiro sedikit tercekat. "Tapi… biarlah. Anak itu tak cukup berharga. Habisi saja dia. Aku tidak ingin ada orang yang tahu tentang kau."

"Baik, Tuanku."

"Setelah urusan ini selesai, bisakah kau menyingkir jauh-jauh dariku?" bisik Yujiro, masih mengamati gunting legendaris itu, "tak perlu kukatakan betapa senangnya aku mendapat gunting legendaris ini… Ilmumu memang hebat, bahkan bisa melenyapkan sebuah rumah dan membuat si Ochiai itu lupa arah… Tapi kurasa aku tak perlu dekat-dekat dengan orang yang bisa mengendalikan iblis."

"Baik, Tuanku. Dan jangan lupa imbalan atas kerja keras hamba." Orang itu menyeringai sedikit sebelum melanjutkan, "Tuanku pasti ingat isi perjanjian kita. Bila hamba berhasil, Tuanku akan menjadi salah satu penghuni neraka kelak, dan jiwa iblis Tuanku akan menjadi milik hamba."

"Tidak masalah, aku rela melakukan apapun untuk mendapat gunting legendaris ini. Barangkali aku memang sudah gila… Yah, kita berdua sama-sama gila, mengkhianati anak sendiri… Tapi aku masih belum mengerti, kenapa kau tidak mengambil gunting itu saja langsung dari rumahmu?"

"Kiri sudah curiga, Tuanku. Jika gunting itu hilang di rumah, dia akan langsung mencurigai hamba." Orang itu sekarang menyibak kerudungnya, dan tampaklah seorang lelaki berambut hitam.

"Yah, tapi… barangkali kau lebih gila dariku, Seiji. Aku bahkan tak menyangka kau akan rela menyerahkan gunting legendaris ini pada sainganmu."

"Tidak masalah, Tuanku." Seiji menyeringai mengerikan. "Apa gunanya sebuah gunting bila hamba bisa mendapat tambahan jiwa iblis?"

Sesaat Yujiro tampak ketakutan, tapi dia menutupinya denga tawa keras. Seiji mengikutinya. Dan, untuk pertama kalinya, barangkali, dua orang musuh bebuyutan ini bekerja sama. Bekerja sama, bersatu padu, dan rela membunuh hanya untuk sebuah gunting.

The End


Hehehe...

Aneh ya?

Barangkali chapter terakhir ini malah nggak sesuai sama judulnya... harap maklumlah, cara nulisku tuh spontan...

Oke, makasih banget buat semua yang udah review ceritaku... Komentar kalian bikin aku semangat!