Disclaimer: Naruto © Masashi Kishimoto

Genre: Horror and Romance

Warning: AU, kebiasaan Deidara menambah kata 'un' dihilangkan di fic ini, OOC.

Akhirnya di-update juga! XD terimakasih atas reviewnya ya!!

BLOOD

-Sang Penulis Kematian-

Chapter 2

By:

Luina Fujiwara

Jam masih menunjukkan pukul 06.30. Sebagian besar murid Konoha Gakuen masih belum datang karna masih terlalu pagi. Tapi itu tidak berlaku bagi gadis berambut pirang dan bermata aquamarine, Deidara.

Hari ini Deidara datang pagi sekali. Hal yang sangat aneh karna Deidara adalah murid yang paling sering datang telat ke sekolah.

Deidara memasuki gerbang dengan tatapan bingung dari Zabuza, satpam sekolah.

"Tumben datang pagi?" gumam Zabuza.

Deidara tidak menanggapi ucapan Zabuza, melainkan terus berjalan menuju kelasnya, 11-A.

Deidara's POV

Aku menaiki tangga menuju kelasku yang berada pada lantai dua. Sepertinya aku adalah murid yang datang pertama hari ini.

Akhirnya aku sampai ke kelasku. Kelasku masih sepi. Aku lalu menuju bangkuku yang berada di pojok kiri. Aku meletakan tas di meja dan duduk.

Entah mengapa ada yang beda dari tubuhku. Aku tahu itu! Aku merasa berbeda sekarang. Berbeda… semenjak… mimpi tadi malam… argh!! Konyol!!! Kenapa aku memikirkan hal itu lagi?!

Normal POV

Deidara mengacak-acak rambutnya hingga rambut pirang panjang miliknya berantakan. Deidara terlihat depresi. Mata aquamarinenya terihat sayu dan Deidara seakan-akan tak memiliki semangat hidup.

Deidara merebahkan kepalanya di meja. Deidara memejamkan mata dan memikirkan mimpinya hingga…

'Jleb'

Sesuatu seperti memasuki tubuh Deidara. Matanya berubah menjadi merah dan gelang berbentuk rantai kecil dengan tengkorak mini muncul di tangan kanannya. Deidara –yang bukan Deidara- itu mengambil secarik kertas dari dalam tas secara kasar hingga tas Deidara hampir robek.

Kertas tersebut ia letakan di atas meja. Tiba-tiba pena bulu berwarna hitam muncul di tangannya. Perlahan tapi pasti, Deidara menuliskan untaian-untaian kata pada kertas.

Setelah lima menit menulis…

'Jleb'

Deidara tak sadarkan diri. Gelang beserta pena menghilang tanpa adanya bekas sedikitpun. Yang tertinggal hanyalah kertas yang tertindih oleh kepala Deidara.

XxX

"A-apa gak apa-apa membolos pelajaran?" tanya gadis berambut indigo panjang pada gadis bercepol di hadapannya. Gadis bercepol itu mendelik.

"Tentu aja gak apa-apa, Hinata! Lagipula, gue males belajar fisika kalau yang ngajar Anko-sensei," jawab gadis bercepol.

"T-tapi Tenten, a-"

"Shut up, Hinata," potong gadis berambut pirang dan dikuncir empat, Temari.

Hinata lalu diam dan menatap dua sahabatnya itu dengan tatapan kesal bercampur takut. Temari mengambil sebatang rokok dari sakunya dan menyalakannya. Temari menghirup rokok itu dalam-dalam sebelum menghembuskannya.

Hinata, Tenten, dan Temari. Tiga gadis itu sedang berada di atap sekolah. Mereka membolos jam pelajaran ketiga atas ajakan Tenten.

Tenten mengeluarkan satu pak kartu dari saku bajunya sambil duduk. Ia mengocok kartu dengan cepat. Hinata dan Temari duduk di depan Tenten sambil memperhatikan kartu yang Tenten kocok.

"Tarot?" tanya Hinata bingung.

Tenten menghentikan kocokan kartunya dan bertanya pada Temari, "Mau gue ramal?"

Temari mengangguk pelan tanpa melepaskan pandangan dari kartu tersebut. Tenten menyebar kartu itu di hadapan Temari.

"Pilih 4 kartu dengan tangan kiri, karna dipercaya letaknya paling dekat dengan jantung," kata Tenten.

Temari lalu menunjuk kartu pertama yang berada pada paling kanan. Kartu kedua yang Temari pilih adalah nomor 5 kiri dari tengah. Kartu ketiga yang ditunjuk Hinata berikutnya adalah kartu nomor 17 dari kiri dan kartu terakhir nomor 5 dari sebelah kanan kartu kedua.

Tenten menyusun kartu dan membukanya satu persatu. "Kartu pertama adalah pertanyaan si Penanya. Kartu kedua merupakan masa lalu. Kartu ketiga ialah masa sekarang dan kartu terakhir adalah masa depan."

Kartu pertama dibuka dan Tenten menginterpresentasikan kartu tersebut dengan jawaban aneh.

"Mungkin lo harus ganti parfum."

Temari menghisap rokoknya dan mengangkat sebelah alisnya. Temari tampak tak percaya dengan ucapan Tenten. Sementara Hinata hanya memperhatikan mereka.

Kartu kedua dibuka dan Temari lagi-lagi mendapatkan jawaban yang aneh dari Tenten.

"Cawan. Dulu lo sering makan ya, Tem?"

Konyol. Cawan adalah lambang emosi dan cinta. Hal itu cukup membuktikan bahwa Tenten adalah peramal yang kurang cakap. Kartu ketiga juga mendapatkan jawaban yang konyol. Temari terus mendengar tanpa percaya satupun kata-kata Tenten.

Kartu terakhirpun dibuka.

Tenten terbelalak kaget dengan kartu yang ia pegang. Temari menjadi penasaran dengan kartu terakhir yang menunjukkan masa depannya.

"Kartu apa yang gue dapat?" tanya Temari.

Tenten menatap Temari tak percaya. Terlihat jelas di raut wajahnya bahwa Tenten takut. Tenten menarik nafas panjang sebelum melanjutkan ucapannya.

"Dewa kematian." (1)

Hinata tersentak kaget mendengar jawaban Tenten. Diluar dugaan, Temari tertawa terbahak-bahak.

"Hahahahaha… lo pikir gue akan percaya sama ramalan lo yang konyol? Gak akan!!!"

Temari lalu meninggalkan Hinata dan Tenten yang masih terpaku pada tempatnya. Hinata dan Tenten lalu saling bertukar pandang.

"R-ramalan g-gak selamanya b-benar 'kan?"

XxX

"Dimana aku?"

Deidara mengerjapkan matanya dan berusaha bangun dari ranjang. Deidara memandang berkeliling. Setelah berapa detik ia sadar bahwa ia sedang berada di UKS dan Deidara juga sadar bahwa ia tak sendiri.

"Apa yang terjadi, Konan?"

"Kamu ditemukan pingsan di kelas," kata Konan cemas. Konan menyerahkan selembar kertas pada Deidara. "Kertas itu tertindih kepalamu."

Deidara lalu membaca sebuah cerita yang tertera pada kertas tersebut.

Deidara's POV

Aku membaca cerita yang ada di kertas itu. Aku mengamati tulisan di sehelai kertas tersebut. Tulisan ini 'kan tulisanku! Tapi… aku tak pernah merasa pernah menulis sebuah cerpen seperti ini.

Pembunuhan. Itulah inti dari cerita itu. Para tokoh di cerpen itu tidak disebutkan namanya, melainkan hanya disebutkan karakteristik tokoh seperti gadis berambut indigo, gadis berambut coklat, dan gadis berambut pirang.

Aku tak mau membaca cerpen ini sampai tuntas. Aku meletakkan cerpen itu di meja kecil yang berada di samping ranjang.

Normal POV

"Cerita yang lumayan menarik… dan… um…" Konan menggantung kata-katanya, membuat Deidara penasaran

"Sadis."

Hening. Deidara tak berani berkata-kata. Konan juga tampak tak mau berkomentar lagi soal cerpen itu. Deidara lalu mencoba mengalihkan pembicaraan.

"Danna, Pein, Hidan, sama Itachi mana?"

"Sasori tadi ke sini buat liat keadaan kamu, tapi sekarang dia udah ke kelas lagi. Kalau Pein sama Hidan lagi dihukum karna gak ngerjain pr. Itachi… kayaknya dia di kelas deh!" jawab Konan sambil menatap ke luar jendela.

Deidara juga melihat ke luar jendela dan mendapati Pein dan Hidan sedang dihukum berdiri sambil hormat di depan tiang bendera.

"Anyway, sekarang jam pelajaran keberapa?"

"Ketiga." Konan kembali melirik cerpen yang sekarang berada di atas meja. "Cerpen itu buatanmu?"

"Bukan! Walaupun itu tulisanku, tapi aku merasa tak pernah membuat cerpen itu!" bantah Deidara.

XxX

"Sialan! Coba gue gak turun dari atap tadi! Kalau gue gak turun, pasti gue gak kena hukuman nih!" seru gadis berambut pirang dan dikuncir empat.

Gadis tadi lalu berjalan ke arah toilet perempuan. Gadis tadi lalu melihat jam tangannya dan mengumpat kesal, "Anjrit! Udah jam lima sore! Ini gara-gara Tsunade-sensei yang pake acara ngehukum gue! Sialan!"

Gadis tadi adalah Temari, murid kelas 10-B di Konoha Gakuen. Temari kemudian memasuki toilet dan mencuci tangannya di washtafel.

'Whooosh'

Temari merasakan ada yang melewati pintu toilet secara cepat. Temari menengok dan tak melihat seorangpun karna sekarang sekolah sudah sepi.

Temari lalu melanjutkan kegiatannya yang tertunda. Ia menyalakan keran air. Tiba-tiba, lampu kamar mandi mati. Sepertinya ada yang mematikan. Temari tak peduli. Ia masih fokus mencuci tangan.

Temari yang semula menunduk mengangkat kepalanya menghadap cermin dan mendapati bahwa ada seorang pria bertubuh tegap yang sekarang berada di belakang tubuhnya.

"Ucapkan salam pada kematian, Nona."

TBC

(1) Lui gak tau sebenarnya di kartu tarot ada kartu dewa kematian apa gak. Seandainya gak ada, diadain aja *digamprat*

Udah horror belum? Atau masih kurang horror?

Bales review dulu ah~ X3

: seratus perak buat senpai! Ini memang SasoDei. Lui gak bisa buat fic tanpa pairing ini. Kalau gak ada SasoDei rasanya gemanaaa gethoooo *lebay, ditabok*. SasuNaru? Lui cari ide dulu ya, senpai? Kurang serem? Chapter ini udah serem belum? Arigatou atas doanya :D

Takuya Uzuki-chan: bagus? Gak nyangka fic ini ada yang bilang bagus -netesin obat tetes mata ke mata- Lui terharu XD. Chapter ini udah panjang 'kan?

Arara~: jelek? Rendahan? Tolong beritahu Lui di bagian mana Lui salah. Lui gak akan hapus fic Lui karna Lui gak tahu dimana letak kesalahan Lui. Males liat fic ini? Gak usah baca.

Aoi no Tsuki: AADI (Ada Apa Dengan Ino) Lui juga gak tau *ditendang*. -Seseorang: masa yang buat ficnya gak yau sih?!- ini update-annya, senpai! :D

Shia~malay~login: NaruHina? Wah, Lui paling gak bisa cari ide buat pair itu, gomen ya, senpai. Sasonya baru keluar nanti di chap tiga. Ini update-annya, senpai! :D

Yuuichi93: keren? Fic ini ternyata ada yang bilang keren *terharu lagi*. Kalau Lui malah merinding ngebayangin Ino kayak gitu *dikasih kalium sianida* yang diminta Ino pastinya bukan uang *digampar* XD

The Lord xx: Lui akan berusaha agar fic ini lebih menarik :D

Queen of the Seven Seas: seru? Arigatou, senpai! Senpai dikit lagi UN? Selamat berjuang, senpai!\

Sekali lagi Lui ucapkan terimakasih untuk yang sudah mereview fic Lui.

REVIEW!!!